(Bagian II)
Kata para analis bahwa setiap presiden atau/dan calon presiden punya
program yang berbeda-beda. Saya tidak tahu, bagaimana bisa berbeda. Politikus
akan mengatakan apa yang enak didengar oleh orang banyak untuk memperoleh
simpati dan selanjutnya memperoleh suara agar ia bisa terpilih (lagi) menjadi
presiden. Dan apa yang enak didengar oleh orang banyak dan dianggap mulia,
seringkali adalah ide tolol dan menghambat kemajuan ekonomi.
Presiden atau calon presiden (hampir) selalu mempunyai program pembangunan
memajukan desa. Memajukan desa, daerah adalah hal yang mulia. Desa/daerah yang
biasanya tertinggal secara ekonomi dari perkotaan (urban) sepatutnya dimajukan
supaya tingkat perekonomiannya setara dengan daerah urban. Mulia bukan?
Setidaknya begitulah menurut buku-buku, guru-guru sekolah dan pendapat orang
banyak.
Jawaban EOWI adalah: “tidak mulia sama
sekali.” Oleh sebab itu kalau Imam Semar jadi presiden atau jadi calon
presiden, programnya bukan desa yang akan dibangun, tetapi perkotaan.
Pembangunan desa adalah pembuang-buangan dana dan sumber daya yang langka.
Suatu opini (bahwa pembangunan pedesaan adalah mulia) dari buku-buku, guru-guru
sekolah dan pendapat orang banyak adalah sekedar opini yang harus diuji. Ini
kan dijelas dalam cerita kali ini. Dan EOWI akan mengajukan konsep tandingan.
Dengan konsep (yang didukung dengan data), kita bisa jadikan pegangan untuk
investasi.
Dengan cerita, diskusi, ceramah (atau apapun namanya) EOWI mau menjawab email
dari pembaca EOWI yang kami cintai. Begini bunyi emailnya:
Mas
IS, nama saya Arif di Tegal, saat ini saya memulai babak baru, dari sebelumnya
seorang karyawan, sekarang membuka usaha dalam bidang Pertanian Tebu.
Ditempat
saya dan pada umumnya di Indonesia, saat panen tiba, tebu akan dikelola oleh
Pabrik Gula milik PTPN. Output tebu berupa: gula GKP dan tetes (Bahan baku
Spirtus atau penyedap rasa). Kemudian petani akan mencairkan uang, berdasarkan
harga gula dan tetes dipasar pada saat itu.
Dari
pengalaman panen tahun kemarin, menggantungkan pemerintah (BUMN), tepat seperti
yang disampaikan mas IS, yang ada: KETIDAKBIJAKSANAAN!
Salah
satu contoh Ketidakbijaksaan BUMN : Petani hanya mendapatkan 66,75% dari hasil
gula + tetes. Dan BUMN akan mendapatkan 33,25% untuk jasa giling.
Dan
masih banyak lagi ketidakbijaksanaan lain, kalau pun saya tulis akan membuat
nelongso!
Tapi
hidup harus terus berlari, saatnya saya harus berkata : pemerintah, sontoloyo!.
Hanya
ada satu jalan : saya harus mengolah hasil tebu saya sendiri!
Kenapa
hanya satu jalan, diatas?
Karena
AFTA sebentar lagi, dan kalau terus menggantungkan pemerintah sotoloyo, sama
saja bunuh diri!
Coba
mas IS bayangkan, Harga Pokok Produksi gula petani = Rp. 8750 per kilogram,
dengan HPP tersebut bahkan kurang, Indonesia bisa mendatangkan gula dengan
kwalitas lebih bagus dari negara lain. Mudahnya bisa saya katakan, orang
Indonesia membayar terlalu mahal untuk konsumsi gula.
Tolong
jangan salahkan Kami (Petani Tebu), ini karena pemerintah sontoloyo!
Tidak
ada cerita indonesia yang subur dan tropis, menghasilkan gula lebih mahal,
Belanda telah membuktikannya!
Mohon
Saran :
1. Menjadi pengusaha yang hebat, saya merasa
harus memahami Ekonomi Makro. Saya masih sering miss, saat membaca artikel mas
IS. Buku bacaan pemula apa, agar saya dapat memahami ekonomi makro?
2.Situs apa yang harus saya kunjungi, agar
saya bisa memlihat pergerakan harga komoditi pertanian?
3. Saran lain, berkenaan bidang usaha saya?
Saran EOWI adalah, pertama kali, mengenali semua pesaing dan pemain di
bidang pertanian tebu atau pertanian secara umum. Cari orang yang berhasil.
