Return of the Jedi adalah judul
film sekuel The Star Wars. EOWI meniru-niru judul tersebut bukan karena ada
kemiripan antara US dollar dan kisah film the Star Wars itu, tetapi karena
sekedar enak didengar. Currency Wars dengan Star Wars dan
Return of the Dollar dengan Return of the Jedi, enak didengar ‘kan?
Belum lama dalam ingatan kita, banyak opini yang mengatakan
bahwa yuan atau euro akan menggantikan US dollar. Dominasi dollar akan
memudar. Mesin cetak uang yang ada di the Fed, bank sentral Amerika Serikat,
mencetak dollar dengan kecepatan penuh. The Fed berusaha mati-matian untuk
menjatuhkan nilai dollar. Harapannya tentu akan ada inflasi yang tinggi,
harga-harga melambung terhadap US
dollar, suku bunga di Amerika Serikat akan melambung dan nilai dollar terhadap
mata uang lainnya akan anjlok. Dari semua itu, yang menjadi kenyataan adalah
jumlah uang yang dicetak memang meningkat, selebihnya (nilai dollar anjlok,
suku bunga melambung, inflasi terbang tinggi) tidak menjadi kenyataannya. Malah
sebaliknya. Suku bunga deposito dollar masih rendah, nilai dollar menguat dan
inflasi masih rendah dan tenang-tenang saja. Apa yang diperbuat the Fed tidak mencapai tujuan yang diinginkannya. Apa yang terjadi?
EOWI akan melakukan analisa dari
beberapa data ekonomi yang didokumentasikan oleh the Fed, bank sentral Amerika
Serikat. Analisa ini akan dipecah dalam beberapa seri yang bertajuk Currency Wars. Pemecahan ini karena
panjangnya cerita dan dimaksudkan agar supaya pembaca rajin mengunjungi situs
EOWI.
Kalau ada ada cerita film Star Wars,
maka EOWI mau bikin cerita mengenai Currency
Wars, perang melawan mata uang (sendiri). Kenapa ada perang melawan mata
uang (sendiri), mungkin didasari oleh paham Ekonomi Keynesian. Hal ini terutama
dilakukan oleh negara-negara yang ekonominya berbasis ekspor. Karena banyak
pemerintahan menginginkan negaranya unggul di dalam ekspor, maka perang melawan
mata uang (sendiri) menjadi fenomena yang mengglobal. Memang perang melawan
mata uang (sendiri) tidak pernah diproklamirkan. Tetapi secara data, hal
tersebut terlihat. EOWI akan menyajikan hal ini pada tulisan berseri ini.
Intinya, setiap negara akan
berusaha menjatuhkan nilai mata uangnya sendiri. The Fed di Amerika Serikat
akan berusaha menjatuhkan nilai dollar. Banyak usaha yang telah dilakukannya.
Yang sekarang populer dengan nama Quantitative
Easing (QE) adalah nama lain dari
tindakan-tindakan yang sebelumnya yang intinya mencetak duit dan
menggelontorkan likwiditas. Tujuannya, menurut teori, untuk memicu inflasi.
Dengan adanya inflasi maka orang tidak akan menyimpan uangnya melainkan
membelanjakannya (alasannya takut kalau besok harga naik, seperti yang
diadvertensikan oleh pengembang-pengembang properti: Besok Harga Naik). Bank of Japan,
sentral bank Jepang sudah melakukannya selama 25 tahun. Dan selama 25 tahun itu,
bukannya yen melemah, tetapi malah naik terus (sampai kwartal terakhir 2014)!
Inflasi masih didekat nol, konsumen lebih suka menabung alias tidak mau
meningkatkan konsumsinya.
Persoalan utama dari the Fed (kenapa the Fed gagal
menjatuhkan nilai dollar), karena bukan the Fed saja yang melakukan perang
melawan mata uangnya sendiri. Negara-negara lain juga melakukan hal yang sama
dan mementahkan usaha-usaha the Fed. Kalau the Fed mencetak dollar, kemudian
bank sentral Jepang, Cina, Eropa, the
fragile five, Canada dan lain sebagainya, melakukan gerakan beli dan sapu
bersih dollar yang dikeluarkan oleh the Fed dan memasukkan ke dalam brankas
mereka (bank-bank sentral ini) sebagai cadangan devisa. Maka hasil akhir yang
terjadi adalah peredaran mata uang negara-negara ini yang lebih lancar dari
pada dollar sendiri. Di pihak lain pelaku bisnis swasta dan konsumen US mengurangi
hutang mereka, sehingga permintaan dollar menurun. Usaha-usaha the Fed mentah
kembali. Itu adalah inti dari hasil analisa EOWI.
