___________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Doa pagi dan sore

Ya Allah......, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari bingung dan sedih. Aku berlindung kepada Engkau dari lemah dan malas. Aku berlindung kepada Engkau dari pengecut dan kikir. Dan aku berlindung kepada Engkau dari tekanan hutang, pajak, pembuat UU pajak dan kesewenang-wenangan manusia.

Ya Allah......ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim dan para penarik pajak serta pembuat UU pajak selain kebinasaan".

Amiiiiin
_______________________________________________________________________________________________________________________________________________

Tuesday, December 20, 2011

Pendidikan Tinggi dan Kesuksesan Meraih Status Ekonomi

Tanggapan Atas: Bubble dan Pendidikan Tinggi

Artikel Bubble dan Pendidikan Tinggi sempat beredar di milis salah satu alumni ITB. Tentu saja mendapat tanggapan. Salah satu tanggapan itu berasal dari seorang professor dari UnHas. Namanya, sebut saja Rhiza Sajad. Beliau ini ketika masuk ITB termasuk 10% terpandai. Jadi tidak salah kalau sebagai seorang nerd akhirnya berkarir di bidang pendidikan. Dari teman-temannya yang 10% terpandai ini banyak yang berkarir di bidang pendidikan. Mungkin nerds pandai karena menyukai buku. Tidak seperti Imam Semar yang skeptis, nyinyir dan sontoloyo, berkarir sebagai tukang test sumur minyak.

Email-email prof. Rhiza ini saya gabung-gabung, edit dan akhirnya menjadi sebuah artikel yang senafas dengan karakter skeptis EOWI. Apakah nada tulisan prof. Rhiza ini skeptis atau optimis, atau .... apakah tulisan hasil penyuntingan ini sesuai dengan opini beliau yang sebenarnya? Masalah dan pertanyaan ini tidak usah diperdulikan karena tulisan ini diterbitkan tanpa ijin pak professor dan tanpa persetujuan beliau serta mungkin tidak lagi sesuai dengan pemikiran awal beliau. Yang penting nada tulisan ini sesuai dengan nada EOWI. Hal-hal seperti ini yang membuat EOWI unik.

Beginilah ceritanya:

Tadi di UNHAS ada pertemuan ForTEI, yaitu "Forum (Pendidikan Tinggi) Teknik Elektro Indonesia", yang dihadiri oleh ketua-ketua dan dosen-dosen Jurusan Teknik Elektro se-Indonesia, negeri, swasta, poltek, sekolah tinggi, bahkan dari STMIK (Sekolah Tinggi Manajemen Ilmu Komputer)-pun banyak yang hadir, karena menyangka "TEI" dalam ForTEI itu singkatan "Teknik Elektro dan Informatika" seperti "TEI" dalam STEI di ITB.


Keluhan umum dari dosen-dosen Teknik Elektro di seluruh Indonesia, baik negeri mau pun swasta, adalah semakin menurunnya minat lulusan SMA/SMK untuk mendaftar ke jurusan Teknik Elektro, menurun baik secara kuantitas apalagi kualitas. Di Makassar saja, beberapa universitas swasta terancam tutup Jurusan Teknik Elektro-nya karena sepi peminat. Jurusan Teknik Elektro di UNHAS saja pernah kehilangan 25 % mahasiswa barunya karena diterima di STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara! Sekolah untuk keahlian "sontoloyo" menurut anda) dan STT (sekarang ITT) Telkom. Tepat yang anda bilang, orang tidak berminat masuk ke Teknik Elektro lagi karena sekolahnya susah, mahal, dan pekerjaannya belum tentu bagus....... paling-paling masih mengharap jadi pegawai PLN (yang banyak dipenjara akhirnya karena korup), atau Telkom dan anak-anak-nya, yang nantinya harus bersaing keras dengan lulusan ITB dan STT Telkom juga.


Kebanyakan universitas yang merasa "terancam" dengan berkurangnya minat masuk ke Jurusan Teknik Elektro mencoba mengatasi masalahnya dengan membuka jurusan Teknik Informatika, yang masih cukup laku .....entah sampai kapan.


Tapi satu hal yang saya belum sepenuhnya paham, adalah fenomena antri-nya orang mendaftar masuk program S2 dan S3 Teknik Elektro. Di ITS, jurusan Teknik Elektro-nya baru membuka Program S3 rasanya belum lima tahun lalu, tapi mahasiswanya langsung mbludak sampai lebih 100 orang ! Bayangkan, satu jurusan punya lebih dari 100 calon Ph.D!!! Teknik Elektro UNHAS punya program S2 sejak 1999, yang mendaftar dan diterima (jarang yang ditolak, hehehe) selalu lebih 50 orang setiap tahun, yang berhasil sampai lulus sekitar 35-40 orang. Insya Allah tahun depan kami akan buka program S3 juga, menunggu akreditasi program S1 dan S2. Belum dibuka, sudah puluhan yang antri, sebagian ditampung dulu di Teknik Sipil yang sudah duluan buka S3, tapi mayoritas mahasiswanya justru mahasiswa Elektro.


Jadi peminat S1-nya menurun, tapi peminat S2 dan S3-nya naik terus......... kenapa begitu yah? Apakah makin banyak orang yang berminat untuk menjadi dosen dan peneliti, daripada pedagang dan industriawan? Dan kemungkinan dalam waktu dekat, hanya S3 yang diterima untuk jadi dosen, kaya'nya di ITB sudah begitu sekarang .... Sekarang ini hanya S2 yang bisa diterima jadi dosen.


Profilnya para peserta program S2 dan S3 kira-kira seperti ini: Sebagian besar peserta Program S2 Teknik Elektro saat ini ber-latar-belakang non-Elektro, yaitu kurang-lebih 50-60 % dari S1 Teknik Informatika, lulusan sekolah-sekolah swasta (umumnya STMIK) dari seluruh kawasan timur Indonesia. Ada yang bilang (tapi ndak tahu benar atau nggak), mereka mengambil S2 di UNHAS untuk "memutihkan" ijazah S1 mereka...... you know what I mean?


Nah, hanya sekitar kurang dari 5 % peserta berasal dari S1 non-Elektro, dan non-Informatika, ada dari Fisika, Pendidikan (d/h IKIP), Poltek, dan lain-lain ....... Sedangkan yang sementara mengambil S3 numpang di Teknik Sipil dan masih ngantri tunggu program S3 buka hampir 100 % latar-belakang S1 dan S2-nya Teknik Elektro. Belum kedengaran ada yang dari S1 dan S2 lain.


