Sejarah, dongeng satir, humor sardonik dan ulasan tentang konspirasi,
uang, ekonomi, pasar, politik, serta kiat menyelamatkan diri dari depressi
ekonomi global di awal abad 21
(Terbit, insya Allah setiap hari Minggu atau Senen)
Periode Raja-Raja Nusantara dan Kompeni Belanda
Ada satu keputusan yang sulit dalam menyusun bab ini, yaitu menentukan
titik untuk memulai cerita. Apakah akan dimulai dari kerajaan Mataram Hindu,
Singosari, Kediri, Majapahit, Demak, atau kerajaan Mataram Islam. Setelah
dipertimbangkan materi ceritanya, kita bisa lupakan saja hal itu, karena
sebenarnya jaman kerajaan atau jaman republik polanya sama.
Sejarah terkadang ditulis berdasarkan penginggalan-peninggalan dan catatan
masa lampau. Dan ini digunakan sebagai kerangka untuk penulisan sejarah.
Selebihnya adalah bumbu dan mitos dari sang penulis apakah itu perorangan atau
sebuah panitia. Mungkin yang lebih ilmiah adalah mengunakan prilaku masyarakat
sekarang yang diekstrapolasi ke masa lalu. Dalam masa 500 tahun atau 2000
tahun, evolusi tidak akan banyak beranjak. Tatanan masyarakat 2000 atau 500
tahun lalu bisa diasumsikan sama.
Tatanan masyarakat di pasar, misalnya, ada pedagang, kuli yang mencari
nafkah disana. Mereka ini kelas waisya. Di samping itu ada (sekelompok) jagoan
tukang palak, kaum ksatria, yang memintai uang dari kaum waisya secara
paksa dengan intimidasi. Dan kondisi seperti itu masih kita lihat sampai
sekarang.
Dalam skala yang lebih besar adalah negara. Ada raja yang punya tentara
yang kuat, dan ada penguasa-penguasa daerah yang tunduk kepadanya dan harus
membayar upeti setiap tahunnya. Yang disebut penguasa daerah bisa bupati bisa
juga raja-raja taklukan. Upeti yang dipersembahkan kepada raja berasal dari
pajak yang ditarik dari rakyat – kelas waisya. Tidak ada pemilihan umum untuk
memilih raja. Siapa saja yang bisa membentuk pasukan yang kuat dan bisa
menguasai dan “memiliki” suatu daerah, maka ia bisa menjadi raja. Sangat
sederhana.
Adakalanya penguasa tidak murni kelas ksatria, terkadang merupakan
perpaduan antara kelas ksatria dan waisya. Pemerintah tidak hanya sebagai
penguasa daerah, tetapi juga memiliki dan pengelola suatu tanah/daerah atau
asset usaha yang memonopoli lewat kekuasaannya. Usahanya bisa merupakan
perdagangan, industri, pertanian atau penyewaan tanah.
Ken Arok adalah pencuri, perampok, tukang palak yang berhasil masuk
ke dalam lingkungan istana Tumapel. Masuknya Ken Arok, yang menurut sejarah
resmi adalah seorang penjahat kecil, ke dalam kalangan istana Tumapel adalah
sangat menarik. Predikat penjahat kecil kemungkinan salah. Yang lebih mungkin
adalah bahwa Ken Arok adalah tukang palak yang disegani, yang dipakai
oleh bupati Tunggul Ametung untuk menarik pajak. Analogi serupa masih dapat
anda lihat di pasar-pasar atau jalan raya, dimana aparat keamanan resmi (polisi
misalnya) bermain mata dengan pemalak, dan memperoleh setoran dari para
pemalak. Ksatria resmi tidak ingin
mengotori tangannya sehingga harus menggunakan ksatria tidak resmi.
Ketika Ken Arok membunuh Tunggul Ametung, juga membuktikan dia bukan
penjahat kelas teri. Membunuh raja atau bupati bukan gaya seorang penjahat
kelas teri, apalagi kemudian Ken Arok mengawini janda Tunggul Ametung, yaitu
Ken Dedes. Itu bukan prilaku penjahat biasa, melainkan politikus. Penjahat
hanya memperkosa, bukan mengawini janda korbannya. Bahwa Ken Dedes mau
dipersunting oleh Ken Arok, juga mengindikasikan bahwa Ken Arok bukan kelas
begal dan perampok pasar, tetapi punya kelas yang elit. Kalau Ken Arok adalah
begal pasar, sulit dipercaya bahwa Ken Dedes yang ningrat mau diperunting.
