___________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Doa pagi dan sore

Ya Allah......, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari bingung dan sedih. Aku berlindung kepada Engkau dari lemah dan malas. Aku berlindung kepada Engkau dari pengecut dan kikir. Dan aku berlindung kepada Engkau dari tekanan hutang, pajak, pembuat UU pajak dan kesewenang-wenangan manusia.

Ya Allah......ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim dan para penarik pajak serta pembuat UU pajak selain kebinasaan".

Amiiiiin
_______________________________________________________________________________________________________________________________________________

Sunday, July 27, 2014

(No.44) - PENIPU, PENIPU ULUNG, POLITIKUS DAN CUT ZAHARA FONNA

Sejarah, dongeng satir, humor sardonik dan ulasan tentang konspirasi, uang, ekonomi, pasar, politik, serta kiat menyelamatkan diri dari depressi ekonomi global di awal abad 21





(Terbit, insya Allah setiap hari Minggu atau Senen)



Eksperimen untuk menjajah dan menyengsarakan rakyat dalam arti yang sebenarnya, menurut sejarah memang pernah dicoba oleh Jan Pieterszoon Coen, gubernur jenderal VOC tahun 1617 - 1629. Diriwayatkan[1] bahwa di tahun 1620an VOC mengusir semua penduduk pulau Banda, dibiarkan mati atau dibunuh dalam rangka untuk membuat perkebunan cengkeh dan pala. Jan Pieterszoon Coen berharap bisa menggantikan penduduk ini dengan orang-orangnya Belanda, tetapi usaha ini gagal, karena terlalu mahal. Tindakan Coen adalah tolol. Yang kedua, sebenarnya dia bisa mencari tanah-tanah kosong jika sekedar mau membuat perkebunan cengkeh dan pala. Di kepulauan Maluku dan Irian pada saat itu masih banyak tanah kosong. Riwayat ini mungkin ada benarnya jika dilihat dari ucapan Coen yang terkenal: “Jangan putus asa, jangan kasihan terhadap musuhmu karena Tuhan bersama kita” yang menunjukkan bahwa Coen adalah seorang yang kejam, tentu saja juga berpikiran pendek. Tentu saja perlu ditanyakan kembali, apakah Coen seorang yang (kejam dan) berpikiran pendek ataukah sejarah telah berbohong.

Kasus yang menarik lainnya yang bisa mendukung hipotesa penaklukan penguasa lokal oleh VOC (bukan penjajahan yang menyengsarakan rakyat) sebagai kisah sejarah alternatif adalah kasus kesultanan Banten. Banten yang pada abad 16-17 mempunyai pelabuhan yang merupakan pelabuhan untuk perdagangan lada yang katanya merupakan komoditi yang dicari di Eropa. Banten yang lebih suka pada perdagangan bebas dari pada memberikan monopoli kepada VOC, menghadapi persaingan dengan Batavia yang direbut VOC tahun 1619. Konflik internal kerajaan antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan anaknya, yaitu Sultan Haji, menjadikan kesempatan bagi VOC untuk menyingkirkan saingannya, Banten. Dengan membantu Sultan Haji dalam mengalahkan Sultan Ageng Tirtayasa, maka tujuan VOC tercapai. Cita-cita Sultan Haji juga tercapai, yaitu menjadi penguasa Banten, dan keinginan VOC untuk memonopoli perdagangan lada juga tercapai. Banten tetap menjadi kesultanan.

Setelah VOC bubar tahun 1795, Banten baru dilebur ke dalam Republik Batavia, dengan deklarasi yang dikeluarkan oleh Daendels, gubernur jenderal di nusantara tahun 1808 Belanda pada masa itu dibawah pengaruh kekuasaan Kaisar Napoleon dari Prancis.