Jadi kondisi saat ini: S1 peminatnya terus anjlok, sementara S2 dan S3 peminatnya terus naik ....... Gimana tuh, yah, penjelesannya kira-kira?


Kalau peminat program S1 (teknik elektro) terus menurun, tentunya bisa menyulitkan. Tetapi menurut hemat saya, "hidup-mati"-nya suatu departemen atau program studi di universitas dan institut, yang negeri terutama, tidak boleh bergantung pada banyak atau sedikitnya peminat. Untung doeloe jurusan Astronomi ITB tidak ditutup ketika cuma tiga mahasiswa, Ninok dan Ida (ada satu lagi?) di tahun 1975 yang berminat masuk. Kalo' ditutup waktu itu, tidak akan pernah ada Prof. Thomas Djamaluddin yang giat mempersatukan hisab dan rukyat, dan tidak akan pernah ada penerus Prof. Bambang Hidayat. Sebab, universitas dan institut negeri, mustinya tetap harus menjalankan fungsi akademia sejak jaman Socrates, yaitu mem-PRESERVE ilmu pengetahuan. Jangan sampai generasi ummat manusia yang tinggal di muka bumi ini semakin lama semakin "jahil" dan bodoh .....


Kalau sedang mengajar di kelas, sering dalam hati kecilku ada yang bertanya-tanya, ....... ini aku sedang memberdayakan orang, atau malah memperdaya mereka? Demikianlah sekedar share dari saya, yang sehari-hari menggeluti dunia pendidikan tinggi......


Kasus jurusan elektro ini sangat menarik. Peminat S1 nya turun tetapi peminat program S2 dan S3 meningkat. Mungkin standard S1 pendidikan teknik elektro di Indonesia sudah melampaui otak rata-rata pemuda Indonesia. Tetapi mereka cukup cerdik masuk jurusan yang mudah seperti informatika, sekolah swasta pula yang tidak tercatat dimana-mana. Kemudian setelah memperoleh ijasah S1, maka diputihkan dengan S2 negrinya. Pemberian gelar S2 dan S3 di universitas-universitas Indonesia menurut, penilaian saya, adalah sangat longgar. Misalnya saja presiden SBY yang punya gelar doktor dari Institut Pertanian Bogor, ternyata bisa ditipu mentah-mentah dengan blue energy dan padi super toy. Padahal dengan pelajaran SMA saja, bisa dibuktikan blue energy adalah tipu. Dan lebih memalukan lagi bahwa seorang doktor dari institut pertanian yang terkemuka di Indonesia bisa tertipu di bidangnya – pertanian. Ini hanya mungkin jika kualitas doktor dari IPB tidak lebih tinggi dari lulusan SMA.

Jalur pemutihan ijasan seperti yang diuraikan di atas ini lebih mudah dari pada jalur langsung. Karena program paska sarjana universitas negri masih baru dan memerlukan murid. Dan lulusnya juga lebih gampang, segampang meluluskan orang yang bisa tertipu oleh padi super toy dan blue energy. Keponakan saya juga ada yang menempuh jalur yang mirip untuk jurusan akutansi. Pertama-tama dia masuk D3 jurusan akutansi UI (Universitas Indonesia) yang saingannya tidak banyak dan sekolahnya mudah. Kemudian dilanjutkan ke sarjana kuliah sore, yang juga lebih ringan dibandingkan dengan kuliah siang. Kemudian dilanjutkan lagi ke S2. Cerdik bukan? Hasilnya sama-sama ijasah S2 dari IU. Bedanya, yang satu harus kerja keras dan yang lain cuma kerja cerdik.


Milyuner Drop-Out dan Milyuner Non-Sarjana

Banyak orang saya kenal menjadi sarjana pengangguran, termasuk mereka yang lulusan fakultas teknik. Terkadang ijasah sarjana dan pengalaman kerja menjadi perangkap dan penjara bagi orang yang memilikinya. Seperti Steve Jobs, Mark Zuckerberg, Bill Gates adalah drop-out. Henry Ford sekolah sampai umur 15 tahun akhirnya menjadi kaya-raya dengan industri mobilnya. Mengenai orang-orang ini seorang rekan petinggi Kalbe Farma mengelak dan beropini:

Memang sih pada akhirnya saat kita bekerja ijazah disimpan dilaci, dan yang penting adalah efektivitas komunikasi kita ditempat kerja. Tapi ijazah memfasilitasi penetrasi dan inisiasi ...

Aku penggemar berat Steve Jobs ... Tapi secara statistik yang DO dan sukses spt Steve Jobs kecil sekali ..... Mungkin dalam diri Steve Jobs ada karakter2 lain yang membuat dia sukses walau dia ga punya ijazah, juga faktor2 lingkungan lain yg mungkin ga ada ... Bagiku suksesnya Steve Jobs bukanlah karena dia DO atau tidak DO, tapi karena dia bisa melengkapi aspek fungsional dari teknologi dengan aspek emosional dari calon penggunanya ...

Pernyataan pertama adalah benar. Sedang pernyataan kedua adalah salah. Jumlah milyuner Amerika yang tidak pernah punya ijasah sarjana adalah 20%. Secara statistik jumlah milyuner Amerika yang tidak punya ijasah sarjana tidak kecil. Angka 20% bukan probability yang kecil. Cara menyatakan lainnya adalah 1 dari 5 milyuner Amerika tidak pernah kuliah. Bahkan menurut Wikipedia, kekayaan rata-rata milyuner-drop out adalah $ 9,4 milyar hampir 3 kali milyuner-PhD yang hanya $3,2 milyar. Dan juga sekitar 3 kali milyuner sarjana yang hanya $2,9 milyar. Dengan kata lain bahwa kuliah hanya memberikan peluang 5 kali lebih tinggi untuk menjadi milyuner. Sedangkan ijasah sarjana hanya meningkatkan peluang yang lebih kecil lagi. Sebab orang seperti Steve Jobs, Bill Gates, Mark Zuckerberg pernah kuliah tetapi drop-out.

Kita akan lanjutkan kisah para milyuner drop-out dan milyuner tanpa gelar sarjana. Kisahnya hanya sekilas saja karena bukan dimaksudkan untuk mempelajari kunci-kunci yang menyebabkan keberhasilan mereka, melainkan sekedar untuk memperkenalkan kepada pembaca EOWI, sehingga kalau mau menelusuri lebih lanjut kunci-kunci keberhasilan milyuner tanpa gelas sarjana ini, maka sudah ada referensinya, biografi siapa saja yang harus dicari.


