___________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Doa pagi dan sore

Ya Allah......, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari bingung dan sedih. Aku berlindung kepada Engkau dari lemah dan malas. Aku berlindung kepada Engkau dari pengecut dan kikir. Dan aku berlindung kepada Engkau dari tekanan hutang, pajak, pembuat UU pajak dan kesewenang-wenangan manusia.

Ya Allah......ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim dan para penarik pajak serta pembuat UU pajak selain kebinasaan".

Amiiiiin
_______________________________________________________________________________________________________________________________________________

Friday, May 30, 2014

Properti, Calon Presiden dan Pembangunan Urban


(Bagian II)


Kata para analis bahwa setiap presiden atau/dan calon presiden punya program yang berbeda-beda. Saya tidak tahu, bagaimana bisa berbeda. Politikus akan mengatakan apa yang enak didengar oleh orang banyak untuk memperoleh simpati dan selanjutnya memperoleh suara agar ia bisa terpilih (lagi) menjadi presiden. Dan apa yang enak didengar oleh orang banyak dan dianggap mulia, seringkali adalah ide tolol dan menghambat kemajuan ekonomi.

Presiden atau calon presiden (hampir) selalu mempunyai program pembangunan memajukan desa. Memajukan desa, daerah adalah hal yang mulia. Desa/daerah yang biasanya tertinggal secara ekonomi dari perkotaan (urban) sepatutnya dimajukan supaya tingkat perekonomiannya setara dengan daerah urban. Mulia bukan? Setidaknya begitulah menurut buku-buku, guru-guru sekolah dan pendapat orang banyak.

Jawaban EOWI adalah: “tidak mulia sama sekali.” Oleh sebab itu kalau Imam Semar jadi presiden atau jadi calon presiden, programnya bukan desa yang akan dibangun, tetapi perkotaan. Pembangunan desa adalah pembuang-buangan dana dan sumber daya yang langka. Suatu opini (bahwa pembangunan pedesaan adalah mulia) dari buku-buku, guru-guru sekolah dan pendapat orang banyak adalah sekedar opini yang harus diuji. Ini kan dijelas dalam cerita kali ini. Dan EOWI akan mengajukan konsep tandingan. Dengan konsep (yang didukung dengan data), kita bisa jadikan pegangan untuk investasi.

Dengan cerita, diskusi, ceramah (atau apapun namanya) EOWI mau menjawab email dari pembaca EOWI yang kami cintai. Begini bunyi emailnya:

Mas IS, nama saya Arif di Tegal, saat ini saya memulai babak baru, dari sebelumnya seorang karyawan, sekarang membuka usaha dalam bidang Pertanian Tebu.

Ditempat saya dan pada umumnya di Indonesia, saat panen tiba, tebu akan dikelola oleh Pabrik Gula milik PTPN. Output tebu berupa: gula GKP dan tetes (Bahan baku Spirtus atau penyedap rasa). Kemudian petani akan mencairkan uang, berdasarkan harga gula dan tetes dipasar pada saat itu.

Dari pengalaman panen tahun kemarin, menggantungkan pemerintah (BUMN), tepat seperti yang disampaikan mas IS, yang ada: KETIDAKBIJAKSANAAN!

Salah satu contoh Ketidakbijaksaan BUMN : Petani hanya mendapatkan 66,75% dari hasil gula + tetes. Dan BUMN akan mendapatkan 33,25% untuk jasa giling.

Dan masih banyak lagi ketidakbijaksanaan lain, kalau pun saya tulis akan membuat nelongso!

Tapi hidup harus terus berlari, saatnya saya harus berkata : pemerintah, sontoloyo!.

Hanya ada satu jalan : saya harus mengolah hasil tebu saya sendiri!
Kenapa hanya satu jalan, diatas?

Karena AFTA sebentar lagi, dan kalau terus menggantungkan pemerintah sotoloyo, sama saja bunuh diri!

Coba mas IS bayangkan, Harga Pokok Produksi gula petani = Rp. 8750 per kilogram, dengan HPP tersebut bahkan kurang, Indonesia bisa mendatangkan gula dengan kwalitas lebih bagus dari negara lain. Mudahnya bisa saya katakan, orang Indonesia membayar terlalu mahal untuk konsumsi gula.

Tolong jangan salahkan Kami (Petani Tebu), ini karena pemerintah sontoloyo!

Tidak ada cerita indonesia yang subur dan tropis, menghasilkan gula lebih mahal, Belanda telah membuktikannya!

Mohon Saran :

1. Menjadi pengusaha yang hebat, saya merasa harus memahami Ekonomi Makro. Saya masih sering miss, saat membaca artikel mas IS. Buku bacaan pemula apa, agar saya dapat memahami ekonomi makro?

2.Situs apa yang harus saya kunjungi, agar saya bisa memlihat pergerakan harga komoditi pertanian?

3. Saran lain, berkenaan bidang usaha saya?

Saran EOWI adalah, pertama kali, mengenali semua pesaing dan pemain di bidang pertanian tebu atau pertanian secara umum. Cari orang yang berhasil. Setahu EOWI, kebanyakan sarjana pertanian tidak ada (tidak nampak) yang terdampar sebagai petani. Yang ada jadi dokter hewan di perusahaan besar atau jadi tengkulak/pengepul, atau jadi pengangguran atau pindah profesi.

Saya tidak akan menjawab ketiga pertanyaan itu secara langsung, tetapi EOWI akan menunjukkan dimana letak kesalahan berpikir masyarakat Indonesia yang masih merasa cinta terhadap sektor pertanian.


Kenali Saingan/Lawan Mu

Kalau kita bicara pedesaan (rural), yang ada di benak kita adalah perekonomian berbasis pertanian. Itu dimana saja, apakah itu di Amerika Serikat, Canada, Australia, Cina, Jepang, Belanda, Zimbabwe, Bangladesh......sebut saja lainnya. Di dalam era globalisasi, hasil pertanian bisa berasal dari mana saja. Tidak hanya itu, suatu produk pertanian bersaing dengan subsitusinya. Misalnya gula dari Indonesia, Cuba, Filipina atau dari mana saja akan saling bersaing. Tidak hanya itu, gula-tebu (nama kimianya: sukrosa) juga memperoleh persaingan dari gula-jagung alias fruktosa. Gula-tebu yang nama kimianya sukrosa merupakan dimer (gabungan 2 gugus molekul) glukosa dan fruktosa. Sedang fruktosa adalah monomer yang bisa dihasilkan dari hydrolisa tepung menjadi glukosa dan dilanjutkan dengan proses isomerisasi enzim menjadi fruktosa. Fruktosa bisa menjadi saingan berat dari sukrosa (gula tebu), jika bentuk/wujud tidak menjadi kriteria. Pada produk-produk makanan (kue-kue) dan minuman fruktosa menjadi saingan berat sukrosa.

Tebu/gula bukan satu-satunya produk yang punya saingan dari produk subsitusi. Sawit dan kelapa punya saingan minyak bunga matahari, rape seed, kedelai. Padi, tapioka disaingi oleh jagung dan gandum. Karet disaingi oleh karet sintesis butadiene, dsb. Memang ada produk yang belum punya saingan produk subsitusi dari pertanian massal, seperti kopi dan teh. Atau produk-produk sayuran segar serta buah-buahan yang spesifik lokal. Dan petani harus jeli dalam memilih bidang yang akan digelutinya.

Andaikata kita memutuskan untuk bertempur di lahan yang banyak saingannya, perlu mengenal saingan kita dengan baik. Untuk mengenal saingan, harus dicari saingan yang tangguh, bukan yang lemah. Jangan ambil contoh petani Kenya atau Bangladesh. Ambillah petani Amerika atau petani di negara-negara maju, kalau kita ingin mempunyai tingkat ekonomi (kemakmuran) sama seperti mereka. Mereka adalah penentu harga barang yang beredar.

Di negara-negara maju, pertanian sudah dilakukan dengan mekanisasi, dari mengolah tanah, menyemai, dan akhirnya panen serta mengolah hasil panennya. Oleh karenanya, seorang petani kecil bisa mengolah sendiri 50 – 100 ha ladang. Dengan besarnya volume yang diproduksinya, maka rantai distribusi produk pertaniannya bisa diperpendek. Salah satu ipar saya adalah peternak sapi di Australia. Dia peternak yang punya jagal muslim untuk menjamin kehalalan dagingnya dan menjadi pemasok beberapa hotel di Jakarta. Bandingkan dengan petani Indonesia yang rata-rata punya tanah 0.3 ha, volume produksinya kecil, tidak mungkin jadi pemasok beras untuk sebuah hotel. Untuk memproses dan mendistribusikan produknya, perlu pengepul apakah itu tengkulak atau Bulog atau BUD/KUD.

