(bagian II)
Pada bagian pertama dari tulisan ini EOWI dengan sangat menantang
mengatakan bahwa harga riil rumah umumnya tidak akan naik selama 100 tahun
kedepan. Ini pernyataan yang sangat menantang. Kenapa EOWI berani mengatakan
dengan cara demikian, tidak lain karena EOWI mempunyai datanya. Pada bagian ke
II ini akan dibeberkan data-data yang akan menunjang pernyataan yang menantang tersebut
di atas.
Banyak prinsip-prinsip ekonomi didasari pada common sense (akal sehat). Padahal yang disebut akal sehat sering
tidak sehat sama sekali dan datangnya mungkin dari orang sakit. Orang sakit
akalnyapun bisa memberikan opininya. Misalnya, Robert Maltus yang mengatakan
bahwa laju pertambahan penduduk adalah bagai deret ukur, sedangkan laju
pertambahan produksi makanan seperti deret hitung, sehingga pada suatu saat
akan terjadi kelaparan global.
Hukum ekonomi Maltus ini dipakai oleh seorang professor dari Universitas
Stanford, Paul Ehrlich di tahun 1968 untuk meramalkan kelaparan global di tahun
1970an dan 1980an (silahkan baca bukunya Paul Ehrlich yang berjudul The Population Bomb, 1968). Berikut ini
sebagian kutipan dari buku itu:
The
battle to feed all of humanity is over. In the 1970s hundreds of millions of
people will starve to death in spite of any crash programs embarked upon now.
At this late date nothing can prevent a substantial increase in the world death
rate..
Katanya, walaupun ada crash program
yang dimulai di akhir dekade 1960an sebagai langkah dan usaha pencegahan,
ratusan juta orang tetap akan mengalami mati kelaparan. Sampai saat ini (tahun
1968), tidak ada usaha yang bisa mencegah tingginya angka kematian global.
Pembaca tahu apa yang terjadi? Bukannya mati kelaparan, tetapi sebaliknya!!!!
Obesitas – kelebihan kalori, kelebihan makanan, melanda dunia dimulai dari
dekade 1980an sampai sekarang! Justru kebalikannya. Bukannya mati kelaparan,
tetapi mati karena kelebihan makanan. Saya tidak tahu apa yang dihisap Paul
Ehrlich dulu. Ganja paling populer pada masa itu di California.
Omong-omong tentang California, wilayah ini terkenal dengan nama the Land of Fruits and Nuts. Kata Fruits and Nuts bisa diartikan sebagai
buah-buahan dan kacang-kacangan. Tetapi dalam konteks the Land of Fruits and Nuts ini, artinya homoseksual dan orang
edan. Disanalah populasi gay, homoseksual, lesbian USA yang tertinggi. Dan
disana banyak badan-badan riset yang melakukan riset edan dan yang aneh-aneh.
Kalau anda mendengar global warming, lubang ozon, penangkapan CO2....,
bisa dipastikan dari California.
Bintang komedi Cheech & Chong adalah potret stereo-type orang California. Ada film Cheech and Chong yang
populer, yaitu Nice dream dan Up in Smoke. Sebagai potret stereo-type California, film Cheech and
Chong bisa dikatakan mewakili penggambaran kultur California. Seperti McKanzie
brothers sebagai stereo-type Canada.
Atau Benyamin Suaeb mewakili kultur Jakarta. Sebelum melanjutkan kisah
properti, supaya otak anda terlalu banyak kerja keras, ada baiknya pembaca
mengendorkan syaraf dan hibur diri dengan selingan film komedi Cheech &
Chong di link ini:
Up in Smoke
Paul Ehrlich masih belum apa-apa jika dibandingkan dengan Robert Maltus. Lebih
dari 200 tahun, teorinya tidak pernah terbukti. Tetapi, teori Robert Maltus
tetap diajarkan di sekolah-sekolah sampai sekarang. What a waste!!!
Ada seorang pembaca EOWI yang juga seorang mahasiswa jurusan ekonomi
bercerita bahwa dia diajari di sekolahnya bahwa pajak adalah untuk kemakmuran. Itu
mungkin cuma pendapat dari seorang crackpot.
Tidak ada buktinya bahwa pajak akan meningkatkan kemakmuran. Dan opini-opini
para crackpot-oxymoron ini masih
tetap dipertahankan di dalam kurikulum fakultas ekonomi. Seharusnya mahasiswa
menguji isi kuliah gurunya dengan pertanyaan yang sama: “Apakah
prinsip/hukum/dalil itu sudah dibuktikan dalam sejarah atau eksperimen?”.
Jangan sebut hukum/dalil jika tidak ada buktinya. Khusus untuk kasus pajak tadi
di atas, sang mahasiswa seharusnya bertanya: “Apakah ada riset yang membuktikan
bahwa pajak akan meningkatkan kemakmuran? Di negara komunis yang pajaknya 100%,
malah tidak makmur sama sekali.” Menuntut data sejarah akan lebih memojokkan
dari pada mengajukan pertanyaan argumentatif seperti: “Bukankah pajak mematikan
entrepreneurship, menghambat investasi (karena uangnya dibayarkan ke
permerintah sebagai pajak), sehingga pembukaan lapangan kerja baru menjadi
terhambat?”. Pertanyaan argumentatif semacam ini selalu ada jalan untuk
mengelakkannya. Sedangkan permintaan atas bukti sejarah, tidak ada jalan untuk
mengelak.
Kita kembali pada topik sektor properti lagi. Ada satu pernyataan, yang
sudah/bisa menjadi semacam hukum di dalam bidang properti. Katanya: “harga tanah/properti akan naik terus
nilainya karena menjadi semakin langka dengan waktu”. Nampaknya pernyataan
ini masuk akal. Dan penurunan/logika yang digunakan untuk hukum I sektor
properti sebagai berikut:
- Jumlah penduduk akan terus bertambah dan semua membutuhkan tempat tinggal
- Tanah tidak bertambah luasnya
- Maka harga tanah/properti akan naik terus nilainya karena menjadi semakin langka dengan waktu.
Cukup logis bukan? Dalil ini bisa dikatakan sahih secara logika, tetapi belum
tentu sahih terhadap kenyataan. Oleh sebab itu perlu dilihat datanya.
Data harga properti yang paling lengkap dan mudah diperoleh adalah data
dari Amerika Serikat. Professor dari Universitas Yale, bernama Robert Shiller,
mengumpulkan data harga properti dari tahun 1890 sampai saat ini. Indeks ini
berdasarkan harga tahun 1890 = 100.
Chart-11 menunjukkan plot antara harga riil (sudah dikoreksi terhadap
inflasi) dan perkembangan penduduk Amerika dari tahun 1890 sampai 2014. Yang
menarik adalah tidak adanya korelasi antara jumlah penduduk dan harga riil
properti. Harga properti boleh dikata stabil pada level Housing Index 100. Artinya ada faktor lain yang memperngaruhi harga
properti selain permintaan yang bertambah karena kenaikan populasi. EOWI bisa
berteori banyak, tetapi selama tidak ada data yang menunjangnya, maka teori
hanyalah omongan di ruang kelas ekonomi, bukan di dunia nyata. Ibaratnya sama
seperti teori Robert Maltus lah, hanyalah omong kosong.
Chart - 11
Ada lagi yang mengajukan teori bahwa harga properti sangat bergantung pada
kredit, tingkat suku bunga dan easy-money
policy. Hukum ke II dari sektor Properti: Harga properti adalah berbanding terbalik dengan tingkat suku bunga.
Begini pembuktian dan urutan logikanya:
- Suku bunga rendah dan easy money policy akan merangsang orang untuk mengambil kredit perumahan, baik untuk ditinggali atau untuk spekulasi.
- Dengan naiknya permintaan rumah/properti, maka harganya akan naik.
Korelasi yang sama berlaku suku bunga meningkat maka harga rumah akan
turun.
Seperti sebelum-sebelumnya, EOWI akan selalu skeptis. Seorang dosen,
professor, peneliti di bidang ekonomi, serta seorang mahasiswa jurusan ekonomi
juga seharusnya skeptis juga. Kalau ada opini akal sehat mengatakan sesuatu,
perlu dipertanyakan. Apakah ada korelasi
antara suku bunga pinjaman jangka panjang dengan harga riil rumah?
Dari data Shiller (Chart-13), ternyata tidak ada korelasi juga. Misalnya
pada rentang tahun 1950 - 1998, indeks
harga rumah relatif tetap di sekitar 100 lebih sedikit. Sedangkan suku bunga
pinjaman jangka panjang (yang menjadi acuan suku bunga kredit rumah), meningkat
dari 2.5% sampai 15% (kenaikan sekitar 6 kali lipat) sebelum turun lagi ke
level 6%-7% menjelang tahun 2000.