Jadi asumsi penyengsaraan rakyat nusantara secara langsung dengan kerja rodi dan pajaknya bisa dikesampingkan (catatan: pajak penghasilan/pajak upah baru diberlakukan di sekitar tahun 1920an). Kemungkinan kerja rodi dan pajak ditarik setelah perangkat pemerintahan Hindia Belanda terbentuk secara mapan, seperti ketika masa cultuurstelsel yang oleh para sejarawan disebut Tanam Paksa. Itupun sejarah versi resmi mengalami kesulitan untuk menjelaskan hambatan-hambatan pelaksanaan kerja rodi Pelaksanaannya akan sulit, kecuali terhadap para penjahat dan narapidana. Mengumpulkan orang untuk dipaksa kerja tanpa dibayar tidak mudah. Lebih mudah dan murah jika dengan imbalan upah. Cara seperti ini masih ada peninggalan-peninggalannya yaitu komunitas Ja-kon, Jawa Kontrak, yang ada di Sumatera Timur dan Suriname. Orang-orang Jawa dikirim sebagai kuli kontrak untuk membuka dan bekerja di perkebunan-perkebunan di Sumatera Timur, New Caledonia dan Suriname. Bukan sebagai pekerja rodi. Sejarah versi resmi akan mengalami kesulitan menjelaskan penyengsaraan rakyat oleh VOC atau pemerintah Belanda melalui kerja rodi yang tidak dibayar.

Sanggahan terhadap teori penjajahan yang menyengsarakan kedua adalah bahwa dengan sistem keuangan yang ada, tidak dimungkinkan penerapan inflasi secara effektif, katakanlah di atas 10% per tahun. Menyinggung mengenai inflasi, sejak kedatangannya, VOC Belanda menggunakan uang perak, bukan uang kertas. Dengan demikian, inflasi sulit diciptakan.

Angus Maddison[2] mencatat bahwa selama 2 abad, dari 1600, 1700 dan 1800, GDP (PPP) Indonesia (nusantara) tidak mengalami penurunan, alias meningkat (Grafik VII - 1). Sulit untuk mengatakan bahwa VOC membawa kesengsaraan kepada rakyat nusantara. Sekiranya ada perselisihan antara Belanda dan masyarakat lokal, harus dilihat dari golongan mana masyarakat lokal itu.


Grafik VII - 1    GDP/PPP Indonesia dan Belanda tahun 1600 - 1800


Sejarah mencatat adanya serangan terhadap penjajah asing yang dilakukan oleh Fatahillah, Sultan Agung dari Mataram, Hasanuddin dari Makassar dan lain sebagainya. Kalau dilihat lebih dekat lagi, yang merasa terusik bukan rakyat kelas waisya, tetapi kelas ksatria atau kelas ksatria yang menerapkan/memegang monopoli perdagangan. Bagi kelas waisya, pekerja dan pedagang murni, masuknya bangsa Belanda untuk berdagang malah menguntungkan karena pasar untuk hasil bumi komoditi rempah-rempah mereka menjadi lebih besar. Ekonomi menjadi lebih marak.

Perlu dicatatat lagi bahwa VOC adalah perusahaan dagang, bukan pemerintahan Belanda. VOC juga tidak punya perangkat untuk memaksa rakyat untuk menanam suatu komoditi. Terlalu banyak jumlah manusia yang tercecer di wilayah yang luas yang harus dikontrol dan dipaksa. Ambil contoh saja, ketika Belanda hendak membuka perkebunan di Sumatera, pada abad 19, mereka mendatangkan buruh kontrak dari Jawa, bukan memaksa rakyat Sumatera untuk dipekerjakan. Demikian juga dengan Inggris di Semenanjung Malaya ketika membuka tambang-tambang timah, mereka mendatangkan kuli-kuli dari Cina dan India. Memperbudak masyarakat setempat bukan pilihan yang menguntungkan. Jadi sulit mencari alasan yang kuat untuk mengatakan bahwa VOC menyengsarakan rakyat – kaum waisya di nusantara.

Lain halnya dengan para bangsawan dan penguasa yang sumber pendapatannya dari pajak, uang takut dan monopoli perdagangan. Gesekan-gesekan akan lebih mudah terjadi antara penguasa setempat, kaum ksatria, dengan pedagang-pedagang Eropa yang memiliki tentara. Besar kemungkinannya bahwa pedagang-pedagang VOC Kompeni Belanda tidak akan mudah membayar uang takut, upeti, bea-cukai kepada penguasa setempat. Ini akan menyinggung harga diri para penguasa setempat. Oleh sebab itu bentrokan-bentrokan besarpun terjadi. Penjelasan ini lebih bisa menerangkan secara masuk akal mengenai terjadinya perselisihan antara Kompeni Belanda dengan penguasa nusantara seperti Sultan Agung, Sultan Hasanuddin Banten, Sultan Hasanuddin Gowa dan lain sebagainya serta GDP/PPP yang tidak menurun selama VOC Kompeni Belanda masih berkiprah.

