___________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Doa pagi dan sore

Ya Allah......, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari bingung dan sedih. Aku berlindung kepada Engkau dari lemah dan malas. Aku berlindung kepada Engkau dari pengecut dan kikir. Dan aku berlindung kepada Engkau dari tekanan hutang, pajak, pembuat UU pajak dan kesewenang-wenangan manusia.

Ya Allah......ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim dan para penarik pajak serta pembuat UU pajak selain kebinasaan".

Amiiiiin
_______________________________________________________________________________________________________________________________________________

Sunday, April 29, 2018

Uji Software Movie Editor

Saya sedang mencoba software movie editor. Saya tidak akan menyebut namanya. Dan saya mau minta pendapat pembaca, apakah software ini cukup layak untuk dibeli atau tidak. 

Berikut ini adalah hasilnya. Qualitas yang dihasilkannya yang terjelek saja dengan file size 26 Mb. Kalau mau yang lebih halus lagi besarnya file 450 Mb. Besar sekali.










Tolong kasih komentar......apa saja.

Disclaimer: Ekonomi (dan investasi) bukan sains dan tidak pernah dibuktikan secara eksperimen; tulisan ini dimaksudkan sebagai hiburan dan bukan sebagai anjuran berinvestasi oleh sebab itu penulis tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang diakibatkan karena mengikuti informasi dari tulisan ini. Akan tetapi jika anda beruntung karena penggunaan informasi di tulisan ini, EOWI dengan suka hati kalau anda mentraktir EOWI makan-makan.

Friday, April 20, 2018

Hutang: Berbahaya Atau Tidak?

Ada beberapa topik yang muncul di media sosial akhir-akhir ini. Penuh pro dan kontra. Saling menyerang antara kubu yang pro-pemerintah dan kubu oposisi. Antara Rizal Ramli dan Faisal Basri yang opininya mirip dengan menteri keuangan mbak Sri Mulyani yang tentunya akan mencari pembenaran. Opini Rizal Ramli dan Faisal Basri bahwa hutang sudah mencapai level yang berbahaya, sedang opini Sri Mulyani, tentu saja mengatakan bahwa hutang Indonesia yang hanya 27% dari GDP masih jauh dari berbahaya. Yang dijadikan perbandingan adalah hutang pemerintah beberapa negara seperti Jepang (238% GDP), US (107% GDP), Singapore (111% GDP).

Karena tulisan-tulisan tsb beredar di media sosial dan media massa, EOWI tidak tahu apakah sumbernya benar-benar dari orang yang bersangkutan. EOWI juga tidak merasa perlu tabayun, mengecek apakah berita-berita tersebut asli atau fake-news. Karena EOWI tidak berniat untuk membahas opini mereka.

EOWI tidak memihak mana-mana kecuali yang waras. Lagi pula seperti yang dikatakan sebelumnya, EOWI tidak berminat membahas opini, memihak ke salah satu kubu, melainkan sekedar memberi edukasi kepada pembaca EOWI yang setia.

Pertama EOWI akan menyitir kalimat bijak dari Bible (Proverb/Amsal 22:7):

“Orang miskin menjadi hamba orang kaya. Orang yang berhutang adalah budak dari krediturnya”.

Ini adalah peringatan bahwa berhutang itu berat. Bahkan dalam tradisi Islam, orang mati sebelum dikuburkan, selalu diumumkan agar hutang sang mayat segera diselesaikan. Bahkan ada doa yang diajarkan nabi Muhammad s.a.w agar orang segera terbebas dari hutang.

Kalau agama sudah mewanti-wanti tetang hutang, tentuntya hutang itu tidak baik. Timbul pertanyaan yang agak mengusik EOWI: Adakah hutang yang baik?

Tentu saja ada. Jika kita dibayar untuk berhutang, itu namanya hutang yang baik. Sudah dikasih pinjaman, dibayar pula. Apa tidak enak? Hanya saja hutang seperti ini hanya hutang dari bapak moyangmu.