Dalam hal pertanian skala besar, di Indonesiapun sudah ada contohnya. Perkebunan-perkebunan besar, seperti kelapa sawit, karet, teh, dsb, bisa bersaing walaupun belum melakukan mekanisasi hanya dengan memotong rantai distribusi karena volumenya besar. Perkebunan tebu (bukan petani tebu) juga memiliki pengolahannya untuk dijadikan produk akhir, yaitu gula. Perkebunan sawit juga punya pengolahan untuk menjadikan CPO. Perkebunan-perkebunan seperti ini masih memerlukan banyak buruh, karena masih belum sampai pada era mekanisasi perkebunan. Jika suatu masa ada yang melakukan mekanisasi perkebunan yang bisa menjatuhkan harga, maka semua perkebunan harus melakukan hal yang sama agar bisa bersaing. Arah modernisasi di bidang pertanian akan kesana. Konsumen menginginkan harga yang murah. Walaupun pemerintah akan berusaha menghambat, tetapi tekanan konsumen tidak akan bisa dibendung. Oleh sebab itu, cepat atau lambat keadaan semacam itu akan dicapai, seperti pada pertanian gandum, rape seed, jagung. Sekarang ini sudah dikembangkan pabrik jagal-otomatis untuk memproses sapi dan ayam, dari mulai penyebelihannya, penyiangan dan pemotongannya secara otomatis dengan robot

Bagaimana dengan petani kecil, petani marhaen yang dijadikan sasaran tema retorik politikus? Jawabannya akal sehatnya cuma ada satu. Kalau petani kecil di Indonesia yang punya tanah hanya ...., rata-rata 0.3 ha, mengolah tanah tanpa mekanisasi dan ingin punya penghasilan seperti petani di negara maju, maka dia mimpi. Jika ada petani Indonesia ingin bisa kaya selevel dengan petani Amerika dan hanya punya ladang 0.3 -1 hektar, maka dia mimpi. Atau jika ada (calon) presiden mau meningkatkan kemakmuran petani pedesaan seperti petani di negara maju, maka dia harus menghisap ganja banyak sekali. Kalau yang ditanam sama, seperti jagung, padi, tebu, gandum, singkong tidak mungkin petani Indonesia semaju secara ekonomi dengan petani Amerika atau Canada. Kecuali yang ditaman berbeda, seperti gut, opium, coca, ganja atau jamur Psilocybin, karena tidak ada produksi massalnya. Dengan tanah yang kecil saja pertanian seperti ini bisa bikin cepat kaya. Tetapi ada persyaratan lain yaitu tahu kemana harus dijual dan tahu bagaimana menghindari polisi serta penjara.

Kesimpulannya, jika ada yang masih mengagung-agungkan kehidupan agraris dengan sepetak tanah dan menginginkan kemakmuran seperti petani modern yang sanggup mengolah minimal 50 ha tanah, maka dia tidak melihat realita. Dengan tanah 50 ha diolah sendiri, punya ketahanan terhadap pukulan harga yang rendah. Volume produksinya yang besar, biaya produksinya bisa ditekan, rantai distribusinya pendek dan pergudangannya memadai.


Desa Tidak Perlu Pemerintah

Jangan melawan raksasa, tetapi jadilah raksasa. Kalau desa ingin maju, maka jadikan desa sebuah daerah pertanian dengan lahan minimal 50 ha per petani. Jangan diterjemahkan angka 50 ha secara literal. Angka ini hanyalah ungkapan yang berarti besar luas sekali. Kalau seorang petani memiliki tanah puluhan hektar, bagaimana dengan sisanya yang lain? Jawabnya mudah......., pindah ke kota.

Desa tidak perlu pemerintah untuk membuatkan jalan-jalannya. Bila memang menguntungkan, swasta akan membuatnya sendiri. Ada perbedaan antara pelaku bisnis dan politikus. Pelaku bisnis akan membuat jalan serta infrastruktur jika secara ekonomis diperlukan. Sedangkan politikus akan menjanjikan untuk membuat infrastruktur agar ia bisa terpilih lagi (kalau sudah terpilih, banyak janjinya yang dilupakan). Politikus akan membangun infrastruktur jika bisa mendongkrak popularitas dan elektibilitasnya. EOWI akan meperlihatkan contoh wilayah yang jalan-jalannya dibangun oleh swasta. Dan jalan yang dibangun oleh pemerintah nampak sangat tidak berarti. Daerah ini ada di Bintuni Irian. Di tempat-tempat lain juga banyak.

Peta di bawah ini menunjukkan networks/jejaring jalan yang dibangun oleh perusahaan kayu, perkebunan kelapa sawit dan explorasi minyak yang berkerja di Bintuni Irian. Ini di desa, tengah hutan, di tempat terpencil.

Kenapa perusahaan-perusahaan ini mau membangun dan memelihara jalan-jalan ini? Tidak lain karena alasan ekonomi.


Networks jalan-jalan yang dibangun dan dipelihara swasta di Irian



Aktivitas Ekonomi 8 Jam vs 24 Jam

Kalau sebelumnya kita bahas sebuah tema: “membangun pedesaan” sama saja dengan menyuruh orang bermimpi tentang kemakmuran yang tidak pernah datang, maka pada bagian ini akan dibahas alternatif yang lebih sensibel. Pada bagian ini dan selanjutnya akan ditunjukkan bahwa urbanisasi adalah jalan yang lurus untuk pertumbuhan ekonomi dan kemakuran.

Orang di pedesaan mulai aktif, mungkin jam 6 pagi. Yaitu setelah sholat subuh (kalau dia muslim). Kemudian jam 9 istirahat sebentar, kemudian berlanjut sampai jam 1 siang. Untuk bekerja di luar, di tengah terik panas matahari, kalau tanpa paksaan, tanpa dikejar target, akan berhenti dan istirahat atau kerja di rumah sampai sore. Begitu selesai magrib, tidak ada pekerjaan lain kecuali tidur. Jadi siklus aktifnya hanya jam 6 – 20 atau 14 jam saja. Dan aktifitas ekonominya paling lama hanya 8 - 12 jam saja. Dan yang effektif kurang dari itu.

Bandingkan dengan di kota – wilayah urban. Untuk seseorang dengan pendidikan rendah, pagi bisa kerja di mini-mart, atau starbucks atau warung Tegal sampai siang. Kalau dia kuat bisa sampai malam. Malah, kalau masih kuat, bisa mangkal di tempat-tempat seperti Dolly atau Kramat Tunggak. Kalau dia prempuan, bisa melayani 4 pelanggan. Kemudian dia kena AIDS, dan perlu perawatan. Nah sakit itu juga membuka kesempatan kerja bagi perawat dan dokter. Dengan kata lain, aktifitas ekonomi tidak berhenti sampai jam 5 sore, tetapi masih bisa dilanjutkan sampai pagi. Maaf kalau contohnya kurang bermoral. Contoh itu sekedar untuk bisa dengan mudah diingat saja. Banyak contoh-contoh pekerjaan lain yang halal. Warung-warung dan toko-toko banyak yang buka sampai larut malam. Intinya, di perkotaan roda ekonomi bergerak hampir 24 jam. Saya sendiri sering punya jam kerja 24 jam on call.

Jam aktifitas ekonomi yang panjang seperti di wilayah urban, membuat penggunaan barang-barang modal lebih effektif. Jalan raya di wilayah urban penggunaannya lebih effektif dibandingkan dengan jalan raya di pedesaan. Jalan raya di wilayah urban penggunaannya bisa mencapai 24 jam. Sedangkan pedesaan mungkin hanya separohnya.

Membangun jalan raya di kota-kota besar akan mengurangi kemacetan. Artinya bisa meningkatkan effisiensi penggunaan bahan bakar. Perdebatan apakah itu BBM bersubsidi atau bukan, tidaklah relevan. Sebab pada akhirnya pelaku ekonomi harus membayarnya. Sebagai konsekwensinya, penghematan biaya BBM bisa diallokasikan ke konsumsi atau pembentukan modal dan ekonomi tumbuh lebih cepat.

Sedangkan kalau jalan raya dibangun di pedesaan, .....tidak ada kemacetan disana buat apa jalan baru, effisiensi waktu penggunaannya juga rendah. Tidak banyak nilai tambahnya. Seandainya para pelaku ekonomi di pedesaan merasa memerlukan jalan atau infrastruktur, mereka akan membuatnya sendiri, dengan catatan pembangunan infrastruktur itu benar-benar ekonomis. Jika tidak, maka akan tidak terawat dan hancur dimakan waktu.


Data Pertumbuhan Ekonomi dan GDP

Peradaban manusia dimulai sebagai hunters & gatherers, pemburu dan pemungut. Mereka hidup, tidak selalu menetap, tetapi bisa berpindah-pindah mengikuti kesediaan makanan. Masyarakat seperti ini masih bisa kita lihat di Irian. Apalagi sebelum tahun 1970, masyarakat Irian pedalaman masih hidup di jaman batu. Dan anda masih bisa beli kapak batu dan peralatan pertanian mereka yang terbuat dari batu. Gadget mereka yang paling essensial adalah noken dan panah. Noken adalah sejenis tas-jala yang besar terbuat dari serat kulit kayu untuk membawa barang-barang. Noken dan panah ini selalu di bawa kemana-mana sebagai gadget masyarakat hunters & gatherers.

Era hunters & gatherers memudar dan digantikan dengan era masyarakat pertanian. Mereka membuka lahan dan bercocok tanam serta memelihara hewan yang telah di-domestikkan. Pada era ini bisa disebut era pedesaan, karena sebagian besar orang hidup di pedesaan terfokus pada produksi pangan untuk menopang hidupnya. Tetapi dengan penemuan mesin-mesin automotif, terjadi pergesera-pergeseran. Hidup manusia tidak lagi didominasi dengan menghasilkan pangan, dalam arti, dengan dibantu dengan mesin-mesin produksi pangan menjadi semakin effisien dan bisa dikerjakan oleh beberapa gelintir orang saja. Populasi yang tersisa beralih profesi, memproduksi barang lain dan jasa. Pergeseran ini masih berlangsung sampai saat ini, perubahan dari masyarakat agraris tradisional ke masyarakat modern. Saya gunakan kata modern untuk menghindari kata industrial yang konotasinya mengarah pada arti yang sempit yaitu pabrik.

Pada masyarakat modern, profesi penduduk urban (penduduk kota) sangat beragam, tetapi intinya adalah jasa dan produksi non-pangan. Mungkin karena sektor non-pertanian tidak membutuhkan lahan yang luas. Andaikata nantinya jika produksi pangan tidak membutuhkan lahan yang luas, maka kata pedesaan (rural area) akan punah.

Di negara-negara maju, populasi urban mencapai 80% atau lebih. USA hanya 17% dari populasinya hidup di pedesaan dan 83% di perkotaan (2013). Jepang hanya 8% penduduknya tinggal di desa, sedangkan 92% diperkotaan (2013). Bandingkan dengan Bangladesh atau Myanmar populasi perkotaannya hanya 29% dan 33%. Sampai beberapa dekade ke depan, di Myanmar, Bangladesh dan negara-negara seperti ini, tekanan urbanisasi masih besar.