Chart - 12
Kalau suku bunga tidak mempunyai korelasi lansung terhadap harga rumah,
demikian juga jumlah penduduk, apa masih ada lagi yang lain? Bagaimana dengan
biaya konstruksi. Apakah biaya konstruksi akan mempengaruhi harga
rumah/properti? Alasannya:
Jika biaya konstruksi rumah
dan bangunan naik/turun maka developer akan menaikkan harga rumah untuk
menyerap biaya produksi.
Ini bisa dianggap sebagai dalil/hukum ke III dari sektor properti. Alur
logika cukup wajar bukan? Sebagai orang yang super skeptis, EOWI akan mencari
datanya lagi untuk membuktikannya.
Chart-13 menunjukkan bahwa indeks biaya kontruksi bangunan juga tidak
sejalan dengan harga rumah secara konsisten. Dari tahun 1890 sampai 1930 antara
keduanya (harga rumah dan biaya konstruksi) mempunyai trend yang sama, dalam
arti, biaya kontruksi turun juga harga rumah.Antara tahun 1930 sampai 1945,
harga properti agak tertinggal oleh biaya konstruksi. Selanjutnya biaya
konstruksi naik terus (dari tahun 1950) sampai tahun 1980 tanpa diikuti oleh
kenaikan harga riil rumah. Tentu saja pada periode ini para developer mengalami
pengikisan profit margin. Ini adalah konsekwensi logisnya.
Chart - 13
Lonjakan biaya konstruksi pada rentang tahun 1970 – 1980 dan rentang tahun
2000 – 2010 lebih banyak dipengaruhi oleh siklus komoditi yang rentangnya
sekitar 30 - 40 tahunan (Chart-14). Pada periode itu secular bull market juga terjadi pada sektor komoditi dan
harga-harga bahan komoditi naik. Pada tahun 1970 – 1980 bull maket komodity
(Chart-14), tidak ada kenaikan harga rumah, sedangkan pada periode 2000 – 2010
bull market komoditi, harga rumah mengalami bubble,
dan merupakan bubble di sektor
properti yang pertama sejak data Shiller dimulai 120 tahun lalu.
Chart - 14
Ada lagi lonjakan biaya konstruksi juga terjadi pada tahun 1937 – 1943.
Lonjakan yang ini antara bisa diassosiasikan dengan siklus 30 tahunan harga
komoditi yang molor, karena bull
market sektor komoditi cukup molor dan mempunyai rentang yang panjang, 1935 -
1951.
Lain halnya tahun 1895 – 1900, biaya konstruksi mengalami lonjakan karena
siklus komoditi periode 1899 – 1920 berada sedang dalam posisi menanjak. Tetapi
pola kenaikan biaya pembangunan rumah mempunyai puncak di tahun 1900. Ini tidak
seiring dengan kenaikan harga komoditi yang puncaknya terjadi di tahun 1920.
Yang menarik adalah antara tahun 1890 – 1900 harga-harga bahan bangunan naik.
Tetapi harga rumah tidak naik.
Properti Yang Tidak Naik Nilai Riilnya Selama 120
tahun (Hanya ada 1 Bubble Sepanjang
Sejarah)
Sepanjang sejarah yang direkam oleh Shiller, hanya ada 1 (satu, eka, one,
ciek, ahad, siji, hiji’, ien, un,...., tunggal) bubble di sektor properti. Dari tahun 1890, awal sejarah properti
yang direkam Shiller hingga saat ini, tahun 2014 (124 tahun) hanya ada satu
bubble yang panjangnya satu dekade, yaitu tahun 1998 – 2007. Dan bubble properti yang sekarang ini hampir
mendunia. Saya menggunakan kata “hampir mendunia” karena ada negara, seperti
Jepang, kenaikan harga properti dalam dekade ini tidak bisa disebut bubble. Seandainya mau dipaksakan untuk
disebut bubble, maka bubblenya tidak terlalu besar. Dan saat
ini bubble properti di dunia itu
sedang mengalami pengempisan. Lamanya proses pengempisan bisa 5 tahun, bisa
juga 20 tahun seperti yang terjadi di Jepang, bisa juga 120 tahun. Seperti bubble-bubble lainnya, akhirnya nilai
riilnya akan kembali ke level sebelum terjadinya bubble.