Hutang Dari Sudut Pandang Orang Waras

Munculnya issue tentang hutang pemerintah yang menanjak bukan karena SBY tidak pernah berhutang, tetapi selama SBY memerintah rasio hutang terhadap GDP turun selama 8 tahun dan mencapai titik terendahnya 22.96% di tahun 2012 Dan kemudian setelah Jokowi memerintah, rasio hutang terhadap GDP pemerintah RI naik. Walaupun di akhir pemerintahan SBY, rasio mulai naik lagi dari titik nadirnya di 22.9%. 

Rasio Hutang terhadap GDP

Kalau dilihat dari chart di atas, yang paling cepat terjadinya penurunan rasio hutang terhadap GDP adalah di jaman Gus Dur. Itu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Tetapi apakah Gus Dur yang membuat rasio ini turun? Atau Mega, atau SBY, itu lain cerita. Negara ini katanya auto-pilot kok, katanya.

Kembali kepada topik awal yaitu hutang. Saya akan memberikan beberapa kasus sebagai illustrasi.

Kasus pertama, jika ada seseorang yang berhutang untuk beli villa di Puncak. Hutang ini dicicil selama 10 tahun. Selama 10 tahun ini penghasilan orang ini naik terus, bisnisnya sukses, tabungannya bertambah. Hutang seperti ini tidak termasuk hutang yang baik. Akan tetapi tidak berdampak pada keuangan orang itu. Tidak disebut hutang yang baik karena bukan hutang yang produktif dan self-liquidating. Walaupun demikian orang tersebut mampu membayar hutangnya.

Kasus kedua, seseorang meminjam uang untuk membelikan anaknya yang ke II mobil, karena anaknya yang lain sudah punya sehingga supaya ada pemerataan kemakmuran diantara anak-anaknya. Sayangnya dalam perjalanan waktu usahanya, penghasilannya relatif stagnan, tidak banyak beranjak kemana-mana. Awalnya dia mudah mencicil hutangnya, tetapi sejalan dengan waktu, kebutuhan sehari-hari juga naik dan tidak terkejar oleh kenaikan penghasilannya. Bebannya semakin berat karena harus mencicil hutang beserta bunganya dan harus menutup kebutuhan hidup yang senantiasa meningkat. Dia dan keluarganya harus tirakat. Bahkan harus menguras tabungannya.

Niatnya mungkin baik. Mungkin......, yang pasti secara keseluruhan adalah tindakan populis, pencitraan, supaya dibilang ayah yang baik yang bisa membuat semua anaknya bisa menikmati kemakmuran secara merata. Walaupun niatnya mungkin baik tetapi hasilnya tidak baik. Dalam hal ini hadith nabi innamal a’malu binniyat (perbuatan itu tergantung niatnya) harus dikaji ulang. Niatnya baik hasilnya tidak baik. Bahkan saya melihat suatu kasus nyata dimana rumah yang digunakan sebagai agunan hutang terancam disita. Niatnya baik (populis lebih tepatnya), tetapi dalam pelaksanaannya tidak punya rencana bagaimana membayarnya. Hasilnya sangat buruk......, disposable income bahkan penghasilan netto turun dan aset turun. Dalam kasus ini hutang adalah liability.

Kasus ketiga, adalah juga kasus nyata. Kira-kira tahun 1988, seseorang meminjam uang untuk menambah armada mobil sewaannya. Usahanya ini sudah berjalan 2 tahun. Dia punya strategi, jika dalam waktu 3 bulan tidak ada penyewa, maka mobil baru yang armada barunya itu akan dijual dengan rugi. Dia bisa menerima kerugian sebesar 20% - 25% sebagai stop-loss. Setiap bulan uang hasil penyewaan mobilnya bisa menutup cicilan hutang dan ia masih bisa menikmati kelebihannya. Kasus ini berakhir ketika krismon 1998 terjadi, dimana suku bunga bank melonjak sampai 60%, semua mobil di armada sewaannya dilikwidasi untuk menutup hutangnya dan .... masih ada kelebihan uang senilai 90 unit sedan (bekas dengan umur di bawah 5 tahun).

