(Terbit, insya Allah setiap Minggu dan Kamis)
Sukarno
Sukarno adalah pahlawan, itu yang tertulis dibuku-buku sejarah Indonesia saat ini. Tetapi tidak halnya pada tahun 1966 – 1970, nuansa semua tulisan tentang Sukarno sangatlah berbeda. Sejak dari kejatuhannya sampai menjelang kematiannya, Sukarno dikucilkan dan dikenakan semacam tahanan rumah. Haknya (kalau dia punya) untuk memperoleh perawatan medis untuk mengobati penyakit ginjalnya diabaikan. Setelah itupun namanya masih dianggap berbau busuk sehingga dirasakan perlu mengganti semua nama-nama yang diambil dari nama Sukarno. Kota Sukarnopura diganti menjadi Jayapura, Gelora Bung Karno (Gelanggang Olah-Raga Bung Karno) menjadi Stadion Utama Senayan, Puncak Sukarno menjadi puncak Jaya-Wijaya. Bahkan kalau dalam buku sejarah masa lampau disebutkan bahwa Sukarno adalah perumus Panca Sila, kemudian Mohammad Yamin dijadikan sebagai penggali Panca Sila.
Apa yang terjadi 15 tahun kemudian? Angin berbalik. Pada pertengahan dekade 1980an, nama Sukarno direhabilitasi kembali. Namanya menghiasi lapangan terbang Cengkareng (1985). Dia dinobatkan menjadi pahlawan proklamasi Indonesia melalui keputusan presiden Keppres RI No 081/TK/Tahun 1986, tanggal 23 Oktober 1986.
Kalau begitu bung Karno itu pahlawan atau bukan? Apakah bung Karno pahlawan karena secarik kertas yang bernama Keppres RI No 081/TK/Tahun 1986? Atau dia memang pahlawan yang sejatinya. Bagaimana statusnya antara tahun 1970 – 1985? Pada periode antara tahun 1970 - 1985 dengan periode antara 1985 – sampai sekarang Sukarno sudah tidak pernah lagi membuat perubahan, bagaimana mungkin statusnya berubah? Itulah persoalannya dengan istilah “resmi” (Inggris: official), keputusan pemerintah, undang-undang. Walaupun isinya selalu ada kata-kata: “menimbang”, “mengingat”, seakan-akan ada alasan-alasan logis yang mendasari pembuatan sebuah keputusan, tetapi sering kali kata-kata itu tidak ada maknanya. Ibaratnya, jika ada keputusan pemerintah menyamakan kecantikan seekor monyet dengan seorang ratu kecantikan, maka secara resmi seekor monyet sama cantiknya dengan seorang ratu kecantikan. Seperti halnya pemerintah mendekritkan nilai selembar kertas yang bernama uang, bernilai sama dengan sepotong roti atau sebongkah emas.
Lupakan hal yang resmi-resmi dulu, kumpulkan data yang ada mengenai hasil karya Sukarno. Kemudian memutuskan dimana dia layak ditempatkan. Cara ini adalah cara yang layak dan paling masuk akal.
Faktanya Sukarno adalah yang membacakan text proklamasi Indonesia yang ditanda tanganinya bersama Mohammad Hatta. Faktanya dia juga presiden Indonesia dari tahun 1945 sampai 1967. Tetapi apakah hal ini sudah cukup untuk mengkategorikannya sebagai orang baik? Masih banyak lagi yang dilakukannya (bersifat positif atau negatif). Lagi pula menandatangi naskah proklamasi dan membacakannya atau menjadi presiden tidak penting, yang lebih penting adalah dampak dari prilakunya.