Setahu EOWI, kebanyakan sarjana pertanian tidak ada (tidak nampak) yang
terdampar sebagai petani. Yang ada jadi dokter hewan di perusahaan besar atau
jadi tengkulak/pengepul, atau jadi pengangguran atau pindah profesi.
Saya tidak akan menjawab ketiga pertanyaan itu secara langsung, tetapi EOWI
akan menunjukkan dimana letak kesalahan berpikir masyarakat Indonesia yang
masih merasa cinta terhadap sektor pertanian.
Kenali Saingan/Lawan Mu
Kalau kita bicara pedesaan (rural), yang ada di benak kita adalah
perekonomian berbasis pertanian. Itu dimana saja, apakah itu di Amerika
Serikat, Canada, Australia, Cina, Jepang, Belanda, Zimbabwe, Bangladesh......sebut
saja lainnya. Di dalam era globalisasi, hasil pertanian bisa berasal dari mana
saja. Tidak hanya itu, suatu produk pertanian bersaing dengan subsitusinya.
Misalnya gula dari Indonesia, Cuba, Filipina atau dari mana saja akan saling
bersaing. Tidak hanya itu, gula-tebu (nama kimianya: sukrosa) juga memperoleh persaingan dari gula-jagung alias fruktosa. Gula-tebu yang nama kimianya sukrosa merupakan dimer (gabungan 2 gugus molekul) glukosa dan fruktosa. Sedang
fruktosa adalah monomer yang bisa dihasilkan dari hydrolisa tepung menjadi glukosa dan
dilanjutkan dengan proses isomerisasi enzim menjadi fruktosa. Fruktosa bisa
menjadi saingan berat dari sukrosa (gula tebu), jika bentuk/wujud tidak menjadi
kriteria. Pada produk-produk makanan (kue-kue) dan minuman fruktosa menjadi saingan berat sukrosa.
Tebu/gula bukan satu-satunya produk yang punya saingan dari produk
subsitusi. Sawit dan kelapa punya saingan minyak bunga matahari, rape seed,
kedelai. Padi, tapioka disaingi oleh jagung dan gandum. Karet disaingi oleh
karet sintesis butadiene, dsb. Memang ada produk yang belum punya saingan
produk subsitusi dari pertanian massal, seperti kopi dan teh. Atau
produk-produk sayuran segar serta buah-buahan yang spesifik lokal. Dan petani
harus jeli dalam memilih bidang yang akan digelutinya.
Andaikata kita memutuskan untuk bertempur di lahan yang banyak saingannya, perlu mengenal saingan kita dengan baik. Untuk mengenal saingan, harus dicari saingan yang tangguh, bukan yang lemah. Jangan ambil
contoh petani Kenya atau Bangladesh. Ambillah petani Amerika atau petani di
negara-negara maju, kalau kita ingin mempunyai tingkat ekonomi (kemakmuran)
sama seperti mereka. Mereka adalah penentu harga barang yang beredar.
Di negara-negara maju, pertanian sudah dilakukan dengan mekanisasi, dari
mengolah tanah, menyemai, dan akhirnya panen serta mengolah hasil panennya.
Oleh karenanya, seorang petani kecil bisa mengolah sendiri 50 – 100 ha ladang. Dengan
besarnya volume yang diproduksinya, maka rantai distribusi produk pertaniannya
bisa diperpendek. Salah satu ipar saya adalah peternak sapi di Australia. Dia
peternak yang punya jagal muslim untuk menjamin kehalalan dagingnya dan menjadi
pemasok beberapa hotel di Jakarta. Bandingkan dengan petani Indonesia yang
rata-rata punya tanah 0.3 ha, volume produksinya kecil, tidak mungkin jadi
pemasok beras untuk sebuah hotel. Untuk memproses dan mendistribusikan produknya,
perlu pengepul apakah itu tengkulak atau Bulog atau BUD/KUD.
Dalam hal pertanian skala besar, di Indonesiapun sudah ada contohnya.
Perkebunan-perkebunan besar, seperti kelapa sawit, karet, teh, dsb, bisa
bersaing walaupun belum melakukan mekanisasi hanya dengan memotong rantai
distribusi karena volumenya besar. Perkebunan tebu (bukan petani tebu) juga
memiliki pengolahannya untuk dijadikan produk akhir, yaitu gula. Perkebunan
sawit juga punya pengolahan untuk menjadikan CPO. Perkebunan-perkebunan seperti
ini masih memerlukan banyak buruh, karena masih belum sampai pada era
mekanisasi perkebunan. Jika suatu masa ada yang melakukan mekanisasi perkebunan
yang bisa menjatuhkan harga, maka semua perkebunan harus melakukan hal yang
sama agar bisa bersaing. Arah modernisasi di bidang pertanian akan kesana.
Konsumen menginginkan harga yang murah. Walaupun pemerintah akan berusaha
menghambat, tetapi tekanan konsumen tidak akan bisa dibendung. Oleh sebab itu,
cepat atau lambat keadaan semacam itu akan dicapai, seperti pada pertanian
gandum, rape seed, jagung. Sekarang ini sudah dikembangkan pabrik jagal-otomatis
untuk memproses sapi dan ayam, dari mulai penyebelihannya, penyiangan dan
pemotongannya secara otomatis dengan robot
Bagaimana dengan petani kecil, petani marhaen yang dijadikan sasaran tema
retorik politikus? Jawabannya akal sehatnya cuma ada satu. Kalau petani kecil
di Indonesia yang punya tanah hanya ...., rata-rata 0.3 ha, mengolah tanah
tanpa mekanisasi dan ingin punya penghasilan seperti petani di negara maju,
maka dia mimpi. Jika ada petani Indonesia ingin bisa kaya selevel dengan petani Amerika
dan hanya punya ladang 0.3 -1 hektar, maka dia mimpi. Atau jika ada (calon)
presiden mau meningkatkan kemakmuran petani pedesaan seperti petani di negara
maju, maka dia harus menghisap ganja banyak sekali. Kalau yang ditanam sama,
seperti jagung, padi, tebu, gandum, singkong tidak mungkin petani Indonesia
semaju secara ekonomi dengan petani Amerika atau Canada. Kecuali yang ditaman
berbeda, seperti gut, opium, coca, ganja atau jamur Psilocybin, karena tidak ada produksi massalnya. Dengan tanah yang
kecil saja pertanian seperti ini bisa bikin cepat kaya. Tetapi ada persyaratan
lain yaitu tahu kemana harus dijual dan tahu bagaimana menghindari polisi serta
penjara.
Kesimpulannya, jika ada yang masih mengagung-agungkan kehidupan agraris
dengan sepetak tanah dan menginginkan kemakmuran seperti petani modern yang
sanggup mengolah minimal 50 ha tanah, maka dia tidak melihat realita. Dengan
tanah 50 ha diolah sendiri, punya ketahanan terhadap pukulan harga yang rendah.
Volume produksinya yang besar, biaya produksinya bisa ditekan, rantai
distribusinya pendek dan pergudangannya memadai.
Desa Tidak Perlu
Pemerintah
Jangan melawan raksasa, tetapi jadilah raksasa. Kalau desa ingin maju, maka
jadikan desa sebuah daerah pertanian dengan lahan minimal 50 ha per petani.
Jangan diterjemahkan angka 50 ha secara literal. Angka ini hanyalah ungkapan
yang berarti besar luas sekali. Kalau seorang petani memiliki tanah puluhan
hektar, bagaimana dengan sisanya yang lain? Jawabnya mudah......., pindah ke
kota.
Desa tidak perlu pemerintah untuk membuatkan jalan-jalannya. Bila memang
menguntungkan, swasta akan membuatnya sendiri. Ada perbedaan antara pelaku
bisnis dan politikus. Pelaku bisnis akan membuat jalan serta infrastruktur jika
secara ekonomis diperlukan.
Sedangkan politikus akan menjanjikan untuk membuat infrastruktur agar ia bisa
terpilih lagi (kalau sudah terpilih, banyak janjinya yang dilupakan). Politikus
akan membangun infrastruktur jika bisa mendongkrak popularitas dan elektibilitasnya. EOWI akan meperlihatkan
contoh wilayah yang jalan-jalannya dibangun oleh swasta. Dan jalan yang
dibangun oleh pemerintah nampak sangat tidak berarti. Daerah ini ada di Bintuni
Irian. Di tempat-tempat lain juga banyak.
Peta di bawah ini menunjukkan networks/jejaring jalan yang dibangun oleh perusahaan
kayu, perkebunan kelapa sawit dan explorasi minyak yang berkerja di Bintuni
Irian. Ini di desa, tengah hutan, di tempat terpencil.