Sejarah perkembangan urbanisasi dan GDP yang cukup lengkap dimiliki oleh Amerika Serikat. Chart-1. Data GDP/PPP diambil dari Maddison dalam satuan Purchasing Power Parity 1990 US$.  Dari Chart-1 ini, bisa dilihat adanya kenaikan GDP yang eksponensial (skala GDP adalah skala logaritmik). Sedangkan urbanisasi pada skala linear membentuk huruf S dengan penurunan kecepatan urbanisasi pada level 79%. Urbanisasi mengalami kemandegan pada saat krisis ekonomi, yaitu pada masa depressi 1930an dan pada masa stagflasi 1970an. Setelah itu urbanisasi kembali pada trendnya semula.



Chart - 1

Untuk negara-negara lain, anda bisa mencari data dari World Bank. Terlepas apakah urbanisasi menjadi penyebab pertumbuhan ekonomi atau sebaliknya, opini EOWI adalah urbanisasi (dan demografi, serta lainnya) yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Seperti Korea Utara, sejak tahun 1980 sampai sekarang populasi urbannya relatif tetap dari 57% ke 60%. Berdasarkan model yang diajukan EOWI tadi, maka pertumbuhan GDP Korea Utara akan marginal sekali. Bahkan ada penurunan di awal dekade 1990an akibat terhentinya bantuan Uni Soviet kepada negara Korea Utara ini, karena runtuhnya Uni Soviet.

Di pihak lain Korea Selatan, yang punya populasi urban sebesar 57% tahun 1980 dan sekarang menjadi 80%, pertumbuhan ekonominya pesat sekali sampai tahun 1997, terjadi krisis Asia, yang menyebabkan penurunan GDP. Pada masa ini urbanisasi berhenti sejenak, kemudian dilanjutkan lagi bersama pertumbuhan GDP. Tahun 2000 urbanisasi nampak melambat setelah angka 80%  tercapai dan pertumbuhan juga ikut melambat. Terlepas dari sebab melambatnya pertumbuhan Korea Selatan paska tahun 2000, apakah karena pertumbuhan global juga melambat atau memang sudah waktunya untuk melambat.


Chart - 2


Secara historis, perkembangan urbanisasi di Indonesia bisa dilihat di Chart-3. Dengan data dari World Bank, populasi urban disandingkan dengan GDP per kapita (dalam US$ tahun 2000). Keduanya cukup selaras, sama dengan kasus-kasus sebelumnya. Adanya sedikit naik turun dari GDP adalah karena disebabkan oleh krisis keuangan pada tahun 1963 -1967 dan 1997 – 1998, dimana GDP memang mengalami penurunan. Dengan menggunakan satuan 2000 US$, chart GDP bisa agak diperhalus. Jika digunakan nominal GDP dengan US$ yang berlaku, chart GDP menjadi bergejolak liar karena pada saat krisis nilai rupiah jatuh parah (nanti hal ini akan dibahas lagi).

Dari kasus-kasus di atas, bisa disimpulkan bahwa ada keselarasan antara pertumbuhan ekonomi dan urbanisasi. Korea Utara yang urbanisasinya memperoleh rintangan oleh pemerintah, pertumbuhan ekonominya relatif stagnan. Sedangkan Amerika Serikat, Korea Selatan dan Indonesia, urbanisasi, wilayah urban tumbuh bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi. Untuk negara-negara lain, pembaca dipersilahkan melihat datanya sendiri di situs World Bank.


Chart - 3



Prospek Properti Urban di Indonesia di Masa Depan

Urbanisasi Indonesia, tumbuh secara parabolik antara tahun 1960 sampai tahun 2000. Tahun 1960, hanya 14.6% saja penduduk Indonesia hidup di kota-kota besar. Wilayah Jakarta, berhenti di Dukuh atas. Di luar itu masih kampung. Dalam masa 4 dekade, penduduk perkotaan menjadi 42%, atau meningkat hampir 3 kali lipat. Antara tahun 2000-2014, urbanisasi berjalan linear. Penduduk urban meningkat dari 42% dari total populasi, mejadi 50%. Proses unrbanisasi yang melambat selama tahun 2000-2014 ini mungkin disebabkan karena perlambatan ekonomi global. EOWI memperkirakan tahun 2023 kemungkinan urbanisasi akan kembali berjalan dengan kecepatan parabolik sampai mencapai level 80%.

Diprojeksikan jika masih berjalan secara linear bahwa urbanisasi di Indonesia akan mencapai 80% pada tahun 2040 (Chart-3). Angka 80% populasi urban ini angka ajaib. Kalau mengacu pada sejarah yang ada, kebanyakan setelah angka ini tercapai, urbanisasi akan melambat. Patokan 80% ini mungkin bisa berubah jika ada pergeseran peradaban, seperti perubahan dari masyarakat agraris ke masyarakat modern. Jika teknologi dimasa yang akan datang memberi tekanan yang lebih besar untuk terjadinya urbanisasi, maka pola apapun yang ada sekarang bisa berubah. Hasil penerawangan EOWI, dimasa yang akan datang, otomatisasi akan menjadi tema utama di semua bidang. Tenaga manusia akan digantikan dengan mesin, seperti bank-teller digantikan oleh ATM. Assembly-line akan dipenuhi oleh robot. Bagaimana pengaruhnya terhadap urbanisasi, apakah akan mempercepat atau menghambat, sampai saat ini masih belum tahu. Tetapi di Jepang, pengaruh negatif robot dan otomatisasi terhadap populasi urban tidak ada.




Chart - 4


Dalam kurun waktu 3 – 4 dasawarsa ke depan, tidak hanya populasi perkotaan meningkat dari 50% populasi total ke 80%, tetapi juga pendapatannya meningkat. Catatan: Pendapatan meningkat tidak berarti kemakmuran riilnya meningkat. Oleh sebab itu EOWI lebih memfokuskan diri pada kenaikan nilai tambah ekonomi akibat konversi fungsi penggunaan lahan. Dan memanfaatkan momentum perubahan fungsi tersebut. Misalnya Kebayoran tahun 1950 hanyalah pemukiman di wilayah suburb. Tetapi tahun 1990 dan selanjutnya menjadi perumahan yang dekat dengan pusat bisnis. Dan ini meningkatkan harga riil Kebayoran. Jangan terlalu mengharapkan kenaikan harga riil properti di......., katakanlah di Salatiga atau Ambarawa. Karena lahan di wilayah ini punya peluang yang kecil untuk mengalami perubahan fungsi.

Chart-5 bisa menunjukkan lebih jelas target GDP pada saat populasi urban mencapai 80% dari total penduduk, yaitu sekitar 2000US$ 5,500.


Chart - 5


Tulisan ini bukan anjuran untuk berinvestasi. Bahkan kami di EOWI tidak akan melakukan pembelian tanah atau properti dalam waktu dekat ini. Karena kami melihat bahwa harga properti di Indonesia saat tulisan ini diturunkan sudah pada fase bubble yang matang. Kemarin saya baru saja ber-skype dengan ipar yang ada di Atlanta, Georgia, USA. Dia baru saja menjual rumahnya disana dengan luas tanah 1.2 ha dan luas bangunan 500 m2 di harga $250 ribu (Rp 3 milyar). Sama-sama di pinggiran kota, saya baru beli rumah dengan luas tanah 1,200 m2 dan luas bangunan 400 m2 di harga Rp 4.7 milyar. Jelas harga rumah di Indonesia adalah pada fase bubble. Hal ini sudah di bahas di Properti: Investasi Yang Tidak Pernah Turun Harganya (?) (link). Oleh sebab itu kami akan menunggu sampai bubble itu meletus. Harga nominal properti  di Indonesia dalam rupiah, mungkin tidak turun, tetapi dalam US dollar insha Allah turun. Kami meramalkan bahwa GDP Indonesia dalam US-dollar-berlaku akan turun tidak lama lagi. Perjalanan GDP (dalam US-dollar yang berlaku) vs populasi urban akan seperti terlihat pada Chart-6.


Chart - 6


Sampai tahun 2018 atau 2020, ekonomi global masih dalam masa Kondratief Winter, dan harga komoditi akan terus turun. Indonesia, sebagai negara dengan basis ekonomi bahan komoditi, akan merasakan dinginnya musim dingin ekonomi global. Bagi kami di EOWI, kapital akan disiapkan untuk menyongsong Kondratief Spring, yang kami perkirakan dimulai pada awal dekade 2020 atau akhir dekade 2010. Pada periode itu juga bersamaan dengan periode commodity bull market dalam siklus 30 tahunan bahan komoditi. Pertumbuhan ekonomi global pada masa itu akan didominasi negara-negara berkembang. Dengan mengandalkan populasinya yang besar, pertumbuhan negara berkembang dimasa Kondratief Spring itu akan memerlukan banyak bahan dasar, dan ini akan mengayunkan harga-harga bahan komoditi ke stratosfir. Dan Indonesia akan diuntungkan. Sampai saat itu tiba......., jagalah kapital dan amunisi anda baik-baik. Serta berdoa agar pemerintah tidak menghambur-hamburkan dana untuk pembangunan desa, melainkan memfokuskan pembangunan pada penataan perkotaan untuk mengantisipasi urbanisasi yang secara alamiah tidak bisa dibendung. Kota tidak berkembang menjadi kampung besar yang kumuh.

Akhirnya, kami mengingatkan kembali bahwa ramalan EOWI bisa salah, seperti hanlnya ramalan William Miller atau Robert Maltus atau Paul Ehrlich. Oleh sebab itu, silahkan anda melakukan riset sendiri secara  independen.


30-May-2014


Disclaimer: Ekonomi (dan investasi) bukan sains dan tidak pernah dibuktikan secara eksperimen; tulisan ini dimaksudkan sebagai hiburan dan bukan sebagai anjuran berinvestasi oleh sebab itu penulis tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang diakibatkan karena mengikuti informasi dari tulisan ini. Akan tetapi jika anda beruntung karena penggunaan informasi di tulisan ini, EOWI dengan suka hati kalau anda mentraktir EOWI makan-makan.

