Sejarah, dongeng satir, humor sardonik dan ulasan tentang konspirasi,
uang, ekonomi, pasar, politik, serta kiat menyelamatkan diri dari depressi
ekonomi global di awal abad 21
(Terbit, insya Allah setiap hari Minggu atau Senen)
Eksperimen untuk menjajah dan menyengsarakan rakyat dalam arti yang sebenarnya, menurut sejarah memang pernah dicoba oleh Jan Pieterszoon Coen, gubernur jenderal VOC tahun 1617 - 1629. Diriwayatkan[1] bahwa di tahun 1620an VOC mengusir semua penduduk pulau Banda, dibiarkan mati atau dibunuh dalam rangka untuk membuat perkebunan cengkeh dan pala. Jan Pieterszoon Coen berharap bisa menggantikan penduduk ini dengan orang-orangnya Belanda, tetapi usaha ini gagal, karena terlalu mahal. Tindakan Coen adalah tolol. Yang kedua, sebenarnya dia bisa mencari tanah-tanah kosong jika sekedar mau membuat perkebunan cengkeh dan pala. Di kepulauan Maluku dan Irian pada saat itu masih banyak tanah kosong. Riwayat ini mungkin ada benarnya jika dilihat dari ucapan Coen yang terkenal: “Jangan putus asa, jangan kasihan terhadap musuhmu karena Tuhan bersama kita” yang menunjukkan bahwa Coen adalah seorang yang kejam, tentu saja juga berpikiran pendek. Tentu saja perlu ditanyakan kembali, apakah Coen seorang yang (kejam dan) berpikiran pendek ataukah sejarah telah berbohong.
Kasus yang menarik lainnya yang bisa mendukung hipotesa penaklukan
penguasa lokal oleh VOC (bukan penjajahan yang menyengsarakan rakyat) sebagai kisah sejarah alternatif adalah kasus kesultanan Banten. Banten yang pada abad 16-17
mempunyai pelabuhan yang merupakan pelabuhan untuk perdagangan lada yang
katanya merupakan komoditi yang dicari di Eropa. Banten yang lebih suka pada
perdagangan bebas dari pada memberikan monopoli kepada VOC, menghadapi
persaingan dengan Batavia yang direbut VOC tahun 1619. Konflik internal
kerajaan antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan anaknya, yaitu Sultan Haji,
menjadikan kesempatan bagi VOC untuk menyingkirkan saingannya, Banten. Dengan
membantu Sultan Haji dalam mengalahkan Sultan Ageng Tirtayasa, maka tujuan VOC
tercapai. Cita-cita Sultan Haji juga tercapai, yaitu menjadi penguasa Banten,
dan keinginan VOC untuk memonopoli perdagangan lada juga tercapai. Banten tetap
menjadi kesultanan.
Setelah VOC bubar tahun 1795,
Banten baru dilebur ke dalam Republik Batavia, dengan deklarasi yang
dikeluarkan oleh Daendels, gubernur jenderal di nusantara tahun 1808 Belanda
pada masa itu dibawah pengaruh kekuasaan Kaisar Napoleon dari Prancis.
Jadi asumsi penyengsaraan rakyat
nusantara secara langsung dengan kerja rodi dan pajaknya bisa dikesampingkan (catatan: pajak penghasilan/pajak upah baru diberlakukan di sekitar tahun 1920an).
Kemungkinan kerja rodi dan pajak ditarik setelah perangkat pemerintahan Hindia
Belanda terbentuk secara mapan, seperti ketika masa cultuurstelsel yang oleh
para sejarawan disebut Tanam Paksa. Itupun sejarah versi resmi mengalami kesulitan untuk menjelaskan hambatan-hambatan pelaksanaan kerja rodi Pelaksanaannya akan
sulit, kecuali terhadap para penjahat dan narapidana. Mengumpulkan orang untuk
dipaksa kerja tanpa dibayar tidak mudah. Lebih mudah dan murah jika dengan
imbalan upah. Cara seperti ini masih ada peninggalan-peninggalannya yaitu
komunitas Ja-kon, Jawa Kontrak, yang ada di Sumatera Timur dan Suriname.