Secara ringkas, pihak-pihak yang terlibat dalam currency war ini adalah the Fed melawan
US dollar. Tetapi dollar tidak sendiri tetapi dollar yang jelek ini memperoleh bantuan dari bank-bank sentral dunia bersama konsumen US, pelaku
bisnis, serta spekulan besar seperti George Soros, spekulan kecil seperti Imam
Semar dan para pengikutnya yang sedang membaca tulisan ini. Kelihatannya dengan dukungan konsumen US, pelaku bisnis serta
para spekulan, US dollar kembali menguasai medan pertempuran. Return of the dollar
- US dollar kembali.
Secara tidak sengaja, 2 minggu lalu saya melihat-lihat indeks
US
dolar (seterusnya disebut indeks dollar). Secara mengejutkan ternyata US dollar
tidak selalu menurun terhadap sekeranjang
mata uang negara lainnya seperti yang sering dipersepsikan media selama ini. Pada
periode tertentu yang ukurannya dalam bilangan dekade, US dollar mengalami peaking
atau berada pada titik puncak, seakan membentuk pengulangan atau siklus.
Memang untuk setiap siklus yang menjadi motor penyebabnya tidak selalu sama, oleh
sebab itu mengkaitkan pasang surutnya nilai dollar dengan suatu parameter makro
ekonomi akan gagal. Siklus sebelumnya belum tentu
disebabkan oleh hal yang sama dengan siklus saat ini. Tetapi secara
keseluruhan penyebab-penyebab ini membuat US dollar mengalami siklus 17 tahun.
Untuk siklus saat ini, dollar akan menanjak terus dan puncak
dollar mendatang akan berada di tahun 2019. Tanpa mencoba untuk mengganthuk-gathukkan, kesimpulan ini
sejalan dengan siklus Kondratief versi EOWI, yang mana (siklus ini) akan
menyebabkan krisis 2014 – 2020. Dengan kata lain, krisis yang disebabkan oleh
penguatan US dollar adalah bagian dari deflasi US dollar di masa Kondratief winter (silahkan baca laman
Gejolak 2014 – 2020).
Seorang analis akan mencoba mencari data yang mendukung
opininya dan mengabaikan, membuang, menyembunyikan data yang melemahkan
hipotesisnya. Kami di EOWI berusaha untuk tidak melakukan hal tersebut, karena
tindakan seperti itu akan menjebloskan diri sendiri ke dalam jurang kehancuran
finansial. Dalam kaitannya dengan tulisan tentang dollar dan kembalinya dollar
ini, pada awalnya, EOWI mengamati data-data indeks dollar sejak dari tahun 1964
sampai 2014 dan menemukan adanya pengulangan titik klimaks (puncak) di setiap
17 tahun. Dan titik klimaks/puncak berikutnya adalah di tahun 2019, membuat
EOWI mengkaji kembali keterkaitan US dollar dengan siklus Kondratief.
Untuk panjangnya rentang siklus, EOWI juga melihat kekuatan dibalik
kembalinya dollar. Seperti banyak yang diberitakan di media, the Fed, bank
sentral Amerika menggelontorkan likwiditas mencetak dollar dengan melakukan
monetezation hutang sejak krisis subprime
2008 yang seharusnya membuat nilai dollar jatuh, tetapi yang terjadi adalah
sebaliknya. Dollar malah menguat, dan seakan mengatakan: “I am returning“ – Aku
datang! Dengan kata lain kekuatan dibalik penguatan dollar ini kuat.
Mekanisme
Pasang-Surutnya Dollar
Pada jaman modern ini, lalulintas aliran modal bisa berjalan
relatif lancar dan cepat dibandingkan dengan beberapa dekade lalu. Keluar-masuknya modal ke/dari sebuah negara sulit bisa
dibendung. Kita bisa melihat krisis moneter sering terjadi di negara-negara pinggir, Zimbabwe, Argentina, Brazil, Mexico, Indonesia, dan juga negara-negara sentral ekonomi dunia
seperti US, Jepang dan negara-negara Uni Eropa. Krisis yang mengenai suatu
negara bisa (tidak selalu harus) merambat ke negara lain. Krisis di Brazil bisa
merambat ke negara-negara Amerika Selatan lainnya. Krisis di Thailand
tahun 1997 merambat ke Malaysia, Singapura, Indonesia dan akhirnya ke Korea,
Taiwan dan lainnya. Krisis subprime
di US
(2007) merambat ke seluruh dunia. Jaman dulu, pengaruh perubahan
moneter/ekonomi di suatu negara ke negara lain juga ada. Tetapi mungkin tidak
secepat masa sekarang. Dimasa modern ini, pengaruh ekonomi/moneter suatu negara
ke negara lainnya berjalan lebih cepat dikarenakan oleh semakin terintegrasinya
ekonomi dunia.