Ini yang disebut berhutang secara cerdik. Sebab jamannya Suharto, inflasi money supply M2 sekitar 27%, sedangakan bunga bank sekitar 22% - 25%. Artinya penghutang disubsidi. Kemudian, hutangnya itu digunakan untuk usaha produktif sehingga hutangnya tidak hanya self-liquidating, tetapi penghasilannya dan asset bertambah. Dalam perhitungannya, setiap Rp 1 hutangnya menghasilkan Rp 2.5 dalam jangka waktu 5 tahun. Itulah yang disebut self-liquidating debt.

Siapa yang Terbaik Mengelola Hutang Indonesia?
Bagaimana dengan Indonesia? Maksudnya jaman Jokowi.

Seperti yang digembar-gemborkan bahwa hutang dijaman Jokowi adalah untuk membangun infrastruktur agar supaya pertumbuhan ekonomi meningkat. Apa benar peningkatannya sepadan dengan hutang? Kita akan bandingkan dengan presiden-presiden era reformasi sebelumnya.

Berikut ini adalah kurva perjalanan hutang dan GDP Indonesia sejak tahun 1990. Tetapi kita hanya tertarik pada periode 1999 – 2018.




Membaca chart seperti ini sulit untuk menentukan siapa yang lebih baik dalam mengelola hutang. Oleh sebab itu kita buat tolok ukur yang menggambarkan peningkatan GDP dengan peningkatan hutang. Saya enggan menyebutnya sebagai peningkatan GDP sebagai akibat hutang atau Rp 1 hutang menghasilkan Rp X GDP. Karena peningkatan GDP bukan saja karena hutang. Tetapi hanya sebagian dari GDP adalah akibat langsung dari hutang. Walaupun demikian, rasio perubahan GDP terhadap perubahan hutang (ΔGDP/ΔHutang) mencerminkan sikap kehati-hatian pemerintah terhadap berhutang.

Tabel berikut ini menunjukkan regim yang memerintah, GDP dan hutangnya.


Presiden

Tahun
GDP, triliun Rp
Hutang, trilliun Rp
ΔGDP/ΔHutang

Awal
Akhir
Awal
Akhir
Awal
Akhir
Gus Dur/Megawati
1999
2004
1,322
2,512
561
1,327
1.63
S. B. Yudhoyono
2004
2014
2,512
10,569
1,327
2,610
6.10
Joko Widodo
2014
(2017)
10,569
13,588
2,610
3,900
2.34

Rasio ΔGDP/Δhutang yang dibikin oleh SBY adalah yang tertinggi, yaitu 6.10. Kemudian disusul oleh Jokowi, 2.34 dan yang terburuk adalah Gus Dur/Megawati.

Walaupun selama 5 tahun pemerintahan mereka, GDP Indonesia melonjak hampir 100%, tetapi kita bisa mengatakan bahwa kinerja Gus Dur/Megawati lebih buruk dari sekedar angka 1.63, karena setelah krisis seharusnya dampak hutang terhadap pertumbuhan ekonomi sangat tinggi. Pertumbuhan bisa melesat lebih cepat lagi. Akan tetapi justru di masa Megawati banyak asset negara yang dijual.

Mungkin di jaman SBY kinerja hutang Indonesia yang dicerminkan oleh tingginya ΔGDP/Δhutang karena di jaman SBY negara dibiarkan pada kondisi autopilot. Alias SBY tidak berbuat apa-apa selain mem-bail-out bank Century.  Yang pasti, di jaman SBY cari kerja lebih mudah dari pada jaman Jokowi. Saya akan menekankan kata autopilot karena akan bicarakan lagi di akhir cerita.