Kecuali Ken Dedes adalah pelacur kelas bawah. Dari patungnya yang ada di musium Jakarta, sulit untuk bisa menyimpulkan bahwa Ken Dedes adalah pelacur kelas pasar.
Setelah berkuasa di Tumapel, kemudian Ken Arok meluaskan kekuasaannya
dengan mengalahkan Kediri, dan kerajaannya dinamai Singosari. Hidup Ken Arok
berakhir tragis dibunuh oleh anak tirinya, Anusopati yang merupakan anak Ken
Dedes dari Tunggul Ametung.
Anak Ken Dedes, keturunan Ken Arok dan Tunggul Ametung saling membunuh dan
silih berganti berkuasa di Singosari, sampai akhirnya Kertanegara berkuasa.
Sebelum pemerintahan raja Kertanegara, fokusnya kekuasaannya masih di
pulau Jawa. Ketika Kertanegara berkuasa, rupanya sebagai negara pedalaman yang
pajaknya hanya bersumber dari pertanian, kurang memuaskan. Pajak dari pulau Jawa
dirasa masih kurang, maka ekspansi teritorial ditingkatkan keluar Jawa, yaitu
Sumatera dan Bali. Kemungkinan untuk mengejar pajak dari perdagangan di samping
juga dari pertanian. Singosari menjadi imperium terlalu cepat. Ketika pasukan
Kertanegara masih sibuk memadamkan kobaran-kobaran api di wilayah tepi imperium
– Semenanjung Malaya, tanpa diduga,
Kediri daerah taklukan yang bawah pimpinan Jayakatwang, melakukan serangan
untuk merebut kekuasaan Singosari dan berhasil.
Kediri tidak lama berdiri karena kemudian Raden Wijaya, yang katanya masih
menantu Kertanegara, berhasil mengalahkan Jayakatwang, dan kemudian mendirikan
kerajaan Majapahit. Berbeda dengan Kediri dan Singosari yang merupakan negara
pedalaman, Majapahit adalah negara pesisir. Dari segi pajak, negara pesisir
bisa memperoleh lebih banyak. Negara pedalaman lebih banyak mengandalkan
pemasukan dari hasil bumi dan perdagangan darat yang tersebar. Sedangkan negara
pesisir menguasai pelabuhan sebagai pintu
perdagangan antar pulau, dimana lalulintas uang terkonsentrasi. Peran
apapun yang dimainkan penguasa, apakah sebagai pemegang monopoli perdagangan
lewat kekuasaan atau sebagai penarik
pajak (tukang palak), pemasukan penghasilan akan jauh lebih effektif. Tidak heran bahwa Majapahit kemudian menjadi
imperium yang cukup besar.
Siklus negara/kerajaan sebelum masuknya bangsa Eropa ke nusantara, sama
saja dengan siklus negara umumnya. Bermula dengan sebuah negara kecil. Kemudian
agak serakah, dan melakukan ekspansi menaklukkan negara-negara tetangganya
untuk menaikkan pendapatan negara. Dengan kemajuan ini, pengeluaran negara
meningkat untuk hal-hal yang secara ekonomi tidak perlu. Ada yang membangun
candi-candi, monumen-monumen yang menguras kas negara. Ekspansi wilayah jalan
terus supaya bisa memperoleh upeti yang lebih banyak. Akhirnya jadilah sebuah
imperium seperti Majapahit dan Sriwijaya. Tetapi imperium tidak bisa
berekspansi terus menerus. Pada titik tertentu biaya ekspansi dan
mempertahankan daerahnya dengan pemasukkan tidak lagi seimbang dan menjadi
negatif. Biaya untuk mempertahankan kesatuan negara semakin membebani. Akhirnya
imperium itu dengan sendirinya runtuh.