Bill Gates

Bill Gates adalah co-founder dari Microsoft. Dia drop-out dari Harvard. Pada saat tech-bubble, ia menjadi pemecah rekor kekayaan yang menembus angka $100 milyar. Ia drop-out dari kuliahnya tahun 1975 untuk memulai perusahaannya yang dikemudian hari bernama Microsoft. Usianya baru 19 tahun pada waktu itu. Keberuntungannya terbuka ketika IBM menggunakan operating system dari Microsoft untuk “personal computer” yang diproduksi IBM. Penjualan personal computer IBM meledak dan menguasai pasar. Munculnya “IBM compatible” atau IBM clones membuat Microsoft semakin menanjak karena operating systemnya menggunakan MS-DOS, buatan Microsoft.

Pada masa itu muncul banyak software-software untuk applikasi “desk-top”, dari mulai spread sheet Lotus 1-2-3, Freelance, word processor WordStar dan banyak lagi. Kemudian satu-persatu dibunuh oleh Microsoft dengan produk-produknya seperti MS Excel, MS Word, MS Power Point dan lain-lain. Bahkan Internet Explorer diberikan secara gratis kabarnya karena digunakan untuk menyingkirkan Netscape. Cara-cara Gates menguasai dunia bisnis komputer dan membesarkan perusahaannya termasuk licin dan licik. Terkadang sifatnya predatory.


Paul Allen

Paul Allen adalah partner Bill Gates dalam pendirian Microsoft. Menurut ceritanya Paul Allen sering menyelinap masuk ke laboratorium komputer University of Washington bersama Bill Gates. Mereka sempat tertangkap tetapi kemudian diijinkan dengan syarat mereka memberi bantuan kepada mahasiswa mengenai masalah komputer. Pada dasarnya mereka ini sudah menguasai komputer lebih baik dibandingkan mahasiswa di masa itu.

Paul Allen kemudian masuk Washington State University dan drop-out di tahun ke 2 untuk bekerja pada Honeywell di Boston sebagai programer. Pada saat yang sama Bill Gates masih mahasiswa di Harvard, sampai akhirnya Paul bisa meyakinkan Bill Gates untuk keluar dan mendirikan Microsoft.


Michael Dell

Michael Dell juga milyuner drop-out dari universitas yang beruntung di bidang komputer. Pada umur 15 tahun, menurut ceritanya, ia membongkar personal komputer Apple II yang masih baru dan merangkainya kembali. Itu dilakukannya untuk menguji apakah dirinya mampu melakukannya. Tindakan ini sangat nekad, karena Apple bukan komputer murah. Harga yang sangat mahal ini membuat Apple tidak bisa menembus pasar secara dalam dan menyebar. Apple kalah dengan IBM PC dan clones nya.

Apa yang dilakukannya inilah yang mengantarnya menjadi milyuner dengan membuat komputer.

Lulus SMA dengan nilai yang buruk, ia masuk University of Texas di Austin. Selama di Universitas ia membuat/merakit komputer untuk dijual. Karena kesuksesannya dalam bisnis komputernya, ia meninggalkan sekolahnya di umur 19 tahun.


Henry Ford

Cerita kita masih berkisar pada milyuner karena keterampilan mereka dalam merakit dan membuat suatu barang konsumsi. Henry Ford bisa menjadi kaya karena keterampilannya sebagai mekanik dan bisa membuat mobil.

Ford lahir dan besar di daerah pertanian di wilayah Michigan. Ketidak-sukaannya terhadap sekolah membuat ia menjadi murid yang payah dengan kemampuan membaca dan menulis yang buruk. Menurut cerita, ia hanya bisa menulis kalimat-kalimat yang sederhana saja. Ia juga tidak suka kehidupan petani. Ia hanya tertarik pada mesin-mesin dan cara kerjanya. Jam adalah salah satu barang yang membuatnya tertarik. Ia menjadi tukang reparasi jam pada umur 13 tahun.

Pada umur 16 ia pergi dari ke Detroit, Michigan untuk magang di sebuah bengkel. Di malam hari ia menggunakan waktunya untuk mereparasi jam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kemudian ia bekerja di Detroit Drydock Company. Ia kembali ke tanah pertaniannya karena ayahnya memberinya 40 acre tanah untuk digarap. Harapan ayahnya agar Henry meninggalkan obsesinya terhadap mesin. Harapan ayahnya terbang, karena Henry kemudian mendirikan bengkel di tanah itu.

Obsesinya terhadap mesin membuatnya tidak betah hidup di tanah pertanian. Ia kemudian kembali bekerja di bidang yang disukainya di Edison Illuminating Company – milik Thomas Alfa Edison. Ketika ia punya cukup uang, ia kembali menekuni hobbinya membuat eksperimen dengan mesin-mesin bensin.

Kisah sukses Ford sangat panjang. Kunci suksesnya adalah ketika ia berhasil membuat mobil murah model T. Sistem pengerjaannya dengan ban berjalan.

Saya tidak tahu apakah Ford bisa dikatakan bahwa ia milyuner tanpa gelar sarjana atau tidak. Katanya ia pernah masuk Goldsmith, Bryant & Stratton Business College di Detroit untuk belajar mengenai pembukuan. Itu menurut Wikipedia. Tetapi kalau Yahoo Answer tidak. Ada kontroversi.


Ralph Lauren

Ralph Lauren terlahir dengan nama Ralph Lifschitz di Bronx, New York. Pada umur 16 tahun ia mengganti namanya menjadi Ralph Lauren. Nama ini kedengarannya lebih bisa dikomersialkan dari pada Liftschitz yang kedengarannya seperti lift-shit (mengangkat tinja). Sejak muda ia sudah suka pakaian-pakaian yang mentereng dan trendy. Untuk memenuhi hobby nya itu ia harus kerja setelah pulang sekolah.

Raph juga masuk sekolah City College of New York untuk belajar business, tetapi drop-out pada tahun ke II. Setelah wajib militer, ia bekerja pada Brooks Brothers sebagai salesman sampai tahun 1967 dimana ia membuka toko dasi dengan bantuan modal dari Norman Hilton. Di toko itu Raph juga menjual dasi hasil design dirinya sendiri di bawah nama Polo. Label Polo dikemudian hari dibelinya dari Norman Hilton.