Sebagai reserve
currency (mata uang cadangan devisa), aliran US dollar mempunyai pengaruh
yang besar terhadap kekuatan banyak mata uang. Penguatan dollar terhadap suatu
mata uang merupakan cermin dari aliran modal yang tidak lain juga, kondisi
ekonomi relatif di US
dengan di negara tersebut. Apakah kondisi ekonomi itu tumbuh, melambat, penuh
spekulasi bubble atau pada kondisi bubble yang pecah.
Secara logika, ada beberapa faktor dinamis yang menyebabkan
US dollar naik/turun nilainya:
1. Untuk cadangan devisa suatu negara pada saat ada surplus
transaksi berjalan (membuat mata uang
negara tersebut naik terhadap dollar) dan
nantinya bisa digunakan untuk pembelian
barang impor (akan
menekan mata uang negara tsb.)
2.
Devaluasi mata uang negara lain untuk membuat ekspor mereka
lebih kompetitif sehingga ekspor negara tersebut bisa ditingkatkan
3.
Permintaan untuk spekulasi (lebih condong ke kredit) seperti carry trade – hot money
4.
Tempat berlindung terhadap krisis – hot money dan dana investasi
portfolio
5.
Tarik (pengetatan)-ulur (pelonggaran, seperti QE) yang dilakukan bank sentral Amerika
Serikat, the Fed.
Poin-poin di atas cukup diskriptif sehingga tidak perlu
dibahas. Yang lebih penting adalah membahas apa yang sedang berlaku saat ini
sampai 5 tahun mendatang.
Siklus Dollar 17
tahunan
Berikut ini adalah chart indeks dollar dari tahun 1964 sampai
2014. Kalau diperhatikan ada semacam siklus 17 tahunan yang diukur pada peak
atau puncaknya. Jarak antara peak-to-peak,
atau jarak antara 2 titik puncak adalah
17 tahun. Titik puncak pertama di tahun 1968, dollar bertengger sekitar 2
tahunan di level 120. Agak sulit untuk memeriksa awal mula bull market dollar yang terjadi sekitar tahun 1960 – 1962 atau
lebih awal lagi, karena pada periode ini US dollar dikaitkan dengan emas.
Tetapi patut diduga adanya kaitannya dengan percepatan pertumbuhan ekonomi di US
selama tahun 1955 – 1968. Disamping itu tahun 1951 – 1968 adalah masa commodity secular bear market setelah masa
puncaknya di tahun 1951. Kombinasi menurunnya (murahnya) harga bahan komoditi,
percepatan pertumbuhan US,
Jepang dan Jerman membuat kebutuhan dollar sebagai mata uang dunia meningkat. Neraca transaksi berjalan US mengalami surplus dimasa itu.
Chart - 1 (klik chart untuk memperbesar)
Kemudian setelah peaking di tahun sekitar 1968 – 1970
(sebut saja 1968), masuklah dollar ke masa bear
market dollar 1968 – 1980 yang di latar belakangi oleh besarnya inflasi dan
defisit budget US akibat perang Vietnam dan dilanjutkan dengan masa commodity bull market 1970 – 1980 yang
membuat banyak US dollar keluar dari negaranya. Impor US
terutama minyak mentah mahal harganya membuat US mengalami defisit perdagangan
dan defisit transaksi berjalan secara kronis dimulai tahun 1971 sampai tahun
1980. Selama masa commodity bull market
tahun 1970 – 1980 dollar terbantai.
Ada faktor lainnya
yaitu hilangnya kepercayaan terhadap dollar sebagai akibat keputusan Presiden
Richard Nixon untuk memutuskan hubungan antara dollar dengan emas. Disamping
itu juga karena dominasi US
di perekonomian dunia berkurang dengan munculnya Jerman dan Jepang sebagai
pendatang baru yang bangkit dari keterpurukan di perang dunia II. Ketidak
percayaan terhadap dollar memuncak di tahun 1980, inflasi harga mencapai 14.5%.
Investor melarikan uangnya ke emas, perak dan real assets, hard assets sehingga membuat mania di sektor emas,
perak, bahan komoditi dan hard/real assets
dengan intensitasnya tidak pernah terjadi dalam sejarah.
Kepercayaan terhadap dollar
dipulihkan oleh Paul Volcker ketua bank sentral US yang naik tahta pada tahun
1979. The Fed menaikkan suku bunga ke level yang tidak pernah terjadi dalam
sejarah sebelumnya dan saat ini. Bunga
effective fed mencapai di atas 19%. Dan tindakan ini membuat kepercayaan
investor pulih. Pelarian dollar ke emas dan real assets, mengalami pembalikan arah. Arus
balik ke US dollar, sebagai manifestasi pulihnya kepercayaan terhadap US dollar
menjadi dasar dari periode bull market
dollar 1980 – 1985.