Kenapa perusahaan-perusahaan ini mau membangun dan memelihara jalan-jalan
ini? Tidak lain karena alasan ekonomi.
Networks jalan-jalan yang dibangun dan dipelihara
swasta di Irian
Aktivitas Ekonomi 8 Jam
vs 24 Jam
Kalau sebelumnya kita bahas sebuah tema: “membangun pedesaan” sama saja
dengan menyuruh orang bermimpi tentang kemakmuran yang tidak pernah datang,
maka pada bagian ini akan dibahas alternatif yang lebih sensibel. Pada bagian
ini dan selanjutnya akan ditunjukkan bahwa urbanisasi adalah jalan yang lurus untuk
pertumbuhan ekonomi dan kemakuran.
Orang di pedesaan mulai aktif, mungkin jam 6 pagi. Yaitu setelah sholat
subuh (kalau dia muslim). Kemudian jam 9 istirahat sebentar, kemudian berlanjut
sampai jam 1 siang. Untuk bekerja di luar, di tengah terik panas matahari,
kalau tanpa paksaan, tanpa dikejar target, akan berhenti dan istirahat atau
kerja di rumah sampai sore. Begitu selesai magrib, tidak ada pekerjaan lain
kecuali tidur. Jadi siklus aktifnya hanya jam 6 – 20 atau 14 jam saja. Dan
aktifitas ekonominya paling lama hanya 8 - 12 jam saja. Dan yang effektif
kurang dari itu.
Bandingkan dengan di kota – wilayah urban. Untuk seseorang dengan
pendidikan rendah, pagi bisa kerja di mini-mart, atau starbucks atau warung
Tegal sampai siang. Kalau dia kuat bisa sampai malam. Malah, kalau masih kuat,
bisa mangkal di tempat-tempat seperti Dolly atau Kramat Tunggak. Kalau dia
prempuan, bisa melayani 4 pelanggan. Kemudian dia kena AIDS, dan perlu
perawatan. Nah sakit itu juga membuka kesempatan kerja bagi perawat dan dokter.
Dengan kata lain, aktifitas ekonomi tidak berhenti sampai jam 5 sore, tetapi masih
bisa dilanjutkan sampai pagi. Maaf kalau contohnya kurang bermoral. Contoh itu
sekedar untuk bisa dengan mudah diingat saja. Banyak contoh-contoh pekerjaan
lain yang halal. Warung-warung dan toko-toko banyak yang buka sampai larut
malam. Intinya, di perkotaan roda ekonomi bergerak hampir 24 jam. Saya sendiri
sering punya jam kerja 24 jam on call.
Jam aktifitas ekonomi yang panjang seperti di wilayah urban, membuat penggunaan
barang-barang modal lebih effektif. Jalan raya di wilayah urban penggunaannya
lebih effektif dibandingkan dengan jalan raya di pedesaan. Jalan raya di
wilayah urban penggunaannya bisa mencapai 24 jam. Sedangkan pedesaan mungkin
hanya separohnya.
Membangun jalan raya di kota-kota besar akan mengurangi kemacetan. Artinya
bisa meningkatkan effisiensi penggunaan bahan bakar. Perdebatan apakah itu BBM
bersubsidi atau bukan, tidaklah relevan. Sebab pada akhirnya pelaku ekonomi
harus membayarnya. Sebagai konsekwensinya, penghematan biaya BBM bisa
diallokasikan ke konsumsi atau pembentukan modal dan ekonomi tumbuh lebih
cepat.
Sedangkan kalau jalan raya dibangun di pedesaan, .....tidak ada kemacetan
disana buat apa jalan baru, effisiensi waktu penggunaannya juga rendah. Tidak banyak nilai
tambahnya. Seandainya para pelaku ekonomi di pedesaan merasa memerlukan jalan
atau infrastruktur, mereka akan membuatnya sendiri, dengan catatan pembangunan
infrastruktur itu benar-benar ekonomis. Jika tidak, maka akan tidak terawat dan
hancur dimakan waktu.
Data Pertumbuhan Ekonomi
dan GDP
Peradaban manusia dimulai sebagai hunters
& gatherers, pemburu dan pemungut. Mereka hidup, tidak selalu menetap, tetapi
bisa berpindah-pindah mengikuti kesediaan makanan. Masyarakat seperti ini masih
bisa kita lihat di Irian. Apalagi sebelum tahun 1970, masyarakat Irian
pedalaman masih hidup di jaman batu. Dan anda masih bisa beli kapak batu dan
peralatan pertanian mereka yang terbuat dari batu. Gadget mereka yang paling
essensial adalah noken dan panah. Noken adalah sejenis tas-jala yang besar
terbuat dari serat kulit kayu untuk membawa barang-barang. Noken dan panah ini
selalu di bawa kemana-mana sebagai gadget masyarakat hunters & gatherers.