Sunday, May 25, 2014

Properti, Calon Presiden dan Pembangunan Urban




(Bagian I)

EOWI punya kebiasaan menggabung-gabungkan beberapa topic menjadi satu. Dongeng mengenai property sebenarnya belum habis. Tetapi ada pembaca yang meminta EOWI untuk cerita tentang pemilu. Ada pula pembaca yang ingin tahu tentang usaha-usaha pertamian. Kemudian EOWI juga punya rencana untuk melanjutkan kisah dongeng humor sadonik Penipu, Penipu Ulung, Politikus dan Cut Zahara Fonna. Kebetulan racikan kempat topik itu bisa di campur menjadi bacaan yang enak. Oleh sebab itu kali ini dapur EOWI akan menggodog dongeng gado-gado pemilu, properti, pembanguna desa, usaha pertanian dan Penipu, Penipu Ulung, Politikus dan Cut Zahara Fonna.

Acara TV yang saya sukar untuk lewatkan adalah the Dog Wisperer dari National Geographic Channel, itu karena saya punya 8 ekor anjing. Kemudian Grimm dari Universal Channel karena waktunya pas untuk tidak pakai otak. Masih ada satu lagi, tetapi yang ini tidak rutin yaitu Tinju di TVOne. Acara pemilu tidak pernah saya tonton.

Menonton acara pemilu itu seperti menonton lawakannya Caesar atau Sule atau Tukul. Saya tidak bisa ketawa atau terstimulasi. Ini masalah selera dan cara pandang saja yang membedakan EOWI dengan kebanyakan penonton secara umum. Bagi EOWI sulit untuk tertawa karena melihat Caesar menari. Apa lagi Sule. Si Nunung sering kali tertawa sendiri sebelum dia mencoba melucu. Pelawak yang terampil tidak tertawa terhadap lawakannya sendiri (senyum boleh). Tukul dari dulu caranya sama, yaitu menghina dirinya sendiri. Saya tidak tahu apakah itu lucu.


Jokowi Yang Hampir Dibuktikan Pembohong

Membahas pemilu tidak ada gunanya. Pemilihan presiden dan anggota parlemen, apakah itu dilakukan oleh umum atau oleh sebuah majelis, sudah dilakukan sejak 69 tahun lalu. Apakah ada manfaatnya bagi kehidupan bangsa Indonesia? Sejarah membuktikan tidak ada faedahnya. Hidup berjalan terus dengan atau tanpa presiden, DPR, dsb. Di Tofoi, Saengga, Tomage, atau Cross-Catalina atau....., apa saja yang kalau saya sebutkan pembaca juga tidak tahu, pokoknya di pedalaman Irian, andaikata besok tidak ada presiden, wakilnya dan menteri-menterinya (karena mati oleh pembom bunuh diri misalnya), kehidupan disini masih berjalan terus tanpa gangguan. Malah dengan adanya pemerintahan yang besar dan kegiatan demokrasi yang memakan biaya, bagi mereka yang hidup di kota-kota, keadaan akan semakin memburuk, karena penarikan pajak oleh pemerintah semakin menggiat untuk mendanai kegiatan yang tidak produktif dan menggaji orang yang tidak essensial (tidak ada juga tidak ada pengaruhnya). Pajak itu menguragi penghasilan anda bukan?

Kalau EOWI berpendapat bahwa politikus adalah setingkat lebih tinggi dari penipu ulung, maka bisa dilihat pada diri Jokowi. Masih ingatkah anda bahwa Jokowi 2 tahun lalu mengatakan bahwa dirinya akan menjabat sebagai gubernur DKI sampai 5 tahun masa jabatannya, dan seandainya ditawari menjadi menteri akan ditolak. Berikut ini beritanya.

Merdeka.com - Kamis, 20 September 2012 14:11,
Calon Gubernur Joko Widodo menegaskan berkali-kali bahwa jika terpilih dan memenangkan Pilkada DKI dia akan menjalani masa jabatan sebagai gubernur selama 5 tahun penuh. Jokowi akan setia walau ada tawaran menjadi menteri atau dituntut mundur.

"Saya sudah katakan berbelas-belas kali, masa saya harus katakan lagi," kata Jokowi dalam keterangan persnya di Kediaman Megawati Jl Kebagusan Dalam IV RT 11/ RW 04, Kebagusan, Pasar Minggu Jakarta Selatan, Kamis (20/9).



Saat ini, memang dia masih belum bohong. Tetapi kalau dia terpilih menjadi presiden maka dia akan punya dua pilihan: mengingkari janjinya atau menjadi presiden part-time dan gubernur DKI part-time atau menjadi pemboros duit pajak (untuk pemilu) dengan meletakkan jabatan presiden (kalau memang dia tidak mau jadi presiden, tidak usah mencalonkan diri). Tinggal pilih saja.

Walaupun demikian, penggemar Jokowi cukup banyak. Dia mengandalkan citra, bukan bentuk penipuan verbal, kecuali janjinya untuk tetap menjabat sebagai gubernur DKI. Di beberapa photo yang beredar, dia berusaha mencitrakan diri sebagai sosok penjelmaan Sukarno dikombinasikan dengan sosok pemimpin yang kerakyatan suka blusukan seakan untuk mendengarkan aspirasi rakyat. Bagi yang mengenal Sukarno lewat pelajaran sejarah yang bohong itu, daya tariknya akan besar. Tetapi bagi yang pernah mengalami kehancuran tabungannya akibat hiper-inflasi dan kehilangan orang yang dicintainya karena dikirim ke medan Dwikora, Trikora atau PRRI-Permesta, dandanan Jokowi mirip Sukarno tidak menarik simpati. Lagi pula sifat kerakyatan tidak menjamin kemakmuran.

Profil Jokowi sejalan dengan profil Sukarno, Megawati, Gus Dur dan SBY. Mereka pernah kena kadal oleh penipu buaya kelas Cut Zahara Fonna. Jika Sukarno kena tipu oleh pasangan raja Idrus dan ratu Markonah; Megawati oleh Ramly Arabi dengan proyek Qsar; Gus Dur oleh tukang pijitnya dan SBY oleh Djoko Suprapto dan Heru Lelono dengan Blue Energy dan padi Super-Toy HL2 nya. Maka Jokowi kena tipu oleh mobil SMK yang ngakunya buatan putra Indonesia asli, yang ternyata adalah mobil Cina yang dirakit di Indonesia. (Pembaca EOWI yang setia tentu sudah mengenal dan terbiasa dengan nama-nama di atas. Bagi pembaca yang baru, silahkan melakukan search google dan membaca ceritanya). Untuk Jokowi, tidak hanya itu, terakhir adalah pembelian bus Trans Jakarta yang ternyata sudah berkarat berat. Orang seperti Jokowi tidak boleh diberi tanggung jawab atas budget yang besar. Akan bocor kemana-mana.


Populist, Kerakyatan yang Dengki dan Zalim

Jokowi akan banyak fans nya. Ini harus dimaklumi karena mayoritas bangsa Indonesia bukan pembaca EOWI. Prabowo juga akan banyak penggemarnya dengan alasan yang sama. Amien Rais pun yang dulu mengecamnya, sekarang sudah menjadi penggemarnya. Prabowo punya perbedaan dengan Jokowi dalam hal menarik fans. Walaupun dalam hal penampilan, dia berusaha meniru-niru Sukarno sama seperti Jokowi, tetapi Prabowo cenderung untuk lebih populist. Entah apa dia mungkin bodoh atau seorang penipu yang lihai. Dikatakan bahwa ia memanfaatkan sifat dengki manusia, jika ia seorang penipu seperti Jokowi. Tetapi bisa juga orang yang bodoh atau tidak punya pengetahuan, terutama masalah ekonomi. Kedua kandidat presiden mengangkat issue ekonomi kerakyatan. Kalau Jokowi dari track recordnya, ia kemungkinan besar adalah bohong. Perginya ke peternakan sapi dengan janji ini dan itu kepada peternak Nusa Tenggara hanyalah janji kosong. Tetapi, untuk Prabowo sulit ditebak. Semuanya masih 50%-50%.

Manusia mempunyai sifat dengki (Arab: khasad) yang lebih mudah dikobarkan dari pada sifat baiknya. Misalnya, orang lebih suka memilih pemerintah yang membebani pajak yang berat (merampok) golongan top 10% supaya sama-sama sengsara dari pada membuat kelompok yang 90% di bawahnya, berpenghasilan sama seperti golongan top 10%. Contohnya, baru-baru ini, ketua Majelis Ulama Indonesia Din Samsudin mengharamkan Aqua dan air kemasan. Alasannya, karena air adalah dari Tuhan bukan untuk dimonopoli oleh perusahaan air minum kemasan (atau alasan seperti itu). Air minum sebaiknya dikelola negara. Din Samsudin lebih suka menyikat habis perusahaan air minum yang berhasil secara ekonomi dari pada menyuruh PAM Jaya untuk mempunyai kinerja seperti Aqua. Ini adalah sifat khasad, dengki, tidak suka melihat orang lain sukses. Kami di EOWI adalah orang-orang yang taat kepada Quran. Oleh sebab itu kami membenci sifat khasad dan berdakwah (menyeru), tabliq (menyampaikan fakta) agar membenci sifat khasad. Sekarang pembaca pikirkan, mana yang lebih baik dari pilihan-pilihan di bawah ini:

  1. (a) menjadikan Pondok Indah seperti Perumnas Depok atau (b) menjadikan banyak orang bisa membeli rumah seperti di Pondok Indah dan Kebayoran Baru dan meninggalkan Perumnas seperti Depok?
  2. (a) menjadikan Aqua menjadi PAM atau (b) menaikkan taraf hidup masyarakan sehingga bisa mengkonsumsi Aqua?
  3. (a) menasionalisasi ladang-ladang minyak Caltex menjadi Pertamina atau (b) membuat Caltex-Caltex lain dan memberi lapangan kerja bagi banyak orang.
  4. (a) menghambat dan menekan Alfamart dan sejenisnya atau (b) membuat pemilik warung pojok ekonominya seperti pemilik unit toko di Pondok Indah Mall.
  5. Jika ada kolega anda bergaji 50% lebih tinggi di luar range (kisaran) gaji yang ada di aturan perusahaan, apakah anda (a) ingin gaji dia dikembalikan ke dalam range (kisaran) sesuai dengan aturan atau (b) aturannya disesuaikan sehingga gaji orang tersebut tidak melanggar aturan perusahaan?
  6. (a) menjadikan Indosat kembali 100% BUMN atau (b) tetap sebagian dimiliki asing.
  7. (a) menambah jalan-jalan di desa sudah jarang dilalui kendaraan dengan jalan-jalan yang mulus, atau (b) menjadikan jalan yang mulus di kota-kota menjadi tidak macet dengan menambah jalan baru

Kalau jawaban anda semua adalah (a), maka anda termasuk orang berhati khasad. Artinya anda lebih suka semua orang menderita dari pada semua orang bahagia.