Di era Jokowi infrastruktur dibikin dimana-mana. Dengan adanya pembangunan seperti ini diharapkan ekonomi akan tumbuh lebih baik dan pemanfaatan hutang menjadi semakin baik. Tetapi kenapa hal yang seperti ini tidak terjadi? Ada yamg salahkah? Mari kita lihat apa yang dibangun Jokowi.

EOWI menduga dibangun Jokowi tidak memandang keekonomian proyek, atau dipandang dengan kacamata tukang las listrik. Contoh pertama adalah jalan Trans-Papua. Dasarnya jelas bukan ekonomi. Dengan penduduk 3.5 juta jiwa di seluruh pulau yang besarnya 50 kali Jabodetabek, sulit dibilang dasarnya ekonomi. Dengan jumlah penduduk sedikit yang hanya 1/9 Jabodetabek dan wilayah 50 x Jabodetabek, sulit dikatakan bahwa penggunaannya effektif. Kalau ada mobil lewat setiap jam saja sudah bagus. Dipihak lain ada pembatasan mobil di Jabodetabek dengan sistem ganjil-genap di beberapa jalan tolnya. Dengan kata lain Jabodetabek lebih memerlukan dari pada Papua.

Saya akan beri contoh bahwa Papua kurang memerlukan jalan antar wilayah. Sekitar 3 – 8 tahun lalu anda melakukan google map di wilayah Bintuni, akan terlihat garis-garis saling memotong menghubungkan Topoi, Nagote, SP dan sekitarnya. Itu adalah jalan-jalan yang dibikin oleh Genting Energy Pte, PT Varita dan Jayanti. Karena kegiatan mereka menurun, jalan-jalan itu sebagian kurang terpelihara dan kembali agak menghutan. Garis-garis itu saat ini terlihat di Google map agak memudar. Kalau di Bintuni jalan-jalan kurang terpelihara karena jarang dipakai, kenapa harus bikin baru? Bukan kah lebih masuk di akal jika pembuatan jalan itu di wilayah Jabodetabek yang macet?

Mungkin alasannya membangun Trans-Papua agar rakyat Papua menikmati pembangunan, maksudnya pemerataan hasil pembangunan. Bukankah lebih murah memindahkan 3.5 juta penduduk Papua ke Jawa atau Sumatera dari pada membuat Papua seperti Jabodetabek?

Jalan perbatasan Kalimantan, juga mungkin bukan yang didasari atas pertimbangan ekonomi, melainkan suatu beban liability. Kalau tujuan membangun jalan tersebut untuk menjaga keutuhan wilayah, artinya wilayah ini sudah menjadi liability. Seperti Timor-Timur dulu. Kita harus bersyukur Timor-Timur lepas dari Negara Kesatuan (yang tidak bersatu lagi) RI. Karena Timor-Timur sejak awal sudah merupakan liability. Pembangunan disana yang tujuannya untuk menyenangkan rakyat Timor-Timur dengan demikian diharapkan mereka suka bergabung dengan NKRI. Tetapi, karena pertimbangannya bukan ekonomi, maka artinya liability. Lama-lama tidak tahan juga NKRI.

Jalan-jalan layang untuk busway, elevated busway, itu juga tidak masuk akal. Seperti jalan layang busway di jl. Tendean......, masih baik kalau setiap menit dilalui kendaraan. Seringnya 15 menit sekali atau lebih lama, padahal di bawahnya macet.

Saya tidak akan berlama-lama panjang lebar membahas pembangunan infrastruktur Jokowi. Anda bisa lihat sendiri. Mungkin nantinya elevated busway akan menelan korban. Di Pancoran nantinya kita bisa bersalaman dengan patung dirgantara yang tingginya 30 meteran. Bayangkan kalau anda sakit jantung (yang tidak diketahui) harus mendaki 30 meter. Tetapi itu bukan jamannya Jokowi lagi......