Era hunters & gatherers
memudar dan digantikan dengan era masyarakat pertanian. Mereka membuka lahan
dan bercocok tanam serta memelihara hewan yang telah di-domestikkan. Pada era
ini bisa disebut era pedesaan, karena sebagian besar orang hidup di pedesaan
terfokus pada produksi pangan untuk menopang hidupnya. Tetapi dengan penemuan
mesin-mesin automotif, terjadi pergesera-pergeseran. Hidup manusia tidak lagi
didominasi dengan menghasilkan pangan, dalam arti, dengan dibantu dengan
mesin-mesin produksi pangan menjadi semakin effisien dan bisa dikerjakan oleh
beberapa gelintir orang saja. Populasi yang tersisa beralih profesi, memproduksi
barang lain dan jasa. Pergeseran ini masih berlangsung sampai saat ini,
perubahan dari masyarakat agraris tradisional ke masyarakat modern. Saya
gunakan kata modern untuk menghindari kata industrial yang konotasinya mengarah
pada arti yang sempit yaitu pabrik.
Pada masyarakat modern, profesi penduduk urban (penduduk kota) sangat
beragam, tetapi intinya adalah jasa dan produksi non-pangan. Mungkin karena
sektor non-pertanian tidak membutuhkan lahan yang luas. Andaikata nantinya jika
produksi pangan tidak membutuhkan lahan yang luas, maka kata pedesaan (rural
area) akan punah.
Di negara-negara maju, populasi urban mencapai 80% atau lebih. USA hanya 17%
dari populasinya hidup di pedesaan dan 83% di perkotaan (2013). Jepang hanya 8%
penduduknya tinggal di desa, sedangkan 92% diperkotaan (2013). Bandingkan
dengan Bangladesh atau Myanmar populasi perkotaannya hanya 29% dan 33%. Sampai
beberapa dekade ke depan, di Myanmar, Bangladesh dan negara-negara seperti ini, tekanan urbanisasi masih besar.
Sejarah perkembangan urbanisasi dan GDP yang cukup lengkap dimiliki oleh
Amerika Serikat. Chart-1. Data GDP/PPP diambil dari Maddison dalam satuan
Purchasing Power Parity 1990 US$. Dari Chart-1
ini, bisa dilihat adanya kenaikan GDP yang eksponensial (skala GDP adalah skala
logaritmik). Sedangkan urbanisasi pada skala linear membentuk huruf S dengan
penurunan kecepatan urbanisasi pada level 79%. Urbanisasi mengalami kemandegan
pada saat krisis ekonomi, yaitu pada masa depressi 1930an dan pada masa
stagflasi 1970an. Setelah itu urbanisasi kembali pada trendnya semula.
Chart - 1
Untuk negara-negara lain, anda bisa mencari data dari World Bank. Terlepas
apakah urbanisasi menjadi penyebab pertumbuhan ekonomi atau sebaliknya, opini
EOWI adalah urbanisasi (dan demografi, serta lainnya) yang mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi. Seperti Korea Utara, sejak tahun
1980 sampai sekarang populasi urbannya relatif tetap dari 57% ke 60%.
Berdasarkan model yang diajukan EOWI tadi, maka pertumbuhan GDP Korea Utara
akan marginal sekali. Bahkan ada penurunan di awal dekade 1990an akibat terhentinya
bantuan Uni Soviet kepada negara Korea Utara ini, karena runtuhnya Uni Soviet.
Di pihak lain Korea Selatan, yang punya populasi urban
sebesar 57% tahun 1980 dan sekarang menjadi 80%, pertumbuhan ekonominya pesat
sekali sampai tahun 1997, terjadi krisis Asia, yang menyebabkan penurunan GDP.
Pada masa ini urbanisasi berhenti sejenak, kemudian dilanjutkan lagi bersama
pertumbuhan GDP. Tahun 2000 urbanisasi nampak melambat setelah angka 80% tercapai dan pertumbuhan juga ikut melambat.
Terlepas dari sebab melambatnya pertumbuhan Korea Selatan paska tahun 2000,
apakah karena pertumbuhan global juga melambat atau memang sudah waktunya untuk
melambat.