Orang-orang Jawa dikirim sebagai kuli kontrak untuk membuka dan bekerja di
perkebunan-perkebunan di Sumatera Timur, New Caledonia dan Suriname. Bukan
sebagai pekerja rodi. Sejarah versi resmi akan mengalami kesulitan menjelaskan penyengsaraan rakyat oleh VOC atau pemerintah Belanda melalui kerja rodi yang tidak dibayar.
Sanggahan
terhadap teori penjajahan yang menyengsarakan kedua adalah bahwa dengan sistem
keuangan yang ada, tidak dimungkinkan penerapan inflasi secara effektif,
katakanlah di atas 10% per tahun. Menyinggung mengenai inflasi, sejak
kedatangannya, VOC Belanda menggunakan uang perak, bukan uang kertas. Dengan
demikian, inflasi sulit diciptakan.
Angus
Maddison[2] mencatat bahwa
selama 2 abad, dari 1600, 1700 dan 1800, GDP (PPP) Indonesia (nusantara) tidak
mengalami penurunan, alias meningkat (Grafik VII - 1).
Sulit untuk mengatakan bahwa VOC membawa kesengsaraan kepada rakyat nusantara.
Sekiranya ada perselisihan antara Belanda dan masyarakat lokal, harus dilihat
dari golongan mana masyarakat lokal itu.
Sejarah
mencatat adanya serangan terhadap penjajah asing yang dilakukan oleh
Fatahillah, Sultan Agung dari Mataram, Hasanuddin dari Makassar dan lain sebagainya.
Kalau dilihat lebih dekat lagi, yang merasa terusik bukan rakyat kelas waisya,
tetapi kelas ksatria atau kelas ksatria yang menerapkan/memegang monopoli
perdagangan. Bagi kelas waisya, pekerja dan pedagang murni, masuknya bangsa
Belanda untuk berdagang malah menguntungkan karena pasar untuk hasil bumi
komoditi rempah-rempah mereka menjadi lebih besar. Ekonomi menjadi lebih marak.
Perlu
dicatatat lagi bahwa VOC adalah perusahaan dagang, bukan pemerintahan Belanda. VOC
juga tidak punya perangkat untuk memaksa rakyat untuk menanam suatu komoditi.
Terlalu banyak jumlah manusia yang tercecer di wilayah yang luas yang harus
dikontrol dan dipaksa. Ambil contoh saja, ketika Belanda hendak membuka
perkebunan di Sumatera, pada abad 19, mereka mendatangkan buruh kontrak dari
Jawa, bukan memaksa rakyat Sumatera untuk dipekerjakan. Demikian juga dengan
Inggris di Semenanjung Malaya ketika membuka tambang-tambang timah, mereka
mendatangkan kuli-kuli dari Cina dan India. Memperbudak masyarakat setempat
bukan pilihan yang menguntungkan. Jadi sulit mencari alasan yang kuat untuk
mengatakan bahwa VOC menyengsarakan rakyat – kaum waisya di nusantara.
Lain
halnya dengan para bangsawan dan penguasa yang sumber pendapatannya dari pajak,
uang takut dan monopoli perdagangan. Gesekan-gesekan akan lebih mudah terjadi
antara penguasa setempat, kaum ksatria, dengan pedagang-pedagang Eropa yang
memiliki tentara. Besar kemungkinannya bahwa pedagang-pedagang VOC Kompeni
Belanda tidak akan mudah membayar uang takut, upeti, bea-cukai kepada penguasa
setempat. Ini akan menyinggung harga diri para penguasa setempat. Oleh sebab
itu bentrokan-bentrokan besarpun terjadi. Penjelasan ini lebih bisa menerangkan
secara masuk akal mengenai terjadinya perselisihan antara Kompeni Belanda dengan
penguasa nusantara seperti Sultan Agung, Sultan Hasanuddin Banten, Sultan
Hasanuddin Gowa dan lain sebagainya serta GDP/PPP yang tidak menurun selama VOC
Kompeni Belanda masih berkiprah.