Sukarno pada tahun 1943, bersama Mohammad Hatta dan Ki Bagoes Hadikoesoemo memperoleh bintang kekaisaran Jepang yang diberikan langsung dari kaisar Hirohito[1]. Diantara ketiga penerima bintang kekaisaran Jepang Sukarno lah yang aktif dalam perekrutan romusha. Dalam biografinya yang ditulis oleh Cindy Adams, Sukarno mengatakan:
“Sesungguhnya akulah Sukarno yang mengirim mereka kerja paksa. Ya, akulah orangnya. Akulah yang menyuruh mereka berlayar menuju kematian. Ya, ya, ya, ya akulah orangnya. Aku membuat pernyataan untuk menyokong pengerahan romusha. Aku bergambar dekat Bogor dengan topi di kepala dan cangkul ditangan untuk menunjukkan betapa mudah dan enaknya menjadi seorang romusha. Dengan para wartawan, juru potret, Gunseikan – kepala pemerintahan militer dan para pembesar pemerintahan. Aku membuat perjalanan ke Banten untuk menyaksikan tulang-tulang kerangka hidup yang menimbulkan belas, membudak di garis belakang, itu jauh di dalam tambang batubara dan tambang emas. Mengerikan. Ini membikin hati di dalam seperti diremuk-remuk.”
Bung Karno mengakui bahwa tugas seorang panglima adalah memenangkan peperangan, dan dalam beberapa pertempuran mungkin kalah dan harus mengorbankan ribuan jiwa untuk menyelamatkan jutaan jiwa.[2] Kita tidak tahu tentang jutaan jiwa yang diklaim Sukarno telah diselamatkan dengan kematian ribuan jiwa. Sekedar angka statistik saja, jumlah romusha yang berhasil direkrut diperkirakan mencapai 270 ribu orang Jawa dan hanya 52 ribu yang berhasil pulang[3]. Berarti 218 ribu orang mati. Sukarno tidak pernah menerangkan dari mana angka jutaan orang yang terselamatkan karena pengorbanan 210 ribu orang itu dan peperangan apa yang harus dimenangkan. Tanpa penjelasan arti kematian 218 ribu orang Jawa itu adalah sia-sia.
Kalau bung Karno mengaku bahwa dialah yang mengantarkan ribuan jiwa untuk dikorbankan itu untuk menyelamatkan jutaan jiwa, siapakah yang memberi hak Sukarno mengorbankan si fulan dan si badu? Apakah Sukarno pemimpin terpilih waktu itu? Kenapa bukan yang lain yang dijadikan tumbal, seperti dirinya sendiri. Apakan pengorbanan itu sebelumnya telah dijelaskan kepada calon romusha bahwa mereka akan dikorbankan? Dengan kata lain apakah mereka rela bahwa mereka akan dikorbankan. Ataukah mereka diakali untuk dikorbankan?
Berdasarkan penuturan orang-orang tua kita yang hidup di masa itu lurah dan kepala desa ikut merekrut romusha dan iming-imingannya adalah gaji dan makan yang cukup untuk pekerjaan yang mereka lakukan. Seakan romusha ini akan bekerja. Informasi ini dikukuhkan dengan sebuah artikel[4]:
Tahun 1943 pemuda Karja Wiredja meninggalkan desanya di Matukara, Banjarnegara, Jawa Tengah, untuk menjadi romusha di Thailand. Di benaknya mungkin tidak terpikir bahwa dia baru akan kembali ke desanya 52 tahun kemudian. "Waktu itu lurah bilang kita boleh ikut Nippon," kata Karja akhir bulan Juli yang lalu. Maka berangkatlah pemuda lugu tersebut untuk jadi mandor pembangunan rel kereta api sepanjang 415 kilometer antara Thailand dan Burma. Bayarannya, dua sen sehari. Selama sebulan kerja Karja mendapat gaji enam rupiah.
Jadi yang dijanjikan adalah lapangan kerja dengan gaji tentunya, bukan kerja paksa yang menuju kematian. Bukan kah romusha ini pengelabuhan?
