___________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Doa pagi dan sore

Ya Allah......, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari bingung dan sedih. Aku berlindung kepada Engkau dari lemah dan malas. Aku berlindung kepada Engkau dari pengecut dan kikir. Dan aku berlindung kepada Engkau dari tekanan hutang, pajak, pembuat UU pajak dan kesewenang-wenangan manusia.

Ya Allah......ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim dan para penarik pajak serta pembuat UU pajak selain kebinasaan".

Amiiiiin
_______________________________________________________________________________________________________________________________________________

Sunday, October 26, 2014

Don’t Cry Argentina



Apa yang terjadi dengan negara penghasil daging sapi ini? Sadar atau tidak, saya memplesetkan judul lagu karangan Andrew Lloyd Webber dengan lirik oleh Tim Rice yang cukup popular yang kemudian dipentaskan menjadi opera dan film musik. Andrew Lloyd Webber dan Tim Rice adalah genius dalam menciptakan lagu-lagu opera seperti Phantom of the Opera, Cat dan Jesus Christ Superstar dan Evita. Lagu yang saya maksud pertama kali dinyanyikan oleh Julie Covington tahun 1976. Tetapi saya lebih suka jika lagu ini dibawakan oleh  Elaine Paige atau Sarah Brightman. Di kalangan generasi yang lebih muda, Madonna dikenal sebagai pembawa lagu ini dalam film musical berjudul Evita (1996, diperankan oleh  Madonna, Antonio Banderas, dan Jonathan Pryce). Tetapi, menurut EOWI, suara Madonna sengau, tidak jernih dan artikulasinya kurang jelas. Judul lagu tersebut adalah Don’t Cry for Me Argentina, sebuah lagu yang dikaitkan dengan Eva Peron, atau Evita Peron, artis dan istri diktator Juan Peron yang kemudian menjadi mencalonkan diri sebagai wakil presiden Argentina. Dia menjadi pujaan wong cilik. Ia dijegal oleh kelompok militer dan borjuis di dalam perjalanan karirnya. Kematiannya membuat dirinya di jadikan martir. Ia diberikan upacara kenegaraan seperti layaknya presiden dan diberi gelar “Pemimpin Spritual Bangsa” oleh parlemen Argentina. Dan di dunia internasional Eva Peron dijadikan sosok yang dijadikan tema film dan musik.

Banyak yang mengira bahwa lagu ini bercerita tentang tragisnya suatu kehidupan di Argentina. Banyak orang menyangka arti kata Don’t Cry for Me Argentina adalah “Argentina janganlah menangis untukku”, sebuah tema yang sedih. Tetapi menurut pengarangnya kata Cry disini tidak berarti menangis (Inggris: weep), tetapi memanggil dengan berteriak. Sebab pada lagu ini ada bait yang mengatakan: the truth is I will never left you (hakekatnya aku tidak pernah meninggalkan mu).  Argentina, tidak perlu berteriak-teriak memanggilku, itu kurang lebih arti lagu itu. Lagu itu mungkin tidak bercerita tentang tragisnya Argentina, melainkan tragisnya nasib Evita Peron. Tetapi kalau dilihat liriknya, tidak juga begitu, tidak bercerita tentang ketragisan.

Masih dengan urusan tragis dan tidak tragis, perjalanan lagu ini juga sempat melewati masa-masa tragis, karena dilarang beredar di negara penciptanya (Andrew Lloyd Webber) yaitu Inggris ketika perang Falkland 1982. Tetapi yang lebih tragis adalah nasib rakyat dan negara Argentina. Oleh sebab itu judul lagu itu di plesetkan EOWI menjadi Don’t Cry Agerntina.

Sejarah jatuh bangunnya suatu negara bisa dilihat dari Argentina. Argentina merupakan laboratorium hidup dari eksperimen-eksperimen politik dan ekonomi. Dan sebagai subjeknya adalah orang-orang yang tidak pernah bisa mengambil hikmah sejarah. Orang orang ini bak keledai moron. Sebab keledai tidak pernah mau jatuh pada lubang yang sama.

Setelah perang kemerdekaan yang lama (1810–1818), Argentina masih didera oleh perang saudara. Yang disebut dengan perang saudara, tidak berarti perang yang benuansa kasih sayang dan penuh dengan rasa persaudaraan, tetapi sama seperti perang-perang lainnya, kejam dan brutal (bahkan lebih kejam dan lebih brutal). Itu politik. Oleh sebab itu yang disebut perang saudara lebih tepat disebut perang tidak-bersaudara. Selanjutnya setelah 40 tahun perang tidak-bersaudara, tahun 1860an, terjadi perubahan yang mendasar. Liberalisasi ekonomi dan pembukaan pintu imigrasi. Didukung oleh liberalisasi ekonomi membuat suasana yang memicu migrasi besar-besaran dari Eropa, yang kemudian merubah tatanan demografi, sosial dan budaya. Selanjutnya proses ini melontarkan Argentina menjadi negara ke 7 termakmur di dunia di awal abad ke 20. Argentina berada pada posisi 7 negara termakmur di antara negara-negara maju di jaman itu setelah Switzerland, New Zealand, Australia, United States, the United Kingdom dan Belgia.

Sejarah berbalik secara bertahap ketika demokrasi dikembangkan. Tahun 1912 ketika hak memilih dan dipilih bagi pria diundangkan di Argentina membuka pintu kaum sosialis naik ke pucuk pimpinan politik negara. Hipólito Yrigoyen, pimpinan Radical Civic Union (UCR), memenangkan pemilihan umum tahun 1916. Dia membuat eksperimen baru, istilah kerennya pembaharuan di bidang sisoal dan ekonomi. Politikus Argentina memilih untuk menghargai mereka yang tidak berprestasi secara ekonomi, tidak kreatif dan tidak inovatif dengan memberikan perlindungan. Perlindungan buruh dan rakyat kecil, memmbuat masyarakat kurang tertantang dan tidak resourceful, kurang kreatif. Lebih baik menuntut ke pemerintah untuk diberi lebih. Tentu saja pemerintah tidak bisa memproduksi apa yang dituntut, oleh sebab itu sasarannya adalah para majikan.

Catatan hak memilih dan dipilih bagi wanita baru diundangkan di Argentina tahun 1942. Itupun bisa diduga karena manuver politik untuk menaikkan Eva Peron.

K-Winter, depresi global tahun 1930, memporakporandakan tatanan struktur politik Argentina. Kudeta militer atas Yrigoyen, merupakan tonggak sejarah menurunnya kemakmuran di Argentina. Walaupun demikian Argentina tetap menjadi 15 negara termakmur di dunia sampai pertengahan abad 20. Argentina memang harus menangis, karena akhirnya terpuruk masuk ke dalam kelompok negara yang belum berkembang. Don’t Cry Argentina, it is your own fault to have democracy and let those socialists and lunatics govern you.