Pada Grafik VII - 1 juga nampak bahwa ada kenaikan GDP/PPP Indonesia yang cukup berarti selama 2 abad itu, dibandingkan dengan kenaikan GDP/PPP penjajah Belanda. Ini bisa dimengerti, karena dengan adanya pasar baru dan persaingan bebas untuk rempah-rempah dan hasil bumi, maka perekonomian di nusantara juga marak. Sedangkan bagi Belanda, kenaikan yang menyolok terjadi antara tahun 1500-1600 (tidak ditampilkan dalam grafik), dimana para pedagang berhasil menemukan jalan laut ke Timur untuk memperoleh rempah-rempah dan komoditi baru. Jalur ini memotong banyak waktu perjalanan dari Eropa ke wilayah Asia bagian timur sehingga perdagangan semakin marak.

Memang bentrokan antara rakyat dan VOC Kompeni Belanda benar terjadi dan tidak dapat dipungkiri. Bentrok antar kelompok masyarakat, antara perusahaan besar dan buruh serta masyarakat adalah kenyataan sosial yang sampai sekarang masih bisa dijumpai analoginya. Tetapi skala dan frekwensinya tidak seperti bentrok antara penguasa setempat dan VOC. Kompeni Belanda merupakan perusahaan pemegang hak monopoli perdagangan di Belanda yang mempunyai pasukan. Pemberontakan warga Cina di Jawa, kasus ekspedisi Hongi di Maluku, adalah beberapa diantara bentrok yang besar antara Kompeni Belanda dengan kelas waisya (masyarakat biasa, bukan bangsawan) nusantara. Selebihnya adalah keterlibatan VOC Kompeni Belanda dalam bentrok antar elit politik dan bangsawan, kelas ksatria nusantara.

Beberapa contoh campur tangan VOC di dalam bentrok antar kaum ksatria lokal misalnya konflik antara kerajaan Gowa dan Bone (1660-1667), Sultan Hassanudin raja Gowa melawan Arung Palakka pangeran dari kerajaan Bone yang dibantu oleh VOC berakhir dengan perjanjian Bongaya, yang salah satu isinya adalah membebaskan VOC dari bea dan cukai perdagangan.

VOC juga terlibat ke dalam konflik antara Trunojoyo, Adipati Madura, yang juga salah satu pangeran Mataram melawan sunan Amangkurat I dan dilanjutkan dengan anaknya Amangkurat II dari Mataram (1676-1679) setelah Amangkurat I meninggal. Trunojoyo dibantu oleh Karaeng Galesong,  pendukung Sultan Hasanuddin dari Gowa yang telah dikalahkan oleh Aru Palakka dan VOC.

Keterlibatan VOC dalam konflik panjang antar bangsawan Jawa (1740-1755) berikutnya adalah antara Pangeran Mangkubumi, Pangeran Mas Said alias Pangeran Sambernyawa, Pakubuwono II dan  III, Sunan Kuning serta Cakraningrat melahirkan perjanjian Gayanti (1755) dan kraton Jogya, Kraton Solo dan Mangkunegaran. Dalam perjanjian ini VOC memperoleh kekuasaan di daerah pesisir utara Jawa yang strategis untuk perdagangan.

Tidak semua konflik raja-raja nusantara dicampur-tangani oleh VOC. Seperti konflik bangsawan kesultanan Deli, Sumatera (1728) yang berakhir dengan pecahnya kesultanan itu menjadi dua, kesultanan Deli di bawah sultan Tuanku Panglima Pasutan dan kesultanan Serdang di bawah sultan Tuanku Umar Johan Pahlawan Alam Syah, tidak memperoleh perhatian dari VOC. Kemungkinan wilayah Sumatera Utara/Timur pada waktu itu tidak mempunyai nilai ekonomis, dan/atau VOC sudah punya banyak persoalan yang harus ditangani. Beberapa konflik bangsawan di wilayah ini, caplok-mencaplok wilayah terjadi sampai abad ke 19 dan setelah berlakunya Tanam Paksa alias cultuurstelsel. Pada saat itu keperluan tanah oleh swasta Belanda meningkat dan nilai ekonomis wilayah Sumatera menjadi menarik.

Perang sangat membebani VOC. Bentrok dengan saingan-saingannya, Portugis, Inggris dan penguasa lokal serta, menurut banyak cerita, VOC juga dirongrong dari dalam oleh korupsi, akhirnya VOC bubar, dinasionalisasi bersama hutangnya yang banyak di tahun 1795.