Raph Lauren tidak pernah belajar di sekolah fashion atau sejenisnya. Tetapi toh ia bisa sukses.


Li Ka-Shing

Li Ka-Shing mungkin orang Cina yang terkaya di dunia sampai saat ini. Ia berasal dari Cina Mainland yang lari dibawa orang tuanya ke Hong Kong ketika Cina diserbu Jepang. Ia masih berumur 12 tahun. Ketika berumur 15 tahun ia terpaksa drop-out sekolah menengahnya karena ayahnya meninggal dan ia harus membantu menghidupi keluarganya.

Li seorang pekerja yang keras. Ia menjadi penjual jam di toko pamannya. Di malam hari ia bekerja di pabrik.

Ketika berumur 21 tahun, Li membuka pabrik barang-barang plastik dan barang andalannya adalah bunga-bunga plastik yang dijualnya dengan harga murah. Secara tidak sengaja ia terjun ke sektor properti, ketika tahan yang disewanya tidak bisa diperpanjang masa sewanya. Ia terpaksa membeli properti dan membangunnya sendiri. Selanjutnya Li melakukan diversifikasi ke sektor-sektor elektronik, komunikasi, retail dan juga pembangkit listrik.


Ingvar Kamprad

Multi-milyuner pendiri IKEA ini terkenal karena pelit dan hematnya. Setidaknya, ia sangat perhitungan dan fokus pada untung-rugi. Menurut cerita ia mengantongi garam dan merica (yang dibungkus dalam kantong kertas) ketika makan di restoran/hotel. Ia juga menggunakan tea-bag berulang-ulang, naik pesawat kelas ekonomi. Ia juga sering makan di kantin murah IKEA. Ia juga dikenal suka membeli hadiah natal dan kertas pembungkusnya setelah obral-natal dan tahun baru, dimana harganya bisa lebih murah lagi. Ada pernyataannya yang menarik:

"It is not only for cost reasons that we avoid the luxury hotels. We don't need flashy cars, impressive titles, uniforms or other status symbols. We rely on our strength and our will!"

“Kami menghindari hotel yang lux bukan sekedar karena menghemat. Kami tidak perlu mobil yang mentereng, gelar yang membuat orang berdecak, seragam yang membuat orang gagah atau simbol-simbol status lainnya. Kami percaya pada kekuatan kami sendiri dan kemauan yang keras.”

"I am stingy and I'm proud of the reputation."

“Saya pelit dan saya bangga dengan reputasi itu”

Ingvar adalah orang Swedia keturunan Jerman yang lahir di PjƤtteryd, Swedia. Bakat dagangnya dipupuknya ketika masih belia, dimana ia menjual secara eceran korek api yang dibelinya dalam jumlah besar. Barang yang dijualnya secara eceran masih lebih murah dari penjual-penjual lainnya. Dari korek api, ia mengembangkan usahanya dengan menjual ikan, pernak-pernik hiasan natal, ballpoint, dan pensil.

Ingvar keluar dari sekolah ketika ia berumur 17 tahun 1943 untuk mendirikan IKEA dengan uang hadiah dari ayahnya untuk keberhasilannya di sekolah. Sangat ironis. Meninggalkan sekolah karena memperoleh nilai yang baik. Semula IKEA hanya menjual barang-barang yang Ingvar pikir diperlukan orang dan bisa dijual dengan harga murah. Kemudian perabotan tumah tangga.

Show room pertama Ingvar, dibuka ketika ia berumur 27 tahun (1953). Kemajuannya sampai tahap ini masih bisa dicapai banyak orang. Punya showroom di umur 27 tahun, masih wajar. Dan diperlukan waktu 20 tahun untuk bisa maju dari pasar domestik ke pasar internasional. Pada umurnya yang ke 47 tahun Ingvar mengembangkan bisnisnya ke luar negri dengan dibukanya cabang di Switzerland. Ekspansi bisnisnya di pasar internasional berkembang pesat dengan dibukanya beberapa cabang di Jerman, yang merupakan pasar terbesar IKEA. Kemudian Kanada dan Belanda.

Cabang di USA baru dibuka ketika ia sudah berumur 59 tahun, sudah cukup tua. Tahun 1993 – 50 tahun sejak usahanya dimulai, IKEA punya lebih dari 100 cabang di lebih dari 25 negara. Perjalanan yang sangat panjang. Kisah sukses panjang Ingvar bukan terjadi dalam sekejap, melainkan setahap demi setahap penuh dengan ketekunan dan hemat (pelit). Ingvar mempunyai yayasan sosial Stichting INGKA Foundation yang merupakan yayasan terkaya di dunia yang sering memberi sumbangan, tetapi jangan kira bahwa Ingvar dermawan. Banyak hal-hal yang dilakukannya, seperti memiliki yayasan, untuk menghidari pajak perusahaan, seperti halnya banyak milyuner lainnya. Ingvar mengakui hal ini secara terbuka.


Steve Jobs

Banyak orang mengasosiasikan Steve Jobs dengan Apple, perusahaan komputer yang didirikannya. Saya lebih suka mengasosiasikannya dengan sistem interface komputer dan pernik-pernik elektronik. Bentuk “Windows” dengan “drag-drop”, “click-drop”, “ikon”, mouse, dan lain sebagainya, adalah dipioniri oleh Apple di bawah pimpinan Steve Job. Dulu..... sistem operasi PC (personal computer) dan juga mainframe masih harus menggunakan command yang harus diketik, apakah itu MS-DOS atau mainframe operating system. Ada kekecualian untuk komputer-komputer Apple yang sudah menggunakan design windows yang dikemudian hari diadaptasi oleh Microsoft dan operating system lainnya. Design windows (yang nama ini sekarang menjadi merek dagang Mirosoft), memudahkan orang menggunakan komputer. Bayangkan jika anda harus mengetik “dir” untuk melihat list file, kemudian “del” untuk menghapus file, atau “copy”. Belum lagi “dir/p/n/...”, wah report.

Steve sendiri awalnya kurang sukses dibandingkan rekan-rekan dijamannya seperti Bill Gates dan Paul Allan. Sebabnya sederhana saja. Komputer yang dijualnya sangat mahal. Sebuah Apple II bisa untuk membeli banyak IBM clones. Oleh sebab itu Apple tidak terlalu populer. Ini yang menjadi sebab didepaknya Steve Job dari Apple, perusahaan yang didirikannya.