Sejarah menunjukkan bahwa Argentina pertama kali mengingkari hutangnya tahun 1828. Dan gagal bayar tahun 2014 ini adalah yang ke 8. Jangan cerita sebabnya. Karena sebabnya bisa aneh, sulit dipercaya atau fabrikasi. Yang pasti, kalau sebuah negara punya hutang, maka pemerintahnya tidak bisa menyeimbangkan antara pengeluaran dan pendapatannya. Boros dan banyak menghambat pelaku ekonomi, adalah kata yang paling tepat. Kalau saja pelaku ekonomi dibiarkan berinovasi, tentunya pemasukan pajak akan lebih tinggi bukan?

Bagi yang hidup di Argentina, akan merasakan kesulitan, seperti judul cerita ini: Don’t Cry Argentina. Tetapi, bagi pengunjung/turis lebih menyenangkan. Sebagai turis, anda bisa meniknati makan siang di restoran yang mewah, steak Argentina yang tebal dan terkenal itu, medium rare, dengan texture yang lezat sekali, dan ditutup dengan kudapan pencuci mulut dan kopi hanya perlu mengeluarkan US$25. Itu jika anda bisa menukarkan dollar anda pada kurs “biru”, satu dollar dikurskan menjadi 15 peso. Tetapi....., hal itu tidak boleh ketahuan oleh agen-agen pemerintah, karena mereka menyebutkannya sebagai pasar gelap. Padahal sebenarnya transaksi dilakukan pada siang hari, bukan pada malam hari tanpa penerangan. Tidak ada yang gelap di sana. Hanya Cristina Fernández de Kirchner, sang presiden, dan para pembantunya yang mengatakan pasar itu sebagai pasar gelap (tanpa penerangan barangkali).

Semua relatif murah jika anda bisa menukarkan dollar anda di pasar yang disebut pasar gelap itu. Sebab ada juga tempat penukaran uang yang lain. Cristina Fernández de Kirchner menyebut kurs yang sepatutnya adalah “kurs putih”, 1 dollar sama dengan 5.7 peso. Jadi lupakan saja makan siang di tempat yang mewah steak Argentina yang lezat itu jika anda cuma punya uang $ 25.



Di internet ada yang memberikan kiat-kiat bagaimana hidup di Argentina.

  1. Tukar uang US dollar anda di cueva, slang lokal untuk  underground casa de cambio atau tempat penukaran uang gelap. Hati-hati kalau mencari tahu tempat-tempat ini, jangan bertanya kepada sembarangan orang, karena kalau ia adalah agen pemerintah, anda bisa memperoleh kesulitan. Bertanyalah pada tour guide anda atau resepsionis hotel misalnya.
  2. Kalau sulit mencari cueva, bayarlah hotel dan restoran atau tempat anda belanja dengan dollar. Mereka biasanya memberikan kurs yang lebih baik dari kurs resmi.
  3. Jangan menggunakan ATM atau kartu kredit di samping kursnya adalah kurs resmi, juga biaya transaksinya mahal.
  4. Ada juga yang menawarkan transaksi penukaran US dollar ke peso lewat internet. Dengan chatting atau telpon atau SMS tempat dan waktu transaksi ditentukan. Hanya cara ini berbahaya kalau kita tidak dilakukan dengan orang kita kenal atau terpercaya.

Beberapa waktu lalu, Presiden Argentina Cristina Fernández de Kirchner mengalami delusi/kewahaman, sehingga ia menuduh kepala bank sentral, Juan Carlos Fabrega, sabotase peso. EOWI menduga adanya kewahaman pada diri Kirchner karena jika ia benar maka jika Juan Carlos Fabrega diberhentikan maka peso akan menguat. Kenyataannya berbeda. Ketika Fabrega berhenti, nilai peso malah turun lebih dalam. Ini menguatkan dugaan EOWI bahwa Kirchner mengalami delusi.

Mungkin karena tidak ada penanganan dokter psikiater, kewahaman Kirchner tidak berhenti disitu, ia mengisyaratkan bahwa Amerika Serikat sedang merencanakan untuk membunuhnya. Mungkin EOWI bisa membantu Argentina dengan mengirimkan seorang dokter jiwa. Tetapi, hal itu bisa memicu kemarahan rakyat Argentina, akan EOWI mengatakan bahwa rakyat Argentina gila semua. Siapa yang mau memilih orang gila menjadi presidennya, kecuali orang gila pula, bukan?

Harga kedelai tanaman andalan terbesar Argentina - jatuh 35% pada kuartal ke-2, 2014. Tetapi kalau dihitung dari puncaknya di tahun 2012, make telah turun 50% lebih. Penurunan terburuk sejak kasus subprime 2008. GDP Argentinapun jatuh. Meskipun demikian presiden Kirchner dan staffnya mengatakan sebaliknya. Mungkin matematika yang diajarkan di sekolah dasar di Argentina berbeda dengan yang ada di Indonesia.




Hutang jangka pendek yang katanya hanya sekitar 35% dari cadangan devisanya sedikit lebih rendah dari Indonesia (40%), seharusnya bisa untuk membayar hutang-hutangnya yang jatuh tempo, entah kenapa kok tidak bisa. Mungkin laporan World Bank banyak yang kacau, atau uang panas lebih cepat keluar dari pada penitia pembayaran hutang sehingga mereka tidak kebagian dollar. Atau otak di kepada para staff ekonomi Kirchner masih down atau lemot atau mereka juga terlalu sering menghisap jamur atau daun kecubung. Entahlah, nampaknya kelompok yang duduk dipemerintahan sedang mengalami dilusi. Peso tenggelam. Dan cadangan dollar menghilang.



Seorang rekan berandai-andai dan mengusulkan, untuk mengatasi kebekuan cadangan devisa dan pengelolaan cadangan devisa serta mengendalikan kurs mata uang, mungkin Indonesia bisa meminjamkan ahli-ahli ekonominya yang ada di Bank Indonesia. Sampai saat ini rupiah bisa bertahan. Tetapi menurut EOWI, kualitas BI dan bank sentral Argentina, sama saja. Ketika Carlos Menem (presiden Argentina periode 1989 to 1999) mematok peso ke US dollar, maka investor merasa aman masuk ke Argentina. Hutang dan kredit mengalir. Kalau hutang digunakan untuk hal-hal yang produktif dan menghasilkan keuntungan, maka hutang itu bisa dibayar. Tetapi jika hutang tersebut untuk membayar pegawai negri, membayar gaji anggota parelemen yang besar, dan kegiatan-kegiatan yang non produktif, akan diakhiri dengan air mata rakyat. Pemerintah hanya bisa menahan kurs peso untuk sekian lama. Pada akhirnya harus dilepas, peso harus didepresiasi. Dan......, debitur tercekik untuk membayar hutangnya yang dalam denominasi dollar. Kreditur dimana saja sama. Mereka akan mengejar piutangnya sampai ke liang kubur. Kalau di skala kecil, maka dikirimlah  debt-collectors.  Kalau skala besar ada versi besarnya. Tidak hanya itu, burung-burung nasar, vultures, akan mengitari debitur yang sedang sekarat, mencari keuntungan. Kirchner boleh sebel kepada debt vultures, tetapi mereka ada dan hidup dari darah-darah pemerintah yang sekarat karena hutang.