Renungan
Kembali pada judul di atas, Hutang: Berbahaya Atau Tidak? Jawabnya bisa iya dan bisa tidak, bergantung pada penggunaannya. Berhutang yang bijaksana adalah jika digunakan untuk hal-hal yang produktif sehingga bisa menjadi self-liquidating, hutang itu melunasi sendiri. Penggunaan hutang itu harus didasari atas pertimbangan dan perhitungan ekonomis, bukan pemerataan kemakmuran, bukan juga mempertahankan kedaulatan dan bukan juga untuk tujuan-tujuan popularitas. Saya tidak melihat hal ini dilakukan oleh rejim Jokowi. Dan......, mungkin juga penggantinya nanti. Nampaknya pemerintah semakin gatal untuk mencampuri urusan rakyatnya. Banyak yang tidak bisa melihat autopilot lebih baik dari pada pembangunan untuk pemerataan, untuk menjaga keutuhan kedaulatan wilayah, untuk tujuan populis,....... Akan lebih baik lagi jika rakyat tidak diurisi oleh pemerintah. Tentu saja anggota DPR harus dikurangi sampai 50 orang saja, kementerian hanya 4, tidak ada wakil presiden, pegawai negri dikurangi sampai 10% saja dan provinsi diciutkan, pajak dikurangi banyak (dihilangkan). Seperti jaman Belanda dulu, pemerintahan yang kecil. Untuk apa semua itu diadakan jika rakyat tidak diurusi lagi.

Jadi......hutang yang pemakaiannya tidak didasari oleh pertimbangan dan perhitungan ekonomi, akhirnya akan membawa bencana. Walaupun tidak dikorupsi. Kapan bencana itu datang? Mungkin tidak dalam waktu 2 – 5 tahun mendatang. Tetapi dalam dekade mendatang......, mungkin.

Harus diingat hutang yang tidak self-liquidating itu adalah adalah pelanggaran hak-hak mereka yang belum punya hak memilih/vote (belum berumur). Mereka yang tidak memilih itulah yang harus menanggung beban nantinya. Agak menyimpang dari apa yang tertulis di Proverb 22:7, yaitu mereka, generasi mendatang lah yang akan jadi budak untuk para kreditur pendahulunya, bapak-bapaknya yang tidak dipilihnya (dalam pemilu). Enak ya pemerintah? Untuk hutang demokrasi dan keadilan tidak berlaku.



Jakarta 20 April 2018


Disclaimer: Ekonomi (dan investasi) bukan sains dan tidak pernah dibuktikan secara eksperimen; tulisan ini dimaksudkan sebagai hiburan dan bukan sebagai anjuran berinvestasi oleh sebab itu penulis tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang diakibatkan karena mengikuti informasi dari tulisan ini. Akan tetapi jika anda beruntung karena penggunaan informasi di tulisan ini, EOWI dengan suka hati kalau anda mentraktir EOWI makan-makan.

Wednesday, April 11, 2018

Market Crash dan Krisis Global: Tahun 2018 atau 2019?

Tanggal 5 February 2018 tiba-tiba index Dow jatuh melebihi 1000 point, dari 25,521 pada penutupan hari sebelumnya ke 24,346, Dan dalam dua (2) minggu antara 26 Januari 2018 sampai tanggal 5 Februari 2018 bursa US jatuh dari 26,617 ke 24,346 atau hampri 9%. Tidak hanya bursa saham, tetapi juga pasar bond, komoditi dan crypto currencies ikut jatuh. Kemudian rupiah/USD lari dari Rp 13,200 per USD ke Rp 13,600 terus berlanjut sampai Rp 13,800.
Timbul pertanyaan: Apakah bubble-bubble ini sudah meletus? Apakah proses ini akan berlanjut ke keadaan yang diramalkan dalam Gejolak 20014 – 2020? Apa ini awal dari rupiah menuju Rp 17,000 per USD?
Jawabnya adalah “iya” dan “tidak” atau lebih tepatnya adalah “mungkin iya” dan “mungkin tidak”. Masing-masing jawaban punya alasan sendiri. Ada yang kami pikir sudah meletus dan ada yang belum. Masing-masing sektor punya waktunya sendiri.
EOWI sudah setahun ini absen, karena memang sedang menunggu datangnya crash dan tidak ada yang harus dilaporkan. EOWI masih punya 2 tahun untuk membuktikan ramalan EOWI. Jadi kami masih tenang-tenang saja. Kemunculan EOWI kali ini untuk mengumumkan bahwa satu (1) bubble lagi sudah meletus. Namanya bitcoin. Setelah bubble minyak meletus di bulan July 2008, kemudian emas di bulan September 2011 serta komoditi di tahun 2011, sekarang giliran bitcoin.
Aktifnya EOWI juga untuk mewanti-wanti pembacanya agar lebih bersiap-siap agar bisa menghadapi krisis global yang besar. EOWI ingin memperingatkan lagi bahwa krisis besar ini akan terjadi. Tetapi......., yang bisa membuat pembaca EOWI bernafas sangat lega adalah bahwa menurut perkiraan kami kemungkinan baru terjadi setelah kwartal 3, 2018. Kecil kemungkinannya sebelum itu.