Sekedar untuk mengukur kepekaan di masyarakat, saya sering bertanya kepada
teman-teman dan kenalan, apakah harga rumah di Indonesia sekarang ini sudah
mencapai level bubble atau belum. Jawabannya
kebanyakan adalah: “belum”. Ini termasuk sepupu saya yang pulang dari Australia
ke Indonesia untuk membikin usaha perumahan cluster. Alasan mereka belum bubble adalah, bahwa banyak rakyat
Indonesia masih membutuhkan rumah. Alasan ini menjustifikasi kesimpulan
bahwa bubble di sektor properti, tidak ada.
Bagi yang tahu analisa teknikal, akan mudah menjawabnya dengan kata: “sudah
bubble”, jika ditunjukkan chart
indeks harga rumah di Indonesia yang sudah menanjak secara parabolik. Bagi
penbaca yang kurang paham mengenai analisa teknikal, illustrasi berikut ini
bisa memberikan gambaran.
Minggu lalu saya memperoleh email dari sekuritas saham saya. Isinya
mengenai saham Modernland (MDLN) yang usahanya di bidang. Saat ini Modernland sedang
menawarkan rumah di kompleks River Garden dengan luas tanah (lt) 90 meter
persegi dan luas bangunan (lb) 58 meter persegi seharga Rp 1 milyar. Type yang
lain adalah lt/lb 90/75 m dengan harga Rp 1.5 milyar. Lokasinya di Jakarta
Garden City, Cilincing, yang panas dan gersang serta macet. Hawanya tentu sangat
berbeda dengan Villa Cinere Mas, yang masih banyak hutan-hutan pinus.
Ukuran lt/lb (luas tanah/luas bangunan) 90/58 meter dan 90/75 meter, adalah
type untuk pembeli rumah pertama. Artinya, pasangan muda baru menikah dengan
umur 25 - 30 tahun, dan baru punya anak kecil 0 - 2 orang.
Dengan harga Rp 1 milyar dan dicicil selama 15 tahun, maka down-payment nya Rp 300 juta, dan
cicilan per bulannya sekitar Rp 7.50 juta untuk tahun pertaman dan Rp 8.50 juta
untuk tahun-tahun berikutnya. Pertanyaannya adalah: apakah banyak di antara
orang-orang muda (batasi saja yang professional), yang penghasilan rumah
tangganya Rp 26 juta? Itupun dengan catatan bahwa mereka sudah punya tabungan
untuk down payment sebesar 1 tahun
penghasilan keluarga mereka (Rp 300 juta).
Melihat angka Rp 26 juta per bulan setelah dipotong pajak, tidak mungkin
pegawai administrasi, sekretaris, atau pegawai perusahaan “biasa”. Angka ini
juga 4-5 kali GDP per kapita Indonesia. Sebagai orang yang bekerja di sektor
perminyakan, saya tahu tingkat gaji sektor perminyakan termasuk yang premium. Itupun jarang seseorang yang
berumur 30 tahun bergaji Rp 25 juta per bulan. Mau tidak mau, cicilan harus
dilakukan bersama-sama, suami dan istri.
Dan untuk perusahaan di luar pertambangan dan minyak, gaji berdua,
suami-istri mungkin masih sulit untuk bisa mencicil rumah. Yang saya bicarakan
adalah kelas menengah, bukan kelas bawah. Masih ada lagi pangsa pasar lainnya.
Yaitu kelompok yang punya usaha sendiri dan pedagang. Untuk kelompok ini saya
tidak tahu banyak.
Memang ada rumah dengan harga yang lebih rendah (tidak/bukan murah).
Tetapi, tetap saja sulit dijangkau oleh kebanyakan orang.
Dalih bahwa banyak rakyat Indonesia masih membutuhkan rumah, tidak
bisa dijadikan alasan yang cukup. Sebab, semua orang boleh butuh rumah, tetapi
apakah mereka mampu dan ada sarananya (kesediaan kredit) membelinya? Kemampuan
membeli dan sarananya, syarat yang lebih penting untuk mendongkrak permintaan,
dari pada kebutuhan. Kebutuhan saja tidak ada artinya. Tetapi kebutuhan yang disertai
dengan kemampuan membelilah yang bisa menjelma menjadi permintaan. Kebutuhan
dan sarana (kesediaan kredit) tanpa ditunjang dengan kemampuan akan menjelma
menjadi bencana kredit macet. Sekarang silahkan lihat sendiri, berapa banyak
orang belum punya rumah dan bisa membeli rumah. Itulah tolok ukur untuk ada dan
tidaknya bubble.