Bagaimana kalau kita pinjamkan penasehat-penasehat BI kepada Argentina? Entahlah. Baru-baru ini BI menyarankan presiden Jokowi agar menaikkan harga BBM untuk menghapuskan subsidi BBM. Ini adalah upaya pengelolaan nilai rupiah dan cadangan devisa. Penghapusan subsidi berarti memberi ruang bagi pemerintah untuk menghamburkan uang ke sektor lain yang tidak produktif, dilain pihak cadangan devisa tetap akan terkuras karena tindakan tadi tidak ada kaitannya dengan neraca transaksi berjalan Indonesia. BBM masih harus diekspor (cuma sekarang rakyat yang ketambahan beban), harga bahan komoditi tetap rendah (pemasukan dari ekspor bahan komoditi tidak bertambah), eksportir yang memarkir dollar hasil penjualan ekspornya di luar negri juga tidak bisa dipaksa untuk repatriasi dollarnya. Apa yang berubah? Oleh sebab itu meminjamkan penasehat-penasehat keuangan BI juga tidak ada gunanya.

Ada komentator yang salah memasang stelan otaknya, mengatakan bahwa situasi Argentina saat ini baik sekali. Banyak opportunity di sektor saham. Saham Argentina sudah terkoreksi dalam. Sebentar lagi Kirchner akan turun dan digantikan dengan orang yang lebih baik, katanya lagi. Argentina merupakan negara yang kaya dan banyak sumber alam. Untuk opini seperti ini EOWI tidak bisa berkomentar apa-apa.  Mungkin akhirnya white exchange rate (“kurs putih”) akan sama dengan kurs pasar gelap “kurs biru” dengan kata lain kurs resmi dan kurs pasar akan sama. Ini bisa “kurs biru”nya yang mendekati kurs resmi (“kurs putih”) atau “kurs putih”nya yang makin jeblok. Menurut EOWI, kurs resmi (“kurs putih”) lah yang harus terkoreksi mendekati kurs pasar. Artinya lebih baik beli saham Argentina nanti saja. Terus....., dengan masa depan politik dan pemerintahan yang lebih baik, menurut EOWI calon pengganti Kirchner yang kompeten belum ada. Semuanya sama saja. Jadi apa yang mau diharapkan. Belum ada sinar yang nampak di ufuk timur.

Seperti tadi dikatakan bahwa bagi yang hidup di Argentina, akan merasakan kesulitan, sejalan dengan judul cerita ini: Don’t Cry Argentina. Kita yang hidup di Indonesia harus bersyukur bahwa kita masih bisa membeli rumah dengan kredit jangka panjang, sampai 15 tahun. Mau makan di restoran atau belanja tidak perlu bawa-bawa segepok uang Rp 100,000an yang membuat dompet tebal, tetapi masih bisa bayar dengan kartu kredit. Di Argentina, perusahaan kredit mana yang mau ambil resiko. Sekarang nilai kurs peso adalah 15 peso per US$. Bulan depan entah berapa? Bikin usaha perkreditan menjadi susah. Ekonomi Argentina adalah ekonomi cash. Bagi pembaca tanah air yang pernah hidup di jaman pra 1970an, tahu artinya ekonomi cash. Beli rumah harus cash, beli mobil harus cash, beli......harus cash. Tidak ada kredit. Tidak ada deflasi. Yang ada hanya inflasi yang menggila. Tabungan dan pensiun cepat menguap. Don’t Cry Argentina.

Teman saya mengatakan..., amit-amit jabang bayi. Indonesia tidak akan mengalami hal yang demikian. Saya tidak tahu apakah dengan mantra amit-amit jabang bayi, Indonesia bisa terbebas dari bencana seperti Argentina. Yang pasti dulu-dulu kita pernah mengalaminya. Amit-amit jangan terjadi lagi. Kita tidak perlu pakai mantra amit-amit segala macam, cukup dengan kewaspadaan dan pengelolaan tabungan yang baik. Indonesia atau Argentina boleh babak belur dihajar debt collectors, tetapi yang penting kita selamat, bahkan memperoleh keuntungan bersama para debt vultures. Don’t Cry Argentina, let’s party with the vultures.
 


Disclaimer: Ekonomi (dan investasi) bukan sains dan tidak pernah dibuktikan secara eksperimen; tulisan ini dimaksudkan sebagai hiburan dan bukan sebagai anjuran berinvestasi oleh sebab itu penulis tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang diakibatkan karena mengikuti informasi dari tulisan ini. Akan tetapi jika anda beruntung karena penggunaan informasi di tulisan ini, EOWI dengan suka hati kalau anda mentraktir EOWI makan-makan.

Thursday, October 23, 2014

Mengukur Ketahanan Rupiah

Seorang pembaca EOWI mengatakan sudah tahu kalau kelakuan politikus itu brengsek dan ingin membaca yang lain dari EOWI, yaitu mengenai ekonomi. Persoalan utama dari masalah ekonomi adalah bahwa pembuat masalahnya adalah politikus. Pertama mereka yang membuat pengekangan-pengekangan. Misalnya untuk memulai bisnis di Indonesia secara legal (supaya tidak diganggu yang berwenang) diperlukan waktu 48 hari. Sebelum itu, jangankan mendirikan pabrik, membuka kantor atau mengurus surat-surat lainpun tidak bisa. Kalau mau berdagang drugs, lain soal. Misal lain, 30% dari penghasilan kita (orang yang relatif sukses dalam pekerjaan) diambil pemerintah. Kalau tidak diambil, tentunya bisa kita belanjakan dan membuat ekonomi bergarak, bukan? Pemerintah yang sok kuasa dan berpikir mereka bisa mengontrol ekonomi, justru membuat berantakan karena the unintended consequences (akibat yang tak terpikirkan sebelumnya) dari peraturan-peraturannya. Terlepas dari itu semua, EOWI memang ingin menurunkan suatu seri tulisan mengenai prahara ekonomi 2014 – 2020. Dan itu kita mulai dari sini.

Sudah sejak lama, di EOWI, kami tidak pernah percaya kepada calon presiden atau/dan presiden. Ketika pemilihan presiden 2014 yang dimenangkan oleh Jokowi, EOWI tidak ikut memilih. Alasannya sudah jelas, kami tidak percaya. Walaupun orang percaya bahwa Jokowi akan pro-rakyat dan anti kompromi yang dicerminkan dengan seringnya ia blusukan. Katanya kabinetnya akan ramping. Ternyata sekarang, rencana susunan kabinetnya berkata lain. Kompromi politik sudah nampak. Jumlah kementriannya tidak berbeda dengan pendahulunya (SBY). Tidak hanya itu, beberapa programnya nanti akan lebih membebani rakyat. Porsi pendapatan negara yang notabene dari pajak untuk subsidi BBM ini akan dialihkan ke “pembangunan” yang belum tentu bisa dinikmati rakyat. Dengan dikuranginya subsidi BBM, artinya rakyat harus menanggungnya harga minyak secara keseluruhan termasuk kenaikan harga bahan pokok akibat naiknya biaya transportasi.  Memang pajak tidak dinaikkan, tetapi jatah/porsi yang kembali ke rakyat dikurangi.