Setelah didepak dari perusahaan yang didirikannya, Steve menghilang untuk beberapa lama. Namanya muncul kembali dengan membawa bendera Pixar, perusahaan film animasi. Film-film kartun animasi komputer (dan 3-D), meledak.

Steve Jobs akhirnya ditarik kembali ke Apple, disana ia mengembangkan i-pad, i-pod dan gadget-gadget elektronik.

Steve Jobs adalah salah satu dari milyuner yang tidak punya gelar sarjana. Ia hanya tahan 1 semester di Reed College, Portland, Oregon, US.

Banyak milyuner-milyuner yang bukan sarjana. Anda bisa melakukan google-search untuk menemukannya. Banyaknya milyuner non-sarjana yang sukses dibudang IT yang diceritakan EOWI bukan karena bidang ini menjanjikan, tetapi karena 4 dekade terakhir ini adalah milik IT. Bila kita kembali ke masa lampau, akan anda jumpai milyuner dari sektor lain. Seperti Howard Hughes, industrialis, adalah drop-out dari Rice University. Saya tidak yakin bahwa Rockeffeler, raja minyak dimasa lampau juga punya gelar sarjana.

Banyak milyuner yang tidak mempunyai gelar sarjana. Di Indonesia juga banyak, seperti Sudono Salim (Liem Swie Liong), Bob Hasan, Tan Ek Tjong (Eka Cipta Wijaya). Dan kekayaan (keluarga) mereka ini mugkin lebih tinggi dibandingkan dengan milyuner-sarjana di Indonesia. Tetapi, saya pribadi tidak menganjurkan anda untuk tidak sekolah universitas. Banyak milyuner non-sarjana sebenarnya lebih menguasai ilmu dibidang yang ditekuninya dibandingkan dengan seorang sarjana. Paul Allan dan Bill Gates sudah menjadi computer geeks, ketika mereka masih sekolah lanjutan (SMA). Demikian juga Michael Dell yang suka ngoprek, bongkar-pasang komputer pada usia remaja. Henry Ford juga seorang mekanik yang handal sejak belia. Li Ka-Shing dan Ingvar Kamprad juga seorang retailer yang tekun sejak belia. Mereka ini sukses salah satunya karena keterampilannya yang diasah dan dikembangkan sejak belia.

Sekolah bisa dijadikan untuk ajang mencari keterampilan. Bisa juga sebagai tempat untuk memperoleh ijasah yang mahal dan susah (kalau mau, beli saja – murah dan cepat). Itu terserah masing-masing individu dan apa yang hendak dicapainya dalam hidup.

Sekian dulu......, sampai nanti......



Disclaimer: Ekonomi (dan investasi) bukan sains dan tidak pernah dibuktikan secara eksperimen; tulisan ini dimaksudkan sebagai hiburan dan bukan sebagai anjuran berinvestasi oleh sebab itu penulis tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang diakibatkan karena mengikuti informasi dari tulisan ini. Akan tetapi jika anda beruntung karena penggunaan informasi di tulisan ini, EOWI dengan suka hati kalau anda mentraktir EOWI makan-makan.

Thursday, December 8, 2011

Bubble dan Pendidikan Tinggi

Saya tidak tahu apa yang mau saya jadikan pokok pembicaraan kali ini. Seperti biasanya, banyak. Walaupun demikian saya selalu bisa menggabungkan beberapa topik menjadi satu dan tetap punya alur cerita yang enak (menurut saya). Hal ini disebabken karena biasanya secara keseluruhan mereka ada hubungannya. Kali ini saya mau bercerita tentang yang tidak ada hubungannya sama sekali. Andaikata ada, maka jaraknya sangat jauh. Tepatnya, topik yang hendak saya gabungkan adalah tentang sekolah, bubble dan memasukkan cerita satir berdasarkan berita mengenai pajak.

Saya mulai dulu dengan berita di bidang pajak. Karena isinya sangat ironis dan saya suka sekali.

Ada berita di bulan lalu tentang General Electric (GE). Tahun 2011 ini GE memasukkan formulir pengembalian pajak 2010 tebal kira-kira 57,000 halaman. Pengertian kata kira-kira disini adalah, bisa 56,999 bisa juga 57,689 halaman. Jadi jangan terlalu dipersoalkan mengenai detailnya. Laporan pajak sepanjang 57,000 halaman itu ternyata hanya untuk menyetorkan $ 0.00 saja oleh GE. Padahal keuntungan yang diperolehnya untuk tahun itu adalah $17 milyar. Itulah kehebatan GE. Dan itulah ironisnya peraturan pajak.

GE mempunyai sederet ahli hukum, ahli pajak, akuntan yang jago dalam mengelak pajak walaupun aturan-aturan pajak sudah dibuat tebal sekali. Sangking banyaknya aturan pajak ada perkataan Don Nickles (pengusaha dan politikus US) yang populer:

the Internal Revenue Code is about ten times the size of the Bible - and unlike the Bible, contains no good news. ~ Don Nickles

Tebal buku aturan pajak US adalah 10 kali Bible, tetapi tidak satupun ada kabar gembira di dalamnya.

Pajak ibaratnya:

The best things in life are free, but sooner or later the government will find a way to tax them. ~ Author Unknown

Hal yang indah di dalam kehidupan adalah bahwa semuanya (barang disediakan alam) tidak perlu bayar, tetapi cepat atau lambat pemerintah akan mengetahui cara untuk membuatnya harus bayar dalam bentuk pajak.

Dan manusia selalu akan berusaha untuk mencari jalur alamiah, yaitu gratis, oleh sebab itu muncullah apa yang disebut ahli hukum, ahli pajak dan ahli akuntan. Sebut saja mereka semua itu ahli. Dan tidak hanya itu, sekolahnya pun ada, walaupun sebenarnya andaikata pemerintah tidak menariki pajak, maka pekerjaan tersebut tidak memberikan manfaat bagi kemakmuran. Saya akan jelaskan maksud saya ini nanti.

Suksesnya GE untuk memperoleh kemerdekaan (menghindari pajak adalah memperoleh kemerdekaan) berkat laporan pajaknya yang tebalnya/tingginya 6,3 meter yang disusun oleh sepasukan ahli pajak. Entah berapa banyak pegawai kantor pajak yang diperlukan untuk membaca laporan pajak GE yang tebalnya 6,3 meter atau setinggi rumah 2 lantai. Itu baru GE, masih banyak lagi perusahaan-perusahaan besar lainnya, seperti Exxon-Mobil, Morgan Stanley, JP Morgan, Microsoft dan lain-lain.