Pedagang tulen, petani dan pelaku ekonomi terus menjalani kehidupan mereka tanpa perduli
siapa yang berkuasa selama beban masih bisa dipikul. Dalam perdagangan
internasional diantara pelaku ekonomi ada semacam kesepakatan untuk menggunakan
koin emas dan perak menjadi alat tukar selama berabad-abad. Koin tembaga, timah
dan perunggu, logam murah, juga gunakan sebagai uang receh. Koin perak dari India,
koin tembaga/perunggu dari Cina pada masa kerajaan-kerajaan ini banyak beredar
bersama dengan perdagangan internasional.
Ketika bangsa Eropa datang, mereka juga membawa koin perak 8-Real Spanyol
yang menjadi mata uang internasional. Koin 8-Real ini beratnya sekitar 27,468 grams dan mengandung 93,06% perak.
Koin perak 8-Real ini dikemudian hari menjadi dasar pembuatan dollar perak
Amerika Serikat, gulden Belanda dan mata uang negara-negara lain dikemudian hari.
Dilihat dari beratnya, nilai 8-Real kira-kira setara dengan 6 – 7 ekor ayam.
Jadi koin 8-Real masih termasuk uang pecahan yang besar untuk dipakai transaksi
eceran. Selain 8-Real, beredar juga koin 4, 2, 1, 1/2 and 1/4 Real. Untuk
pecahan yang lebih besar, digunakan uang emas.
Koin 8-Real Spanyol, Perhatikan angka 8 yang tercetak pada koin ini
Belanda juga mencetak koin yang disebut rijksdaalder, dengan isi 25,70
gram perak murni, tetapi popularitasnya tidak bisa menyamai 8-Real Spanyol.
Rijksdaalder mempunyai 0.54% lebih banyak perak dibandingkan dengan 8-Real
Spanyol, oleh sebab itu banyak yang dilebur untuk dijadikan 8-Real.
Kalau anda telusuri kata perak di dalam bahasa pergaulan Indonesia,
seperti contohnya pada kata 1000 perak yang artinya Rp 1000 atau 100 perak yang bermakna Rp 100, riwayatnya berakar ke jaman
dan periode penggunaan koin perak ini. Demikian juga kata duit, berasal
dari nama pecahan mata uang yang dikeluarkan VOC Belanda.
Sejarah mengatakan bahwa kedatangan bangsa Eropa – Belanda membawa
kesengsaraan bagi bangsa di nusantara (Indonesia) karena mereka ini adalah
penjajah. Seorang murid yang cerdas akan bertanya tentang apa sarana dan alat
dari Belanda untuk menyengsarakan bangsa di nusantara (Indonesia) ini. Apakah
pajak yang mencekik atau pencurian tabungan melalui inflasi atau kerja rodi.
Dan pada akhirnya, kesengsaraan itu harus dibuktikan dengan penurunan GDP.
Ketika datang ke kepulauan
nusantara, VOC (singkatan dari: Verenigde Oostindische Compagnie yang
artinya Gabungan/Perserikatan Perusahaan Hindia Timur) Belanda adalah dalam
misi dagang bukan menjajah (mencari upeti). Karena VOC adalah perserikatan dagang yang terbesar
pada jamannya yang sahamnya dijual kepada publik dan yang diberi hak monopoli
perdagangan rempah-rempah oleh pemerintah Belanda. VOC juga dilengkapi dengan
pasukan bersenjata untuk melawan saingannya, Portugis dan Inggris serta
bajak-bajak laut dan penguasa lokal.
Ada kerancuan pengertian yang
sengaja dibuat oleh sejarawan tentang bercokolnya Belanda di bumi nusantara
ini. VOC dianggap sebagai penjajah. Kalau perusahaan dagang datang berbisnis
dianggap sebagai penjajah, maka sampai sekarangpun Indonesia belum merdeka,
karena banyaknya perusahaan asing yang melakukan bisnisnya di Indonesia,
seperti Shell, BP, Freeport, MacDonald, Bayer, Carrefour dan lain-lain. VOC
tidak identik dengan pemerintah.