Disadari atau tidak, Jokowi sejak awal dari pemerintahannya akan berhadapan dengan prahara ekonomi. Kalau sekedar problem opposisi dari koalisi Merah-Putih di DPR, maka hal itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan prahara ekonomi 2014-2020 ini. Dalam kaitannya dengan prahara ekonomi ini EOWI tidak perduli dengan Jokowi. Karena EOWI tidak punya misi untuk memuluskan atau mengganggu jalannya pemerintahan. EOWI cuma tidak perduli. Misi EOWI hanya memperingatkan dan mengedukasi pembacanya agar selamat ketika keluar dari prahara ekonomi ini.

Suatu pertanyaan yang mendasar dalam kaitannya penyelamatan diri (survival) dari prahara ekonomi 2014 – 2020 ini adalah seberapa besar ketahanan ekonomi Indonesia saat ini? Bagaimana neraca keuangan Indonesia? Informasi itulah yang lebih penting bagi pembaca EOWI yang setia dari pada masalah Jokowi. Dan hal itu yang akan kita bahas dalam tulisan ini.

Apa yang membuat rupiah kuat atau lemah? Itu adalah pertanyaan yang menjadi dasar diskusi pada tulisan ini. Anggap saja rupiah seperti barang. Jika ada ketidak-seimbangan antara permintaan dan pasokan maka akan terjadi penyesuaian harga. Harga akan naik jika ada kelangkaan yang tidak bisa memenuhi permintaan. Hal ini bisa terjadi karena tiga sebab, yaitu barangnya tidak ada atau permintaannya meningkat drastis atau kedua-duanya secara bersamaan. Dalam masalah mata uang, yang disebut dengan pasokan sifatnya relatif. Misalnya, jika dikatakan bahwa permintaan rupiah meningkat, maksudnya adalah relatif terhadap pasokan dollar.

Sepanjang dekade 2000 – 2010, nilai tukar rupiah relatif kuat dalam arti tidak turun sepanjang dekade ini. Hal ini paralel dengan:

  1. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cukup bagus. Ini lebih banyak sebagai penyebab penguatan rupiah
  2. Rasio hutang total (pemerintah dan swasta) terhadap GDP di Indonesia menurun dari 63% pra-krismon 1997 (atau 158% di tahun 1998 setelah krismon) menjadi 37% di tahun 2014. Tetapi jangan gembira dulu, sebab secara nominal hutang total Indonesia meningkat dari $150 milyar pra-krismon 1998 menjadi dua kali lipat $ 335 milyar di tahun 2014.
  3. Rasio hutang pemerintah terhadap GDP menurun dari 150% di tahun 1998, sampai hanya 24% saja di tahun 2014. 
  4. Cadangan devisa Indonesia meningkat mencapai titik tertingginya pada $ 124 milyar.
  5. Nilai tukar rupiah terhadap US dollar secara bertahap mengalami penguatan dan titik tertingginya dicapai pada tahun 2011, yaitu Rp 8,500 per US dollar.

Ekonomi bukan sains, melainkan hanya sekumpulan opini. Tidak ada rumus-rumus yang berdasarkan observasi, melainkan hanya berdasarkan opini. Di dalam pembahasan kali ini akan digunakan perbandingan saja untuk memperoleh kesahihan secara keilmuan. Dan perbandingan itu adakalanya akan merujuk pada krismon 1998 yang merupakan prahara moneter yang besar (tetapi bukan yang terbesar) yang pernah terjadi di Indonesia. Kenapa krisis moneter 1998 diambil sebagai rujukan karena Prahara 2014 – 2020 menurut perkiraan EOWI adalah prahara moneter/ekonomi dunia yang terbesar yang akan anda lihat sepanjang hidup anda. Tidak ada krisis global yang lebih parah yang akan anda lihat selama hidup anda selain prahara yang akan datang di kurun 2014 – 2020.

Kita akan melihat perbedaan kondisi internal dan eksternal Indonesia antara sekarang dengan 1998. Hal ini perlu diperhitungkan karena pada akhirnya, kedua kondisi inilah yang akan menentukan berat atau ringannya pukulan terhadap rupiah serta kondisi moneter Indonesia.

Krisis Global Terbesar Sepanjang Hidup, bukan Krisis Regional
Pada tahun 1998, ketika krismon melanda Indonesia, negara-negara ekonomi besar di dunia, seperti US, Eropa, Cina (yang pada waktu itu belum terlalu besar) sedang dalam fase ekspansi. Sejak runtuhnya Uni Soviet di tahun 1991, perang nyaris tidak ada, perang dinginpun usai. Hal ini memungkinkan ekonomi melakukan ekspansi ke arah yang lebih produktif bukan dan tidak lagi terfokus pada penciptaan peralatan perang. Tetapi proses ini kemudian kebablasan, yaitu dilanjutkan dengan aksi spekulasi (saham teknologi di bursa Nasdaq) di akhir dekade 1990, yang selanjutnya meletus di tahun 2000. Memang ada beberapa bubble dan krisis moneter yang terjadi hampir bersamaan di beberapa bagian dunia ini, seperti krisis LTCM (1998), krisis moneter Russia (1998), krisis moneter Argentina (1999 – 2002), atau jauh sebelum tahun 1998 yaitu krisis tequila Mexico (1994). Tetapi sifatnya hanya regional dan yang terkena bukan adalah negara-negara yang secara ekonomi mendominasi perekonomian dunia. Dengan kata lain skala krisis 1998, tidak global sifatnya. Dan negara-negara berekonomi besar masih bisa membantu melalui badan-badan perekonomian dunia seperti IMF. Indonesia dibantu oleh IMF, Paris Club, dan lainnya.

Prahara moneter 2014 – 2020 yang akan datang ini sifatnya global. Yang terkena termasuk negara-negara dengan ekonomi besar. Seperti Amerika Serikat, Jerman dan Uni Eropa, Jepang, dan juga Cina. Yang pasti, Uni Eropa saat ini belum pulih. US juga demikian. Jepang masih loyo sejak krisis deflationary yang melandanya di tahun 1990 (sudah 25 tahun lamanya).

Eropa (baca: Jerman) dan US punya latar belakang penyebab yang sama dan ini dijelaskan secara panjang lebar di laman EOWI Gejolak2014 – 2020. Intinya ada 3 poin:

  1. Motor penggerak ekonomi – baby boomer, memasuki masa pensiun artinya,
  2. Puncak konsumsinya sudah lewat
  3. Hutang (pemerintah dan swasta/konsumen) yang dulunya membengkak, sekarang swasta/konsumen sedang menurunkan level hutangnya (deflasi).
  4. Bubble di sektor saham US siap meletus
  5. Pelaku ekonomi menumpuk dollar dan mementahkan usaha penggelontoran likwiditas the Fed dan bank-bank sentral

Krisis di Jepang sejak 25 tahun lalu punya penyebab yang sama. Hanya saja hal itu terjadi 25 tahun lalu dan sampai sekarang tidak ada generasi yang baru yang punya kekuatan berkonsumsi seperti bapak-bapak mereka karena faktor besarnya jumlah populasinya. Sedangkan di pihak lain roda ekonomi digerakkan oleh konsumsi dan produksi. Tanpa pertumbuhan konsumsi ekonomi juga tidak akan tumbuh.