Salah satu gagasan dan retorik yang sering dilontarkan oleh Sukarno selama menjadi presiden adalah anti imperialisme, anti kolonialisme. Sampai-sampai Sukarno mengajak rakyat Indonesia untuk mencampuri urusan bangsa Malayu pada saat membentuk negara Malaysia. Selama Sukarno memerintah tidak pernah terdengar bantahan untuk menggugat apakah imperialisme dan kolonialisme itu pada hakekatnya buruk?
Data tidak bisa menyimpulkan bahwa imperialisme dan kolonialisme itu buruk. Berikut ini adalah suatu perbandingan GDP (Purchasing Power Parity, kemampuan membeli, PPP) antara imperium terbesar pada masa Sukarno masih muda, yaitu negara kolonial Inggris, negri yang dijajahnya sampai tahun 1997 yaitu Hong Kong dan negri yang membebaskan diri dengan jalan kekerasan di tahun 1947, yaitu India (Grafik IV- 1).
Grafik IV- 1 Perbandingan GDP (PPP) negara imperial (Inggris), negara yang dijajah (Hong Kong) dan negara yang cepat merdeka. GDP India lambat tumbuh dibandingkan Hong Kong negara yang terlama dijajah Inggris.
Yang menarik ialah, bahwa GDP Hong Kong – negri jajahan Inggris bisa melampaui GDP negara yang menjajahnya, yaitu Inggris, di tahun 1988. Sebagai negara terjajah, nasibnya tidak selalu lebih buruk dari penjajahnya. Buktinya Hong Kong.
Lalu bagaimana negara yang memerdekakan diri dari Inggris sejak tahun 1947, India? Memang ada kenaikan GDP dan kemakmuran. Tetapi lambat. Jauh tertinggal dibandingkan dengan Hong Kong – tanah terjajah. Itu fakta!! Padahal Hong Kong tanah dan sumber alamnya kalah jauh dibandingkan dengan India. Mungkin anda tertarik untuk membandingkan sendiri GDP Indonesia, Suriname dan Antilles Belanda serta Belanda, silahkan mencari datanya.
Bagaimana pengaruh kemerdekaan itu sendiri, terutama pemerintahan Sukarno terhadap kemakmuran yang dimanifestasikan sebagai GDP (Purchasing Power Parity, PPP) per kapita. Kalau dilihat dari data yang dikumpulkan oleh Angus Maddison (Grafik IV- 2)[5], ternyata pada jaman Sukarno, rakyat Indonesia kurang lebih 10% - 20% lebih melarat dari pada pada jaman penjajahan Belanda yang oleh nenek saya disebut jaman Normal. Maksudnya jaman republik Sukarno adalah jaman yang tidak bisa disebut normal. Apa lagi pada tahun-tahun 1964 – 1967, itu lebih cocok disebut jaman melarat. Banyak yang kelaparan, harus makan jagung atau bulgur (makanan hewan) dan nilai uang serta nilai tabungan hancur lebur karena mesin cetak uang diputar sangat cepat.
Kalau dilihat perbedaan antara GDP Indonesia di jaman penjajahan Belanda dengan jaman Sukarno hanya terpaut sedikit saja, hanya 10% - 20%. Tetapi jangan sangka bahwa pada jaman merdeka adalah yang lebih tinggi, melainkan sebaliknya jaman Belanda yang lebih baik. Harus dilihat bahwa pada jaman Belanda, tidak banyak sarjana dan lulusan SMA. Pengharapan para sarjana dan lulusan SMA yang sangat dihargai pada jaman Belanda, tentunya tinggi. Tetapi situasi berubah. Dokter tidak lagi identik dengan punya rumah besar dengan pembantu 5 orang dan hidup yang mewah. Orang yang berpendidikan meningkat tetapi penghasilan malah turun. Perbedaan antara pengharapan dan kenyataan menjadi sangat lebar. Itu sebabnya nenek saya menyebut jaman Belanda sebagai jaman Normal, sedang jaman Sukarno adalah jaman tidak normal.