Setelah VOC dibubarkan dan peran perusahaan yang semi pemerintah ini digantikan oleh negara Belanda, Republik Batavia. Pada masa ini uang perak yang beredar berbasis 2,50 G (gulden) yang beratnya 25 gram dan mengandung perak 23.6 gram perak murni. Kalau dilihat dari berat dan ukurannya, tidak salah jika 8-Real Spanyol adalah merupakan standard yang dipakai untuk ukuran koin-koin yang dikeluarkan dimasa berikutnya. Pecahan koin gulden yang lebih kecil juga diedarkan, 1⁄16, 1⁄8, 1/4, ½  dan 1 gulden. Walaupun namanya gulden, yang artinya emas, uang koin gulden adalah uang perak. Untuk uang receh, pecahan koin tembaga stuivers juga diedarkan.

Setelah Republik Batavia berkuasa di nusantara, Prancis di bawah Napoleon menguasai Belanda dengan rajanya yang masih saudara dari Napoleon Bonaparte. Pada waktu itu gubernur jenderal untuk nusantara adalah Daendels (1808 - 1811). Dia mengupayakan proyek pembuatan jalan pos di sepanjang pantai utara Jawa, dari Anyer ke Panarukan. Disini masih terlihat adanya fokus infra-struktur yang beorientasi pada pantai dan pesisir. Kemungkinan Belanda masih terfokus pada perdagangan. Infrastruktur ke arah pedalaman Jawa, yaitu jalan kereta api, baru dibangun oleh swasta setelah Tanam Paksa, karena diperlukan untuk mengangkut hasil bumi dan peningkatan perdagangan.

Daendels digantikan oleh Stamford Raffles (1811 - 1815) , Inggris. Masuknya Inggris berkaitan dengan kekalahan Napoleon oleh Inggris. Setelah Inggris di bawah Stamford Raffles angkat kaki, pemerintah Belanda kembali ke bumi nusantara.

Sampai beberapa abad, di nusantara - Hindia Belanda, menurut ceritanya banyak raja-raja lokal yang dijadikan perangkat pemerintahan Hindia Belanda digaji oleh Belanda, dan masih banyak juga berkuasa, tetapi tidak ada yang dominan dan membentuk imperium seperti jamannya Majapahit. Di Sumatera, dari mulai kesultanan Aceh, kesultanan Langkat, kesultanan Deli, kesultanan Riau-Lingga, Asahan, Serdang, kerajaan Simalungun, Panai, masih hidup, kadang saling berperang antar mereka, sampai terjadinya revolusi sosial tahun 1946, dimana banyak raja-raja, bangsawan-bangsawan ini dan keluarganya dibantai secara kejam oleh rakyat. Amir Hamzah putra mahkota kesultanan Langkat dan Pujangga Baru mati dengan kepala terpenggal di Kuala Begumit, beberapa puluh kilometer dari ibukota kesultanannya Tanjung Pura. Raja Simalungun, menurut penuturan, dibunuh ketika sedang mengadakan kenduri. Kemudian dagingnya digulai. Penuturan ini kedengarannya agak sadis. 




[1] Dutch East India Company, Wikipedia, Online Encyclopedia, http://en.wikipedia.org/wiki/Dutch_East_India_Company

[2] Historical Statistics of the World Economy: 1 – 2006 AD, Angus Maddison, http://www.ggdc.net/Maddison/Historical_Statistics/horizontal-file_03-2009.xls
 



Catatan: EOWI mengucapkan berbahagialah di hari Ied yang penuh berkah.

Disclaimer:


Dongeng ini tidak dimaksudkan sebagai anjuran untuk berinvestasi. Dan nada cerita dongeng ini cenderung mengarah kepada inflasi, tetapi dalam periode penerbitan dongeng ini, kami percaya yang sedang terjadi adalah yang sebaliknya yaitu deflasi US dollar dan beberapa mata uang lainnya.

Ekonomi (dan investasi) bukan sains dan tidak pernah dibuktikan secara eksperimen; tulisan ini dimaksudkan sebagai hiburan dan bukan sebagai anjuran berinvestasi oleh sebab itu penulis tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang diakibatkan karena mengikuti informasi dari tulisan ini. Akan tetapi jika anda beruntung karena penggunaan informasi di tulisan ini, EOWI dengan suka hati kalau anda mentraktir EOWI makan-makan.

No comments: