Sejarah, dongeng satir, humor sardonik dan ulasan tentang konspirasi,
uang, ekonomi, pasar, politik, serta kiat menyelamatkan diri dari depressi
ekonomi global di awal abad 21.
Dongeng ini didedikasikan bagi mereka:
(Terbit, insya Allah setiap hari Minggu atau Senen)
Dongeng ini didedikasikan bagi mereka:
- yang kritis, skeptis, berpikir bebas dan mencintai kebenaran
- dan yang suka menikmati sarkasme dan humor sardonik
(Terbit, insya Allah setiap hari Minggu atau Senen)
Jaman Reformasi - Jaman Jutawan Kere
Setelah nyungsep dan babak belur
akibat krisis Asia 1997-1998, imperium Ibu Pertiwi lemah dan nampak bangkrut.
Gejalanya sama seperti imperium Majapahit setelah ditinggal raja Hayam Wuruk.
Dan situasi ini bak kesempatan bagi bara-bara di tepi imperium untuk menyala kembali.
Timor-Timur bergolak dan akhirnya berhasil memerdekakan diri. GAM memaksa
penandatanganan perjanjian damai dengan imperium Republik Indonesia. OPM
seperti halnya RMS (Republik Maluku Selatan yang aktif di jaman Sukarno) yang
tidak pernah kuat, tidak bisa melukai Republik.
Dan Komando Jihad yang tidak pernah ada (hanya memedhi sawah ciptaan Orde Baru), tidak mengambil kesempatan ini.
Hanya beberapa keluarga korban yang dulunya dicap sebagai Islam Fundamentalis
dan antek Komando Jihad, seperti korban kasus Tanjung Priok, menuntut keadilan
dan pengusutan kembali pelaku-pelaku pembunuhan massal di Tanjung Priok
September 1984). Tentu saja mereka tidak akan pernah mendapatkannya.
Setelah krisis Asia 1997-1998, kata jutawan di Indonesia tidak punya
konotasi kaya raya. Misalnya di tahun 2007, seorang supir taxi di Jakarta yang
berpenghasilan Rp 1.100.000 Orba (terbilang: satu juta seratus ribu rupiah uang
Orba) per bulan bisa disebut jutawan karena penghasilannya di atas Rp 1 juta
per bulan. Kenyataannya bahwa hidupnya masih penuh dengan keluhan karena untuk
makan ukuran warung Tegal (istilah waktu itu untuk warung sederhana dipinggir
jalan yang menjual makanan murah) saja Rp 10.000 sekali makan. Bayangkan kalau
dia mempunyai istri dan 2 anak, berarti harus punya 2 x Rp 40.000 per hari
untuk makan siang dan malam saja. Jutawan ini tidak mampu makan di warung Tegal
sekeluarga 3 kali setiap hari. Di samping mereka harus mengeluarkan Rp 800.000
per bulan, mereka juga punya keperluan lain seperti bayar sekolah dan sewa
rumah. Untuk sewa “rumah sangat sederhana sekali sampai-sampai selonjor saja sulit” (RSSSSSSSSS), rumah
petak ukuran 20 meter persegi saja bisa mencapai Rp 350.000, ongkos
transportasi ke tempat kerja Rp 100.000 – 200.000. Jadi bisa dimengerti kalau
saya sebut Jutawan Kere karena mempunyai karateristik bahwa makan harus
dihemat, tinggal di rumah petak sederhana, anak tidak bisa sekolah di sekolah
favorit (apalagi di universitas yang uang pangkalnya bisa mencapai puluhan juta
rupiah). Kalau perlu istri juga kerja untuk memperoleh tambahan penghasilan
keluarga dan menjadi keluarga multi-jutawan kere.
Jaman Reformasi ditandai oleh tumbangnya Orde Baru dan kobaran semangat
demokratisasi, kebebasan berpolitik dan otonomi daerah. Jumlah politikus dan
birokrat bertambah dengan adanya otonomi daerah. Setiap daerah muncul banyak
politikus daerah. Partai-partai baru pun lahir. Selama dua dekade terakhir Orde
Baru dari 1977 - 1997, di Indonesia hanya ada 3 partai politik, pada jaman
Reformasi pemilihan umum tahun 1999 diikuti 48 partai politik. Rupanya orang
mengamati bahwa karier politikus cukup menjanjikan dan mudah, tidak perlu
sekolah tinggi-tinggi yang susah dan tidak perlu keahlian akademik yang sulit.