Grafik IV- 2 Perbandingan GDP (PPP) Hindia Belanda dan Indonesia merdeka. Walaupun sudah banyak rakyat yang berpendidikan tinggi, GDP/PPP di jaman Sukarno lebih rendah dibanding dengan GDP/PPP di jaman penjajahan Belanda.
Sukarno dengan gagasan kemerdekaannya membuat Indonesia menjadi bangsa tempe yang tidak punya daya saing. Dari tahun 1950 – setelah pengakuan kedaulatan Indonesia sampai berakhirnya masa jabatan Sukarno tahun 1967, pertumbuhan rata-rata GDP per kapita Indonesia hanya 0.8% per tahunnya. Jika dibandingkan dengan rata-rata dunia adalah 3%. Dan pertumbuhan GDP untuk mantan penjajah (Belanda) adalah 3.3%. Jadi, jangankan untuk mensejajarkan diri dengan bangsa penjajah Belanda, revolusi malah menjadikan Indonesia bangsa kelas kambing yang ekonominya tumbuh jauh di bawah rata-rata dunia, selama pemerintahan Sukarno.
Angka yang diberikan Angus Maddison, menurut penilaian saya agak lunak. Sebagai orang yang hidup dan merasakan tahun 1964 – 1967, saya nilai Angus Maddison terlalu bermurah hati terhadap prestasi Sukarno. Seingat saya, tahun 1964, uang Rp 1000 bisa digunakan untuk makan sekeluarga sehari. Karena inflasi (pencetakan uang secepat-cepatnya) uang Rp 1000 itu sudah tidak punya nilai lagi dan 3 angka nol nya dihilangkan dan menjadi Rp 1 dan hanya bisa membeli sebungkus kwaci. Itu jauh lebih menyengsarakan dibandingkan dengan angka GDPnya Maddison yang hanya turun 10% - 15% selama kurun waktu 6 tahun. Mengenai kesengsaraan di masa Sukarno ini akan dibahas lagi di bagian lain dengan menggunakan tolok ukur yang lebih universal, yaitu uang sejati – emas.
Bagaimana hal ini bisa terjadi?
Sukarno adalah orator yang ulung seperti Hitler. Perumpamaan keahlian orator adalah bak penjual yang mampu menyakinkan calon-calon pembelinya untuk membayar tahi ayam seharga permen coklat yang melanggar semua ketentuan-ketentuan akal sehat. Sukarno berhasil mengganti akal sehat dan indra dengan slogan dan kata-kata eksotik. “Kemerdekaan adalah jembatan emas menuju masyarakat adil dan makmur”, berdikari, manipol usdek, dwikora, trikora, nekolim, gayang Malaysia, demokrasi terpimpin, politik bebas aktif, marhaenisme adalah slogan dan kata-kata eksotik memukau jutaan orang sehingga menanggalkan semua akal warasnya dan indranya. Untuk dirinya, semasa menjadi presiden di dekade 60an, dia memakai gelar panjang yang sangat eksotik yaitu: “Paduka Yang Mulia, Pemimpin Besar Revolusi, Mandataris MPRS, Panglima Tertinggi ABRI”. Dan dalam tulisan resmi, gelar ini selalu mendahului namanya.