Trump Pecahkan Rekord 100 Tahun
Selalu ada yang pertama. Itu yang bisa saya katakan untuk Donald Trump. Trump telah memecahkan statistik 100 tahun, bahwa di tahun pertama pemerintahan Trump tidak ada resesi. Berdasarkan statistik selama 100 tahun terakhir ini. Statistik itu mengatakan bahwa jika ada presiden US yang memerintah selama 2 periode maka resesi akan terjadi diakhir perintahannya atau diawal pemerintahan presiden berikutnya. Dan kita tahu bahwa diakhir pemerintahan Obama atau diawal pemerintahan Trump.
Trump lolos dari kutukan statistik presiden 2 periode walaupun program-program Trump tidak ada yang jalan. Sebut saja programnya dan lihat apakah sudah jalan atau masih mandeg.

Bubble Bitcoin Pecah
Bitcoin dan cryptocurrencies lainnya sudah tamat. Kalau masih ada yang berharap bitcoin menjadi $1 juta, atau $100 ribu, silahkan saja bermimpi selama 100 tahun.
Selama 6 bulan bitcoin dan cryptocurrencies lainnya mengalami rally parabolic dari $ 2,300 ke $19,206 hanya dalam waktu 6 bulan saja. Dan pecahnya bubble cryptocurrency merupakan hadiah natal dan tahun baru, tepat sebelum liburan natal tgl 17 Desember 2017.
Chart Bitcoin 2 tahun terakhir.
EOWI berani mengatakan bubble cryptocurrency pecah....., pada saat huruf ini ditulis, bitcoin ada di level 7,073 atau hanya tersisa kurang dari 37% dari puncaknya. Itu bubble yang percah. Dan hal itu tidak hanya menimpa bitcoin saja tetapi seluruh pasar crytocurrency. Kapitalisasi pasar cryptocurrency jatuh 70%, dari $826 milyar ke sekitar $ 250 milyar saja.

Kapitalisasi Pasar Cryptocurrency

Bubble di Pasar Modal, Pecah atau Belum?
Pertanyaan: Apakah bubble pasar modal sudah meletus?
Itu adalah pertanyaan 100 trilliun dollar. Dan seperti biasanya, bencana itu sulit diramalkan. Pecahnya bubble sulit diramalkan waktunya. Seperti kata-kata mutiara: Spekulator bisa tidak rasional sampai bisa membuat short seller (yang melawan arus) bangkrut.
Kita lihat chart di bawah. Dari tahun 2009 sampai saat ini, banyak sekali koreksi yang besarnya lebih dari 5%. Dan itu hanya bisa disebut koreksi karena tidak berlanjut sampai nyungsep 70% - 90%. Oleh sebab itu, bisa pasar berubah menjadi volatile, tidak berarti pasar akan crash.

Index Dow Jones Industrial Average.


Yield Flattening Chart
Walaupun dari pengalaman diketahui bahwa peramalan tentang saat stock market crash itu (hampir) mustahil, tetapi kami di EOWI tidak jemu-jemunya meramal tentang saat terjadinya market crash. Mungkin di EOWI isinya orang-orang yang tidak bisa belajar dari pengalaman, atau semata-mata murni ndableg. Tetapi...., setidaknya kami menggunakan statistik bukan asal-asalan menebak. Statistik dan cara berpikir yang runut itulah yang menjadi landasan kami.

Investor mengenal indikator resesi yang disebut flattening yield curve. Maksudnya menyempitnya perbedaan antara yield dari obligasi pemerintah US jangka panjang (katakanlah 10-year US treasury bond) dengan yield jangka pendek (2-year US treasury). Dengan kata lain yield 10 yr TB minus yield 2 yr TB mendekati nol.

Penjelasannya adalah bahwa gejala ini adalah prilaku investor bond mulai mencium akan adanya resesi di depan dan mereka mulai melepas bond jangka pendeknya, atau meminta yield yang lebih tinggi sebagai kompensasi atas resiko (yang menyusul) resesi. Akibatnya yield suku bunga bond jangka pendek naik (lebih cepat dari suku bunga bond jangka panjang, yang resiko jangka pendeknya lebih kecil).

Di bawah ini ada chart yield 10 yr TB minus yield 2 yr TB dengan index Nasdaq. Dari 5 resesi, pada umumnya setelah perbedaan yield bond jangka panjang dan jangka pendek menjadi nol, perlu waktu beberapa kwartal/semester untuk sampai ke resesi. Tetapi lain halnya dengan pasar saham. Pasar saham mulai mengalami bearish diantara resesi dan mulai flatnya yield curve. Jadi, bagi investor saham, mereka harus berhati-hati jika perbedaan yield ini menjadi nol atau negatif. Patut diduga akan disusul dengan bear market di sektor saham. Umumnya ada tengang waktu beberapa bulan sebelum terjadi koreksi di bursa saham.



Proses flattening yield curve saat ini sedang berlangsung. Untuk mencapai nol pada selisih yield 10-year bond dengan 2-year bond baru akan tercapai antara kuartal 3 2018 dan kuartal 1 2019. Ini tidak berarti akan seketika itu terjadi resesi di US. Tetapi setidaknya bursa saham akan masuk ke periode bearish dan juga resesi, tidak lama setelah itu. Jadi investor saham dan pelaku bisnis harus bersiaga.





Coincident Economic Indicator dan Policy The Fed
Lain lagi ceritanya dengan para pelaku bisnis. The Fed membuat survey-survey yang objeknya dari kalangan pelaku bisnis dan hasilnya dikumpulkan dan dijadikan satu yang the Fed namakan Coincident Indicator. Entah kenapa disebut Coincident Indicator, padahal mungkin lebih tepat disebuat leading indicator. Bagi yang ingin tahu lebih dalam mengenai Coincident Economic Indicator bisa dilihat di websitenya the Fed. Intinya adalah nonfarm payroll employment, jam kerja buruh rata-rata di sektor manufakturing, angka pengangguran, and upah setelah dikoreksi dengan indeks harga konsumen.

Yang menarik dari indikator dari bahwa bila index ini memasuki level di 2.4 - 2.9 dan ke bawah, maka itu saat yang hampir bersamaan dengan ekonomi US yang memasuki masa resesi.




Catatan Akhir
Kalau kita memperhatikan 3 curva yang telah dibahas sebelumnya dalam 1 plot, keadaan pasar sudah menjelang terjadinya koreksi besar dan ekonomi sudah mendekati resesi. Menurut pandangan EOWI, resesi kali ini tidak dapat dihindarkan lagi. Yang pasti bubble di sektor cryptocurrency sudah meletus. Bukan mustahil akan merambat ke sektor saham, junk bond dan kredit. Banyak alasan yang bisa mendukung pandangan ini.




Pertama, pemulihan ekonomi saat ini adalah pemulihan ekonomi yang paling panjang dalam sejarah, berkat adanya quantitave easing (QE) yang luar biasa besarnya. Terlepas hasilnya di sektor riil memble. Tetapi untuk sektor investasi portfolio, 9 tahun terakhir ini (2009 – 2018) adalah periode untung besar. Dengan QE, the Fed dan bank sentral besar lainnya berhasil membuat illusi bahwa investasi tidak ada resikonya, sehingga investor dengan sangat beraninya melakukan investasinya dengan leverage yang besar. Itu mengakibatkan potensi koreksi besar semakin nyata.

Kedua, setelah sekian lama tidak ada resesi, the Fed akan mengantisipasi adanya resesi dalam waktu dekat. Oleh sebab itu the Fed sudah harus menghentikan quantitative easing dan berbalik arah menjadi quantitative tighening: menaikkan suku bunga dan mengetatkan balance sheetnya, kata kerennya untuk menarik uang dari peredaran. Karena biasanya the Fed menurunkan suku bunga sampai 3%, maka setidaknya the Fed akan menaikkan suku bunganya sedikit di atas 3%. Saat ini masih 1.5% artinya masih setengah jalan. EOWI percaya bahwa the Fed tidak akan berhenti sebelum mencapai 3%. Jadi bukan mustahil the Fed akan melakukannya lebih aggresif, karena mereka berpacu dengan waktu.

Tindakan the Fed ini diikuti oleh bank-bank sentral besar lainnya. Itu akan membuat semakin parah.

Investor yang biasanya memperoleh bunga yang rendah untuk leverage portfolionya, terpaksa harus membanyar lebih tinggi. Di pihak lain, asset-asset yang dispekulasikan saat ini harganya sudah mem-bubble.

Kita lihat saja nanti. Tahun 2018 ini the Fed dijadwalkan rapat 6 kali lagi, yaitu bulan Mei, Juni, Juli atau Augustus, September, November dan Desember. Jika setiap kali pertemuan mereka menaikkan suku bunganya 0.25%, maka akhir tahun 2018 target 3% akan tercapai. Akan tetapi, pertemuan the Fed yang diikuti dengan jumpa press dan prediksi keadaan ekonomi (serta langkah-langkah the Fed), hanya ada tiga (3), yaitu bulan Juni, September dan Desember. Jadi kemungkinan akan lebih aggresif lagi juga dikarenakan angka target 3% kemungkinan the Fed masih merasa kurang.  

Faktor ketiga, antisipasi karena munculnya persepsi akan adanya inflasi yang membuat harga beberapa bahan komoditi naik. Ini akan memukul sektor ekonomi riil.

Krisis kali ini akan berlangsung cepat dan agak tidak terduga. Mungkin kwartal III 2018, mungkin juga tahun depan. Kami di EOWI tidak punya posisi kecuali cash fisik dan tabungan di bank. Dengan adanya trading dengan algorithma dan leverage yang besar serta ETF, sekali terpicu oleh stop loss, maka crash akan mengalami percepatan. Pada saat itu, para investor tradisional tidak punya waktu untuk melikwidasi posisinya.

Sekian dulu......., jaga kesehatan dan tabungan anda baik-baik. Apalagi jika anda sudah berumur 50an taun ke atas. Sebab......., dengan ukuran crash yang mungkin nantinya merupakan rekord dalam sejarah maka dengan umur seperti itu, anda tidak punya peluang untuk memulihkan pensiun anda seperti sedia kala selama hidup anda.

April 12, 2018.


Disclaimer: Ekonomi (dan investasi) bukan sains dan tidak pernah dibuktikan secara eksperimen; tulisan ini dimaksudkan sebagai hiburan dan bukan sebagai anjuran berinvestasi oleh sebab itu penulis tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang diakibatkan karena mengikuti informasi dari tulisan ini. Akan tetapi jika anda beruntung karena penggunaan informasi di tulisan ini, EOWI dengan suka hati kalau anda mentraktir EOWI makan-makan.