Cina punya bubble di sektor properti (dan kredit) yang sangat besar dan siap meletus. Dan negara-negara yang berbasis komoditi seperti Australia, Canada dan Indonesia punya banyak persamaan dengan Cina. Setidaknya, bubble properti di Cina adalah penyebabnya. Bubble di negara-negara berbasis komoditi punya akar yang sama, yaitu investment bubble di Cina yang memerlukan banyak bahan komoditi. Dengan kata lain bubble di Australia, Canada, Indonesia, Afrika Selatan adalah anak yang dilahirkan oleh investment bubble di Cina.

 Krisis moneter 1998 tidak bisa disamakan dengan prahara 2014 – 2020. Krisis pada periode 2014 – 2020 negara-negara ekonomi besar terkena badai, sehingga tidak bisa membantu apa-apa. Setidaknya permintaan barang dari negara-negara ini masih bertahan. Pada periode 2014 – 2020 hal seperti ini tidak lagi bisa diharapkan. Demikian juga dengan badan-badan moneter internasional seperti IMF, akan klabakan, dan tidak mampu membantu. Prahara ini terlalu besar dan luas cakupannya untuk badan seperti IMF, world bank dan juga badan-badan kerja sama bilateral dan regional lainnya. Seperti misalnya negara-negara BRICS (Brazil, India, China, South Africa) baru-baru ini mendirikan the New Development Bank (NDB) dengan modal awal $50 milyar dan Contingent Reserve Arrangement (CRA) yang bermodal $100 milyar, yang salah satu tujuannya untuk membantu anggotanya jika ditimpa kesulitan ekonomi/moneter. Indonesia sendiri juga sudah menandatangani perjanjian bilateral dengan Cina 3 tahun currency swap sebesar 100 milyar yuan atau 175 trilliun rupiah ($15 milyar). Disamping dengan Cina, Indonesia juga punya kerja sama dengan Asean. Apakah semua ini akan membantu? Kuncinya ada pada jawaban pertanyaan ini: “Kalau Cina atau negara manapun yang menanda-tangani perjanjian dengan Indonesia, secara bersamaan dilanda prahara ekonomi/moneter, apakah mereka juga tidak butuh bantuan? Kalau demikian, alih-alih membantu, bukankah mereka juga butuh bantuan?”. Akan berada dimana nantinya Paris Club yang membantu Indonesia pada masa krisis 1998? Silahkan jawab sendiri.

Krisis Deflationary, bukan Inflationary Pelaku Pasar Menumpuk US Dollar
Seperti dikatakan sebelumnya bahwa krisis kali ini berbeda dengan krisis sebelumnya yang pernah anda lihat dalam hidup anda. Biasanya yang anda lihat adalah krisis di masa inflationary. Krisis kali ini adalah deflationary. Biasanya hanya terjadi sekali dalam hidup anda. Apa itu krisis deflationary? Intinya, krisis dimana para pelaku ekonomi melakukan deleveraging. Konsumen yang biasanya menggunakan fasilitas kredit sebagai leverage, di masa ini dikurangi. Leverage disini maksudnya adalah kemudahan dalam arti, jika menggunakan kemampuan saat itu, pembelian tidak bisa dilakukan, tetapi dengan berhutang, kemampuan membeli menjadi ada. Sama juga dengan perusahaan, tanpa berhutang, kemampuan berekspansi terbatas. Tetapi dengan hutang kemampuan ekspansi diciptakan. Deleveraging artinya mengurangi penggunaan hutang, selanjutnya berdampak pada ekspansi bisnis.

Deflasi adalah fenomena psikologi. Dan pada periode Kondratieff winter, penyakit psikologis ini melanda konsumen, produsen dan juga banker-banker komersial. Sehingga kredit murah dari bank sentral pun tidak digubris. Bank sentral, seperti the Fed, walaupun telah mencetak uang dan membanjiri ekonomi dengan dengan uang, tetapi respons yang diharapkan dari pelaku ekonomi (konsumen dan produsen) tidak kunjung datang. Yang ada dari dari spekulan. Banker-banker komersial enggan mengucurkan kredit dan pelaku ekonomi juga enggan mengambil kredit. Walaupun seandainya bank-bank sentral mengambil alih peran bank komersial dalam hal menyalurkan kredit, belum tentu pelaku ekonomi (bisnis dan konsumen) mau mengambil kredit Kredit sulit diperoleh, roll-over  sudah selayaknya juga akan sulit. Dan juga peminat kredit juga susut jumlahnya. Menumpuk cash menjadi tema yang populer di masa deflationary. Uang yang dicetak the Fed dan bank-bank sentral lainnya menjadi mandeg, tidak mengalir, tidak digunakan secara berulang-ulang. Ini terlihat pada velocity of money yang terus menurun. Tanda dari pelaku ekonomi yang menumpuk cash.

Chart – 1  Velocity of Money yang turun terus

Hutang Jangka Pendek dan Cadangan Devisa
Pada saat Indonesia harus berdiri sendiri, titik ketahanan Rupiah yang bisa memicu kejatuhannya adalah besarnya hutang jangka pendek dibandingkan dengan cadangan devisa. Jika cadangan devisa tidak cukup untuk membayar hutang yang jatuh tempo, maka tamatlah riwayat rupiah. Catatan: pada masa deflationary, roll-over hutang mungkin akan lebih sulit dibandingkan pada masa normal. Pernyataan-pernyataan ini cukup masuk akal bukan?

Sebenarnya bukan hutang jangka pendek saja yang menjadi titik lemah/kuat dari rupiah. Secara umum adalah perbedaan antara cadangan devisa dan keperluan untuk pembayaran, apakah itu pembayaran hutang yang jatuh tempo atau menutup defisit perdagangan atau menutup modal asing yeng keluar.

Indonesia selama 11 tahun masa comodity bull market (2000 – 2011), memperoleh dana asing dari surplus perdagangan bahan-bahan tambang. Disamping itu juga dana dollar masuk dari investasi langsung di sektor pertambangan atau yang tidak langsung dipengaruhi oleh booming di sektor pertambangan. Oleh sebab itu cadangan devisanya melonjak naik secara parabolik. Nilai ini naik dari $16.6 milyar di tahun 1997 saat krismon, ke $ 108.8 milyar di saat comodity bull market berakhir tahun 2012. Kemudian turun menjadi $ 96.3 setahun setelah puncak dari comodity bull market (2013). Di awal comodity bull market cadangan devisa Indonesia hanya $ 28.5 milyar saja. Ini kenaikan yang cukup tinggi. Memang setelah krismon  Asia 1998 ada kecenderungan bagi negara-negara berkembang (merging markets) yang terkena krismon untuk menumpuk cadangan devisa untuk mencegah krismon-krismon dimasa datang. Jadi kenaikan yang drastis ini tidak perlu diherani.


 
Chart – 2  Cadangan Devisa Indonesia, turun tahun 2011 di akhir booming komoditi 

Setahun setelah comodity bull market berakhir (2013) cadangan devisa Indonesia melorot dari $ 108.8 milyar ke $ 96.3 milyar. Ini menunjukkan kebergantungan Indonesia pada penjualan bahan-bahan tambang (bahan mentah). Ketika harga barang andalannya jatuh, dan (pemerintah dan rakyatnya) enggan mengencangkan ikat pinggang, mengurangi belanjanya maka akan terjadi defisit ganda dan cadangan devisa pun ikut melorot. Kejatuhan harga bahan tambang berikutnya patut diduga akan menarik cadangan devisa ke level yang lebih rendah lagi. Dan konsekwensinya nilai rupiah akan melorot lebih dalam lagi.

Walaupun secara nominal hutang Indonesia meningkat selama periode 2000 – 2012, tetapi rasio hutang jangka pendek dengan cadangan devisa menurun dari 73.9% di tahun 2000 ke 39.7 % pada tahun 2012. Akan tetapi secara nominal bertambah dari $ 21.1 milyar di tahun 2000 ke $ 43.2 milyar di tahun 2012, atau meningkat 2 kali lipat. Jadi jangan terpukau oleh angka 39.7% yang sering didengung-dengungkan para analis. Di bagian akhir nanti akan ditunjukkan bahwa neraca transaksi berjalan (current account) Indonesia sudah berdarah-darah sejak tahun 2012, yaitu sejak commodity bull masuk kandang.

Chart – 3  Rasio hutang jangka pendek Indonesia terhadap cadangan devisa

Dibandingkan dengan sesama negara berkembang dan negara yang berbasis komoditi seperti Malaysia, Thailand (negara berkembang) dan Brazil (berbasis komoditi) seharusnya Indonesia bisa lebih banyak menurunkan tingkat hutangnya. Seperti Brazil misalnya, bisa menurunkan rasio hutang jangka pendeknya terhadap cadangan devisanya dari 91% di tahun 2000 menjadi 10% saja di tahun 2012. Dengan kata lain, krisis yang akan datang ini akan memukul rupiah lebih parah dari pada real Brazil, ringgit Malaysia atau bath Thailand.  Sekali lagi, jangan terpukau dengan opini analis yang mengatakan bahwa hutang eksternal jangka pendek Indonesia kecil (dibandingkan dengan cadangan devisanya).

Sistem moneter Indonesia akan terluka parah, seandainya para kreditur hutang Indonesia tidak mau me-roll-over hutang jangka pendek Indonesia yang jatuh tempo. Artinya maka 40% dari cadangan devisanya akan menguap untuk membayar hutang yang jatuh tempo dalam waktu dekat ini.



 Chart – 4  Rasio hutang jangka pendek beberapa negara terhadap cadangan devisa

Rasio hutang eksternal jangka pendek dan cadangan devisa, bisa dijadikan patokan akan ketahanan suatu mata uang. Tetapi bukan satu-satunya faktor. Yang paling penting adalah faktor kemauan kreditur untuk memperpanjang hutang, atau kepercayaan kreditur untuk memberi hutangan baru untuk menutup hutang yang lama. Misalnya kasus Argentina bulan Januari 2014 lalu. Walaupun posisi hutang Argentina lebih baik dari Indonesia, tetapi Argentina mengalami gagal bayar atau setidaknya mengalami kesulitan untuk membayar bond pemerintah yang berdenominasi US dollar, akibatnya peso Argentina anjlok dari ARS 5.85 per US dollar ke ARS 8. Memang bukan kejatuhan 50% atau 80%, tetapi tetap saja kejatuhan. Tetapi...... (ada tetapinya lagi)., itu yang resmi. Harga ARS resminya memang ARS 8 per US dollar, tetapi di pasar (yang tidak resmi) dimana ada transaksi harga US dollar sekitar ARS 15. Jadi secara resmi tabungan rakyat Argentina menguap 27%, tetapi tidak resminya (yang riil) menguap 61%. Lebih dari separo dari nilai tahungan menguap!!!. Satu hal lagi, dalam krisis di bulan Januari 2014 itu, tidak ada badan moneter internasional atau negara besar lain yang membantu.

Hutang Swasta, Hutang Pemerintah
Baik Pemerintah atau swasta menambah hutangnya sejak krismon 1998. Total hutang Indonesia mencapai 2 kali lipat dari pada saat pra-krismon 1998. Hal ini bisa bagus dan bisa buruk, tergantung jenis hutangnya. Ada 2 jenis hutang, yang self liquidating debt, atau hutang-hutang yang dipakai untuk hal-hal yang produktif, menghasilkan income dan hasil incomenya dipakai untuk membayar pokok serta bunganya. Atau non-self liquidating debt, hutang yang tidak produktif dan untuk membayarnya harus diambil dari pos lain. Hutang untuk konsumsi masuk ke dalam kategori ini. Hutang pemerintah untuk membiayai jalannya pemerintahan, termasuk kategori ini. Dan hutang yang jenis ini terus bertambah.

Yang menarik dari perjalanan hutang total di Indonesia adalah relatif  konstan sepanjang kurang lebih 10 tahun sesudah krismon 1998 di level $130 - $150 milyar. Nampaknya setelah kasus subprime di akhir 2007, hutang Indonesia meningkat secara parabolik. EOWI tidak percaya pada kebetulan. Sehingga patut diduga dana QE (Quantitative Easing) tidak tersalurkan ke arah pemulihan ekonomi US, melainkan ke arah spekulasi di emerging market. Jadi di samping hutang pemerintah yang tidak produktif, juga hutang untuk berspekulasi, seperti hutangnya Imam Semar untuk menge-short rupiah, yang notabene juga tidak produktif, ikut menanjak.

Chart – 5  Total hutang Indonesia

Peningkatan hutang setelah krisis subprime bukanlah hal bagus. Pertama karena kasus subprime merambat menjadi krisis global yang sampai saat ini Eropa dan US masih belum pulih. Beberapa negara memang belum terkena dampaknya secara nyata. Seperti Indonesia, Malaysia, Australia, Canada, Cina dan sederet lagi seakan tidak pernah terjadi krisis. Tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa perekonomian global pincang dengan sakitnya perekonomian Eropa dan US. Cina memang berusaha untuk mempertahankan pertumbuhan ekonominya dengan memfokuskan pada pertumbuhan investasi. Tetapi hal ini tidak akan bisa bertahan lama. Siapa yang akan menjadi konsumennya?

Ada yang menarik dari perkembangan hutang pemerintah di Indonesia. Sejak krismon 1998, hutang pemerintah tidak lagi melulu dalam denominasi mata uang asing. Tetapi juga mata uang rupiah. Perbandingannya mendekati sekitar 50%-50%. Ini mungkin dimaksudkan untuk mencegah terulangnya kembali krisis 1998.

Chart – 3  Hutang pemerintah Indonesia, % GDP dari tahun 1990 sampai 2003

Mungkin idenya bahwa kalau surat hutangnya dalam rupiah maka yang beli adalah investor lokal dan pemerintah bisa membayarnya dengan mencetak saja dari kertas-kertas kosong. Sebab kalau dalam denominasi dollar, maka pemerintah harus menyediakan dollar yang harus dibelinya.

Persoalannya ialah jika pembelinya adalah investor asing, maka pada saat membeli mereka harus menukarkan dollar mereka ke dalam rupiah dahulu. Ini akan menyebabkan rupiah terappresiasi. Dan sebaliknya, ketika mereka keluar dari pasar, maka rupiah yang hasil penjualan bond yang mereka punyai akan dikonversikan ke mata uang asing, US dollar. Akibatnya rupiah akan terdepresiasi. Sederhana bukan.

Sejak krisis subprime 2008, di samping hutang Indonesia meningkat, rupiah juga menguat dari Rp 13,000 ke Rp 8,500. Sebabnya ada aliran dana dari luar masuk ke Indonesia. Harga saham Indonesia naik sekitar 400%. Surat hutang Indonesia berdenominasi rupiah juga menarik bagi spekulan asing karena bunganya tinggi dibandingkan dengan bunga di US. Jangankan surat hutang Indonesia, junk bond saja disabet para investor (spekulan). Ini adalah dampak ketidak-bijakan QE, easy money yang dikeluarkan the Fed dan bank-bank sentral lainnya. Dengan mengambil surat hutang berdenominasi rupiah, investor (spekulan) memperoleh dua keuntungan, yaitu bunga yang tinggi dan appresiasi rupiah.

Persoalan bagi Indonesia adalah spekulan-spekulan asing ini sering berbaju lokal dan ketika mereka ini keluar secara hampir serentak. Pemerintah harus punya dollar banyak. Jadi apakah itu hutang eksternal atau internal sulit dibedakan, atau hutang jangka panjang atau jangka pendek dan dampaknya sama saja. Akan menarik jika memang spekulan asing banyak bermain di sektor bond lokal. Sebab ketika mereka keluar, pasar bond yang relatif tidak likwid ini akan mengalami kemacetan, sesak, pintunya kurang besar. Bond yield akan meroket. Untuk menunjukkan betapa sempitnya pintu keluar, ketika krisis subprime tahun 2008 harga bond pemerintah Indonesia dalam denominasi dollar jatuh dan bottomnya mencapai 60 sen untuk $1. Ini adalah bond yang masih jauh jatuh temponya. Dengan kata lain, hutang jangka panjang atau yang sudah hampir jatuh tempo punya dampak yang sama.

Akhir Bubble Properti Cina, Canada, Australia, Indonesia
Bubble di sektor properti di Cina, Indonesia dan negara-negara berbasis komoditi seperti Canada, Australia, Brazil nampaknya sudah sampai pada akhirnya. Yang terjadi berikutnya apakah hanya pendinginan, atau pengempisan secara perlahan-lahan atau meletus. Bubble biasanya meletus, berakhir dengan tidak mengenakkan. Pemain/pekerja di sektor properti sudah merasakan adanya penurunan omzet. Pasar sepi dan sulit bertransaksi. Banyak di antara pemain sudah keluar. Misalnya agen yang beberapa tahun lalu membantu mencarikan rumah yang saya tempati sekarang ini sudah keluar karena sepi order dan akhirnya bertukar profesi. Beberapa developer bahkan menawarkan down-payment yang bisa dicicil. Padahal arti kata down-payment adalah bagian dari pembayaran yang tidak dicicil. Dengan kata lain, pembelian rumah seperti itu adalah tanpa down-payment. Ini adalah usaha-usaha yang sudah putus asa.
Dengan berakhirnya bubble di sektor properti di Cina dan negara-negara berbasis komoditi, apakah krisis global yang berkonsekwensi appresiasi US dollar akan berlanjut? Kita lihat saja.

Akselerasi Pengempesan Bubble Komoditi Tambang
Sudah sekitar setahun, pengempesan bubble komoditi terhenti untuk mengambil nafas. Dari data yang hampir sepanjang 200 tahun, commodity bear market tidak akan merhenti sampai disini. Sikusnya adalah sekitar 30 tahun. Kalau bull marketnya dimulai tahun 2000, maka bull market berikutnya baru dimulai tahun 2030. Setidaknya tahun 2025. Sampai 10 – 15 tahun mendatang, harap bahan-bahan komoditi akan menjadi primadona lagi. Konsekwensinya adalah, pendapatan pemerintah NKRI akan turun. Penerimaan US dollar juga akan menyusut. Pemasukan devisa juga turun. Selanjutnya rupiah akan sakit. Dalam beberapa tahun mendatang, pengempesan bubble di sektor komoditi akan mengalami akserasi, sejalan dengan melambatnya ekonomi Cina, meletusnya bubble properti Cina. Itu adalah konsekwensi logis saja.

Yang lebih penting lagi, karena sampai 10 – 15 tahun ke depan di sektor komoditi mengalami perlambatan tidak banyak memerlukan investasi, FDI (Foreign Direct Investment) menurun dan uang hasil eksport komoditi akan ada kecenderungan untuk diparkir di luar negri. Dengan menurunnya FDI yang cukup besar di sektor bahan tambang, pemasukan dollar ikut melambat (kalau tidak mau dibilang terhenti). Dan semua ini bisa terlihat pada defisit neraca transaksi berjalan NKRI yang berdarah-darah selama 2 tahun terakhir ini.

Tanda-Tanda Perdarahan di Neraca Transaksi Berjalan

Kejatuhan rupiah dari Rp 8,500 ke Rp 12,000 per US$ nya selama 2 tahun ini, hanyalah pembukaan, prelude dari kejatuhan berikutnya yang lebih dalam. Itu bisa dilihat dari kurva neraca transaksi berjalan NKRI (Chart-6). Selama 11 tahun (2000 – 2011) commodity bull market, Indonesia selalu mengalami surplus pada neraca transaksi berjalannya yang membuat cadangan devisa NKRI menanjak hampir 4 kali lipat selama dekade 2000an (Chart-2). Padahal kalau dilihat pada Chart-6, “goyangan” surplus pembayarannya hanya di sekitar US$ 2 – US$ 4 milyar per kwartal saja. Ketika commodity bull market usai dan digantikan dengan commodity bear market (2011 – 2030?), terlihat “goyangan” defisit pembayaran mencapai kisaran minus US$ 4 sampai minus US$ 10 milyar per kwartal. Berarti selama kejatuhan bahan komoditi, pengurasan cadangan devisa NKRI adalah dua sampai 4 kali lebih volatile dari pada penumpukannya di tahun 2000 – 2011. 

 Chart – 6  Neraca transaksi berjalan Indonesia, defisit sejak akhir boom komoditi 2011

Perlu dicatat bahwa tahun 2012 dan 2013 sekitar $24 - $30 milyar dari defisit neraca transaksi yang keluar pertahunnya tidak banyak dari dana investasi portfolio. Pemerintah masih bisa menambal cadangan devisanya dengan mengeluarkan surat hutang (obligasi) berdominasi dollar di tahun 2014. Tidakan ini adalah mengulur waktu saja. Saat ini orang masih berpikir surat hutang pemerintah dalam US dollar adalah lebih baik atau sama dengan cash US dollar. Yang pasti investor sudah tahun, surat obligasi berdenominasi rupiah tidak sama dengan yang berdenominasi dollar walaupun kuponnya lebih tinggi. Nilai rupiah dalam 2 tahun terakhir ini sudah jeblok 25% yang tentu saja tidak bisa diimbangi dengan kupon. Pada saatnya investor akan tersadar bahwa obligasi dollar NKRI tidak sama dengan US bond. Pasarnya terlalu kecil. Pada saat krisis, pasar hutang Indonesia beku, ceritanya akan lain, mengulur waktu tidak akan bisa lagi.