Investasi Itu Akal Sehat
Kalau anda beli properti saat ini untuk tujuan investasi, istilah
investasinya sama saja dengan menangkap pisau yang sedang jatuh. Semua bubble akan pecah dan mengempis, itu
harus. Kerugian berikut ini yang akan anda tanggung:
- Biaya perawatan
- Depresiasi bangunan
- Pajak bumi dan bangunan
- Penurunan harga pasar umumnya
- Biaya bunga bank, kalau membelinya dengan kredit
- Kalau tanahnya hak guna bangunan, hati-hati resiko setelah masa hak nya habis
Kalau anda tetap ingin berspekulasi saat ini, setidaknya anda harus siap
menanggung 5 resiko di atas. Setidaknya harus ada pertimbangan untuk mencari pemasukkan
uang sewa atau penggunaan atas asset tersebut. Kalau mengharapkan appresiasi
harga, anda harus sangat jeli dalam memilih propertinya. Artinya, ketika
membelinya tidak di harga bubble dari
orang yang butuh uang.
Bila anda ingin outperform the crowd,
lebih baik dari pada rata-rata orang, anda tidak bisa sekedar ikut arus dan
mengikuti apa yang dilakukan orang banyak. Anda harus memilih jalan yang
berbeda. Dengan memilih jalan yang berbeda, hasilnya ada tiga kemungkin.
Pertama anda bisa mengungguli (outperform)
khalayak ramai. Anda cerdas, beruntung dan berani bertindak beda, sehingga
langkah yang anda ambil adalah langkah yang memberi hasil yang lebih baik dari
rata-rata populasi.
Kedua pencapaian anda bisa juga di bawah khalayak ramai karena anda punya
IQ jongkok dan lebih rendah dari rata-rata populasi, tidak membaca EOWI serta
bernasib sial.
Dan yang ke tiga, pencapaian anda kebetulan sama dengan rata-rata orang.
Disini anda bernasib sial. Sudah berusaha lebih baik dari orang umumnya, tetapi
gagal.
Menunggu dan duduk di atas cash
termasuk bagian dari investasi. Menahan diri untuk masuk ke saham, emas,
properti, barang seni, atau merupakan kelihaian dalam berinvestasi. Kalau di
analogikan dengan ular atau binatang pemangsa, ada yang type predator penyergap
seperti rattle snake. Type ini akan
diam, tidak bergerak, dengan kulit penyamaran, ia tidak nampak, menunggu
mangsanya di jalur yang sering dilewati mangsanya. Ia akan menyergap mangsanya
ketika mangsanya yang tidak melihatnya lewat. Type ini sangat hemat energi.
Type kedua adalah type pemburu, seperti kobra yang secara aktif bergerak
mencari mangsa dan ketika berjumpa akan diserangnya. Type ini lebih boros dalam
pemakaian energi.
Manusia bisa lebih fleksibel. Kadang menjadi type penyergap, tetapi bisa
juga menjadi type pemburu. Ketika mangsa menjadi langka atau susah dikejar,
lebih baik menjadi penyergap. Biarkan mangsa itu mendatangi kita. Ketika harga
rumah membubble seperti sekarang ini,
kita harus tahu dimana jalur-jalur yang sering dilewati mangsa. Membeli dari pasar
primer, dari developer, bukan mangsa
yang gemuk dan lezat. Developer seperti Agung Sedayu, tidak punya tekanan
apa-apa yang mengharuskannya memperoleh cash
secara cepat. Dengan kata lain tidak ada tekanan fire sale. Ada kelompok masyarakat yang punya peluang untuk
memperoleh tekanan fire sale pada
kondisi ekonomi normal. Yaitu orang tua dan pensiunan, orang yang sakit (karena
tua). Kelompok ini punya tabungan berupa rumah dan harus dicairkan segera
karena kebutuhannya meningkat sejalan dengan penurunan kesehatannya. Pada saat
krisis ekonomi, jumlah orang yeng mendapat tekanan fire sale semakin banyak. Orang yang perlu makan karena usahanya
bangkrut, dikeluarkan dari pekerjaannya, harus melunasi hutang, tidak bisa
mencicil lagi, dsb. Mereka akan memperoleh tekanan untuk melikwidasi
rumah/tabungannya. Pada masa krisis, kita bisa aktif berburu, sedangkan pada
masa non-krisis, kita lebih baik menghemat energi dan menunggu kalau ada yang
butuh uang (BU).