Pada Grafik VII - 1 juga nampak bahwa ada
kenaikan GDP/PPP Indonesia yang cukup berarti selama 2 abad itu, dibandingkan
dengan kenaikan GDP/PPP penjajah Belanda. Ini bisa dimengerti, karena dengan
adanya pasar baru dan persaingan bebas untuk rempah-rempah dan hasil bumi, maka
perekonomian di nusantara juga marak. Sedangkan bagi Belanda, kenaikan yang
menyolok terjadi antara tahun 1500-1600 (tidak ditampilkan dalam grafik),
dimana para pedagang berhasil menemukan jalan laut ke Timur untuk memperoleh
rempah-rempah dan komoditi baru. Jalur ini memotong banyak waktu perjalanan
dari Eropa ke wilayah Asia bagian timur sehingga perdagangan semakin marak.
Memang bentrokan antara rakyat
dan VOC Kompeni Belanda benar terjadi dan tidak dapat dipungkiri. Bentrok antar
kelompok masyarakat, antara perusahaan besar dan buruh serta masyarakat adalah kenyataan
sosial yang sampai sekarang masih bisa dijumpai analoginya. Tetapi skala dan
frekwensinya tidak seperti bentrok antara penguasa setempat dan VOC. Kompeni
Belanda merupakan perusahaan pemegang hak monopoli perdagangan di Belanda yang
mempunyai pasukan. Pemberontakan warga Cina di Jawa, kasus ekspedisi Hongi di
Maluku, adalah beberapa diantara bentrok yang besar antara Kompeni Belanda
dengan kelas waisya (masyarakat biasa, bukan bangsawan) nusantara. Selebihnya
adalah keterlibatan VOC Kompeni Belanda dalam bentrok antar elit politik dan
bangsawan, kelas ksatria nusantara.
Beberapa contoh campur tangan VOC
di dalam bentrok antar kaum ksatria lokal misalnya konflik antara kerajaan Gowa
dan Bone (1660-1667), Sultan Hassanudin raja Gowa melawan
Arung Palakka pangeran dari kerajaan Bone yang
dibantu oleh VOC berakhir dengan perjanjian Bongaya, yang salah satu isinya
adalah membebaskan VOC dari bea dan cukai perdagangan.
VOC juga terlibat ke dalam
konflik antara Trunojoyo, Adipati Madura, yang juga salah satu pangeran Mataram
melawan sunan Amangkurat I dan dilanjutkan dengan anaknya Amangkurat II dari
Mataram (1676-1679) setelah Amangkurat I meninggal. Trunojoyo dibantu oleh
Karaeng Galesong, pendukung Sultan
Hasanuddin dari Gowa yang telah dikalahkan oleh Aru Palakka dan VOC.
Keterlibatan VOC dalam konflik
panjang antar bangsawan Jawa (1740-1755) berikutnya adalah antara Pangeran
Mangkubumi, Pangeran Mas Said alias Pangeran Sambernyawa, Pakubuwono II
dan III, Sunan Kuning serta Cakraningrat
melahirkan perjanjian Gayanti (1755) dan kraton Jogya, Kraton Solo dan
Mangkunegaran. Dalam perjanjian ini VOC memperoleh kekuasaan di daerah pesisir utara Jawa
yang strategis untuk perdagangan.
Tidak semua konflik raja-raja
nusantara dicampur-tangani oleh VOC. Seperti konflik bangsawan kesultanan Deli,
Sumatera (1728) yang berakhir dengan pecahnya kesultanan itu menjadi dua,
kesultanan Deli di bawah sultan Tuanku Panglima Pasutan dan kesultanan Serdang
di bawah sultan Tuanku Umar Johan Pahlawan Alam Syah, tidak memperoleh
perhatian dari VOC. Kemungkinan wilayah Sumatera Utara/Timur pada waktu itu
tidak mempunyai nilai ekonomis, dan/atau VOC sudah punya banyak persoalan yang
harus ditangani. Beberapa konflik bangsawan di wilayah ini, caplok-mencaplok
wilayah terjadi sampai abad ke 19 dan setelah berlakunya Tanam Paksa alias cultuurstelsel. Pada saat itu keperluan
tanah oleh swasta Belanda meningkat dan nilai ekonomis wilayah Sumatera menjadi
menarik.
Perang sangat membebani VOC.