Pajak di jaman modern ini adalah musuh dari usaha pelestarian alam. Jika satu pohon bisa menghasilkan 16,7 rim kertas (5,5 cm tumpukan kertas A4), maka setiap tahunnya perusahaan seperti GE akan memerlukan hampir 7 batang pohon untuk 1 laporan pajaknya. Kalau perlu tambahan 2 arsip maka diperlukan 21 batang pohon. Kalau ada 1 juta perusahaan yang membuat laporan seperti GE maka diperlukan 21 juta batang pohon. Itu baru untuk kertas saja. Kemudian untuk auditor yang harus membaca laporan pajak itu?

Melalui pajak pemerintah menciptakan lapangan kerja sontoloyo, sektor keahlian sontoloyo dan merusak lingkungan. Saya katakan lapangan kerja sontoloyo karena membaca dan meneliti laporan pajak bukanlah pekerjaan yang memberikan kemakmuran. Apakah anda semua bertambah nikmat hidupnya karena karena auditor dari kantor pajak ini? Seorang pemulung dan pengangkut sampah bisa memberikan kemakmuran yang lebih riil. Tanpa mereka sampah akan menumpuk, hidup menjadi tidak nyaman. Bahkan sebaliknya, pegawai pajak membuat hidup menjadi tidak nyaman.

Ulah pemerintah melalui pajak juga menciptakan sektor keahlian sontoloyo, seperti auditor dan akuntansi. Coba bandingkan dengan insinyur pertambangan, yang bisa menemukan dan menggali bahan-bahan yang digunakan untuk membuat TV, mobil, dan barang-barang lain yang bisa dinikmati. Kalau dilihat, apa hasil kerja auditor pajak yang bisa dinikmati manusia? Seorang insinyur elektronik misalnya, hasilnya adalah tv plasma, hp, i-pad, i-pod, atau komputer yang sedang anda hadapi. Semuanya itu suatu bentuk kemakmuran. Apa hasil kerja auditor pajak yang bisa dinikmati manusia?

Memang tidak semua sektor keahlian sontoloyo dihasilkan dari kantor-kantor pemerintah. Tetapi sebagian besar dari gedung parlemen dan kantor pemerintah. Paling tidak gedung parlemen dan kantor pemerintah membuat sontoloyonisasi bidang-bidang ilmu yang berguna menjadi sontoloyo melalui undang-undang dan peraturan serta kampanye pendidikan.

Masyarakat punya persepsi bahwa tingkat pendidikan berbanding dengan tingkat status ekonomi atau potensinya. Oleh sebab itu orang akan berlomba-lomba mengejar gelar kesarjanaan.

Pada hari ini 27 tahun lalu, saya membuat suatu keputusan yang berlawanan dengan kebiasaan masyarakat. Saya memutuskan untuk meninggalkan program PhD yang hanya tinggal 2 mata pelajaran ditambah dengan riset. Untuk apa PhD, malah saya sering memplesetkan PhD menjadi Permanently Head Damage. Kalau anda tidak berminat untuk bekerja dibidang riset, untuk apa menempuh program PhD? Riset saya yang mengenai energy kemudian dilanjutkan oleh rekan saya Rob Gravelsins. Yang mengherankan (bagi banyak orang) adalah bahwa 7 tahun kemudian saya sempat berbicara melalui telpon dengannya dan mengatakan bahwa ia menyelesaikan riset itu tetapi tidak pernah menyelesaikan program PhDnya.

Ada suatu pertanyaan yang mendasar di dalam benak saya pada saat itu. Apakah PhD akan memperbaiki peluang untuk hidup lebih makmur secara finansial? Selama mengambil graduate study, saya lebih cenderung untuk mencari uang. Penghasilan pertama saya sebagai graduate student adalah $720 per bulan. Kemudian dinaikkan secara bertahap oleh professor saya karena saya banyak membantu untuk memperoleh research grant dari banyak sponsor. Sebelum saya keluar, ada 7 sponsor swasta yang tertarik dan mendukung riset saya. Karena itu honor saya dinaikkan menjadi $ 1.500 per bulan. Tidak terlalu buruk. Kalau sekedar melihat “hari ini untuk hari ini”, angka $1.500 cukup banyak. Pada saat itu ada sebuah perusahaan penyedia jasa di sektor minyak berani memberi $2.500 per bulan untuk tugas lapangan yang terkadang harus melek selama 72 jam. Harus diingat bahwa sektor minyak pada masa itu adalah sektor yang berani memberi imbalan yang tertinggi dibanding dengan sektor-sektor lain. Tetapi kerjanya juga berat.

Kembali pada pertanyaan: Apakah PhD akan memperbaiki peluang untuk hidup lebih makmur secara finansial? Jawabnya adalah “tidak”. Saya melihat banyak rekan-rekan yang mengerjakan pekerjaan post-doctoral, hidupnya juga begitu-begitu saja. Saya juga tidak heran jika dikemudian hari Rob Gravelsins rekan saya itu tidak menyelesaikan PhDnya.

Pandangan masyarakat yang salah bahwa pendidikan adalah jaminan status ekonomi dipupuk juga oleh pemerintah. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di “negara-negara maju”. Kalau anda punya gelar kesarjanaan di bidang teknik tambang, minyak, mesin, elektro, sipil basah memang peluang untuk hidup makmur lebih tinggi.

Jika anda punya gelar di bidang akuntan atau IT, peluangnya ada di support group, yang hidupnya hanya begitu-begitu saja. Kalau anda punya gelar di bidang kedokteran....., tergantung dimana anda hidup. Untuk Indonesia, jangan harap investasi (uang kuliah dan uang indekos) anda bisa kembali dengan cepat karena sekolahnya mahal, lama, susah, perlu kerja keras, tetapi setelah lulus tidak banyak orang yang mampu membayar jasa dokter. Mereka lebih suka ke pengobatan alternatif yang murah dan tidak jelas hasilnya.

Kalau anak anda diterima di jurusan SBM (School of Business Managemant) ITB, lebih baik uangnya digunakan untuk membeli rumah, kemudian disewakan. Usaha menyewakan rumah akan jauh menguntungkan dari pada menjadi sarjana SBM yang nantinya jadi klerk. Tidak ada perusahaan yang mau mempekerjakan manager baru lulus.