Salah satu bukti bahwa Sukarno mampu menghipnotis massa bisa dilihat dari idenya menghadapi penjajah dengan bambu runcing yang kemudian diikuti orang. Berikut ini adalah cuplikan pidato Sukarno:
“Manakala sesuatu bangsa telah sanggup mempertahankan negerinya dengan darahnya sendiri, dengan dagingnya sendiri, pada saat itu bangsa itu telah masak untuk kemerdekaan. Kalau bangsa kita, Indonesia, walaupun dengan bambu runcing,... saudara-saudara, semua siap sedia mati mempertahankan tanah air kita Indonesia, pada saat itu bangsa Indonesia adalah siap sedia, masak untuk merdeka.” (Pidato di BPUPKI, 1 Juni 1945)
Renungkanlah dengan pikiran yang jernih ajakan merdeka di atas. Bambu runcing melawan karaben metraliyur (senapan otomatis ringan)? Tidak ada orang yang masih menggunakan akalnya mau maju perang dengan bambu runcing melawan musuhnya yang bersenjata senapan mesin. Kenyataannya ada rakyat Indonesia yang mau melakukannya dan akhirnya mati menjadi sasaran empuk senapan mesin. Pasti mereka pikir bahwa bambu runcing dan semangat membuat mereka kebal peluru. Kepercayaan semacam ini sama saja dengan kehilangan akal. Mungkin yang mati akibat kegilaan ini tidak banyak, karena dalam perang kemerdekaan hanya ada 2 pertempuran yang besar, pertempuran 10 November di Surabaya dan pertempuran 5 hari di Semarang. Walaupun demikian setiap kematian pahlawan untuk kemerdekaan negaranya, adalah termasuk sia-sia. Malaysia, Singapura, Brunei, Suriname dan sederet negara lagi, memperoleh kemerdekaan tanpa perlu pengorbanan nyawa dari orang yang disebut pahlawan. Tentu saja mereka ini tidak punya kenikmatan dalam mengagungkan pahlawan-pahlawannya yang bisa dilakukan setiap tahun dalam perayaan kemerdekaan seperti Indonesia atau Amerika Serikat.
Ada lagi gagasan Sukarno yang absurd lainnya, yaitu berdikari. Berdikari suatu konsep yang absurd dan indah didengar. Konsep dan idenya ialah bahwa semuanya harus diusahakan sendiri tanpa keikut-sertaan bangsa lain. Indah terdengar, tetapi ketika diuji dengan hal yang sangat sepele akan gugur. Untuk urusan korma bagi penganan buka puasa, misalnya apakah bisa ditanam di Indonesia? Selama ini harus didatangkan dari Kalifornia, Timur Tengah dan tempat-tempat lain. Itu baru masalah korma yang sepele. Mungkin juga pergi haji bagi orang Islam di Indonesia, mereka harus ke Mekkah yang tidak ada di Banten atau Sumatra. Berdikari adalah konsep yang mengabaikan prinsip keunggulan suatu daerah atas daerah lain karena kondisi alamnya, sumber daya alamnya dan juga keterampilan masyarakatnya. Oleh sebab itu politik berdikari akan menghasilkan sistem ekonomi yang mahal dan menyengsarakan. Jangan heran kalau selama masa pemerintahan Sukarno, ekonomi dan GDP tidak beranjak kemana-mana.
Politik bebas aktif dan mendukung perdamaian maksudnya tidak memihak kemana-mana dan mencintai perdamaian. Mungkin politik bebas aktif itu hanya sampai pada masa operasi Dwikora yang dilaksanakan di bulan Maret 1964. Karena setelah itu adalah Dwikora yang merupakan politik untuk mencampuri urusan tetangga Malaysia. Sukarno merasa perlu mencampuri urusan rakyat Melayu yang mau mendirikan negara federasi Malaysia. Untuk itu dikirimkanlah sukarelawa-sukarelawan ke perbatasan untuk berperang melawan Malaysia.
Walaupun retorik “Kemerdekaan adalah jembatan emas menuju masyarakat adil dan makmur” bukan resmi dari mulutnya, di jaman Sukarno slogan ini sangat populer. Dan sesungguhnya Sukarno telah membawa Indonesia menyebrangi jembatan emasnya. Sayangnya emas bukan logam yang baik untuk konstruksi jembatan. Akibatnya jembatan itu ambruk. Ekonomi makin lama makin terpuruk dan akhirnya tahun 1965 tidak tahan lagi dan meletuslah huru-hara, yang berlangsung sampai Sukarno jatuh.