Untuk mencapai yang diinginkan pada jawaban (a) adalah mudah dan lebih memuaskan bagi orang yang berhati khasad. Merusak dan menghancurkan adalah mudah dan memuaskan hati bagi yang khasad. Allah tidak suka sifat khasad dan perbuatan yang didasari sifat khasad akan memperoleh balasan. Misalnya, setiap rumah di Pondok Indah mempekerjakan beberapa domestic help. Walaupun saya tinggal di Cipete, dengan 4 orang anggota keluarga (ayah-ibu, 1 anak dan 1 mertua) ada 5 domestic help terdiri dari 2 pembantu, 1 pengurus anjing dan kebun dan 2 supir. Ini adalah lapangan kerja. Bandingkan dengan rumah-rumah di Perumnas Depok. Mungkin hanya 1 – 2 orang domestic help saja atau kurang. Kita tidak berbicara tentang domestic help saja, tetapi juga perawatan rumah, perabotannya, bahan bangunannya yang lebih banyak, juga listriknya. Semuanya punya keperluan yang lebih banyak, dan ini bisa menggerakkan ekonomi. Semakin banyak rumah seperti di Pondok Indah, semakin luas kesempatan kerja. Contoh lain yang paling jelas adalah ketika telpon masih dimonopoli oleh pemerintah. Tahun 1987, untuk memperoleh sambungan telpon diperlukan waktu 3 tahun, itupun dengan meyogok Rp 3 juta (sebagai pembandingnya harga mobil sedan baru 1300 cc waktu itu Rp 36 juta). Sekarang ketika kepemilikan Indosat sebagian di tangan asing....., anda hanya perlu pergi ke toko beli pesawat mobile-phone dan kartu SIM nya dan ......tersambung. Mana yang lebih baik?

Kasus yang paling baru mengenai pembalasan Allah terhadap kaum yang khasad adalah kasus Zimbabwe. Pada suatu hari, Robert Mugabe punya niat mulia, yaitu ingin memberi rakyatnya yang petani penggarap tanah yang cukup dengan jalan merampas tanah-tanah garapan yang dimiliki oleh petani kaum kulit putih. Orang-orang kulit putih adalah petani-petani yang saleh (effektif). Oleh sebab itu ketika orang-orang yang saleh ini (walaupun tidak beriman Islam), dianiaya, maka Allah menjatuhkan azabnya kepada kaum Zimbabwe dengan hiper-infasi. Orang Zimbabwe harus belajar menghitung dari besaran sen sampai trillium dan quadrilliun. Niat mulia Mugabe bagi Allah adalah niat yang nista.


UUD 45 dan Quran

UUD 45 pasal 33 bisa punya nuansa yang khasad dan bisa diinterpretasi dengan penuh kekhasadan.

2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.

3. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Pasal ini adalah pasal yang bisa dibelokkan ke arah tindakan yang merupakan perwujudan sifat dengki, khasad. Kalau air minum merupakan hal yang menguasai hajat hidup orang banyak, maka Aqua harus diambil alih oleh PAM (negara). Ladang minyakdan gas Conoco, Caltex, Genting Oil, BP, Petro-China, harus diambil alih, dinasionalisasi dan dikuasai oleh pemerintah. Tambang tembaga dan emas di Irian harus diambil alih, dinasionalisasi dan dikuasai oleh pemerintah. Semuanya itu untuk kepentingan rakyat.

Retorik-retorik semacam ini sangat menarik bagi rakyat banyak yang berhati khasad dan korup termasuk para ulama–ulama agamanya. Para kandidat presiden tidak menawarkan program nasionalisasi untuk memakmurkan rakyat, tetapi sesuatu yang lebih lunak sedikit yaitu dengan negosiasi ulang mengenai bagi-hasil dengan pemegang konsesi pertambangan dan perminyakan. Kalau yang disebut negosiasi ulang adalah meminta (secara paksa) porsi yang lebih banyak dari yang disepakati dalam kontrak awal, itu zalim dan bisa berakibat jelek.

Program dan tindakan semacam ini adalah zalim. Kalau meminta (paksa) tambahan porsi untuk pemerintah bisa membuat rakyat makmur, maka ketika Chavez presiden Venezuela, mengambil semua produksi minyak menjadi milik negara (dengan menasionalisasi perusahaan-perusahaan minyak asing), maka seharusnya rakyat Venezuela menjadi lebih makmur. Atau ketika presiden Evo Morales mengambil semua produksi emas dari perusahaan-perusahaan swasta, maka seharusnya rakyat Bolivia menjadi lebih makmur.

Quran mengajarkan agar setiap manusia harus berusaha untuk dirinya sendiri dan memohon kepada Tuhan, bukan kepada pemerintah. Menyuruh (membiarkan) pemerintah merampok kaum yang secara ekonomi berhasil untuk dibagikan kepada rakyat memang menarik hati. Tetapi hal itu adalah ide yang korup. Tuhan tidak pernah menyuruh pemerintah untuk memotong penghasilan mereka yang berhasil dengan alasan apapun.

Keberhasilan adalah hadiah dari Allah bagi hamba-hambanya yang saleh. Tidak perlu beriman, tetapi cukup saleh saja. Berbuat saleh artinya berbuat dengan baik, effektif. Kalau ada kelompok yang mencari minyak, emas,.....atau berkebun dengan baik, maka niscaya Allah akan menghadiahinya dengan keduniawian hasil yang berlimpah.

Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hambaKu yang saleh. [Q 21:105]

Jelas-jelas Quran (Allah) mengatakan bahwa bumi ini dimiliki oleh hamba-hambanya yang saleh. Bukan pemerintah (kecuali yang saleh). Bukan pula orang yang beriman (kecuali yang saleh). Bukan pula bangsa/rakyat Indonesia dan penduduk asli (kecuali yang saleh). Sekalipun orang kafir, bangsa asing atau pendatang jika saleh, adalah pemilik dari bumi ini. Itu aturan dari Quran.

Tentu banyak yang bertanya, seberapa jauh seseorang harus berusaha. Sebagai gambaran adalah suatu episode yang diceritakan di dalam Quran tentang Maryam (Maria) setelah melahirkan anaknya.

[19:23] Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, dia berkata: "Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang tidak berarti, lagi dilupakan".

[19:24] Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah: "Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu.

[19:25] Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu,

[19:26] maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu…….

Bayangkan seorang wanita yang sedang kesakitan, pada saat atau baru selesai melahirkan bayi disuruh meggoyang-goyang pohon kurma. Pohon kurma bukan sebesar pohon singkong. (Bayangkan juga, kalau sekarang, seorang ibu yang melahirkan akan dilayani dengan baik.) Dengan kata lain, tidak ada batas-batas ketidak berdayaan yang ditetapkan Allah yang menjadi patokan agar manusia berhenti berusaha. Semua orang, pintar, bodoh, tidak berpendidikan, secara fisik sulit, di mata Allah tidak ada kekecualian. Orang yang tidak punya kesempatan sekolahpun tidak bisa berdalih dan dijadikan dalih. Bagi Allah, tidak ada  dalih untuk menghindar dari kewajiban berusaha untuk hidup. Apakah ini kejam? Tanyakan saja kepada Tuhan. Mau marah? Silahkan marah kepadaNya. Yang pasti itu aturannya, dari Allah.

Sampai sekian dulu bagian I, pada bagian II kita akan membahas retorik lain dari para kandidat presiden, yaitu meningkatkan pembangunan pedesaan. Salah satu program yang konyol.

Dari hutan Papua, EOWI mengucapkan...., jaga kesehatan anda baik-baik dan juga tabungan serta investasi anda.


25 May 2014

Disclaimer: Ekonomi (dan investasi) bukan sains dan tidak pernah dibuktikan secara eksperimen; tulisan ini dimaksudkan sebagai hiburan dan bukan sebagai anjuran berinvestasi oleh sebab itu penulis tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang diakibatkan karena mengikuti informasi dari tulisan ini. Akan tetapi jika anda beruntung karena penggunaan informasi di tulisan ini, EOWI dengan suka hati kalau anda mentraktir EOWI makan-makan.




Monday, May 19, 2014

Permintaan Input dan Feedback



Pembaca EOWI yang setia,

Pembaca mungkin heran kenapa EOWI aktif kembali, setelah sekian lama tidur. Sebabnya adalah:

  1. Kami di EOWI memang sibuk sekali dengan pekerjaan dan dengan 8 ekor anjing yang kehilangan pengurusnya.
  2. Walaupun perkara anjing dan pekerjaan masih perlu waktu yang banyak, tetapi EOWI melihat market sedang mengalami proses topping. Komoditi memang telah memasuki masa bearish sejak tahun 2011, tetapi untuk terjadi market crash itu belum nampak sampai beberapa bulan lalu. Itulah yang memicu aktifnya kami. EOWI didedikasikan untuk menghibur dan memberi peringatan akan adanya bahaya ekonomi.

Ada tulisan andalan EOWI, yaitu Penipu, Penipu Ulung, Politikus dan Cut Zahara Fonna. Kisah humor sardonik ini terhenti pada seri ke 39.

