1. Rasio Hutang-GDP turunSalah satu yang diklaim oleh capres SBY sebagai pencapaian dan prestasi adalah turunnya rasio hutang negara terhadap GDP (gross domestic product). Menurut situs
http://sbypresidenku.com/, bahwa rasio hutang pemerintah terhadap GDP turun dari 56% di tahun 2004 menjadi 34% di tahun 2008. Klaim ini tidak terlalu tepat disamping menyesatkan. Untuk memahaminya kita perlu melihat data dari Bank Indonesia (BI).
Chart-1 di bawah menunjukkan hutang eksternal (luar negri) dan penerbitan surat hutang pemerintah. Hutang luar negri Indonesia sebenarnya bukan dalam bentuk rupiah, melainkan dalam bentuk US dollar atau mata uang asing lainnya. Untuk mengkonversi EOWI mengalikannya dengan kurs US$ 1 = Rp 10,000 seperti yang berlaku pada saat tulisan ini dibuat.
Dari Chart-1 ini dapat disimpulkan bahwa hutang pemerintah RI telah naik dari Rp 1,230 triliun di akhir tahun 2004 menjadi Rp 1,376 di akhir tahun 2008. Ini merupakan kenaikkan hampir sebesar 12%. Angka ini bisa bergeser jika kurs yang digunakan adalah kurs yang berlaku pada tahun-tahun yang sama. Paling tidak kita bisa katakan bahwa hutang kita tidak beranjak kemana-mana. Jadi penyataan bahwa rasio hutang pemerintah terhadap GDP turun dari 56% di tahun 2004 menjadi 34% di tahun 2008 dianggap sebagai prestasi SBY selama menjadi presiden adalah klaim ini tidak terlalu tepat, disamping itu juga menyesatkan. EOWI tidak akan menilai lebih lanjut, dan kami akan serahkan kepada pembaca.
Chart 1 (Klik untuk memperbesar)
Chart-2 menunjukkan GDP Indonesia Atas Dasar Harga Yang Berlaku dalam trilliun rupiah. Chart-2 ini menarik karena GDP Atas Dasar Harga Yang Berlaku naik secara konsisten dari tahun 2001 sampai 2007 akhir, sebelum krisis kredit yang terjadi di US. (Cacatan: BI menyediakan dua data GDP, yaitu yang berbasis harga tahun 2000 dan atas dasar harga yang berlaku. EOWI mengambil data GDP Atas Dasar Harga Yang Berlaku karena nampaknya data inilah yang diambil oleh SBY). Kenaikan GDP yang demikian konsisten ini seiring dengan inflasi harga barang yang menggila selama periode 2001 – 2007. Semua ini hanyalah permainan statistik saja. Jangan heran kalau Mark Twain mengatakan bahwa : There are lies, damn lies and statistics
GDP tahun 2008 sebenarnya turun dari kira-kira Rp 4,000 triliun ke kira-kira Rp 1,800 triliun. Kalau BPS mengatakan bahwa GDP Indonesia saat masih tumbuh 4.4%, karena ada faktor pengali deflator. Kalau sudah menggunakan faktor ini dan itu, bagi orang awam seperti kami di EOWI, perhitungan GDP menjadi seperti sulap.
Catatan: kalau ada yang mengatakan bahwa Indonesia ekonominya lebih kuat dari Malaysia dan Singapore karena keduanya mengalami pertumbuhan GDP yang negatif sedang Indonesia masih 4.4%, anda bisa menilainya sendiri dari Chart-2 yang datanya dari situs BI.
Chart 2 (Klik untuk memperbesar)
Untuk tahun 2009, kami hanya mengalikan GDP kwartal I dengan 4. Kami pikir cukup adil, karena 1 tahun ada 4 kwartal.
Bagaimana dengan rasio hutang pemerintah terhadap GDP? Chart-3 menunjukkan perkembangan rasio hutang pemerintah terhadap GDP dari tahun 2000 sampai 2008 (tahun 2009 hanya perkiraan dari kwartal I). Klaim situs
http://sbypresidenku.com/ bahwa rasio hutang pemerintah terhadap GDP tahun 2008 adalah 34% adalah kurang tepat. Yang benar adalah untuk tahun 2007. Sedangkan untuk tahun 2008 sudah naik lagi, karena GDPnya turun drastis sedangkan jumlah hutang relatif tetap (naik sedikit).
Untuk tahun 2008 berdasarkan data BI, rasio hutang pemerintah dengan GDP naik drastis menjadi 77% (Chart-3). Bukan 34%, seperti yang diklaim situs
http://sbypresidenku.com/. Apakah ini level yang membahayakan? Silahkan pembaca untuk menilai sendiri. Yang pasti saya enggan jadi presiden pada situasi seperti ini.
Chart 3 (Klik untuk memperbesar)
Catatan: EOWI selalu mengatakan bahwa beban hutang semakin berat pada periode deflasi sedangkan menjadi ringan pada masa inflasi. Oleh sebab itu pemerintah dimanapun yang punya hutang selalu menginginkan inflasi. Chart-3 memperlihatkan secara jelas. Kalau dunia mengalami deflasi dimasa-masa mendatang, beban hutang pemerintah akan semakin berat dan beban itu akhirnya dipikul oleh pembayar pajak. Berhat-hatilah.
2. IMF dan CGISitus
http://sbypresidenku.com/ juga membanggakan sudah terlepasnya Indonesia dari IMF dan CGI. Mari kita berpikir secara waras. November 2008 lalu Pakistan memperoleh pinjaman $7.6 milyar dari IMF dengan bunga 3.51% - 4.51% (
http://uk.biz.yahoo.com/15112008/323/pakistan-secures-imf-loan-7-6-billion-dollars.html). Belum lama Ukraina juga memperoleh pinjaman IMF dengan bunga 4%. Pinjaman-pinjaman ini cukup murah dibandingkan dengan bunga pinjaman dari pengeluaran surat hutang obligasi pemerintah Indonesia yang biasanya bisa mencapai di atas 10%. Jadi keputusan untuk beralih dari IMF dan CGI ke penerbitan surat obligasi adalah tindakan yang bodoh atau pintar? Patut dibanggakan atau patut dihina? Pembaca sekalian, anda bisa menilainya.
Kalau kita lihat jumlah hutang pemerintah yang relatif tetap (atau naik sedikit) – Chart-1, maka ketidak adaan IMF dan CGI tidak bisa diartikan sebagai prestasi. Toh, hutang pemerintah tidak berkurang. Bahkan pembubaran CGI bisa dianggap sebagai kemunduran jika CGI masih bisa mengemban fungsinya sebagai kreditur bagi Indonesia. Poin ini yang sangat meragukan. Karena CGI yang beranggotakan negara-negara maju adalah negara-negara yang punya beban hutang berat juga. Hal ini pernah dibahas di EOWI beberapa waktu lalu
http://ekonomiorangwarasdaninvestasi.blogspot.com/2009/03/jepang-negara-matahari-terbenam.html. Jadi tanpa dibubarkan, CGI kemungkinan tidak bisa memberikan kredit. Patut diduga bahwa pembubaran CGI oleh Indonesia adalah untuk memperoleh popularitas. Padahal tanpa dibubarkan oleh Indonesia, CGI kemungkinan besar akan membubarkan diri atau tidak berfungsi lagi.
3. SBY Menurunkan Harga Minyak untuk Meringankan Beban RakyatEOWI merasa perlu untuk menulis bagian ini kembali karena pada tulisan lalu ada sedikit ketidak telitian. SBY menduduki kursi kepresidenan dari bulan Oktober 2004. Ketika SBY menduduki harga minyak jauh lebih murah dari yang sekarang. Oleh sebab itu klaim bahwa SBY menurunkan harga minyak, tidaklah benar. Apalagi meringankan beban rakyat.
Harga eceran BBM terakhir sebelum SBY menjabat menjadi presiden, ditetapkan pada bulan Januari 2003. Jadi ketika SBY mulai menjabat posisi presiden harga itu telah belaku hampir 2 tahun.