Chart - 2
Secara historis, perkembangan urbanisasi di Indonesia bisa dilihat di
Chart-3. Dengan data dari World Bank, populasi urban disandingkan dengan GDP
per kapita (dalam US$ tahun 2000). Keduanya cukup selaras, sama dengan
kasus-kasus sebelumnya. Adanya sedikit naik turun dari GDP adalah karena
disebabkan oleh krisis keuangan pada tahun 1963 -1967 dan 1997 – 1998, dimana
GDP memang mengalami penurunan. Dengan menggunakan satuan 2000 US$, chart GDP
bisa agak diperhalus. Jika digunakan nominal GDP dengan US$ yang berlaku, chart
GDP menjadi bergejolak liar karena pada saat krisis nilai rupiah jatuh parah
(nanti hal ini akan dibahas lagi).
Dari kasus-kasus di atas, bisa disimpulkan bahwa ada keselarasan antara
pertumbuhan ekonomi dan urbanisasi. Korea Utara yang urbanisasinya memperoleh rintangan
oleh pemerintah, pertumbuhan ekonominya relatif stagnan. Sedangkan Amerika
Serikat, Korea Selatan dan Indonesia, urbanisasi, wilayah urban tumbuh
bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi. Untuk negara-negara lain, pembaca
dipersilahkan melihat datanya sendiri di situs World Bank.
Chart - 3
Prospek Properti Urban di
Indonesia di Masa Depan
Urbanisasi Indonesia, tumbuh secara parabolik antara tahun 1960 sampai
tahun 2000. Tahun 1960, hanya 14.6% saja penduduk Indonesia hidup di kota-kota
besar. Wilayah Jakarta, berhenti di Dukuh atas. Di luar itu masih kampung.
Dalam masa 4 dekade, penduduk perkotaan menjadi 42%, atau meningkat hampir 3
kali lipat. Antara tahun 2000-2014, urbanisasi berjalan linear. Penduduk urban
meningkat dari 42% dari total populasi, mejadi 50%. Proses unrbanisasi yang
melambat selama tahun 2000-2014 ini mungkin disebabkan karena perlambatan
ekonomi global. EOWI memperkirakan tahun 2023 kemungkinan urbanisasi akan
kembali berjalan dengan kecepatan parabolik sampai mencapai level 80%.
Diprojeksikan jika masih berjalan secara linear bahwa urbanisasi di
Indonesia akan mencapai 80% pada tahun 2040 (Chart-3). Angka 80% populasi urban
ini angka ajaib. Kalau mengacu pada sejarah yang ada, kebanyakan setelah angka
ini tercapai, urbanisasi akan melambat. Patokan 80% ini mungkin bisa berubah
jika ada pergeseran peradaban, seperti perubahan dari masyarakat agraris ke
masyarakat modern. Jika teknologi dimasa yang akan datang memberi tekanan yang
lebih besar untuk terjadinya urbanisasi, maka pola apapun yang ada sekarang
bisa berubah. Hasil penerawangan EOWI, dimasa yang akan datang, otomatisasi
akan menjadi tema utama di semua bidang. Tenaga manusia akan digantikan dengan
mesin, seperti bank-teller digantikan oleh ATM. Assembly-line akan dipenuhi
oleh robot. Bagaimana pengaruhnya terhadap urbanisasi, apakah akan mempercepat
atau menghambat, sampai saat ini masih belum tahu. Tetapi di Jepang, pengaruh
negatif robot dan otomatisasi terhadap populasi urban tidak ada.
Chart - 4
Dalam kurun waktu 3 – 4 dasawarsa ke depan, tidak hanya populasi perkotaan
meningkat dari 50% populasi total ke 80%, tetapi juga pendapatannya meningkat.
Catatan: Pendapatan meningkat tidak berarti kemakmuran riilnya meningkat. Oleh
sebab itu EOWI lebih memfokuskan diri pada kenaikan nilai tambah ekonomi akibat
konversi fungsi penggunaan lahan. Dan memanfaatkan momentum perubahan fungsi
tersebut. Misalnya Kebayoran tahun 1950 hanyalah pemukiman di wilayah suburb.
Tetapi tahun 1990 dan selanjutnya menjadi perumahan yang dekat dengan pusat
bisnis. Dan ini meningkatkan harga riil Kebayoran. Jangan terlalu mengharapkan
kenaikan harga riil properti di......., katakanlah di Salatiga atau Ambarawa.
Karena lahan di wilayah ini punya peluang yang kecil untuk mengalami perubahan
fungsi.