EOWI ingin memperoleh input dari pembaca mengenai kisah humor sardonik itu. Kemudian apakah pembaca ingin kisah itu dilanjutkan.

Silahkan tulis opini anda sebagai komentar.

Terima kasih.

Imam Semar.

Sunday, May 18, 2014

Property: Investasi Yang Tidak Pernah Turun Harganya (?)



(bagian II)

Pada bagian pertama dari tulisan ini EOWI dengan sangat menantang mengatakan bahwa harga riil rumah umumnya tidak akan naik selama 100 tahun kedepan. Ini pernyataan yang sangat menantang. Kenapa EOWI berani mengatakan dengan cara demikian, tidak lain karena EOWI mempunyai datanya. Pada bagian ke II ini akan dibeberkan data-data yang akan menunjang pernyataan yang menantang tersebut di atas.

Banyak prinsip-prinsip ekonomi didasari pada common sense (akal sehat). Padahal yang disebut akal sehat sering tidak sehat sama sekali dan datangnya mungkin dari orang sakit. Orang sakit akalnyapun bisa memberikan opininya. Misalnya, Robert Maltus yang mengatakan bahwa laju pertambahan penduduk adalah bagai deret ukur, sedangkan laju pertambahan produksi makanan seperti deret hitung, sehingga pada suatu saat akan terjadi kelaparan global.

Hukum ekonomi Maltus ini dipakai oleh seorang professor dari Universitas Stanford, Paul Ehrlich di tahun 1968 untuk meramalkan kelaparan global di tahun 1970an dan 1980an (silahkan baca bukunya Paul Ehrlich yang berjudul The Population Bomb, 1968). Berikut ini sebagian kutipan dari buku itu:

The battle to feed all of humanity is over. In the 1970s hundreds of millions of people will starve to death in spite of any crash programs embarked upon now. At this late date nothing can prevent a substantial increase in the world death rate..

Katanya, walaupun ada crash program yang dimulai di akhir dekade 1960an sebagai langkah dan usaha pencegahan, ratusan juta orang tetap akan mengalami mati kelaparan. Sampai saat ini (tahun 1968), tidak ada usaha yang bisa mencegah tingginya angka kematian global.

Pembaca tahu apa yang terjadi? Bukannya mati kelaparan, tetapi sebaliknya!!!! Obesitas – kelebihan kalori, kelebihan makanan, melanda dunia dimulai dari dekade 1980an sampai sekarang! Justru kebalikannya. Bukannya mati kelaparan, tetapi mati karena kelebihan makanan. Saya tidak tahu apa yang dihisap Paul Ehrlich dulu. Ganja paling populer pada masa itu di California.

Omong-omong tentang California, wilayah ini terkenal dengan nama the Land of Fruits and Nuts. Kata Fruits and Nuts bisa diartikan sebagai buah-buahan dan kacang-kacangan. Tetapi dalam konteks the Land of Fruits and Nuts ini, artinya homoseksual dan orang edan. Disanalah populasi gay, homoseksual, lesbian USA yang tertinggi. Dan disana banyak badan-badan riset yang melakukan riset edan dan yang aneh-aneh. Kalau anda mendengar global warming, lubang ozon, penangkapan CO2...., bisa dipastikan dari California.

Bintang komedi Cheech & Chong adalah potret stereo-type orang California. Ada film Cheech and Chong yang populer, yaitu Nice dream dan Up in Smoke. Sebagai potret stereo-type California, film Cheech and Chong bisa dikatakan mewakili penggambaran kultur California. Seperti McKanzie brothers sebagai stereo-type Canada. Atau Benyamin Suaeb mewakili kultur Jakarta. Sebelum melanjutkan kisah properti, supaya otak anda terlalu banyak kerja keras, ada baiknya pembaca mengendorkan syaraf dan hibur diri dengan selingan film komedi Cheech & Chong di link ini:

Up in Smoke

Paul Ehrlich masih belum apa-apa jika dibandingkan dengan Robert Maltus. Lebih dari 200 tahun, teorinya tidak pernah terbukti. Tetapi, teori Robert Maltus tetap diajarkan di sekolah-sekolah sampai sekarang. What a waste!!!

Ada seorang pembaca EOWI yang juga seorang mahasiswa jurusan ekonomi bercerita bahwa dia diajari di sekolahnya bahwa pajak adalah untuk kemakmuran. Itu mungkin cuma pendapat dari seorang crackpot. Tidak ada buktinya bahwa pajak akan meningkatkan kemakmuran. Dan opini-opini para crackpot-oxymoron ini masih tetap dipertahankan di dalam kurikulum fakultas ekonomi. Seharusnya mahasiswa menguji isi kuliah gurunya dengan pertanyaan yang sama: “Apakah prinsip/hukum/dalil itu sudah dibuktikan dalam sejarah atau eksperimen?”. Jangan sebut hukum/dalil jika tidak ada buktinya. Khusus untuk kasus pajak tadi di atas, sang mahasiswa seharusnya bertanya: “Apakah ada riset yang membuktikan bahwa pajak akan meningkatkan kemakmuran? Di negara komunis yang pajaknya 100%, malah tidak makmur sama sekali.” Menuntut data sejarah akan lebih memojokkan dari pada mengajukan pertanyaan argumentatif seperti: “Bukankah pajak mematikan entrepreneurship, menghambat investasi (karena uangnya dibayarkan ke permerintah sebagai pajak), sehingga pembukaan lapangan kerja baru menjadi terhambat?”. Pertanyaan argumentatif semacam ini selalu ada jalan untuk mengelakkannya. Sedangkan permintaan atas bukti sejarah, tidak ada jalan untuk mengelak.

Kita kembali pada topik sektor properti lagi. Ada satu pernyataan, yang sudah/bisa menjadi semacam hukum di dalam bidang properti. Katanya: “harga tanah/properti akan naik terus nilainya karena menjadi semakin langka dengan waktu”. Nampaknya pernyataan ini masuk akal. Dan penurunan/logika yang digunakan untuk hukum I sektor properti sebagai berikut:

  1. Jumlah penduduk akan terus bertambah dan semua membutuhkan tempat tinggal
  2. Tanah tidak bertambah luasnya
  3. Maka harga tanah/properti akan naik terus nilainya karena menjadi semakin langka dengan waktu.

Cukup logis bukan? Dalil ini bisa dikatakan sahih secara logika, tetapi belum tentu sahih terhadap kenyataan. Oleh sebab itu perlu dilihat datanya.

Data harga properti yang paling lengkap dan mudah diperoleh adalah data dari Amerika Serikat. Professor dari Universitas Yale, bernama Robert Shiller, mengumpulkan data harga properti dari tahun 1890 sampai saat ini. Indeks ini berdasarkan harga tahun 1890 = 100.

Chart-11 menunjukkan plot antara harga riil (sudah dikoreksi terhadap inflasi) dan perkembangan penduduk Amerika dari tahun 1890 sampai 2014. Yang menarik adalah tidak adanya korelasi antara jumlah penduduk dan harga riil properti. Harga properti boleh dikata stabil pada level Housing Index 100. Artinya ada faktor lain yang memperngaruhi harga properti selain permintaan yang bertambah karena kenaikan populasi. EOWI bisa berteori banyak, tetapi selama tidak ada data yang menunjangnya, maka teori hanyalah omongan di ruang kelas ekonomi, bukan di dunia nyata. Ibaratnya sama seperti teori Robert Maltus lah, hanyalah omong kosong.


Chart - 11


Ada lagi yang mengajukan teori bahwa harga properti sangat bergantung pada kredit, tingkat suku bunga dan easy-money policy. Hukum ke II dari sektor Properti: Harga properti adalah berbanding terbalik dengan tingkat suku bunga. Begini pembuktian dan urutan logikanya:

  • Suku bunga rendah dan easy money policy akan merangsang orang untuk mengambil kredit perumahan, baik untuk ditinggali atau untuk spekulasi.
  • Dengan naiknya permintaan rumah/properti, maka harganya akan naik.

Korelasi yang sama berlaku suku bunga meningkat maka harga rumah akan turun.

Seperti sebelum-sebelumnya, EOWI akan selalu skeptis. Seorang dosen, professor, peneliti di bidang ekonomi, serta seorang mahasiswa jurusan ekonomi juga seharusnya skeptis juga. Kalau ada opini akal sehat mengatakan sesuatu, perlu dipertanyakan.  Apakah ada korelasi antara suku bunga pinjaman jangka panjang dengan harga riil rumah?

Dari data Shiller (Chart-13), ternyata tidak ada korelasi juga. Misalnya pada rentang tahun 1950 - 1998,  indeks harga rumah relatif tetap di sekitar 100 lebih sedikit. Sedangkan suku bunga pinjaman jangka panjang (yang menjadi acuan suku bunga kredit rumah), meningkat dari 2.5% sampai 15% (kenaikan sekitar 6 kali lipat) sebelum turun lagi ke level 6%-7% menjelang tahun 2000.


Chart - 12


Kalau suku bunga tidak mempunyai korelasi lansung terhadap harga rumah, demikian juga jumlah penduduk, apa masih ada lagi yang lain? Bagaimana dengan biaya konstruksi. Apakah biaya konstruksi akan mempengaruhi harga rumah/properti? Alasannya:

Jika biaya konstruksi rumah dan bangunan naik/turun maka developer akan menaikkan harga rumah untuk menyerap biaya produksi.

Ini bisa dianggap sebagai dalil/hukum ke III dari sektor properti. Alur logika cukup wajar bukan? Sebagai orang yang super skeptis, EOWI akan mencari datanya lagi untuk membuktikannya.

Chart-13 menunjukkan bahwa indeks biaya kontruksi bangunan juga tidak sejalan dengan harga rumah secara konsisten. Dari tahun 1890 sampai 1930 antara keduanya (harga rumah dan biaya konstruksi) mempunyai trend yang sama, dalam arti, biaya kontruksi turun juga harga rumah.Antara tahun 1930 sampai 1945, harga properti agak tertinggal oleh biaya konstruksi. Selanjutnya biaya konstruksi naik terus (dari tahun 1950) sampai tahun 1980 tanpa diikuti oleh kenaikan harga riil rumah. Tentu saja pada periode ini para developer mengalami pengikisan profit margin. Ini adalah konsekwensi logisnya.