Tabel di bawah ini menunjukkan harga BBM sebelum SBY menduduki kursi kepresidenan (harga ini ditetapkan dan milai diberlakukan pada bulan Januari 2003). Untuk harga minyak tanah Rp 700 dari depot Pertamina. Ketika sampai ke konsumen harus ditambah dengan biaya transportasinya yang bisa mencapai Rp 100.
Harga-harga BBM ini dibandingkan dengan harga saat ini, bulan Juni 2009. Kita lihat ada kenaikkan yang lebih besar dari 145%. Kenaikan ini bukan kenaikan yang kecil. Klaim SBY menurunkan harga minyak sama sekali tidak didasari oleh data Pertamina. Apalagi mengurangi beban rakyat. Saya merasa pengeluaran untuk bensin naik selama SBY menjadi presiden.
(Klik untuk memperbesar)
Ada beberapa pembaca yang tidak sependapat dan protes bahwa harga minyak waktu SBY naik kursi kepresidenan bulan Oktober 2004 adalah $26 (saya koreksi $41 - $44). Jadi tidak fair kalau tidak dinaikkan.
Bahwa SBY tidak mampu mempertahankan harga minyak (tidak usah menurunkan) menunjukkan bahwa SBY dan pemerintah umumnya tidak merupakan badan yang omnipotent (bisa segalanya). Argumen bahwa harga minyak sudah naik mudah disanggah dengan pertanyaan: “Kenapa ketika harga minyak jatuh ke $32/bbl, harga BBM tidak diturunkan ke harga sebelum tahun 2004, toh waktu itu harga minyak mentah sudah di level $40/bbl?”. EOWI pernah mengangkat issue ini beberapa waktu lalu [link:
http://ekonomiorangwarasdaninvestasi.blogspot.com/2008/12/pemerintah-indonesia-penghisap-darah.html].
Banyak dalih yang bisa diajukan untuk mempertahankan slogan di situs
http://sbypresidenku.com/ bahwa SBY telah menurunkan harga minyak. Tetapi yang namanya dalih, tetap bukan alasan. Oleh sebab itu mudah dipatahkan. Kalau SBY mau mengklaim sudah menurunkan harga minyak 10 kali juga bisa. Turunkan saja Rp 25 sebanyak 10 kali. Tetapi hal yang semacam itu adalah dagelan, sama dengan menurunkan harga BBM 3 kali, tetapi tidak pernah lebih rendah dari harga sebelum SBY jadi presiden.
Catatan: di Indonesia harga BBM bukan yang termurah di dunia. Pada saat harga minyak mentah di level tertingginya tahun lalu, harga BBM di Indonesia (dalam $ per liter) adalah $ 0.53, Bahrain $ 0.27, Iran $ 0.11, Kuwait $ 0.21, Mexico $ 0.57, Saudi $ 0.12, Qatar $ 0.22, Nigeria $ 0.60, Venezuela $ 0.0.045!!. Anda tentu protes karena mereka ini adalah negara-negara OPEC. Kalau begitu kita bandingkan dengan negara non-OPEC, Mesir negara miskin $ 0.32, Malaysia jiran kita $ 0.50, Ukraina $0.60, Turkmenistan (entah dimana tuh) $ 0.08 (baca: 8 sen) !!!!! Indonesia kalah jauh dengan Turkmenistan!!!