Negri Belanda pada masa itu
adalah republik federasi 7 negara Nederlands yang terdiri dari 7
provinsi/negara-bagian yang otonom yang dibentuk tahun 1587. Secara ekonomi
Belanda sudah dianggap maju oleh para sejarawan. Amsterdam menjadi kota dagang
yang makmur, mempunyai pasar modal yang permanen dan buka secara tetap. Salah
satu siklus boom-bust pasar modal, mania dan bubble di bursa saham, pertama kali terjadi di sini, yaitu the tulip mania of 1636–1637. Bubble ini terjadi satu abad sebelum
terjadinya bubble Mississippi Companynya John Law, 1719 –
1720. Dalam hal perdagangan dan ekonomi, Belanda termasuk maju pada waktu itu.
Alasan bahwa kedatangan bangsa Eropa ke bumi nusantara adalah karena
mencari rempah-rempah, membuat pertanyaan besar di benak saya. Sejarah
dinyatakan sahih kalau ada jejak-jejak yang bisa dirangkai menjadi sebuah
cerita yang logis. Sejarah mengatakan bahwa bangsa Belanda pernah di Indonesia,
dan ini meninggalkan banyak jejak-jejak yang bisa dilihat sampai sekarang.
Kijing/Batu kuburan Jan Pieterszoon Coen, kuburan-kuburan Belanda,
bangunan-bangunan bergaya Eropa dan juga banyaknya perbendaharaan kata-kata
Belanda yang masuk ke dalam kosa-kata bahasa Indonesia. Sekarang bandingkan
dengan anggapan/cerita bahwa kedatangan bangsa Belanda/Eropa adalah karena
mencari rempah-rempah. Cerita ini tidak mempunyai jejak dan bekas-bekas sama
sekali. Masakan Eropa tidak banyak menggunakan rempah-rempah. Tidak perlu
dibandingkan dengan masakan kari India yang sarat dengan rempah-rempah,
cukuplah di bandingkan dengan masakan Padang, masakan Malaysia atau masakan Makassar,
pemakaian rempah-rempah di dalam masakan Eropa masih kalah jauh. Untuk
mengatakan bahwa harga rempah-rempah mahal, juga sulit, karena kebutuhan akan
rempah-rempah bukanlah kebutuhan non-elastis. Ibaratnya, kalau tidak ada
rempah-rempah, orang di Eropa tidak akan mati, ekonomi tidak akan terganggu,
apa lagi berhenti. Untuk mengerti arti kata kebutuhan yang non-elastis,
contohnya kebutuhan akan minyak bumi untuk menggerakkan ekonomi di dunia tahun
1970 sampai sekarang, dimana transportasi sangat bergantung pada minyak bumi.
Kekurangan pasokkan minyak bumi akan mengganggu roda perekonomian. Kondisi ini
tidak akan berubah sampai struktur sistem transportasi berubah dan tidak
bergantung pada minyak bumi saja.
Kalau demikian halnya, apa sebabnya orang Eropa datang ke bumi nusantara?
Ketika hal ini saya tanyakan kepada istri saya, untuk memperoleh pendapatnya,
dia menjawab dengan seenaknya: “Mencari minyak telon barangkali?.” Saya masih tidak punya jawabannya.
Menurut logika, seharusnya yang datang ke nusantara ini adalah orang-orang
India yang makanannya penuh dengan bumbu rempah-rempah; bukan orang Eropa.
Ada yang mengatakan bahwa
kedatangan bangsa Eropa ke wilayah Timur ini dalam rangka mencari emporium
(pasar) baru setelah Constantinopel jatuh ke tangan Turki tahun 1453. Persoalannya
dengan hipotesa ini ialah bahwa pusat perdagangan antara Timur dan Barat
melalui jalan darat pada waktu itu masih berada di Venesia, yang kemudian
tenggelam karena ditemukannya jalur laut yang lebih murah. Tetapi semua ini
tidak bisa menjawab pertanyaan, kenapa tiba-tiba bangsa Eropa tertarik pada
rempah-rempah padahal dalam makanannya tidak banyak diperlukan bahan rempah-rempah ini.
Penjelasan lain yang masuk akal
berasal dari Bernard H M Vlekke[1].