Chart - 13


Lonjakan biaya konstruksi pada rentang tahun 1970 – 1980 dan rentang tahun 2000 – 2010 lebih banyak dipengaruhi oleh siklus komoditi yang rentangnya sekitar 30 - 40 tahunan (Chart-14). Pada periode itu secular bull market juga terjadi pada sektor komoditi dan harga-harga bahan komoditi naik. Pada tahun 1970 – 1980 bull maket komodity (Chart-14), tidak ada kenaikan harga rumah, sedangkan pada periode 2000 – 2010 bull market komoditi, harga rumah mengalami bubble, dan merupakan bubble di sektor properti yang pertama sejak data Shiller dimulai 120 tahun lalu.


Chart - 14


Ada lagi lonjakan biaya konstruksi juga terjadi pada tahun 1937 – 1943. Lonjakan yang ini antara bisa diassosiasikan dengan siklus 30 tahunan harga komoditi yang molor, karena bull market sektor komoditi cukup molor dan mempunyai rentang yang panjang, 1935 - 1951.

Lain halnya tahun 1895 – 1900, biaya konstruksi mengalami lonjakan karena siklus komoditi periode 1899 – 1920 berada sedang dalam posisi menanjak. Tetapi pola kenaikan biaya pembangunan rumah mempunyai puncak di tahun 1900. Ini tidak seiring dengan kenaikan harga komoditi yang puncaknya terjadi di tahun 1920. Yang menarik adalah antara tahun 1890 – 1900 harga-harga bahan bangunan naik. Tetapi harga rumah tidak naik.



Properti Yang Tidak Naik Nilai Riilnya Selama 120 tahun (Hanya ada 1 Bubble Sepanjang Sejarah)

Sepanjang sejarah yang direkam oleh Shiller, hanya ada 1 (satu, eka, one, ciek, ahad, siji, hiji’, ien, un,...., tunggal) bubble di sektor properti. Dari tahun 1890, awal sejarah properti yang direkam Shiller hingga saat ini, tahun 2014 (124 tahun) hanya ada satu bubble yang panjangnya satu dekade, yaitu tahun 1998 – 2007. Dan bubble properti yang sekarang ini hampir mendunia. Saya menggunakan kata “hampir mendunia” karena ada negara, seperti Jepang, kenaikan harga properti dalam dekade ini tidak bisa disebut bubble. Seandainya mau dipaksakan untuk disebut bubble, maka bubblenya tidak terlalu besar. Dan saat ini bubble properti di dunia itu sedang mengalami pengempisan. Lamanya proses pengempisan bisa 5 tahun, bisa juga 20 tahun seperti yang terjadi di Jepang, bisa juga 120 tahun. Seperti bubble-bubble lainnya, akhirnya nilai riilnya akan kembali ke level sebelum terjadinya bubble.

Sekedar untuk mengukur kepekaan di masyarakat, saya sering bertanya kepada teman-teman dan kenalan, apakah harga rumah di Indonesia sekarang ini sudah mencapai level bubble atau belum. Jawabannya kebanyakan adalah: “belum”. Ini termasuk sepupu saya yang pulang dari Australia ke Indonesia untuk membikin usaha perumahan cluster. Alasan mereka belum bubble adalah, bahwa banyak rakyat Indonesia masih membutuhkan rumah. Alasan ini menjustifikasi kesimpulan bahwa bubble di sektor properti, tidak ada.

Bagi yang tahu analisa teknikal, akan mudah menjawabnya dengan kata: “sudah bubble”, jika ditunjukkan chart indeks harga rumah di Indonesia yang sudah menanjak secara parabolik. Bagi penbaca yang kurang paham mengenai analisa teknikal, illustrasi berikut ini bisa memberikan gambaran.

Minggu lalu saya memperoleh email dari sekuritas saham saya. Isinya mengenai saham Modernland (MDLN) yang usahanya di bidang. Saat ini Modernland sedang menawarkan rumah di kompleks River Garden dengan luas tanah (lt) 90 meter persegi dan luas bangunan (lb) 58 meter persegi seharga Rp 1 milyar. Type yang lain adalah lt/lb 90/75 m dengan harga Rp 1.5 milyar. Lokasinya di Jakarta Garden City, Cilincing, yang panas dan gersang serta macet. Hawanya tentu sangat berbeda dengan Villa Cinere Mas, yang masih banyak hutan-hutan pinus.

Ukuran lt/lb (luas tanah/luas bangunan) 90/58 meter dan 90/75 meter, adalah type untuk pembeli rumah pertama. Artinya, pasangan muda baru menikah dengan umur 25 - 30 tahun, dan baru punya anak kecil 0 - 2 orang.

Dengan harga Rp 1 milyar dan dicicil selama 15 tahun, maka down-payment nya Rp 300 juta, dan cicilan per bulannya sekitar Rp 7.50 juta untuk tahun pertaman dan Rp 8.50 juta untuk tahun-tahun berikutnya. Pertanyaannya adalah: apakah banyak di antara orang-orang muda (batasi saja yang professional), yang penghasilan rumah tangganya Rp 26 juta? Itupun dengan catatan bahwa mereka sudah punya tabungan untuk down payment sebesar 1 tahun penghasilan keluarga mereka (Rp 300 juta).

Melihat angka Rp 26 juta per bulan setelah dipotong pajak, tidak mungkin pegawai administrasi, sekretaris, atau pegawai perusahaan “biasa”. Angka ini juga 4-5 kali GDP per kapita Indonesia. Sebagai orang yang bekerja di sektor perminyakan, saya tahu tingkat gaji sektor perminyakan termasuk yang premium. Itupun jarang seseorang yang berumur 30 tahun bergaji Rp 25 juta per bulan. Mau tidak mau, cicilan harus dilakukan bersama-sama, suami dan istri.  Dan untuk perusahaan di luar pertambangan dan minyak, gaji berdua, suami-istri mungkin masih sulit untuk bisa mencicil rumah. Yang saya bicarakan adalah kelas menengah, bukan kelas bawah. Masih ada lagi pangsa pasar lainnya. Yaitu kelompok yang punya usaha sendiri dan pedagang. Untuk kelompok ini saya tidak tahu banyak.

Memang ada rumah dengan harga yang lebih rendah (tidak/bukan murah). Tetapi, tetap saja sulit dijangkau oleh kebanyakan orang.

Dalih bahwa banyak rakyat Indonesia masih membutuhkan rumah, tidak bisa dijadikan alasan yang cukup. Sebab, semua orang boleh butuh rumah, tetapi apakah mereka mampu dan ada sarananya (kesediaan kredit) membelinya? Kemampuan membeli dan sarananya, syarat yang lebih penting untuk mendongkrak permintaan, dari pada kebutuhan. Kebutuhan saja tidak ada artinya. Tetapi kebutuhan yang disertai dengan kemampuan membelilah yang bisa menjelma menjadi permintaan. Kebutuhan dan sarana (kesediaan kredit) tanpa ditunjang dengan kemampuan akan menjelma menjadi bencana kredit macet. Sekarang silahkan lihat sendiri, berapa banyak orang belum punya rumah dan bisa membeli rumah. Itulah tolok ukur untuk ada dan tidaknya bubble.


Investasi Itu Akal Sehat

Kalau anda beli properti saat ini untuk tujuan investasi, istilah investasinya sama saja dengan menangkap pisau yang sedang jatuh. Semua bubble akan pecah dan mengempis, itu harus. Kerugian berikut ini yang akan anda tanggung:

  1. Biaya perawatan
  2. Depresiasi bangunan
  3. Pajak bumi dan bangunan
  4. Penurunan harga pasar umumnya
  5. Biaya bunga bank, kalau membelinya dengan kredit
  6. Kalau tanahnya hak guna bangunan, hati-hati resiko setelah masa hak nya habis

Kalau anda tetap ingin berspekulasi saat ini, setidaknya anda harus siap menanggung 5 resiko di atas. Setidaknya harus ada pertimbangan untuk mencari pemasukkan uang sewa atau penggunaan atas asset tersebut. Kalau mengharapkan appresiasi harga, anda harus sangat jeli dalam memilih propertinya. Artinya, ketika membelinya tidak di harga bubble dari orang yang butuh uang.

Bila anda ingin outperform the crowd, lebih baik dari pada rata-rata orang, anda tidak bisa sekedar ikut arus dan mengikuti apa yang dilakukan orang banyak. Anda harus memilih jalan yang berbeda. Dengan memilih jalan yang berbeda, hasilnya ada tiga kemungkin. Pertama anda bisa mengungguli (outperform) khalayak ramai. Anda cerdas, beruntung dan berani bertindak beda, sehingga langkah yang anda ambil adalah langkah yang memberi hasil yang lebih baik dari rata-rata populasi.

Kedua pencapaian anda bisa juga di bawah khalayak ramai karena anda punya IQ jongkok dan lebih rendah dari rata-rata populasi, tidak membaca EOWI serta bernasib sial.

Dan yang ke tiga, pencapaian anda kebetulan sama dengan rata-rata orang. Disini anda bernasib sial. Sudah berusaha lebih baik dari orang umumnya, tetapi gagal.

Menunggu dan duduk di atas cash termasuk bagian dari investasi. Menahan diri untuk masuk ke saham, emas, properti, barang seni, atau merupakan kelihaian dalam berinvestasi. Kalau di analogikan dengan ular atau binatang pemangsa, ada yang type predator penyergap seperti rattle snake. Type ini akan diam, tidak bergerak, dengan kulit penyamaran, ia tidak nampak, menunggu mangsanya di jalur yang sering dilewati mangsanya. Ia akan menyergap mangsanya ketika mangsanya yang tidak melihatnya lewat. Type ini sangat hemat energi.