Mungkin masih ada yang akan berdalih, bahwa potensi minyak Indonesia sudah turun. Ini juga omong kosong dan tidak didukung data. Kita lihat banyak proyek pengembangan lapangan minyak yang tersendat. Cepu Banyu Urip, misalnya. Medco Senoro juga. Masih ada beberapa POD (Plan of Development) lagi yang tertunda karena birokrasi pemerintah yang enggan mengambil keputusan, dan bukannya mendorong tetapi malah menghambat. Lain kali akan kita akan bahas hal ini. Ada perbedaan karakter yang mendasar antara BPMIGAS (badan pengawas kontraktor produksi minyak Indonesia) dengan, misalnya, PMU (Petronas Management Unit). BPMIGAS tidak punya target produksi. Jadi buat BPMIGAS produksi minyak nasional turun tidak apa-apa. Lain halnya dengan PMU di Malaysia. Ketika saya menjadi team leader de facto untuk Production Enhancement, Malaysia Peninsula Operation, di Petronas, setiap 3 bulan PMU datang ke saya untuk minta kenaikkan produksi. Ketika Sabah Operation dan Serawak Operation harus menghentikan produksinya karena kebocoran pipa bawah laut, saya di Peninsular Malaysia Operation yang dikerjar-kejar untuk menaikkan produksi. Kalau ada hambatan teknis dan administrasi, mereka bantu sepenuhnya dan selama 1.5 tahun disana produksi naik 15% - bukan turun seperti umumnya ladang-ladang minyak. Bagaimana dengan BPMIGAS? BPMIGAS tidak pernah menjemput bola ke KPS (Kontraktor Production Sharing). Paling tidak, kurang seaggresif PMU. Lain kali kita bahas hal ini.
Untuk penurunan produksi minyak Indonesia, tidak adil kalau hanya menyalahkan eksekutif, SBY (atau Mega, pendahulu SBY). DPR yang sok tahu dan sok ikut campur, KPK yang tidak bisa membedakan antara kekeliruan prosedur, probabilistic estimates dengan tindak kriminal. Seakan semua ingin menunjukkan kekuasaannya. Itu yang membuat BPMIGAS takut berinisiatif, dan tumpul daya saing bisnisnya. Ini perbedaan PMU dengan BPMIGAS. PMU tidak takut mengambil keputusan bisnis. BPMIGAS adalah birokrat. Bisnis yang bebas berperinsip “semua boleh, kecuali beberapa yang dilarang”. Sedang prinsip birokrasi adalah: “semua dilarang, kecuali yang sesuai dengan juklak – petujuk pelaksanaan”, jadi sangat terbatas ruang geraknya. Jangan heran kalau azas birokrasi masuk ke bisnis, maka tidak akan kompetitif.
4. Mitos Kebijakan SBY Menyebabkan Saham Naik di Periode 2005-2007Poin ini bukan dari situs
http://sbypresidenku.com/ , tetapi dari situs investasi saham. Dalam situs ini nampak kampanye untuk SBY. Karena kampanyenya menyesatkan maka saya perlu meluruskannya.
Pertama yang membuat bursa saham BEJ (Bursa Effek Jakarta) marak selama 2005 – 2007 bukan SBY, tetapi Alan Greenspan, ketua bank sentrak US. Greenspan menggelontorkan liquiditas yang luar biasa setelah terjadinya crash di saham teknologi tahun 2000 dan setelah kejadian 11 September, dengan menurunkan suku bunga the Fed sangat rendah. Banjir liquiditas ini menyapu semua saham di emerging market, di sektor real-estate US, (Inggris, Irlandia, dll), komoditi, minyak, dan lain-lain. Bukan saja bursa BEJ yang naik, tetapi banyak lagi. Bursa saham dunia sudah menanjak 2 tahun sebelum SBY jadi presiden.
Ketika SBY menduduki kursi kepresidenan indeks harga saham gabungan (IHSG) telah mencapai 870an, setelah rally dari 320, sejak hampir 2 tahun sebelumnya. Di akhir tahun 2007, jadi 3 tahun setelah SBY menjabat posisi presiden, BEJ juga mengalami crash bersama dengan bursa-bursa dunia. IHSG jatuh ke level 1100 dari level 2800 dalam waktu kurang dari 1.5 tahun. Apakah SBY juga yang menyebabkan crash di BEJ? Kalau memang SBY mampu mempengaruhi bursa, kenapa SBY tidak menahan crash BEJ.
Catatan: IHSG sejak bulan Maret 2009 naik kembali, tetapi tidak sendiri. Bursa-bursa emerging market juga ikut rally. Apakah rally ini juga karena SBY? Nanti kalau crash lagi bersama emerging market apa juga karena SBY? Ada yang mau nge-short Indonesia kalau crash lagi?