Obat yang diberikan Paul Volcker hanya bertahan sampai 1985. Dollar kembali keluar dari negaranya. Banyak peluang yang lebih menarik di luar US sana. Jepang mengalami booming di tahun 1980 – 1990, setidaknya tahun 1985 – 1990 adalah masa masuknya dollar ke Jepang. Kemudian munculnya macan-macan Asia, seperti Korea (Selatan), Taiwan dan emerging market seperti Indonesia, Thailand, Brazil dan lain-lain. Dollar juga mengalir kesini.
Sektor komoditi yang memasuki secular bear market, ikut melontarkan
dollar ke atas. Di sektor komoditi (minyak), dengan ditemukannya cadangan minyak
dan gas yang cukup besar di Laut Utara (North Sea) di masa boom minyak 1970 – 1980, memungkinkan dibangunnya
infrastruktur dan selanjutnya pengembangan temuan minyak di sana menjadi murah.
Hal ini membuat dunia kebanjiran kapasitas produksi minyak, sehingga harga
minyak tertekan untuk beberapa dekade sampai cadangan minyak/gas tersebut
mengempis dan kapasitas produksi menjadi cukup rendah. Harga minyak dan komoditi lainnya mulai
menggeliat lagi setelah tahun 2000.
Obat yang diberikan Paul Volcker hanya bertahan sampai 1985. Dollar kembali keluar dari negaranya. Banyak peluang yang lebih menarik di luar US sana. Jepang mengalami booming di tahun 1980 – 1990, setidaknya tahun 1985 – 1990 adalah masa masuknya dollar ke Jepang. Kemudian munculnya macan-macan Asia, seperti Korea (Selatan), Taiwan dan emerging market seperti Indonesia, Thailand, Brazil dan lain-lain. Dollar juga mengalir kesini.
Dollar mengalami bull market kembali tahun 1995 – 2002.
Investor kembali melarikan assetnya dari berbagai negara ke US dollar sebagai
tempat yang dianggap aman. Yang menjadi sebab adalah krisis timbul di berbagai
negara. Mulai dari Tequila crisis (Desember 1994), krisis Asia (Krismon –
1998), Krisis LTCM (1998), krisis Russia (1998), ketakutan terhadap Y2K dan
meledaknya bubble Nasdaq (2000). Di
Amerika Selatan ada Great Depression
Argentina (1998 – 2002), Brazil (1998 – 1999).
Dari semua krisis yang menjadi
later belakang dollar bull 1995 –
2002, yang prosesnya panjang adalah krisis Russia (1990 – 1995). Russia setelah
runtuhnya Uni Soviet di tahun 1990 mengalami masa yang bergejolak. Pertumbuhan
ekonomi Russia mengalami kontraksi, krisis demi krisis muncul Ada beberapa Black Tuesday terjadi yaitu, 22
September, 1992 dimana rubel jatuh 17%, setelah itu 26 Januari 1993 rubel jatuh
15% dalam beberapa hari dan kemudian 11 Oktober, 1994 dimana rubel jatuh 27%.
Dollar mengalami masa
bear lagi di tahun 2002 – 2011. Alan Greenspan merespon pecahnya bubble tech Nasdaq dengan membanjiri
ekonomi dengan likwiditas. Gayung disambut, kredit murah digunakan untuk
spekulasi di sektor perumahan dan saham di hampir seluruh dunia terlebih di emerging markets. Bubble-bubble muncul di
berbagai sektor, seperti komoditi, emas, properti dan saham di berbagai negara. Dollar mengalir
keluar, ke emerging market, Cina dan
negara-negara penghasil komoditi. Akibatnya nilai dollar turun terhadap hampir
semua mata uang. Dollar mencapai titik
nadirnya di tahun 2007, ketika terjadinya krisis subprime. Investor
melarikan assetnya ke tempat yang aman yaitu US dollar, sehingga membuat dollar
rebound dari level 71 ke 88 pada indeks
dollar. Tetapi ini tidak berumur
panjang, karena bank sentral US menggelontorkan likwiditas lagi. Dollar
mengetest bottomnya di level 71 sekali lagi di tahun 2011. Petanyaannya, apakah
kembalinya dollar ke level 71 adalah yang terakhir kalinya untuk siklus dollar 2002
– 2019? Atau akan kembali lagi sebelum tahun 2019? Pasalnya beberapa waktu yang
lalu indeks dollar sudah menantang kembali resistannya di level 88.
Untuk memastikan hal
tersebut, kita akan melihat beberapa sektor yang bisa dijadikan indikator. Antara lain
seperti sektor komoditi dan emas, mata uang negara-negara berkembang dan mata
uang beberapa punya potensi sebagai saingan dollar.