Untuk menilai semua itu, “jangan sekali-sekali melupakan sejarah” – “JASMERAH” kata Sukarno. Semua harus diingat: keikut-sertaannya dalam mengantar 218 ribu romusha kepada kematiannya; memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dan menempuh jalan kekerasan untuk merdeka dan mengorbankan nyawa dan harta secara sia-sia; ikut memprovokasi para pemuda untuk berjuang dan bertempur secara tidak seimbang dengan Belanda, bambu runcing melawan bedil yang menyebabkan sebagian dari mereka mati sia-sia; membawa masyarakat Indonesia ke masyarakat yang lebih berpendidikan tetapi lebih melarat; memelaratkan bangsa Indonesia dengan mencetak banyak rupiah di akhir pemerintahannya; mencampuri urusan dalam negri tetangga (Malaysia) yang menyebabkan korban mati dan tertawan dipikul oleh para sukarelawan. Masuk kategori manakah Sukarno ini? Ibu Teresa, Albert Schweitzer, Amru bin As atau Lincoln dan Hitler?
(Bersambung..........)
[1] Soekarno, Wikipedia bahasa Indonesia, http://id.wikipedia.org/wiki/Soekarno
[2] The Other Stories - Bung Karno – Serpihan Sejarah yang Tercecer; Roso Daras, 2009, Penerbit Imania.
[3] Romusha; Wikipedia Online Encyclopedia, http://en.wikipedia.org/wiki/Romusha
[4] Kisah Seorang Romusha; Suara Independen No.03/1, Augus 1995 http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1995/09/02/0000.html
[5] Historical Statistics for the World Economy: 1-2006 AD, Angus Maddison, http://www.ggdc.net/Maddison/Historical_Statistics/horizontal-file_03-2009.xls
Disclaimer:
5 comments:
kalau gw bilang, sekalipun dulu yg jajah indonesia itu inggris, atau belanda yg jajah hongkong / singapura, tetap aja indonesia sekarang tertinggal.
karakter orangnya yg jadi masalah, bukan hanya siapa yg jajah.
Soal penjajahan Belanda sebenarnya aku rada ragu, apakah mungkin Belanda yang kecil nun jauh di sana bisa menguasai suatu bangsa yang lebih besar di kandangnya sendiri. Kalau memang benar dijajah, koq bisa sedemikian lama (3 1/2 abad), apa kita sedemikian bodohnya atau memang kita memang rela dipimpin (dijajah) mereka, toh mereka juga melakukan pembangunan.
Di buku-buku sejarah juga sering disebutkan penjajah (Belanda) menghisap kekayaan negeri kita. Kalau benar begitu, koq Belanda nggak kaya-kaya amat.
Mohon pencerahannya Pak.
izin copas lagi... :D
Ralat Pak IS: Pertempuran 5 hari di Ambarawa, bukan Semarang.
Mas Kutut,
Yang benar-benar pertempuran (5 hari) terjadinya di Semarang. Campur aduk. Antara rakyat, Jepang dan Inggris Gurkha ikut memperkeruh.
Rumah nenek saya adalah area pertempuran 5 hari Semarang ini. Dia yang cerita pada saya.
Silahkan cari di buku-buku.
Sedangkan pertempuran Ambarawa, ceritanya lain. Waktu Itu tentara sekutu sedang "mundur" ke Semarang. Mereka ini diikuti oleh TKR, kadang-kadang terjadi tembak menembak sporadis. Tentara sekutu berhenti sejenak di Ambarawa. Disitu ada pertempuran kecil dan beberapa tentara sekutu mati dan ditinggalkan.
Mertua saya ikut membuntuti tentara sekutu ini. Dan dia sering mentertawakan kalau dibilang pertempuran Ambarawa itu sengit, serta pejuang-pejuang kita berani memanjat tank-tank sekutu lalu memasukkan granat ke dalam tank.....
Post a Comment