Bangsa Eropa yang pertama datang ke wilayah Timur, India dan Nusantara, adalah
bangsa Portugis. Bernard H M Vlekke secara implisit mengatakan bahwa
kedatangannya bangsa Portugis ini dilandasi semangat reconquista dan crusader
untuk menyebarkan agama dan melakukan penekanan terhadap bangsa “Moor” (istilah
bangsa Portugis dan Spanyol untuk muslim). Semangat kemenangan atas sisa kaum
Moor di Granada, semenanjung Iberia, tahun 1492, terbawa terus menjadi semangat
untuk menaklukkan Afrika Utara dan daerah-daerah lain. Di jalur-jalur perdagangan,
sasaran utamanya adalah pedagang-pedagang bangsa “Moor”. Oleh sebab itu armada
mereka sering menyerang kapal-kapal pedagang Arab dan Gujarat yang diidentikkan
dengan bangsa “Moor”. Kemudian mereka, Portugis, bercokol di Goa, India. Dengan
menguasai sumber rempah-rempah (Maluku, Sumatera dan Jawa), dan pasarnya
(India) Portugis mematikan mata pencarian pedagang-pedagang Arab dan Gujarat
yang sebelumnya menguasai perdagangan rempah-rempah antara kepulauan Nusantara,
India, Arab dan Cina ini. Penjelasan ini lebih masuk akal dibandingkan cerita
bahwa orang-orang Eropa mencari rempah-rempah untuk mereka sendiri.
Kalau Spanyol dan Portugis datang
untuk memotong peran bangsa “Moor” dalam jalur perdagangan rempah-rempah, maka kedatangan
Belanda ke Nusantara, pada awalnya adalah untuk mematikan ekonomi Spanyol.
Belanda yang sedang mengalami perang kemerdekaan (perang 80 tahun) melawan
Spanyol. Pertempuran-pertempuran dan persaingan antara Belanda dengan Portugis
di Nusantara adalah perluasan perang di Eropa, perang antara Uni
Portugal-Spanyol melawan Belanda, Inggris, Jerman dan Prancis. Hipotesa ini
lebih masuk akal.
Karena kedatangan orang Eropa ke
Nusantara bukan semata-mata murni untuk berdagang, tetapi ada motif-motif
pergulatan politik di Eropa, maka yang disebut pedagang tidak lain adalah
serdadu yang dipersenjatai. Ini berbeda dengan pedagang-pedagang Arab dan
Gujarat yang sebelumnya memegang peran di Nusantara. Pedagang-pedagang Arab dan
Gujarat tidak menggunakan senjata dalam misinya. Prilaku pendatang perintis
Eropa seperti Ferdinand Magellan dan Cornelis de Houtman tidak sama seperti
pedagang-pedagang layaknya. Mereka mengalami bentrok dengan penguasa lokal. Buktinya
ada dari mereka yang mati di tangan penduduk lokal. Magellan mati di Filipina
dan Houtman mati di Aceh.
Prilaku pedagang-pedagang Eropa
ini agak aneh, karena sebelumnya Asia juga pernah kedatangan bangsa Eropa dan
yang terkenal adalah Marco Polo dari Venesia. Venesia sendiri merupakan bagian
dari jalur perdagangan jalan sutra (silk-road).
Jadi perdagangan Eropa-Asia, sudah lama terbina di jalan sutra. Kenapa kemudian
setelah Marco Polo prilaku pedagang-pedagang ini menjadi tidak professional? Apakah
di Eropa terjadi revolusi kebudayaan, dari bangsa yang normal menjadi bangsa
yang brutal? Saya tidak mempunyai jawaban mengenai pertanyaan ini. Saya akan
serahkan kepada pembaca sekalian, untuk mencari jawabannya atau menerka-nerka.
Andaikata anda juga tidak bisa menemukan jawabannya, anggap saja sejarah ini
sebagai dongeng yang sangat sempurna karena bisa masuk ke sekolah-sekolah
sebagai sejarah.
Apapun alasan bangsa-bangsa Eropa
datang ke Timur, Tetapi demi kepentingan penulisan kisah ini, kita percayai
cerita ini, walaupun kualitasnya tidak lebih baik dari sebuah dongeng. Dan
kualitas ini tidak kalah dengan kisah sejarah lainnya. Dongeng saja.