Belum Pernah Terjadi Sebelumnya?
Harus diakui bahwa
krisis mendatang (yang sedang berlangsung) tidak pernah terjadi sebelumnya,
setidaknya sepanjang sejarah hidup kita. Sehingga sulit untuk mencari
analoginya. Yang terdekat adalah krisis deflationary
tahun 1930an. Tetapi ada perbedaan yang mendasar yaitu dollar masih dipatok
terhadap emas. Saat ini para goldbugs
bisa mengklaim bahwa emas adalah uang sejati. Tetapi secara defacto, saat ini
emas tidak digunakan sebagai cadangan devisa utama di kebanyakan negara, emas
tidak digunakan sebagai alat perdagangan dunia, harga-harga barang di
perdaganganan internasional tidak dalam emas melainkan dalam US dollar. Perbedaan utama lainnya
adalah, bahwa bank-bank sentral saat ini bisa mencetak uang secara leluasa
untuk menghindari kebekuan kredit. Di tahun 1930an semua itu harus dilandasi
oleh emas. Walaupun bank sentral Amerika Serikat melakukan devaluasi dollar
dari $ 20 ke $ 34 per oz emas, tetapi ini tidak bisa disamakan sepenuhnya dengan
monetization of debt (bank sentral
membeli asset hutang seperti bond, hutang hipotek, dsb dengan uang yang
dicetaknya) yang dilakukan bank-bank sentral. Mungkin bisa dikatakan sama hanya
skalanya dan keleluasaannya berbeda. Itulah perbedaan utamanya.
Persamaan lainnya adalah kondisi
pasar komoditi. Komoditi mengalami peak
(puncak siklus) di tahun 1920 dan tahun 1929 ada pada pertengahan periode commodity bear market nya. Tahun 1920 – 1929 pasar sedang dalam masa kosolidasi.
Tetapi kemudian deflasi 1930an menendang komoditi ke dasar jurangnya di tahun
1933. Pada saat ini puncak commodity
bull market sudah berlalu 6 tahun lalu (2008). Dan pasar sedang dalam fase
kosolidasi. Misalnya harga minyak sudah jatuh dari $140 per bbl (2008) dan
mengalami konsolidasi di sekitar $ 90 - $ 110 (catatan, pada hari tulisan ini
diturunkan, harga minyak anjlok ke $ 68 per bbl). Memang tidak seluruhnya mirip,
terutama pada rentang waktunya. Pada
krisis 1930an, hanya memerlukan waktu 3 tahun untuk membuat commodity bull tersungkur ke dasar
jurang, sedangkan krisis saat ini sudah 6 tahun konoditi belum tersepak ke
dasar jurang. Walaupun sudah babak belur.
Memang detail mekanismenya dikatakan belum pernah terjadi
sebelumnya, tetapi untuk beberapa hal ada kemiripan. Kita akan berusaha untuk
menelaahnya mekanistik cara kerja krisis ini dalam kaitannya dengan aliran
dollar sebagai pengganti (analog) emas di tahun 1930. Sedangkan emas akan
diperlakukan sebagai bahan komoditi.
Defisit
Perdagangan US Menyempit, yang Lain Melebar
Commodity
bull market 2000 – 2011 membuat banyak perubahan di bidang
komoditi Amerika Serikat. Negara yang bebas memungkinkan pelaku ekonomi/bisnis
melakukan inovasi di bidang eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alamnya
secara lebih leluasa, dibandingkan dengan negara-negara yang mempunyai sistem
sentralisasi, pembangunan dan pengelolaan ekonomi yang top-down seperti Indonesia.
Di bidang minyak, sektor bisnis Amerika Serikat memanfaatkan tingginya harga
minyak untuk mengembangkan cadangan-cadangan minyak yang tidak lazim seperti shale oil dan shale
gas serta coal bed methane. US
yang sejak lama dikenal sebagai net importir minyak yang besar, berubah menjadi
eksportir minyak. Akibatnya, defisit perdagangan dan defisit transaksi berjalan
US
sejak tahun 2006 (tahun ke 6 commodity
bull market) mengalami
perlambatan dan secara bertahap menciut (Chart-2).
Chart - 2 (klik chart untuk memperbesar)
Dollar yang digunakan
oleh pemiliknya untuk membeli barang dari negara lain dibandingkan tahun tahun
sebelumnya berkurang/lebih sedikit. Dollar yang keluar kandang lebih sedikit. Kalau faktor-faktor
lainnya sama, maka penciutan defisit ini adalah satu faktor yang membuat
penurunan nilai dollar diperlambat. Kenyataannya dollar semakin menguat.