Kalau anak anda diterima di jurusan psikologi, FISIP, atau sejenisnya, maka lupakan saja gelar itu. Tidak banyak orang Indonesia yang mau datang ke psikolog untuk konsultasi mengenai kejiwaannya. Yang lebih banyak adalah orang yang dibawa ke dokter jiwa atau psikiater (penyandang sarjana kedokteran, bukan psikolog yang sarjana psikologi). Itupun kalau keluarganya mampu. Untuk jurusan FISIP, tidak jelas apa yang bisa dikerjakan dengan ilmunya.

Undang-Undang Dasar 45 yang telah diamendemen mengharuskan 20% dari belanja negara diperuntukkan bagi pendidikan. Tentu saja ini ide tolol. Wajib belajar 12 tahun, juga ide tolol lainnya. Saya punya pembantu yang baru adalah lulusan SMA. Kalau mau menjadi pembantu, tidak perlu lulus SMA, tidak perlu tahu deret ukur, tidak perlu tahu hukum Hess, tidak perlu tahu reaksi kimia redox atau reaksi asam-basa.

Politikus pemerintah berpikir bahwa mereka tahu apa yang baik bagi rakyat banyak. Mereka menariki pajak ke perusahaan sehingga keuangannya menjadi lebih sempit untuk bisa memberi gaji pegawainya yang tinggi dan juga untuk berkembang sehingga bisa mempekerjakan karyawan lebih banyak lagi. Kemudian mereka juga memajaki karyawannya yang seharusnya gajinya bisa lebih tinggi itu. Dengan demikian karyawan kena pukul dua kali sehingga konsumsi karyawannya berkurang.

Kemudian pemerintah menyalurkan uang pajak ini untuk pendidikan, sehingga banyak lulusan SMA dan sarjana serta doktor. Persoalannya bahwa ijasah membawa gengsi. Karena mengantongi ijasah SMA dan sarjana, banyak orang enggan bekerja sebagai kuli bangunan atau pembersih WC atau pengangkut sampah atau pekerjaan yang produktif yang dianggap tidak sesuai dengan ijasah yang dimilikinya. Saya kenal banyak sarjana teknik (sipil, mesin, kimia, tata kota, dll), yang menganggur karena gengsi, padahal mereka ini tergolong orang-orang yang otaknya encer. Kalau sarjana ekonomi, politik & sosial, psikologi, kedokteran gigi atau hewan yang menganggur banyak dan wajar karena yang masuk jurusan itu biasanya tidak terlalu pintar. Seleksi masuk universitasnya juga tidak ketat.

Universitas menghasilkan pengangguran intelek. Istri saya seorang pengangguran sarjana ekonomi. Ipar saya ada yang sarjana ekonomi juga, ada juga yang dokter gigi pengangguran. Menurut pandangan orang bahwa jika ada dokter menganggur, itu adalah luar biasa. Tetapi hal itu terjadi. Salah satu sahabat saya adalah dokter spesialis farmakologi pengangguran. Dengan kata lain pendidikan menghasilkan pengangguran intelek. Setidaknya, orang berkerja tidak di bidangnya dan membuat biaya pendidikannya mubazir. Apalagi jika ketidak-bijakan pendidikan diarahkan oleh pemerintah. Akan semakin parah.

Persoalan menjadi semakin besar jika yang menganggur adalah sarjana militan pula. Tempat penampungan type sarjana seperti ini adalah LSM dengan pemikiran sosialis. Pemikiran-pemikiran sosialis radikal lebih mudah muncul dari kalangan yang gagal dan tertinggal. Mereka ingin sejajar, tetapi tidak punya kemampuan sehingga coercion (pemaksaan, bisa lewat hukum legal) menjadi pilihannya. Kaum sosialis ini tidak bisa disamakan dengan para philanthropist yang membagikan keberuntungannya secara sukarela atas dasar kasih. Kaum sosialis menginginkan pemerataan atas dasar keirian seperti yang terjadi di Irian dan Aceh pada masa lalu.

Banyak di antara sarjana-sarjana kesasar tidak ingin hidupnya menjadi sia-sia. Akhirnya memilih pekerjaan yang lain sama sekali dengan sekolahnya. Teman SMA saya seorang pemilik restoran yang sarjana kedokteran yang tidak lagi menekuni bidang kedokterannya karena tidak laku. Adik saya seorang sarjana tata kota dari Uni Keiserlautern Jerman akhirnya berkecimpung dibidang ekspor-impor dan menyewakan rumah. Agen asuransi yang baru-baru ini menemui saya adalah sarjana pertanian, karena tidak ada lapangan kerja yang sesuai dengan keahliannya. Banyak keponakan-keponakanan saya yang sarjana hukum, ekonomi, entah apa lagi yang bekerja sebagai agen asuransi, agen properti dan sejenisnya. Padahal untuk pekerjaan semacam ini tidak diperlukan keahlian yang dicarinya di universitas.

Andaikan saja pemerintah tidak menariki pajak untuk pendidikan dan pajak berkurang 20%. Uang itu bisa dipakai oleh perusahaan untuk mengembangkan usahanya yang bisa menampung tenaga kerja. Uang itu juga bisa membuat orang 20% lebih kaya. Semakin kaya, orang akan punya kebutuhan baru. Orang miskin akan memotong kukunya sendiri, akan mencuci muka sendiri, akan keramas sendiri. Jika uangnya sudah berlebih, maka dia akan membayar orang lain untuk memotong kukunya (pedicure dan manicure) atau mencuci mukanya (facial) atau mencuci rambutnya. Bahkan mungkin menggaruk punggungnya yang gatal mungkin bisa ada yang mau mempekerjakan orang. Itu lapangan kerja yang sama sekali tidak membutuhkan pengetahuan aljabar, ilmu alam yang diajarkan di SMA. Jadi pendidikan menciptakan pengangguran.

Apakah pendidikan di Indonesia sudah mencapai fase bubble? Saya tidak tahu jawabnya. Tetapi kalau anda melihat Universitas Cenderawasih yang punya fakultas kedokteran, fakultas teknik mesin, sipil dan elektro maka saya akan mengatakan absurd. Masyarakat yang 30 tahun lalu masih hidup di jaman batu, masih suka perang suku apakah mampu membayar jasa dokter? Mereka juga lebih cenderung pergi ke dukun. Lalu mau dikemanakan para sarjana kedokteran itu? Lalu....., sarjana teknik mesin. Mau digunakan untuk apa keahliannya? Lalu sarjana sipil jalan raya......., yang membutuhkan jalan raya adalah Jakarta yang macet sehingga memboroskan bahan bakar dan waktu, bukan Jayapura yang lalu-lintasnya masih lancar. Tidak usah bicara Jayapura, di Jakarta saja banyak sarjana teknik sipil yang bekerja di luar bidangnya atau menganggur atau kesarjanaannya membuatnya over-qualified terhadap pekerjaannya karena memang kurangnya lowongan di bidang itu.