Type kedua adalah type pemburu, seperti kobra yang secara aktif bergerak mencari mangsa dan ketika berjumpa akan diserangnya. Type ini lebih boros dalam pemakaian energi.

Manusia bisa lebih fleksibel. Kadang menjadi type penyergap, tetapi bisa juga menjadi type pemburu. Ketika mangsa menjadi langka atau susah dikejar, lebih baik menjadi penyergap. Biarkan mangsa itu mendatangi kita. Ketika harga rumah membubble seperti sekarang ini, kita harus tahu dimana jalur-jalur yang sering dilewati mangsa. Membeli dari pasar primer, dari developer, bukan mangsa yang gemuk dan lezat. Developer seperti Agung Sedayu, tidak punya tekanan apa-apa yang mengharuskannya memperoleh cash secara cepat. Dengan kata lain tidak ada tekanan fire sale. Ada kelompok masyarakat yang punya peluang untuk memperoleh tekanan fire sale pada kondisi ekonomi normal. Yaitu orang tua dan pensiunan, orang yang sakit (karena tua). Kelompok ini punya tabungan berupa rumah dan harus dicairkan segera karena kebutuhannya meningkat sejalan dengan penurunan kesehatannya. Pada saat krisis ekonomi, jumlah orang yeng mendapat tekanan fire sale semakin banyak. Orang yang perlu makan karena usahanya bangkrut, dikeluarkan dari pekerjaannya, harus melunasi hutang, tidak bisa mencicil lagi, dsb. Mereka akan memperoleh tekanan untuk melikwidasi rumah/tabungannya. Pada masa krisis, kita bisa aktif berburu, sedangkan pada masa non-krisis, kita lebih baik menghemat energi dan menunggu kalau ada yang butuh uang (BU).

Selain harga, faktor lokasi perlu diperhatikan. Indonesia yang masih mengalami urbanisasi. Wilayah-wilayah di kota-kota akan mengalami perubahan fungsi. Harga properti umumnya berubah sesuai perubahan fungsi dari wilayah itu. Tahun 1950an, kota Jakarta batasnya adalah Dukuh Atas. Kebayoran Baru adalah luar kota dibangun tahun 1949 dan selesai pada tahun 1955. Kemungkinan dimasa itu harganya tidak mahal, banyak pegawai negri dan pegawai biasa bisa memiliki rumah disitu. Design dan penataan wilayahnya bagus, artinya jalan-jalannya cukup lebar. Rumah-rumahnyapun punya luas tanah yang bervariasi. Adanya rumah-rumah besar membuat wilayah ini bisa menjadi wilayah elit, karena ada orang kaya (yang punya rumah besar) tinggal disitu. Akhir tahun 1960an, jalan Sudirman di sekitar Setiabudi masih banyak kampung. Paman saya dulu tinggal di wilayah Setiabudi dan punya banyak kambing. Ketika wilayah jalan Sudirman berkembang menjadi daerah bisnis dan perkantoran modern, Kebayoran baru menjadi tempat tinggal yang elit. Disamping dekat dengan daerah perkantoran, juga adanya rumah-rumah besar bisa mengakomodasi tempat tinggal kelas berduit. Sedangkan daerah Setiabudi “di belakang Sudirman”, tetap menjadi kampung kumuh yang mahal karena kedekatannya dengan Sudirman. Tentu saja kenaikan nilai asset di situ masih kalah dengan di Kebayoran Baru.

Condet punya cerita lain. Jalan Condet Raya masih jalan tanah sampai tahun 1970an dan Condet masih kebun duku dan salak. Condet tidak pernah punya rencana tata wilayah. Ketika urbanisasi berlanjut, penduduk yang mengadu nasib dari pedesaan Jawa, Sumatera dan wilayah lain di Indonesia datang ke Jakarta, Condet, daerah ini berkembang. Rumah rumah bertumbuhan dimana-mana. Condet menjadi kampung besar, dengan jalan-jalan yang tidak karuan, banyak jalan-jalan tikus (kecil) yang berliku-liku, yang tidak lain adalah jalan kampung yang dulunya adalah pembatas kepemilikan tanah dan jalan masuk seadanya ke tanah seseorang. Bahkan yang disebut jl. Kekeran dulunya adalah jalur listrik tegang tinggi. Disebut kekeran karena pada saat pembangunan menara-menara tegangan tinggi digunakan teodolit, yang mirip teropong. Meng-keker dalam bahasa Betawi artinya meneropong.


Condet dengan ruang yang tidak tertata (tidak ada tata ruang). Perhatikan berapa banyak rumah yang tidak terhubung oleh jalan


Orang-orang kampung dulu sering jalan kaki lewat jalur itu karena sudah dibebaskan (untuk akses listrik tegangan tinggi). Jangan heran kalau ada rumah yang terkurung oleh rumah lain dan tidak punya jalan keluar yang memadai (untuk kendaraan). Sebagai tempat hunian, Condet tidak pernah akan menjadi Kebayoran Baru atau Pondok Indah, selama budaya mobil ada.

Cerita wilayah Cibubur dan Bekasi hampir sama dalam arti wilayah yang berkembang karena adanya akses jalan tol. Sampai akhir dekade 1970an, Cibubur masih hutan karet dan kebun-kebun buah. Banyak pengembang masuk ke wilayah itu dan mendirikan kompleks-kompleks perumahan. Cibubur menarik banyak orang karena adanya jalan tol Jagorawi yang menghubungkannya dengan Jakarta. Harga riil properti disana menanjak tajam pada saat munculnya pembangunan kompleks-kompleks perumahan di sepanjang jalan tol Jagorawi dan Bogor sampai akhirnya jalan tol Jagorawi menjadi macet. Sekarang Cibubur sudah menjadi kota tersendiri yang macet. Properti di sepanjang jalan tol Jagorawi atau tol Jakarta-Karawang, seperti Jonggol, Bukit Sentul, tidak terlalu menarik untuk kelas menengah selama tidak ada jalan altenatif yang baru atau pusat bisnis masih ada di Jakarta. Problem utamanya adalah macet untuk bisa ke pusat bisnis, tempat kerja. Untuk kelas buruh atau bisnis yang segmen pasarnya buruh, masih bisa diandalkan. Sekitar Cibubur dan Cibinong banyak pabrik-pabrik dengan buruh-buruhnya. Jangan terlalu heran kalau anda saat ini pergi ke perumahan kelas menengah Bukit Sentul, terlihat banyak rumah yang ditinggalkan penghuninya. Perumahan Bukit Sentul diarahkan untuk kelas menengah, karena jauh dan macet dari tempat kerja mereka, banyak penghuninya lebih suka sewa tempat tinggal di dekat tempat kerjanya. Mereka terperangkap. Propertinya tidak likwid, kecuali mau jual dengan harga discount.


Villa Cinere Mas Jakarta (Perhatikan, semua rumah terhubung dengan jalan, tidak seperti Condet)


Faktor ketiga adalah waktu (timing). Kalau digambarkan, perjalanan nilai asset di suatu wilayah terhadap waktu, bentuknya seperti huruf S. Awalnya adalah fase tidur, wilayah tersebut katakanlah tidur, tidak banyak perubahan kegiatan ekonomi yang berarti. Kemudian fase kebangkitan. Ini terjadi jika ada suatu perubahan yang memicu nilai ekonomi meningkat, seperti pembangunan jalan masuk, jalan tol, kereta (MRT), dll. Pada periode ini kenaikan harga properti memperoleh momentum. Selanjutnya adalah periode mature, matang dimana nilai riil properti meningkat relatif tidak banyak, kalau tidak mau disebut stabil. Momentumnya mengecil.

Kalau strategi timing masa krisis, yang diandalkan adalah banyaknya  fire sale, membeli asset dengan harga dibanting, strategi fase kebangkitan lebih mengandalkan momentum. Karena pada saat ini memontum kenaikan harga asset adalah pada puncaknya. Dengan demikian pengembalian modal menjadi lebih cepat.

Siklus yang berfase 3 ini bisa berulang-ulang untuk wilayah yang sama. Misalnya untuk yang sekarang ini adalah wilayah sepanjang jalan Simatupang Jakarta, siklus pertama terjadi ketika penbukaan jalan tembus dan jalan tol. Siklus pertama ini berlangsung relatif cepat dibandingkan siklus berikutnya yaitu ketika di bangunnya menara-menara perkantoran. Tidak tertutup kemungkinan adanya siklus-siklus berikutnya.

Pertanyaannya, bagaimana dengan investasi properti di masa bubble? Dimasa bubble tidak ada yang disebut investasi yang baik. Yang ada adalah spekulasi, dalam arti “buy high and sell higher”. Karena properti untuk pasar sekunder biasanya relatif tidak terlalu likwuid, maka anda harus siap menanggung resiko kerugian, dalam arti, anda stuck dengan asset yang tidak likwid dan dibeli diharga bubble. Teman saya masih bisa memperoleh potensi keuntungan (yang belum direalisasikan) cukup lumayan dengan tetap berkecimpung di sektor properti paska krisis sub-prime. Saya tidak tahu apakan keuntungan itu bisa direalisasikan atau tidak, dengan kata lain, apakan ia bisa menjual assetnya saat ini? Entahlah. Saingan dari developer yang memberikan banyak keringanan (DP dicicil) adalah tantangan utamanya.

Sekian dulu......, dari hutan Papua EOWI mengucapkan, jaga kesehatan anda serta hasil jerih-payah anda baik-baik. Semoga kita bisa makmur bersama.


Hutan Papua 18-May-2014
 



Disclaimer: Ekonomi (dan investasi) bukan sains dan tidak pernah dibuktikan secara eksperimen; tulisan ini dimaksudkan sebagai hiburan dan bukan sebagai anjuran berinvestasi oleh sebab itu penulis tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang diakibatkan karena mengikuti informasi dari tulisan ini. Akan tetapi jika anda beruntung karena penggunaan informasi di tulisan ini, EOWI dengan suka hati kalau anda mentraktir EOWI makan-makan.