Tentunya ada faktor-faktor lain yang bersinergi dengan faktor penciutan
defisit.
Bank-Bank Sentral Menumpuk Dollar/Melemahkan Mata Uangnya
Sulit membayangkan sebelumnya, kalau bank-bank
sentral di dunia menumpuk US
dollar. Kalau suatu negara mengalami surplus perdagangan atau surplus
transaksi, kemudian cadangan devisanya naik, adalah wajar. Karena dengan adanya
surplus ini, maka US dollar yang masuk ke negara tersebut lewat transaksi
perdagangan, investasi atau keuntungan perusahaan. Harus diingat bahwa US
dollar adalah mata uang yang digunakan dalam perdagangan internasional dan secara otomatis
menjadi mata uang yang digunakan sebagai cadangan devisa. Jika suatu negara
mengalami defisit perdagangan atau defisit transaksi, kemudian cadangan
devisanya meningkat, adalah tidak wajar. Seharusnya, dengan adanya defisit,
sebagian dollar yang ada di dalam cadangan devisa akan keluar untuk menutup
defisit itu.
Pada kenyataannya jumlah US dollar yang dijadikan
cadangan devisa terus menanjak (Chart-3), seakan tanpa berhenti, ada krisis
atau tidak. Juga tidak pandang apakah defisit US menyempit atau melebar. Hanya ada satu kesimpulan bahwa bank-bank
sentral di dunia sedang berlomba-lomba melemahkan mata uangnya. Dengan membeli
US dollar yang beredar (dengan menggunaka mata uang lokal untuk membayarnya) artinya mereka mencetak mata
uang mereka (lokal/negara tersebut). Ini bisa dilihat cadangan devisa untuk
masing-masing negara.
Chart - 3 (klik chart untuk memperbesar)
Memang cadangan devisa suatu negara tidak
semata-mata hanya US dollar (Chart-4). Masih ada yang lain, seperti Euro dan
Yen (selebihnya kecil porsinya) serta asset yang tidak konvensional juga saham,
bond perusahaan dan emas. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini pemakaian US
dollar sebagai cadangan devisa meningkat 3 kali lipat, dari $ 4 triliun ke
hampir $ 12 trilliun. Memang porsinya turun dari 66% ke 61%, tetapi secara
kwantitas naik menjadi 3 kali lipat. Jadi kesimpulannya, bahwa US dollar masih
dikoleksi oleh bank-bank sentral dunia, apapun alasannya.
Kita akan melihat cadangan devisa beberapa
negara. Untuk mudahnya, kita assumsikan bahwa perubahan cadangan devisa adalah
identik dengan perubahan US dollar di dalam brankas bank sentral suatu negara.
Walaupun kenyataannya tidak sepenuhnya dollar. Tetapi demi kepraktisan, maka
kita assumsikan sebagai dollar.
Chart - 4 (klik chart untuk memperbesar)
Wilayah Euro, yang
secara ekonomi terbesar setelah US, nampak cadangan devisanya naik terus. Memang
tidak semua cadangan devisanya US
dollar, tetapi US
dollarnya dominan. Padahal neraca transaksi berjalannya relatif berimbang
dilihat dalam kurun waktu yang lama. Surplus dan defisit silih berganti. Kenaikan
cadangan devisanya bukan karena surplus dalam arti yang alamiah, melainkan
sentral bank Eropa memang mengkoleksi dollar untuk melemahkan Euro. Dollar
dibeli dengan Euro dan dollarnya disimpan. Diharapkan Euro beredar, sedangkan
dollar mengendon di brankasnya.
Usaha-usaha bank sentral Eropa berhasil. Sejak tahun 2008 secara bertahap Euro
melemah terhadap US
dollar.
Chart - 5 (klik chart untuk memperbesar)
Saat ini bank sentral
Eropa nampak sudah kehabisan tenaga. Pengkoleksian dollarnya dalam
setahun ini agak menyurut. Apakah ini
hanya sekedar untuk menarik nafas sebelum melakukan serangan berikutnya? Entah
lah.
Walaupun polanya sama, kasus yuan Cina agak lain
dibandingkan dengan Euro. Cina mengalami surplus transaksi, tetapi sejak tahun
2008 (krisis subprime) surplus ini
turun ke level $ 50 milyar saja dari hampir $ 110 milyar pada puncaknya. Tetapi
cadangan devisanya menanjak dengan kecepatan yang sama, tanpa ada perlambatan
sama sekali (Chart-5). Kalau menggunakan pola pikir sederhana, dengan
berkurangnya surplus, maka dollar yang masuk ke Cina lebih sedikit. Dengan
demikian, penumpukan cadangan devisa agak melambat. Kenyataannya tidak
demikian. Hanya ada satu penjelasan, yaitu bank sentral Cina juga mengumpulkan
US dollar untuk melemahkan mata uang yuan. Usaha-usaha bank sentral Cina memang
belum membuahkan hasil yang nyata saat ini. Tetapi pada saatnya Tuhan akan
mengabulkan harapan dan doa orang-orang di bank sentral Cina. Ketika bubble properti di Cina meletus Tuhan
akan merapel doa orang-orang di bank
sentral Cina selama ini dan yuan akan diterjun bebaskan.