Chart-5 bisa menunjukkan lebih jelas target GDP pada saat populasi urban
mencapai 80% dari total penduduk, yaitu sekitar 2000US$ 5,500.
Chart - 5
Tulisan ini bukan anjuran untuk berinvestasi. Bahkan kami di EOWI tidak
akan melakukan pembelian tanah atau properti dalam waktu dekat ini. Karena kami
melihat bahwa harga properti di Indonesia saat tulisan ini diturunkan sudah
pada fase bubble yang matang. Kemarin
saya baru saja ber-skype dengan ipar yang ada di Atlanta, Georgia, USA. Dia
baru saja menjual rumahnya disana dengan luas tanah 1.2 ha dan luas bangunan
500 m2 di harga $250 ribu
(Rp 3 milyar). Sama-sama di pinggiran kota, saya baru beli rumah dengan luas
tanah 1,200 m2 dan luas
bangunan 400 m2 di harga
Rp 4.7 milyar. Jelas harga rumah di Indonesia adalah pada fase bubble. Hal ini sudah di bahas di Properti: Investasi Yang Tidak Pernah Turun
Harganya (?) (link).
Oleh sebab itu kami akan menunggu sampai bubble
itu meletus. Harga nominal properti di Indonesia
dalam rupiah, mungkin tidak turun, tetapi dalam US dollar insha Allah turun.
Kami meramalkan bahwa GDP Indonesia dalam US-dollar-berlaku akan turun tidak
lama lagi. Perjalanan GDP (dalam US-dollar yang berlaku) vs populasi urban akan
seperti terlihat pada Chart-6.
Chart - 6
Sampai tahun 2018 atau 2020, ekonomi global masih dalam masa Kondratief Winter, dan harga komoditi
akan terus turun. Indonesia, sebagai negara dengan basis ekonomi bahan
komoditi, akan merasakan dinginnya musim dingin ekonomi global. Bagi kami di
EOWI, kapital akan disiapkan untuk menyongsong Kondratief Spring, yang kami perkirakan dimulai pada awal dekade
2020 atau akhir dekade 2010. Pada periode itu juga bersamaan dengan periode
commodity bull market dalam siklus 30 tahunan bahan komoditi. Pertumbuhan
ekonomi global pada masa itu akan didominasi negara-negara berkembang. Dengan
mengandalkan populasinya yang besar, pertumbuhan negara berkembang dimasa Kondratief Spring itu akan memerlukan
banyak bahan dasar, dan ini akan mengayunkan harga-harga bahan komoditi ke
stratosfir. Dan Indonesia akan diuntungkan. Sampai saat itu tiba.......,
jagalah kapital dan amunisi anda baik-baik. Serta berdoa agar pemerintah tidak menghambur-hamburkan dana untuk
pembangunan desa, melainkan memfokuskan pembangunan pada penataan perkotaan
untuk mengantisipasi urbanisasi yang secara alamiah tidak bisa dibendung. Kota tidak berkembang menjadi kampung besar yang kumuh.
Akhirnya, kami mengingatkan kembali bahwa ramalan EOWI bisa salah, seperti hanlnya ramalan William Miller atau Robert
Maltus atau Paul Ehrlich. Oleh sebab itu, silahkan anda melakukan riset sendiri
secara independen.
30-May-2014
Disclaimer: Ekonomi (dan investasi) bukan sains dan tidak pernah dibuktikan secara eksperimen; tulisan ini dimaksudkan sebagai hiburan dan bukan sebagai anjuran berinvestasi oleh sebab itu penulis tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang diakibatkan karena mengikuti informasi dari tulisan ini. Akan tetapi jika anda beruntung karena penggunaan informasi di tulisan ini, EOWI dengan suka hati kalau anda mentraktir EOWI makan-makan.
5 comments:
http://finance.detik.com/read/2014/05/31/124952/2596100/1034/ini-alasan-prabowo-hatta-tak-bisa-hapus-subsidi-bbm?991104topnews
Pak imam berita diatas , menarik untuk dibahas. Subsidi untuk orang miskin yang tidak punya mobil dan motor. untuk orang kaya kena pajak.
Ha ha ha ha...., kalau yang punya motor dan mobil itu orang miskin, bagaimana yang kaya????
Punya pesawat terbang dan helikopter kaleee....
Ini sudah pernah saya bahas. Intinya: kalau yang punya motor dan mobil itu orang miskin, bagaimana yang kaya????