Bentrok dengan saingan-saingannya, Portugis, Inggris dan penguasa lokal serta, menurut
banyak cerita, VOC juga dirongrong dari dalam oleh korupsi, akhirnya VOC bubar,
dinasionalisasi bersama hutangnya yang banyak di tahun 1795.
Setelah VOC dibubarkan dan peran
perusahaan yang semi pemerintah ini digantikan oleh negara Belanda, Republik
Batavia. Pada masa ini uang perak yang beredar berbasis 2,50 G (gulden) yang
beratnya 25 gram dan mengandung perak 23.6 gram perak murni. Kalau dilihat dari berat
dan ukurannya, tidak salah jika 8-Real Spanyol adalah merupakan standard yang
dipakai untuk ukuran koin-koin yang dikeluarkan dimasa berikutnya. Pecahan koin
gulden yang lebih kecil juga diedarkan, 1⁄16, 1⁄8, 1/4, ½ dan 1 gulden. Walaupun namanya gulden, yang
artinya emas, uang koin gulden adalah uang perak. Untuk uang receh, pecahan
koin tembaga stuivers juga diedarkan.
Setelah Republik Batavia berkuasa
di nusantara, Prancis di bawah Napoleon menguasai Belanda dengan rajanya yang
masih saudara dari Napoleon Bonaparte. Pada waktu itu gubernur jenderal untuk
nusantara adalah Daendels (1808 - 1811). Dia mengupayakan proyek pembuatan
jalan pos di sepanjang pantai utara Jawa, dari Anyer ke Panarukan. Disini masih
terlihat adanya fokus infra-struktur yang beorientasi pada pantai dan pesisir.
Kemungkinan Belanda masih terfokus pada perdagangan. Infrastruktur ke arah
pedalaman Jawa, yaitu jalan kereta api, baru dibangun oleh swasta setelah Tanam
Paksa, karena diperlukan untuk mengangkut hasil bumi dan peningkatan
perdagangan.
Daendels digantikan oleh Stamford
Raffles (1811 - 1815) , Inggris. Masuknya Inggris berkaitan dengan kekalahan
Napoleon oleh Inggris. Setelah Inggris di bawah Stamford Raffles angkat kaki,
pemerintah Belanda kembali ke bumi nusantara.
Sampai beberapa abad, di
nusantara - Hindia Belanda, menurut ceritanya banyak raja-raja lokal yang
dijadikan perangkat pemerintahan Hindia Belanda digaji oleh Belanda, dan masih
banyak juga berkuasa, tetapi tidak ada yang dominan dan membentuk imperium
seperti jamannya Majapahit. Di Sumatera, dari mulai kesultanan Aceh, kesultanan
Langkat, kesultanan Deli, kesultanan Riau-Lingga, Asahan, Serdang, kerajaan
Simalungun, Panai, masih hidup, kadang saling berperang antar mereka, sampai
terjadinya revolusi sosial tahun 1946, dimana banyak raja-raja,
bangsawan-bangsawan ini dan keluarganya dibantai secara kejam oleh rakyat. Amir
Hamzah putra mahkota kesultanan Langkat dan Pujangga Baru mati dengan kepala
terpenggal di Kuala Begumit, beberapa puluh kilometer dari ibukota
kesultanannya Tanjung Pura. Raja Simalungun, menurut penuturan, dibunuh ketika
sedang mengadakan kenduri. Kemudian dagingnya digulai. Penuturan ini
kedengarannya agak sadis.
[1]
Dutch East India Company, Wikipedia,
Online Encyclopedia, http://en.wikipedia.org/wiki/Dutch_East_India_Company
[2]
Historical Statistics of the World Economy: 1 – 2006 AD, Angus Maddison,
http://www.ggdc.net/Maddison/Historical_Statistics/horizontal-file_03-2009.xls
Catatan: EOWI mengucapkan berbahagialah di hari Ied yang penuh berkah.
Disclaimer:
Dongeng
ini tidak dimaksudkan sebagai anjuran untuk berinvestasi. Dan nada
cerita dongeng ini cenderung mengarah kepada inflasi, tetapi dalam
periode penerbitan dongeng ini, kami percaya yang sedang terjadi
adalah yang sebaliknya yaitu deflasi US dollar dan beberapa mata uang lainnya.
No comments:
Post a Comment