Selain harga, faktor lokasi perlu diperhatikan. Indonesia yang masih
mengalami urbanisasi. Wilayah-wilayah di kota-kota akan mengalami perubahan
fungsi. Harga properti umumnya berubah sesuai perubahan fungsi dari wilayah
itu. Tahun 1950an, kota Jakarta batasnya adalah Dukuh Atas. Kebayoran Baru
adalah luar kota dibangun tahun 1949 dan selesai pada tahun 1955. Kemungkinan
dimasa itu harganya tidak mahal, banyak pegawai negri dan pegawai biasa bisa
memiliki rumah disitu. Design dan penataan wilayahnya bagus, artinya
jalan-jalannya cukup lebar. Rumah-rumahnyapun punya luas tanah yang bervariasi.
Adanya rumah-rumah besar membuat wilayah ini bisa menjadi wilayah elit, karena
ada orang kaya (yang punya rumah besar) tinggal disitu. Akhir tahun 1960an,
jalan Sudirman di sekitar Setiabudi masih banyak kampung. Paman saya dulu
tinggal di wilayah Setiabudi dan punya banyak kambing. Ketika wilayah jalan
Sudirman berkembang menjadi daerah bisnis dan perkantoran modern, Kebayoran
baru menjadi tempat tinggal yang elit. Disamping dekat dengan daerah
perkantoran, juga adanya rumah-rumah besar bisa mengakomodasi tempat tinggal
kelas berduit. Sedangkan daerah Setiabudi “di belakang Sudirman”, tetap menjadi
kampung kumuh yang mahal karena kedekatannya dengan Sudirman. Tentu saja
kenaikan nilai asset di situ masih kalah dengan di Kebayoran Baru.
Condet punya cerita lain. Jalan Condet Raya masih jalan tanah sampai tahun
1970an dan Condet masih kebun duku dan salak. Condet tidak pernah punya rencana
tata wilayah. Ketika urbanisasi berlanjut, penduduk yang mengadu nasib dari
pedesaan Jawa, Sumatera dan wilayah lain di Indonesia datang ke Jakarta,
Condet, daerah ini berkembang. Rumah rumah bertumbuhan dimana-mana. Condet
menjadi kampung besar, dengan jalan-jalan yang tidak karuan, banyak jalan-jalan
tikus (kecil) yang berliku-liku, yang tidak lain adalah jalan kampung yang dulunya
adalah pembatas kepemilikan tanah dan jalan masuk seadanya ke tanah seseorang.
Bahkan yang disebut jl. Kekeran dulunya adalah jalur listrik tegang tinggi.
Disebut kekeran karena pada saat
pembangunan menara-menara tegangan tinggi digunakan teodolit, yang mirip
teropong. Meng-keker dalam bahasa
Betawi artinya meneropong.
Condet dengan ruang yang tidak tertata (tidak ada
tata ruang). Perhatikan berapa banyak rumah yang tidak terhubung oleh jalan
Orang-orang kampung dulu sering jalan kaki lewat jalur itu karena sudah
dibebaskan (untuk akses listrik tegangan tinggi). Jangan heran kalau ada rumah
yang terkurung oleh rumah lain dan tidak punya jalan keluar yang memadai (untuk
kendaraan). Sebagai tempat hunian, Condet tidak pernah akan menjadi Kebayoran
Baru atau Pondok Indah, selama budaya mobil ada.