Persoalan pendidikan di Indonesia bukan apa-apanya dibandingkan dengan persoalan di Amerika Serikat. Campur tangan pemerintah merambah bukan sekedar peraturan seperti 12 tahun wajib belajar, tetapi juga memberi dorongan berupa dengan pemberian kredit mudah. Kultur sekolah berubah. Ketika saya mengambil program paska sarjana dulu, bagi mahasiswa teknik mereka bisa sambil kerja, setidaknya riset mereka dikaitkan dengan interest sebuah perusahaan yang mensponsori. Bagi mahasiswa undergraduate, bekerja selama liburan musim panas, bisa membantu dalam pembiayaan sekolah. Pola sekolah di Amerika Serikat, tidak banyak berbeda dengan sekolah di negara-negara barat lainnya secara umum. Adik saya dulu bisa membiayai hidupnya sebagai mahasiswa di Jerman dengan menjadi pengantar koran. Sampai sekarangpun, di Jerman, pola semacam itu mungkin masih berlangsung karena kuliahnya tidak bayar.

Itu adalah kisah di Amerika pada jaman dulu. Kemudian muncul Sallie Mae, badan usaha pemberian kredit mahasiswa yang disponsori pemerintah. Sengaja atau sekedar ketidak becusan badan usaha yang ada kaitannya dengan pemerintah, standard kredit yang rendah menjerumuskan banyak mahasiswa untuk menjadikan diri mereka budak hutang (seumur hidup). Tahun 2005, seorang karyawan Sallie Mae bernama Michael Zahara menuntut secara hukum Sallie Mae atas tuduhan bahwa Sallie Mae memberi penundaan debitur untuk menyatakan kebangkrutan (foreclosure) dan membebani mantan mahasiswa dengan hutang yang lebih berat.

Karena adanya kredit murah, permintaan terhadap pendidikan tinggi meningkat. Akibatnya biaya pendidikan tinggi juga naik seiring dengan meningkat permintaan. Disamping itu terjadi penyalah-gunaan uang kredit untuk hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan pendidikan seperti untuk membeli mobil dan hidup bermewah-mewah. Itulah yang membuat banyak mahasiswa terbelit hutang yang cukup banyak ketika lulus sarjana. Banyak yang mengatakan bahwa hutang mahasiswa di Amerika Serikat sudah membentuk bubble.

Saya menemukan video dari Youtube yang berkaitan dengan kecurigaan adanya bubble di sektor kredit mahasiswa. Video ini bisa memberi gambaran mengenai hutang mahasiswa di Amerika Serikat. Semuga anda bisa menikmatinya. Maksud saya dengan kata “menikmati” disini bukan menikmati kesengsaraan orang lain, melainkan bisa menyimak apa yang terjadi di Amerika Serikat.



Ada perbedaan yang menyolok antara pendidikan tinggi di Indonesia dengan di Amerika. Di Indonesia, seorang anak hanya menghabiskan uang simpanan, tabungan atau/dan harta orang tuanya ketika masuk sekolah tinggi. Seperti adiknya pembantu saya dulu yang orang Betawi. Orang tuanya menjual tanahnya untuk bisa menyekolahkan anaknya di akademi entah apa. Uang hasil penjualan tanah itu hanya untuk memperoleh status pengangguran berijasah. Di Amerika, orang seperti mereka ini terbelit hutang. Walaupun sudah membanting tulang, hutangnya serasa tidak pernah habis terbayar. Singkatnya menjadi budak hutang. Dengan kata lain sekolah tinggi hanya untuk menjadi budak hutang berijasah.

Pada saat kita memutuskan untuk melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi, sebaiknya kita bertanya kembali: “Untuk apa sekolah sampai tinggi-tinggi? Kapan pay-back time nya? Sebab ada jalan yang lebih mudah dan lebih murah yaitu membeli ijazah. Beberapa teman saya, menjelang pensiunnya mereka mengambil program PhD, mungkin untuk membuat dirinya penderita permanently head damage. Terkadang biayanya mahal. Kalau yang dicari adalah ijazah, maka tindakannya diambil pada saat ia mengalami brain haemorrhage. Karena mantan Presiden RI Hamzah Haz bisa membeli gelar dan ijazah PhD dengan harga (yang saya perkirakan) tidak lebih dari $100. Kalau anda mempertanyakan kwalitas doktornya Hamzah Haz dengan doktor dari universitas terkenal seperti IPB, Institut Pertanian Bogor, tidak berbeda. Presiden SBY, adalah doktor dari IPB dan dia tertipu 2 kali. Pertama oleh proyek Blue Energy – dagelan penipuan yang sebenarnya bisa dikuak dengan ilmu Kimia/Fisika SMA. Kedua adalah padi Super Toy. Jangan katakan ironis bahwa seorang doktor dari universitas pertania bisa ditipu di bidang pertanian. Karena PhD adalah Permanently Head Damage. There is nothing special about that.

Sekian dulu, jaga investasi dan tabungan anda baik-baik. Jangan sampai mereka mempengaruhi kesehatan anda. Bubble Pendidikan di Indonesia tidak ada, but it sucks and is expensive. Artinya belum menjadikan orang budak hutang. Tetapi sekedar menguras tabungan saja dan menjadikan orang pengangguran berijazah kalau gengsi menerima pekerjaan yang tidak sederajad dengan status sarjananya. Itu semua terjadi jika jurusan yang dipilihnya salah - yaitu jurusan yang tidak ada demand nya di masyarakat.




Disclaimer: Ekonomi (dan investasi) bukan sains dan tidak pernah dibuktikan secara eksperimen; tulisan ini dimaksudkan sebagai hiburan dan bukan sebagai anjuran berinvestasi oleh sebab itu penulis tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang diakibatkan karena mengikuti informasi dari tulisan ini. Akan tetapi jika anda beruntung karena penggunaan informasi di tulisan ini, EOWI dengan suka hati kalau anda mentraktir EOWI makan-makan.