Terima kasih telah menjawab email saya. Senang sekali rasanya, dengan kesibukan mas IS, berkenan menjawab dalam bentuk tulisan.
Seandainya ini sebuah perdagangan dengan saya, tidak masalah bagi saya untuk menukarnya dengan kuintal tebu/gula :) .
Betul apa yang disampaikan mas IS :Saya tidak butuh politikus!, tikus di kebun kami sudah cukup mengganggu. Memajukan desa?,toh nyatanya hasil tebu Kami di pungut PAD(pendapatan asli daerah). Turunkan saja pajak sekecil-kecilnya!. Kami bisa urus diri kami sendiri!.
Saya menangkap point yang disampaikan oleh mas IS, mohon koreksi seadainya kurang/salah.
1. Perkebunan
2. Mekanisasi
3. Rantai distribusi diperpendek
Setelah menjalankan bisnis ini, pengepul merupakan bisnis yang baik sekaligus menguntungkan :) .
Untuk bisa bersaing dan bertahan dalam bisnis ini, saya tiba pada kesimpulan,harus mengolah hasil pertanian sendiri, yang berarti harus menjadi perkebunan, hitungan saya 100-150 Ha. Dan Saya rasa menjual gula menjadi Rp. 6500/Kg bukan mimpi :) .
Saya masih bingung pada pernyataan "substitusi" : menurut mas IS, masih layak dipertahankan, gula-tebu menjadi bisnis di masa yang akan datang?, atau saya harus menanam tanaman lain saja, singkong gajah misalnya?
Btw, saya lupa menulis point keempat : "saya tidak butuh pemerintah!". Ha ha ha ....
Mas Arief,
Perkara barang subsitusi, konsumen (terutama untuk industri/bisnis yang berorientasi profit) akan beralih ke barang subsitusi jika memang lebih murah. Untuk sukrosa (gula tebu) vs gula jagung (fruktosa) dimana fruktosa lebih manis 1.5X, ada faktor budaya yang masih menghalangi pemakanan langsung fruktosa oleh konsumen.
Makanan-makanan dan minuman buatan pabrik seperti soft drink, kue-kue...., kebanyakan sudah pakai fruktosa. Bahkan restoran "modern", seperti Cafe-cafe di jakarta, kalau sudah pakai fruktosa. Juga warung sate PSK tempat saya makan siang, juga pakai fruktosa. Kalau anda minta minuman manis dgn gula dipisah, maka anda akan diberi gula cair (yang tidak lain adalah fruktosa).
Untuk kebutuhan rumah tangga, sukrosa lebih sulit digeser oleh fruktosa karena sudut ke-praktisan. Gula tebu lebih praktis digunakannya.
Mau pindah ke singkong? Apa sudah punya penyalurannya? Pabrik fruktosa atau tapioka?
Saya juga tertarik pada pertanian, karena bosan hidup di kota besar. Pernah menghitung-hitung, kalau berternak kambing perlu berapa ekor, supaya penghasilannya memadai. Ternyata minimal 1000 ekor (bisa juga 500 tapi tidak ada ruang untuk salah). Banyak juga, dan tidak jauh dengan ukuran yang dimiliki ipar saya yg ada di Australia. Itu juga setelah rantai distribusi diperpendek dan ada unsur trading. Jual dimasa peak, yaitu iedul adha.
Ada beberapa produk hortikultura yang memiliki niche market, seperti gaharu. Hambatannya banyak, eksportnya akan susah dan besar pajaknya. Saya sempat nguping obrolan pengepul (tauke-tauke Cina muda) yang berkeliaran di desa-desa di pinggir hutan wilayah Bintuni. Tentunya mereka punya pasar. Bisnis ini volumenya kecil tapi duitnya besar.
Terima kasih mas IS, Informasi lawan ini, membuat saya tambah waspada.
Singkong gajah baru wacana saja, katanya tanaman ini bisa mengasilkan 20 Kg per stek.Rencananya bulan depan ujicoba, tanam beberapa stek dikebon, untuk dilihat hasil kemudian. pabrik tapioka ada, sekitar 60 Km dari sini, tapi saya belum benar-benar berhitung dan serapan pasarnya.
250 meter dari rumah saya ada peternak sapi dengan populasi sekitar 200 ekor, saya sering mengambil kotoran sapinya untuk dikomposkan. Berternak saja disini mas IS, nanti kita barter(daun tebu dengan kotoran sapi) he he ...
Tapi kalau sapi makan daun tebu, cocok ga ya..?
Post a Comment