Sekolah hanya perlu untuk memperoleh ijasah saja.
Banyak artis-artis dan bintang iklan yang berganti profesi ke politikus,
apa lagi artis-artis film, penyanyi, model yang sudah tidak laku. Sampai-sampai
ada teman saya mem-plesetkan partai PAN menjadi Partainya Artis Nasional,
karena banyaknya calon legislatif artis dari partai ini untuk tahun pemilihan
2004 dan 2009. Semakin banyak politikus semakin berat beban pembayar pajak,
yang kemudian merambat kemana-mana. Pada akhirnya politik bukan bidang profesi
yang memberikan kemakmuran.
Kalau dilihat data, sebenarnya banyak rakyat tidak perduli akan demokrasi.
Dalam pemilihan kepala daerah, gubernur dan bupati, banyak pemilik hak pemilih
yang tidak ikut. Yang ikutpun, banyak sekedar mau meramaikan saja. Dan tidak
tahu/tidak perduli tentang kegunaan gubernur atau bupati. Di banyak pemilihan
kepada daerah, suara yang terbanyak adalah yang tidak memilih. Contohnya adalah
pilkada (pemilihan kepada daerah) Jakarta 2007, 10 tahun setelah reformasi.
Berikut ini adalah hasilnya:
Tidak Memilih :
2.241.003 (39.2%)
Fauzi Bowo dan Prijanto :
2.010.545 (35.1%)
Adang Daradjatun dan Dani Anwar :
1.467.737 (25.7%)
Seharusnya, kalau mau jujur,
untuk pemilihan gubernur DKI Jakarta adalah kursi kosong. Tetapi para politikus
tidak sudi kalau kursi gubernur dan wakil gubernur dibiarkan kosong. Dan Fauzi
Bowo menjadi gubernur dengan perolehan suara 35.1% dari pemilik hak pilih,
padahal 39.2% dari calon pemilih tidak menginginkan siapa-siapa untuk menjadi
gubernur atau tidak perduli apakah kursi gubernur dikosongkan.
Table berikut ini adalah data
lain untuk Pilkada 2007 yang berhasil saya kumpulkan (tidak semua Pilkada).
Perhatikan kemenangan kursi kosongnya.
Hasil Perolehan Suara PILKADA 2007
|
|||
Daerah pemilihan
|
Perolehan Suara
|
%
|
Catatan
|
Pilkada Jawa Barat
|
|||
Pemilih Terdaftar
|
27,972,924
|
100.0%
|
|
Agum Gumelar
|
6,217,557
|
22.2%
|
|
Danny
|
4,490,901
|
16.1%
|
|
HADE
|
7,287,647
|
26.1%
|
|
Kursi kosong
|
9,976,819
|
35.7%
|
Menang
|
Pilkada DKI Jakarta
|
|||
Pemilih Terdaftar
|
5,719,285
|
100.00%
|
|
Adang Darajatun
|
1,467,737
|
25.66%
|
|
Fauzi Bowo
|
2,010,545
|
35.15%
|
|
Kursi kosong
|
2,241,003
|
39.18%
|
Menang
|
Pemilih Terdaftar
|
5,306,691
|
100.0%
|
|
Abdul Aziz Q Mudzakkar
|
786,792
|
14.8%
|
|
Amin Syam
|
1,404,910
|
26.5%
|
|
Syahrul Yasin
|
1,432,572
|
27.0%
|
|
Kursi kosong
|
1,768,440
|
33.3%
|
Menang
|
Hasil Perolehan Suara PILKADA 2007
|
|||
Daerah pemilihan
|
Perolehan Suara
|
%
|
Catatan
|
Pilkada Sumatra Utara
|
|||
Pemilih Terdaftar
|
8,457,296
|
100.0%
|
|
Ali Umri
|
789,793
|
9.3%
|
|
RE Siahaan
|
818,171
|
9.7%
|
|
Abdul Wahab Dalimunthe
|
858,528
|
10.2%
|
|
Tritamtomo
|
1,070,303
|
12.7%
|
|
Syamsul Arifin
|
1,396,892
|
16.5%
|