Pesan EOWI, bersiaplah menghadapi ombak gelombang yang tinggi. Pelayaran tidak akan mulus.

Peraturan Untuk Membendung Rontoknya Rupiah
Mau dipercaya atau tidak, sebenarnya Bank Indonesia (BI) tahu bahwa posisi rupiah cukup rapuh. Oleh sebab itu, BI merasa perlu untuk membuat benteng pertahanan untuk menjaga rupiah. Beberapa waktu lalu pemerintah NKRI memberlakukan peraturan baru, bahwa pembelian mata uang asing lebih dari US$ 100,000 harus disertai bukti underlayingnya. Maksudnya, adalah bahwa setiap pembelian US$ diatas US$100,000 harus ada alasan kepentingannya dan disertai dengan dokumen pendukungnya (seperti invoice) sebagai bukti adanya transaksi bisnis, bukan sekedar untuk investasi portfolio, hedging dan spekulasi. Peraturan ini dimaksudkan untuk mencegah adanya volatility, yang diperkirakan akan membuat reaksi panik dari pelaku pasar. Pemerintah menghendaki kontrol terhadap nilai rupiah. Kalau mau jatuh, yang diinginkan adalah jatuh yang teratur.

Beberapa waktu lalu, pemerintah (BI) juga menghimbau pelaku bisnis untuk tidak memborong dollar untuk memenuhi kewajiban mereka pada bulan-bulan mendatang. Bisa beli nanti saja dan tidak usah khawatir harga US dollar naik. Kalau perlu lakukan saja lindung nilai. Kalau saya jadi pelaku bisnis, akan bertanya: "Siapa yang menjamin?".  Dan hedging juga ada biayanya. Siapa yang mau bayar?

Ada pepatah yang mengatakan: “Jika pemerintah menginginkan kontrol, hasilnya adalah ketidak pastian.” Adanya pembatasan-pembatasan membuat pelaku ekonomi dan investor menjadi curiga. Setiap ada satu peraturan/pembatasan keluar, artinya ruang gerak dibatasi. Kalau ruang gerak dan aturan main diubah-ubah, akan timbul pertanyaan dari pelaku ekonomi dan investor: “Kapan peraturan yang merugikan saya akan dimunculkan?” Ini yang disebut rasa ketidak pastian. Perubahan-perubahan yang mengarah pada kerugian seseorang bisa dianggapnya sebagai resiko. Dengan kata lain, perubahan level kontrol-kendali merupakan ketidak pastian bagi investor dan pelaku ekonomi.

Investor juga cerdik dan banyak akalnya mencari celah. Pemerintah tidak bisa mencegah keluarnya US dollar ketika pengelola dana asing bisa menunjukkan adanya redemption di luar negri. Juga dengan pasar derivative yang hampir tidak ada regulasinya. Pasar uang di Indonesia relatif kecil. Transaksinya hanya sekitar $ 5 milyar saja perharinya kalau sedang ramai dan hanya $ 3 - $ 4 milyar saja kalau sedang sepi. Ibaratnya pasar yang kecil seperti ini pintu yang sempit. Jika semua orang mau keluar......, akan terjadi gejolak. Mungkin secara kekuatan dan potensial, kondisi Indonesia masih bagus, tetapi pintu keluarnya kecil yang bisa menimbulkan panik.

Okey, kita ringkas saja cerita yang panjang tadi. Ringkasnya:

Dibandingkan dengan kondisi tahun 1998, posisi rupiah saat ini jauh lebih baik. Sayangnya prahara, tornado 2014 – 2020 tipenya bukan 25 year storm tetapi adalah lifetime storm (badai yang terjadi seumur hidup manusia) ukurannya besar. Jadi walaupun posisi rupiah lebih baik dari pada tahun 1998, tetapi belum tentu kuat dan tegar menghadapi badai moneter 2014 – 2020.

Rupiah punya beberapa titik lemah. Pertama, selama habisnya periode commodity bull market tahun 2011, neraca transaksi berjalan NKRI sedang berdarah-darah. FDI di sektor komoditi pertambangan sudah susut karena berakhirnya commodity bull market. Dan uang hasil penjualan bahan tambang cenderung untuk diparkir di luar negri (diparkir di dalam negri untuk apa? Toh tidak ada gunanya). Di samping itu juga karena defisit perdagangan. Ekspor andalan NKRI harganya sedang jatuh.. Dan akan jatuh lagi dikemudian hari, sampai 10 - 15 tahun ke depan.

Berikutnya, hutang eksternal jangka pendek NKRI sekitar 40% dari cadangan devisa dan prosentase ini meningkat dengan berjalannya waktu. Bayangkan kalau tidak bisa diroll-over, berapa sisa cadangan devisa NKRI untuk mempertahankan rupiah? Kenyataannya money velocity di US terus menurun, artinya ada kecenderungan pelaku busines lebih suka menahan cash dari pada invest. Kedepannya cari hutangan baru akan lebih sulit.

Berikutnya, pasar uang Indonesia kecil. Ketika investor keluar, akan menimbulkan gejolak. Pemerintah tidak akan bisa meredam gejolak ini. Ketika tahun 1998, US dollar melejit sampai Rp 15,000 dan jatuh lagi ke Rp 6,000 yang kemudian stabil di kisaran Rp 9,000 per dollar. Itu overshoot sebesar 60%. Hal semacam ini berpotensi terjadi lagi.

Selanjutnya, adanya perjanjian kerja sama (bilateral atau regional), currency swap atau sejenisnya tidak akan ada gunanya, karena semua anggotanya akan membutuhkan dana pada saat krisis.

US dollar beberapa waktu lalu mengalami rally. Indeks US dollar sempat menembus level 86, suatu level yang sudah lama tidak pernah dicapai. Terhadap rupiah sempat mencapai Rp 12,250. Harga minyak Texas Intermediate sempat ke level $ 80 per bbl. Jangan berpikir krisis sudah dimulai. EOWI percaya bahwa rupiah akan menguat, harga minyak juga menguat dan US dollar melemah dulu. Perjalanan tidak seperti jalan yang lurus dan monotone. Ada naik, ada turun dan ada berbelok. Demikian juga dengan nasib rupiah. Tetapi saecara fundamental akan bergerak turun.

Sekian dulu jaga kesehatan dan tabungan anda baik-baik. Siapkan strategi investasi dan bisnis anda untuk lingkungan deflationary, bukan inflationary. Sampai lain cerita tentang bagaimana mengambil keuntungan dimasa krisis. (Jakarta 20 Oktober 2014)
 

Disclaimer: Ekonomi (dan investasi) bukan sains dan tidak pernah dibuktikan secara eksperimen; tulisan ini dimaksudkan sebagai hiburan dan bukan sebagai anjuran berinvestasi oleh sebab itu penulis tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang diakibatkan karena mengikuti informasi dari tulisan ini. Akan tetapi jika anda beruntung karena penggunaan informasi di tulisan ini, EOWI dengan suka hati kalau anda mentraktir EOWI makan-makan.