Apapun sebabnya, kenyataannya Portugis,
Spanyol dan Belanda memang datang ke bumi nusantara. Menurut sejarahnya,
sebelum tahun 1700, VOC Belanda sudah membentuk basis/kantor/pergudangan di
Coromandel, Gujarat India; Bengala/Bangladesh; Iran; Taiwan; juga mendirikan
basis angkatan laut di Cape Town di Afrika Selatan, dan meluaskan daerah perdagangannya ke
Afrika, Arabia, Persia, India sampai ke Cina dan Jepang. Pada puncaknya jumlah
kapal dagang VOC mencapai 4000 – 5000. Dengan aktifitas VOC seperti itu,
populasi Belanda (termasuk dengan penduduk daerah yang sekarang disebut Belgia)
yang pada tahun 1600 masih 1,5 juta jiwa dan meningkat menjadi 1,9 juta jiwa di
tahun 1700 bisa di perkirakan populasi seperti ini tidak akan cukup mengelola
secara langsung nusantara yang penduduknya mencapai 13 juta jiwa tahun 1700
dengan wilayah yang luas. Sebagai gambaran bagaimana sulitnya mengelola negri
ini, pegawai negri Republik Indonesia tahun 2009 mencapai 4,4 juta. Bayangkan
kalau tahun 2009 untuk mengurus wilayah seluas Indonesia di perlukan 4,4 juta
pegawai negri, bagaimana mungkin negara yang berpenduduk 1,9 juta mengurus
wilayah seluas ini? Kecuali dengan cara yang sangat effektif. Mungkin angka
pegawai negri Republik Indonesia tidak relevan untuk dibandingkan. Hipotesa
yang lebih baik dalam mengartikan sejarah adalah, bahwa yang disebut penjajahan
kemungkinan adalah terbatas pada penaklukan
penguasa-penguasa lokal.
Catatan: Di antara banyak alasan konflik antara VOC dan penguasa lokal adalah keengganan VOC dan pedagang Eropa untuk membayar pajak. Ini bisa dilihat dari perjanjian-penjanjian di akhir suatu konflik. Seperti perjanjian Bongaya adalah pembebasan bea-cukai (pajak ekspor dan impor) bagi VOC serta monopoli perdagangan di wilayah Makassar.
Catatan: Di antara banyak alasan konflik antara VOC dan penguasa lokal adalah keengganan VOC dan pedagang Eropa untuk membayar pajak. Ini bisa dilihat dari perjanjian-penjanjian di akhir suatu konflik. Seperti perjanjian Bongaya adalah pembebasan bea-cukai (pajak ekspor dan impor) bagi VOC serta monopoli perdagangan di wilayah Makassar.
[1]
Nusantara, Sejarah Indonesia,
Bernard H M Vlekke,
Kepustakaan Populer Gramedia, 2008.
Disclaimer:
Dongeng
ini tidak dimaksudkan sebagai anjuran untuk berinvestasi. Dan nada
cerita dongeng ini cenderung mengarah kepada inflasi, tetapi dalam
periode penerbitan dongeng ini, kami percaya yang sedang terjadi
adalah yang sebaliknya yaitu deflasi US dollar dan beberapa mata uang lainnya.
Ekonomi
(dan investasi) bukan sains dan tidak pernah dibuktikan secara
eksperimen; tulisan ini dimaksudkan sebagai hiburan dan bukan sebagai
anjuran berinvestasi oleh sebab itu penulis tidak bertanggung jawab
atas segala kerugian yang diakibatkan karena mengikuti informasi
dari tulisan ini. Akan tetapi jika anda beruntung karena penggunaan
informasi di tulisan ini, EOWI dengan suka hati kalau anda
mentraktir EOWI makan-makan.
1 comment:
Pak IS,apakah nabi Muhammad SAW termasuk politikus yg menggerakkan peperangan,penaklukkan,pembunuhan?,kalau begitu apa Nabi Muhammad SAW juga masuk dalam kategori penipu,penipu ulung?
jika iya apa alasannya,jika tidak apa juga alasannya?
Mohon pencerahannya
Post a Comment