|
Kursi kosong
|
3,523,609
|
41.7%
|
Menang Telak
|
Pilkada Bangka Belitung
|
|||
Pemilih Terdaftar
|
17,798
|
100.0%
|
|
Fajar F Rusni
|
15,329
|
2.1%
|
|
Sofyan Rebuin
|
35,949
|
5.0%
|
|
Basuki T Purnama
|
166,561
|
23.2%
|
|
Eko Maulana Ali
|
180,641
|
25.2%
|
|
H A Hudarni Rani
|
112,374
|
15.7%
|
|
Kursi kosong
|
206,944
|
28.8%
|
Menang
|
Pilkada Jawa Tengah
|
|||
Pemilih Terdaftar
|
25,859,906
|
100.0%
|
|
Bambang Sadono
|
3,192,093
|
12.3%
|
|
Agus Soeyitno
|
957,343
|
3.7%
|
|
Sukawi Sutarip
|
2,182,102
|
8.4%
|
|
Bibit Waluyo
|
6,084,261
|
23.5%
|
|
M. Tamzil
|
1,591,243
|
6.2%
|
|
Kursi kosong
|
13,444,107
|
52.0%
|
Majoritas!
|
Pilkada Kalimantan Timur
|
|||
Pemilih Terdaftar
|
1,790,195
|
100.0%
|
|
Awang Faroek Ishak
|
740,724
|
41.4%
|
|
Achmad Amins
|
53,768
|
3.0%
|
|
Kursi kosong
|
995,703
|
55.6%
|
Majoritas!
|
Hasil Perolehan Suara PILKADA 2007
|
|||
Daerah pemilihan
|
Perolehan Suara
|
%
|
Catatan
|
Pilkada Kalimantan Tengah
|
|||
Pemilih Terdaftar
|
1,202,390
|
100.0%
|
|
Drs. Asmawi Agani
|
163,322
|
13.6%
|
|
Agustin Teras Narang,
SH
|
349,329
|
29.1%
|
|
Drs. A.Dj. Nihin
|
160,872
|
13.4%
|
|
M. Usop. MA
|
35,659
|
3.0%
|
|
S A. Fawzi Zain Bachsin
|
8,519
|
0.7%
|
|
Kursi kosong
|
484,689
|
40.3%
|
Menang Telak
|
Setelah 10 tahun reformasi,
demokratisasi dan otonomi daerah, rakyat tidak perduli siapa pemimpinnya. Di
Jawa Tengah dan Kalimantan Timur, seharusnya tidak ada gubernur, karena mayoritas
rakyat tidak memilih. Kita bicara Jawa (Tengah), yang ada di pulau Jawa, pusat
pemerintahan, dan pemilihnya 13 juta orang lebih. Kenapa Bibit Waluyo jadi
gubernur. Dia bukan pilihan mayoritas!
Kita hanya bisa membuat hipotesa
bahwa rakyat banyak yang menyadari bahwa demokrasi bukanlah tujuan yang mereka
inginkan. Bahkan sebagai alat untuk mencapai tujuan merekapun mungkin juga
bukan. Yang rakyat inginkan adalah kemakmuran, bukan demokrasi dan otonomi
daerah. Apa lagi kalau demokrasi dan otonomi daerah harus dibayar mahal. Oleh
sebab itu partisipasi mereka pada pilkada semakin menyurut setelah 10 tahun
reformasi. Ini adalah hipotesa, bisa diuji kalau mau. Caranya dengan
menyandingkan calon eksekutif atau legislatif dengan kursi kosong. Dan insentif
diberikan bagi kemenangan kursi kosong berupa pengurangan pajak. Semakin banyak
perolehan kursi kosong maka semakin kecil pajak yang akan diberlakukan. Ini
dimaksudkan untuk menguji apakah pemilih bersedia membayar kewajiban mereka
(pajak) yang diperlukan oleh suatu pemerintahan atau memilih tidak ada
pemerintahan yang notabene harus tidak ada pajak. Saya yakin, kursi kosong akan
menang. Dengan kata lain, bahwa mereka sudah terlalu bayar mahal untuk para
politikus. Saya tidak yakin politikus berani menguji hipotesa ini. Karena takut
kalah.