Chart - 6 (klik chart untuk memperbesar)
Sekarang kita beralih
ke negara yang mengalami kemerosotan neraca transaksi dan baru saja memasuki fase
defisit, yaitu Jepang. Cadangan devisa Jepang secara tetap saja konsisten naik,
walaupun neraca transaksi berjalannya memburuk di tahun 2008 dan secara
konsisten memburuk sejak tahun 2010 (Chart-7). Bagaimana mungkin bank sentral
Jepang secara konsisten menumpuk US dollar? Apa lagi kalau tidak bank sentral
Jepang mengkoleksi dollar (juga saham Jepang dan lain-lainnya) dengan harapan
agar yen terdepresiasi, selanjutnya ekspornya bisa ditingkatkan, konsumsi
meningkat, gaji pekerja naik dan akhirnya penerimaan pajak meningkat. Tahun ini
(2014), Tuhan mengabulkan permohonan agar yen terdepresiasi, banyak pula.
Tetapi keinginan selebihnya belum. Mungkin tidak akan dikabulkan. Entah lah.
Chart - 7 (klik chart untuk memperbesar)
Rasanya belum afdol jika kita belum melihat the fragile five, India, Indonesia,
Brazil, Afrika Selatan dan Turkey serta negara dengan basis ekonomi komoditi
seperti Canada dan Autralia.
Kita lihat dulu Canada. Canada termasuk negara maju. Tetapi
transaksi berjalannya mengalami defisit. Dan defisit melebar sejak tahun 2007.
Tetapi cadangan devisanya naik terus (Chart-8). Jadi kasusnya sama dengan
Jepang, hanya dalam versi yang lebih parah. Tentang kondisi mata uangnya,
seperti halnya Australia, Brazil, Indonesia, sejak berakhirnya commodity bull market, mata uang semua
negara ini mengalami depresiasi terhadap US dollar.
Chart - 8 (klik chart untuk memperbesar)
Brazil salah
satu the fragile five mempunyai pola
tren neraca transaksi dan cadangan devisa yang sama. Titik balik kurs US$-Real Brazil
bertepatan dengan berakhirnya commodity
bull market 2011. Dari tahun 2011 sampai 2014 mata uang real Brazil sudah
terkoreksi lebih dari 40%. Kurs dollar dari RB 1.55 tahun 2011 menjadi RB 2.61
per US dollar. Tetapi sejak tahun 2012, bank sentral Brazil tidak perlu mengumpulkan US
dollar lagi. Nilai real Brazil
tetap terpuruk. Mungkin investor, penabung lari dari Brazil. Transaksi berjalan
mengalami defisit dan cadangan devisa juga turun sedikit. Selain nilai real
turun, adakah tujuan bank sentral Brazil yang lain tercapai, misalnya
peningkatan ekspor, pembukaan lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi yang dahsyat?
Jawabnya “tidak”.
Chart - 9 (klik chart untuk memperbesar)
Sejak tahun 2012,
cadangan devisa Brazil berhenti menanjak, malah sedikit menurun, padahal mata
uang real Brazil baru turun 40% saja. Toh masih bisa turun lagi bukan,
supaya ekspornya naik? Apakah bank sentral Brazil kehabisan tenaga? Mungkin
tidak. Mungkin mereka takut dimarahi oleh rakyat Brazil kalau mereka sukses
membunuh real Brazil. Perang melawan mata uang sendiri harus dilakukan secara
rahasia, tidak boleh diketahui oleh orang banyak (rakyat) dan spekulan
karbitan. Bila orang melihat nilai real jatuh terus dan mereka kehilangan
kepercayaan terhadap real, maka yang akan terjadi hiperinflasi ala Zimbabwe
periode 2000an.