Cerita wilayah Cibubur dan Bekasi hampir sama dalam arti wilayah yang
berkembang karena adanya akses jalan tol. Sampai akhir dekade 1970an, Cibubur
masih hutan karet dan kebun-kebun buah. Banyak pengembang masuk ke wilayah itu
dan mendirikan kompleks-kompleks perumahan. Cibubur menarik banyak orang karena
adanya jalan tol Jagorawi yang menghubungkannya dengan Jakarta. Harga riil
properti disana menanjak tajam pada saat munculnya pembangunan
kompleks-kompleks perumahan di sepanjang jalan tol Jagorawi dan Bogor sampai
akhirnya jalan tol Jagorawi menjadi macet. Sekarang Cibubur sudah menjadi kota
tersendiri yang macet. Properti di sepanjang jalan tol Jagorawi atau tol
Jakarta-Karawang, seperti Jonggol, Bukit Sentul, tidak terlalu menarik untuk
kelas menengah selama tidak ada jalan altenatif yang baru atau pusat bisnis
masih ada di Jakarta. Problem utamanya adalah macet untuk bisa ke pusat bisnis,
tempat kerja. Untuk kelas buruh atau bisnis yang segmen pasarnya buruh, masih
bisa diandalkan. Sekitar Cibubur dan Cibinong banyak pabrik-pabrik dengan
buruh-buruhnya. Jangan terlalu heran kalau anda saat ini pergi ke perumahan kelas
menengah Bukit Sentul, terlihat banyak rumah yang ditinggalkan penghuninya.
Perumahan Bukit Sentul diarahkan untuk kelas menengah, karena jauh dan macet
dari tempat kerja mereka, banyak penghuninya lebih suka sewa tempat tinggal di
dekat tempat kerjanya. Mereka terperangkap. Propertinya tidak likwid, kecuali
mau jual dengan harga discount.
Villa Cinere Mas Jakarta (Perhatikan, semua rumah
terhubung dengan jalan, tidak seperti
Condet)
Faktor ketiga adalah waktu (timing).
Kalau digambarkan, perjalanan nilai asset di suatu wilayah terhadap waktu,
bentuknya seperti huruf S. Awalnya adalah fase tidur, wilayah tersebut
katakanlah tidur, tidak banyak perubahan kegiatan ekonomi yang berarti.
Kemudian fase kebangkitan. Ini terjadi jika ada suatu perubahan yang memicu
nilai ekonomi meningkat, seperti pembangunan jalan masuk, jalan tol, kereta
(MRT), dll. Pada periode ini kenaikan harga properti memperoleh momentum.
Selanjutnya adalah periode mature,
matang dimana nilai riil properti meningkat relatif tidak banyak, kalau tidak
mau disebut stabil. Momentumnya mengecil.
Kalau strategi timing masa
krisis, yang diandalkan adalah banyaknya
fire sale, membeli asset
dengan harga dibanting, strategi fase kebangkitan lebih mengandalkan momentum.
Karena pada saat ini memontum kenaikan harga asset adalah pada puncaknya.
Dengan demikian pengembalian modal menjadi lebih cepat.
Siklus yang berfase 3 ini bisa berulang-ulang untuk wilayah yang sama.
Misalnya untuk yang sekarang ini adalah wilayah sepanjang jalan Simatupang
Jakarta, siklus pertama terjadi ketika penbukaan jalan tembus dan jalan tol.
Siklus pertama ini berlangsung relatif cepat dibandingkan siklus berikutnya
yaitu ketika di bangunnya menara-menara perkantoran. Tidak tertutup kemungkinan
adanya siklus-siklus berikutnya.
Pertanyaannya, bagaimana dengan investasi properti di masa bubble? Dimasa bubble tidak ada yang disebut investasi yang baik. Yang ada adalah
spekulasi, dalam arti “buy high and sell
higher”. Karena properti untuk pasar sekunder biasanya relatif tidak
terlalu likwuid, maka anda harus siap menanggung resiko kerugian, dalam arti,
anda stuck dengan asset yang tidak
likwid dan dibeli diharga bubble.
Teman saya masih bisa memperoleh potensi keuntungan (yang belum direalisasikan)
cukup lumayan dengan tetap berkecimpung di sektor properti paska krisis sub-prime. Saya tidak tahu apakan
keuntungan itu bisa direalisasikan atau tidak, dengan kata lain, apakan ia bisa
menjual assetnya saat ini? Entahlah. Saingan dari developer yang memberikan
banyak keringanan (DP dicicil) adalah tantangan utamanya.
Sekian dulu......, dari hutan Papua EOWI mengucapkan, jaga kesehatan anda
serta hasil jerih-payah anda baik-baik. Semoga kita bisa makmur bersama.