Ketakutan politikus terhadap
kekuatan kursi kosong tercermin oleh pernyataan Megawati yang bingung
menghadapi massa kursi kosong yang membuat partai-partai politik lainnya
kehilangan pamornya. Megawati tanggal 5 Juli 2008 pada kampanye untuk pemilihan
gubernur Maluku, mengatakan bahwa Golput (massa kursi kosong) tidak layak
menjadi warga negara Indonesia.[1]
"Orang-orang
golput seharusnya tidak boleh menjadi WNI, karena mereka menghancurkan sistem
dan tatanan demokrasi serta perundang-undangan di negara ini,"
Pernyataan ini diliput oleh banyak media cetak.
Ingatan rakyat Indonesia sangat
pendek. Mereka sudah lupa bagaimana pemerintahan Sukarno membuat sengsara
rakyat melalui inflasi, penerbitan uang yang berlebihan. Demikian juga dengan
pemerintahan Suharto. Yang diingat oleh rakyat mungkin hanya yang baru-baru
saja. Mungkin yang diharapkan dari demokratisasi politikus yang dipilih mereka
akan memperhatikan mereka. Dan pemisahan antara tiga badan suci, yaitu
eksekutif, legislatif dan yudikatif bisa memastikan keberhasilan demokrasi.
Rakyat ini naif dan pemikirannya sederhana saja. Persoalan yang belum pernah
hinggap dibenak mereka adalah bahwa ketiga badan yang suci ini melakukan
konspirasi setan jahat.
Memang hal-hal yang sifatnya
illegal, abu-abu, tidak transparan, seperti rekening-rekening departemen negara
yang atas nama perorangan sudah tidak ada lagi di jaman rejim reformasi, tidak
berarti pengelabuhan tidak dapat dilakukan. Kalau korupsi didefinisikan sebagai
memperkaya diri sendiri dan orang lain secara tidak legal dan merugikan negara,
maka definisi korupsi menjadi gugur jika kegiatan memperkaya ini dilakukan
secara legal (dan transparan), sekalipun merugikan negara. Bagaimana kalau
eksekutif dan DPR bersekongkol untuk membuat keputusan untuk menaikkan gaji dan
tunjangan mereka seenaknya sendiri? Legal bukan? Definisi korupsi gugur bukan?
Presiden RI ke V (atau ke VI kalau Sjafruddin Prawiranegara dihitung sebagai
presiden) yang dikenal sebagai ketua partainya wong cilik, membuat
keputusan presiden, Keppres no 81 tahun 2004 yang ditanda-tanganinya sendiri
dan isinya adalah memberikan uang tunjangan perumahan purnabakti sebesar Rp 20
milyar kepada mantan presiden yang notabene nantinya adalah dirinya sendiri.
Keputusan ini dikeluarkan pada hari Senin tanggal 28 September 2004 hanya 3
bulan sebelum masa tugasnya berakhir tanggal 20 Oktober 2004. Penentuan waktu
yang sangat tepat. Beritanya tidak muncul ke permukaan dan tidak mendapat
sorotan media massa. Tetapi sampai 6 tahun kemudian yaitu 2010, kalau kita
melakukan google search “partai wong licik”, bisa diperoleh lebih
dari 26.000 hits. Diam-diam orang masih membicarakannya.
Apakah ini korupsi? Tentu saja
bukan, semuanya legal. Hanya saja lucu. Presiden, yang bergelar ketua partainya
wong cilik pula, menanda-tangani keputusan untuk menghadiahkan kekayaan
negara senilai 170 kg emas kepada dirinya sendiri. Seratus persen legal dan
lumayan sebagai hadiah untuk 3 tahun kerja. Perlu dicatat bahwa Megawati
menempati posisi jabatan presiden hanya 3 tahun, untuk menggantikan Gus Dur
yang dilengserkan MPR.