Konsumen: Enggan Berhutang
Penciptaan uang yang
paling effektif dan pada saat ini menjadi yang terbesar diantara semua cara adalah
melalui hutang di bank-bank komersial yang caranya dikenal dengan nama fractional reserves system. Untuk
setiap $ 1 uang yang dikeluarkan the Fed atau bank sentral lainnya, akan
menjadi $ 10. Oleh sebab itu kalau dilihat uang kartal (uang yang punya wujud
fisik) yang beredar jauh lebih sedikit dari pada uang M3. Sebagian besar dari
uang M3 ini diciptakan oleh bank komersial melalui fractional reserves banking. The Fed atau bank sentral bisa
memudahkan (atau menyulitkan) debitur dan calon debitur dengan memainkan suku
bunga pinjaman. Tetapi pada akhirnya, keputusan ada di tangan konsumen/calon
debitur. Bank sentral bisa memberi bunga sampai, secara praktis nol persen,
tetapi kalau mereka tidak mau mengambil hutang, bank sentral tidak bisa
memaksa. Pemekaran M3 tidak terjadi.
Kembalinya kejayaan dollar untuk beberapa tahun
ke depan dibantu oleh rumah tangga di US yang enggan menambah hutangnya. Usaha-usaha
the Fed yang dikenal dengan QE,
dimentahkan oleh konsumen. Bunga
rendah tidak memicu pemekaran kredit yang merupakan komponen dari uang M3. Sejak
dari tahun 2009, hutang rumah tangga di US turun terus (Chart-10). Effeknya
prilaku konsumen seperti ini adalah menyusutkan jumlah dollar yang beredar.
Chart - 10 (klik chart untuk memperbesar)
Ringkasan
Currency War I: Return of the Dollar
Dollar kembali menguat terhadap banyak mata uang
dunia. Sebagai mata uang yang digunakan pada perdagangan/bisnis internasional
dan sebagai cadangan devisa, kekuatan dollar didukung oleh bank-bank sentral
dunia. Bank-bank sentral di dunia terutama negara yang ekonominya berbasis
ekspor, mengkoleksi US dollar agar bisa mencetak/menciptakan mata uang lokal
mereka. Hal ini dilakukan agar ekspor mereka kompetitif. Dulu-dulu bank-bank
sentral ini juga melakukan hal yang sama. Tetapi di masa krisis deflationary,
hal semacam ini akan dilakukan lebih intens. Batasnya adalah sampai
kepercayaan terhadap mata uang lokal tersebut hilang dan memicu hiperinflasi. Itu yang masih dirasa perlu dijaga oleh bank-bank sentral
di dunia.
Faktor lain yang memicu kembalinya dominasi
dollar adalah faktor rumah tangga yang enggan menambah hutangnya. Penciptaan
dollar melalui fractional reserves
banking malah berbalik arah. Jumlah dollar di pasaran susut.
Faktor yang tidak kalah pentingnya karena akan memperkeruh suasana adalah faktor spekulan besar seperti George Soros dan spekulan kecil seperti Imam Semar and the gang. Omong-omong......ada beberapa pengikut Imam Semar telah meminjam duit masing-masing Rp 10 milyar kemudian dibelikan US dollar. Sedang agunannya adalah US dollar yang dibelinya dari pinjaman itu. Itu namanya ngeshort rupiah dengan leverage 1:2. Kata Erry Firmansyah, mantan direktur BEJ, "Kalian ini tidak punya rasa nasionalisme!". Kami pikir Erry tidak melihat gambarannya secara keseluruhan. Yang tidak punya nasionalisme itu BI (Bank Indonesia) yang berusaha melemahkan rupiah. Kami......, spekulan kecil cuma membonceng saja dan membantu BI dalam melemahkan rupiah. Dan jangan kuatir...... kalau dollar mencapai Rp 25,000 masih belum bisa disebut hiperinflasi.
Yang terakhir adalah otak-atik gothak-gathuk ala Imam Semar.
Saat ini indeks dollar ada di level 88, telah naik dari level 79 setahun lalu (11%).
Terhadap rupiah, naik dari Rp 9,200 ke Rp 12,200 per dollar (33%). Target
penguatan dollar adalah sampai 120 pada indeks dollar . Maka dari rumusan otak-atik gothak-gathuk ala Imam Semar,
nilai dollar dalam rupiah akan menjadi kurang lebih Rp 23,500. Angka ini tidak
jauh dari perkiraan EOWI ala SWAG (Scientific
Wild Ass Guess) semula yaitu antara Rp 17,000 sampai Rp 25,000 per dollar.
Sekian dulu sampai nanti Currency Wars II: the Dollar Strikes Back. Jaga kesehatan anda dan hasil keringat serta jerih payah anda
baik-baik. (Jakarta 29 November 2014).
Disclaimer: Ekonomi (dan investasi) bukan sains dan tidak pernah dibuktikan secara eksperimen; tulisan ini dimaksudkan sebagai hiburan dan bukan sebagai anjuran berinvestasi oleh sebab itu penulis tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang diakibatkan karena mengikuti informasi dari tulisan ini. Akan tetapi jika anda beruntung karena penggunaan informasi di tulisan ini, EOWI dengan suka hati kalau anda mentraktir EOWI makan-makan.