Hutan Papua 18-May-2014
Disclaimer: Ekonomi (dan investasi) bukan sains dan tidak pernah dibuktikan secara eksperimen; tulisan ini dimaksudkan sebagai hiburan dan bukan sebagai anjuran berinvestasi oleh sebab itu penulis tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang diakibatkan karena mengikuti informasi dari tulisan ini. Akan tetapi jika anda beruntung karena penggunaan informasi di tulisan ini, EOWI dengan suka hati kalau anda mentraktir EOWI makan-makan.
7 comments:
pak imam saya merasa saat ini harga properti sudah mahal, harga saham juga sudah mahal2, emas lagi down tren koreksi parabolik curve. Saya tanya pendapat bapak, jika bpk punya uang, uang tersebut bpk investasikan kemana disaat2 seperti ini?2996946
menarik sekali untuk pembahasannya, kalau begitu saya akan memilih untuk sit on cash, atau typical penyergap
Membaca tulisan anda seperti memberi nutrisi tinggi ke otak saya pak..sangat bergizi dan berbobot.
Barangkali bisa diulas kembali untuk monitoring next economic crisis, sebagaimana yang anda tuliskan jauh2 hari sebelum crash 2008, dan terbukti.
Sekali lagi terima kasih..
Salam hormat. ZSP, Beji - Depok
Am Mrs Jennifer, pemberi pinjaman pinjaman pribadi. kami menawarkan pinjaman pada tingkat bunga 2% per tahun dari EUR 100,000,000,00. Yang 500,000,000,00.in ke mata uang Anda membutuhkan pinjaman. Dengan pembiayaan proyek 100% aman dan pinjaman tanpa jaminan yang tersedia. kita dijamin untuk memberikan layanan keuangan kepada banyak klien kami di seluruh dunia. Dengan pinjaman paket tolol, pinjaman dapat diproses dan dana ditransfer ke peminjam sesegera mungkin. kami beroperasi dengan Persyaratan yang jelas dan mudah dimengerti dan menawarkan pinjaman ke salah satu pelanggan kami yang Terapan, perusahaan, korporasi, dan segala jenis organisasi bisnis, individu swasta dan investor Real Estate. hubungi kami di e-mail kami: jenniferdawsonloanfirm@gmail.com untuk rincian lebih lanjut tentang cara untuk mendapatkan pinjaman Anda ok.
mrs Jennifer
Am Mrs Jennifer, pemberi pinjaman pinjaman pribadi. kami menawarkan pinjaman pada tingkat bunga 2% per tahun dari EUR 100,000,000,00. Yang 500,000,000,00.in ke mata uang Anda membutuhkan pinjaman. Dengan pembiayaan proyek 100% aman dan pinjaman tanpa jaminan yang tersedia. kita dijamin untuk memberikan layanan keuangan kepada banyak klien kami di seluruh dunia. Dengan pinjaman paket tolol, pinjaman dapat diproses dan dana ditransfer ke peminjam sesegera mungkin. kami beroperasi dengan Persyaratan yang jelas dan mudah dimengerti dan menawarkan pinjaman ke salah satu pelanggan kami yang Terapan, perusahaan, korporasi, dan segala jenis organisasi bisnis, individu swasta dan investor Real Estate. hubungi kami di e-mail kami: jenniferdawsonloanfirm@gmail.com untuk rincian lebih lanjut tentang cara untuk mendapatkan pinjaman Anda ok.
mrs Jennifer
Am Mrs Jennifer, pemberi pinjaman pinjaman pribadi. kami menawarkan pinjaman pada tingkat bunga 2% per tahun dari EUR 100,000,000,00. Yang 500,000,000,00.in ke mata uang Anda membutuhkan pinjaman. Dengan pembiayaan proyek 100% aman dan pinjaman tanpa jaminan yang tersedia. kita dijamin untuk memberikan layanan keuangan kepada banyak klien kami di seluruh dunia. Dengan pinjaman paket tolol, pinjaman dapat diproses dan dana ditransfer ke peminjam sesegera mungkin. kami beroperasi dengan Persyaratan yang jelas dan mudah dimengerti dan menawarkan pinjaman ke salah satu pelanggan kami yang Terapan, perusahaan, korporasi, dan segala jenis organisasi bisnis, individu swasta dan investor Real Estate. hubungi kami di e-mail kami: jenniferdawsonloanfirm@gmail.com untuk rincian lebih lanjut tentang cara untuk mendapatkan pinjaman Anda ok.
mrs Jennifer
Post a Comment