RenunganSaya tidak punya ganjalan apa-apa secara pribadi terhadap SBY atau calon presiden lainnya. Tulisan ini saya buat karena saya gatal kalau melihat manipulasi data untuk populeritas diri. Naik turunnya harga diklaim sebagai prestasi. Angka nominal digunakan, bukan nilai riil. Itu yang membuat saya gatal.
Banyak pembaca EOWI mengeritik EOWI, kenapa EOWI suka mencerca, bukan memberi solusi. Saya pikir EOWI sudah sering memberi solusi. Salah satu diantaranya: hapuskan posisi wakil presiden (dan semua wakil, bupati, gubernur, camat dan lurah), DPA, Dep Agama, Dep Sosial, Dep Perawan, Dep olah raga, Dep Naker, MPR, BI, DPRD II. Ini sebagai langkah awal dari perampingan birokrasi. Ini untuk mengurangi masyarakat yang tidak produktif. Wakil presiden adalah posisi yang tidak produktif selama presiden masih ada. Bagaimana dengan MPR, berapa hari waktu kerja effektifnya dalam 5 tahun. Departemen Peranan Wanita....., nanti para banci dan laki-laki akan minta Departemen Peranan Banci, begitukah? Dulu juga tidak ada Dep. Perawan, negara tidak pincang. Orang-orang ini lebih baik cari kerja yang lebih produktif supaya negara ini bisa lebih kompetitif.
Birokrasi tidak akan bisa bersaing dengan free market. Untuk bisa kompetitif, pelaku ekonomi harus punya banyak alternatif dan bebas memilih jalan yang paling effisien. Oleh sebab itu dalam masyarakat yang kompetitif prinsip yang dianut harus “semua boleh, kecuali beberapa yang dilarang”. Prinsip ini memberikan ruang gerak yang leluasa bagi pelaku ekonomi.
Prinsip semacam ini berlawanan dengan azas birokrasi dimana: “semua dilarang, kecuali yang sesuai dengan juklak – petujuk pelaksanaan”. Prinsip birokrasi tidak memberikan alternatif kecuali juklak. Jangan heran kalau azas birokrasi mendominasi ekonomi, maka masyarakat tersebut menjadi tidak akan kompetitif. Itu sebabnya EOWI menekankan pada prinsip laissez faire, minimum intervensi pemerintah. Oleh sebab itu kurangi birokrasi.
EOWI melakukan jajak pendapat mengenai topik ini. Salah satu pilihannya adalah:
“Saya akan pilih SBY walaupun dia bohong”.
Bukan mustahil pilihan ini akan menjadi majoritas. Ini dimungkinkan jika para pendukung SBY yang fanatik akan mengerahkan pendukung lainnya, sehingga situs EOWI dilongok oleh pengunjung baru. Saya tidak tahu apakah hal ini akan terjadi.
EOWI hanya fanatik terhadap kebenaran. Kami fanatik terhadap konsep aksioma 1 + 1 = 2. Selain kebenaran, kami tidak fanatik sama sekali. Apalagi politik. Saya tidak tahu apakah SBY bohong atau manipulatif. Tetapi pernyataan poll adalah “Saya akan pilih SBY walaupun dia bohong”. Sulit dipercaya, ada orang masih mau memilih pilihan ini. Kalau anda mau memilih pembohong sebagai presiden, niscaya anda akan selalu dibohongi. Kemakmuran anda adalah ilusi. Kerja presiden yang semacam itu adalah palsu, bohong, penipuan. Apakah memang itu yang anda kehendaki?
Satu hal, saya tidak mau dibohongi, ditipu. Apakah anda mau?
Singapore 17 Juni 2009
Disclaimer: Ekonomi (dan investasi) bukan sains dan tidak pernah dibuktikan secara eksperimen; tulisan ini dimaksudkan sebagai hiburan dan bukan sebagai anjuran berinvestasi oleh sebab itu penulis tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang diakibatkan karena mengikuti informasi dari tulisan ini. Akan tetapi jika anda beruntung karena penggunaan informasi di tulisan ini, EOWI dengan suka hati kalau anda mentraktir EOWI makan-makan.