(Catatan: kalau presiden yang
sekarang Susilo Bambang Yudhoyono - SBY mau uang yang nilainya sama ketika dia
pensiun tahun 2014 nanti, maka dia harus menaikkan tunjangan perumahan mantan
presiden ini ke Rp 90 milyar, karena nilai rupiah sudah tergerus. Untuk tahun
2009 saja, uang Rp 20 milyar tidak lagi bisa memperoleh 170 kg, melainkan hanya
61 kg).
Kejadian lain muncul kepermukaan disekitar tahun 2007, dalam kaitannya
dengan peraturan presiden PP No 37 tahun 2006. Peraturan presiden ini mengenai
tunjangan bagi pegawai negri yang bertugas dibidang pembuatan undang-undang
(salah satunya anggota DPR dan DPRD). Ini yang disebut memperkaya kolega secara
legal dari uang negara. Bukankah para anggota legislatif sudah digaji untuk
menjalankan tugas rutinnya membuat undang-undang? Apakah yang dimaksud gaji
adalah upah untuk menganggur dan tunjangan adalah tambahan kalau bekerja rutin?
Buat orang swasta hal seperti ini tidak masuk ke dalam akal. Tidak hanya itu,
dalam pelaksanaannya, anggota legislatif ini memperoleh rapel. Misalnya anggota
DPRD Batam menerima rapelan tunjangan komunikasi sebesar Rp 64,26 juta (setara
0,31 kg emas) per orang. Kemudian,
selain itu Ketua DPRD Batam mendapatkan rapelan dana operasional Rp128,52 juta
(0,63 kg emas) dan Wakil Ketua DPRD Rp 68,544 juta (setara 0,33 kg emas).
Memang bilangan juta tidak bisa disebut banyak. Sebab pada saat itu kere pun
bisa disebut jutawan. Tetapi bayangkan biaya yang harus dipikul pembayar pajak
kalau pembagian ini untuk semua anggota DPRD di seluruh Indonesia.
Karena banyak menuai kritik
akhirnya PP No 37 tahun 2006 ini dibatalkan oleh PP No 21 tahun 2007 yang salah
satu pasalnya mewajibkan anggota DPRD yang sudah menerima rapelan dana
komunikasi tersebut mengembalikannya paling lama sebulan sebelum masa jabatan
mereka berakhir. Keadaan semakin seru karena banyak anggota DPRD yang menolak
mengembalikan uang yang telah diterimanya. Bagaimana akhirnya? Entahlah, karena
tidak lama kemudian masa jabatan para anggota DPRD ini habis dan kasus ini
hilang dari permukaan media massa lagi.
Pada akhir tahun 2009, di saat krisis keuangan global 2007-2008 baru agak
mereda, pemerintah merencanakan untuk membagi-bagikan mobil dinas mewah seharga
Rp 1,3 milyar bagi anggota DPR.
Wow....., harganya setara dengan 4 kg emas. Entah bagaimana kelanjutan dari
rencana ini. Beritanya tertutup oleh kejadian-kejadian yang baru.
Contoh-contoh di atas merupakan contoh persekongkolan badan legislatif
dan/dengan eksekutif untuk memperkaya bersama secara legal atas biaya
negara/pembayar pajak. Nampaknya anggota judikatif tersingkirkan dan tidak bisa
berbuat banyak. Sebenarnya tidak juga, karena mereka juga bisa main. Dan
permainan mereka merebak ke media masa tahun 2009/2010 dengan nama mafia
kasus. Mafia kasus atau dikenal dengan akronim markus adalah
persekongkolan antara polisi dan kejaksaan/kehakiman untuk memperoleh uang dari
kasus-kasus pengadilan. Tentu saja hal ini tidak legal. Tetapi, siapa yang akan
menuntut mereka. Bukankah mereka penguasa pengadilan (badan judikatif). Cerdik
sekali. Semua tindak illegal yang dilakukan otoritas peradilan punya peluang
yang besar untuk bisa lolos dari jeratan peradilan, karena yang menentukan
suatu kasus layak dibawa ke pengadilan, diadili, dihukum adalah pelaku tindak
illegal dan komeradnya itu sendiri. Cerdik sekali bukan.
Selama rejim Reformasi berkuasa, inflasi riil berkisar antara 15% - 17%
dihitung dari ekspansi uang yang beredar M2. Sedangkan inflasi versi BPS (Badan
Pusat Statistik) rata-rata di bawah 10%. Biasanya dilaporkan sekitar 5% saja.
Pada kenyataannya nilai riil rupiah tergerus 15%-17% per tahunnya. Tahun 1999
kurs rata-rata rupiah terhadap uang sejati, emas, Rp 328.000 per gram, dan
pernah mencapai Rp 390.000 per gram. Dibandingkan dengan harga emas tahun 1999
yang di level rata-rata Rp 70.670 per gram, nilai rupiah sudah tergerus 78,5%
dalam 10 tahun. Memang kurs rata-rata rupiah-dollar Amerika tidak beranjak
banyak antara tahun 1999 ke 2009, yaitu Rp 9.300 ke Rp 10.500 hal ini
disebabkan karena dollar Amerika Serikatpun mengalami inflasi. Alan Greenspan
(ketua bank sentral Amerika) dan penggantinya Ben Bernanke mengglontorkan
likwiditas sebagai reaksi atas dua kejadian yaitu krisis saham teknologi Nasdaq
di bursa saham Wall St (tahun 2000), disusul dengan peristiwa serangan bom
terhadap gedung Twin Towers World Trade Center New York yang dikenal dengan
peristiwa 9/11 (11 September 2001).
Pada awal era Reformasi, GDP Indonesia dalam emas sempat mengalami
pemulihan dari 50 gram emas per kapita tahun 1998 ke 74 gram emas per kapita
tahun 2009. Dan tertinggi adalah 93 gram emas di tahun 2003. Nampaknya GDP
Indonesia jika dinilai dalam emas sedang mengalami penurunan sejak tahun 2003.
[1] Megawati: Golput tak Boleh Jadi WNI, Kompas.Com, 5 Juli 2008
http://nasional.kompas.com/read/2008/07/05/21241680/megawati.golput.tak.boleh.jadi.wni.
Disclaimer:
Ekonomi (dan investasi) bukan sains
dan tidak pernah dibuktikan secara eksperimen; tulisan ini dimaksudkan
sebagai hiburan dan bukan sebagai anjuran berinvestasi oleh sebab itu
penulis tidak bertanggung jawab atas segala
kerugian yang diakibatkan karena mengikuti informasi dari tulisan ini.
Akan tetapi jika anda beruntung karena penggunaan informasi di tulisan
ini, EOWI dengan suka hati kalau anda mentraktir EOWI makan-makan.
1 comment:
Mesin inflasi kepanasan, om... Kapan meledugnya ya...
Banyak Terima Pesanan Cetak Uang dari BI, Bos Peruri Minta Ampun
BUMN percetakan uang, Perum Peruri dibanjiri pesanan cetak uang dari Bank Indonesia (BI). Pihak Peruri sangat kewalahan untuk memenuhi pesanan uang dari BI yang mencapai miliaran lembar.
Peruri masih akan terus fokus dan berkomitmen untuk mencetak uang pesanan dari BI. Hingga triwulan III-2013, sudah ada 6 miliar lembar uang telah dicetak oleh Peruri untuk memenuhi pesanan BI.
"BI aja sudah ampun-ampun sudah penuh pesanannya. Meningkat terus, kuartal ketiga saya rasa kita sudah 6 miliar lembar," kata Dirktur Utama Perum Peruri Prasetio di sela-sela acara Pacific Rim Banknote Printers Conference, Hotel Dharmawangsa, Jakarta Senin (21/10/2013).
Menurut Prasetio, Peruri masih memenuhi pesanan mencetak uang untuk kebutuhan negara luar seperti Nepal dalam jumlah yang tak besar. "Nggak besar, setelah prioritas Bank Indonesia terpenuhi kalau ada sisa baru kita buat," katanya.
Untuk tahun ini dan 2014, Peruri akan memesan 2 line mesin percetakan uang untuk meningkatkan kapasitas produksi. Rencananya tahun ini juga, mesin didatangkan dari Jepang.
"Range harganya antara Rp 500-700 miliar," tutupnya.
http://finance.detik.com/read/2013/10/21/121658/2390921/5/banyak-terima-pesanan-cetak-uang-dari-bi-bos-peruri-minta-ampun
Post a Comment