___________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Doa pagi dan sore

Ya Allah......, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari bingung dan sedih. Aku berlindung kepada Engkau dari lemah dan malas. Aku berlindung kepada Engkau dari pengecut dan kikir. Dan aku berlindung kepada Engkau dari tekanan hutang, pajak, pembuat UU pajak dan kesewenang-wenangan manusia.

Ya Allah......ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim dan para penarik pajak serta pembuat UU pajak selain kebinasaan".

Amiiiiin
_______________________________________________________________________________________________________________________________________________

Friday, June 3, 2011

RENUNGAN: HARI LAHIRNYA PANCASILA

Pancasila Sebagai Kurikulum Sekolah

Tanggal 1 Juni merupakan hari kelahiran dasar Negara Republik Indonesia. Selama seminggu sebelumnya, di rubik-rubik koran banyak yang mengangkat topik ini. Salah satu yang sempat saya baca adalah tulisan dari Azyumardi di Kompas. Ada pernyataannya yang menarik:

Pancasila yang dulu menjadi mata kuliah wajib sekarang memang tidak diajarkan lagi di perguruan tinggi. Ini berbahaya karena siswa dan mahasiswa tidak lagi mengenal dasar berbangsa dan bernegara. Mahasiswa bisa tergoda pada ideologi lain, seperti liberalisme, kapitalisme, militerisme, komunisme, kekhalifahan, dan ideologi lain, tanpa mengenal Pancasila.


”Padahal, nilai-nilai Pancasila yang digali dari masyarakat, seperti kerukunan, musyawarah, gotong royong, rela berkorban, dan nilai-nilai luhur lain, terbukti efektif menyatukan bangsa ini,” kata Azyumardi.


Kegundahan Azyumardi ada alasannya, yaitu semakin terlupakannya Pancasila. Setahun lalu, seorang politikus terkemuka – ketua MPR, telah salah membacakan Pancasila, dalam suatu acara resmi dan di hadapan banyak orang. Berita Taufiq Kiemas Keliru Bacakan Sila Kelima di Peringatan Hari Pancasila, adalah contoh yang mendasari kegundahan Azyumardi.

Jum'at, 01 Oktober 2010

TEMPO Interaktif, Jakarta - Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Taufiq Kiemas keliru kata saat membaca frase sila kelima Pancasila dalam peringatan Hari Kesaktian Pancasila di Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta Timur, Jumat (1/10).


Taufiq yang mendapat tugas membacakan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menyebut frase: "Keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia." Seharusnya, sesuai butir kelima Pancasila, berbunyi: "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."

Azyumardi sebagai seorang professor ilmu-ilmu sosial, mempunyai ide untuk memasukkan kembali Pancasila ke dalam kurikulum sekolah cukup dimengerti. Karena ilmu-ilmu sosial adalah bukan ilmu (sains) sama sekali, melainkan hanyalah opini-opni saja dan setiap orang kemungkinan besar punya opini yang berbeda. Dan sebagai seseorang yang pernah mengambil pelajaran Pancasila dari SMP sampai Universitas, sulit mengerti bagaimana kurikulum bisa mengakomodasi Pancasila. Pertama karena sekarang ini ada 5 jenis Pancasila dan yang kedua hanya perlu 5 menit untuk mengajarkan ke 5 sila itu. Bukan 1 atau 2 semester, cukup 5 menit saja.

Mari kita renungkan point ke-2 bahwa hanya perlu 5 menit untuk mengajarkan Pancasila. Pancasila terdiri dari 5 kalimat yang tidak lengkap:

  1. Ketuhanan Yang Maha Esa
  2. Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab
  3. Persatuan Indonesia
  4. Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan
  5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Apa yang bisa diharapkan dari 5 kalimat yang tidak lengkap ini. Bandingkan dengan Quran yang terdiri dari 6.348 ayat dan setiap ayatnya terdiri dari 1-3 kalimat, atau Bible yang terdiri dari 66 buku tebal masih bisa diinterpretasikan bermacam-macam sehingga di dalam Islam atau Kristen masih terdapat golongan-golongan denominasi. Banyangkan apa yang akan terjadi dengan Pancasila yang terdiri dari 5 kalimat tidak lengkap itu? Berapa banyak penafsiran Pancasila?

Pertama adalah ketuhanan yang Maha Esa. Kata Maha Esa tidak mempunyai makna sama sekali. Paling tidak rancu maknanya. Apakah maha esa itu artinya “paling satu” atau pembulatan dari 0.9999999 atau pembulatan 1.00001, atau angka bulat 1.00000 – ini nampak sepele. Maha Esa adalah kata puitis yang rancu maknanya.

Kalau sila ketuhanan adalah ekspressi pengakuan bangsa Indonesia mengenai adanya Tuhan, maka Tuhan yang mana? Tuhannya kaum Kristiani, Islam atau Hindu tidak sama. Kalau Tuhan ketiga agama ini sama, maka anda akan melihat orang Islam sembahyang bersama-sama dengan orang Kristen. Orang Islam sembahyangnya dipimpin oleh pastor Katholik dan sebaliknya. Toh Tuhannya sama? Atau....., pagi ini saya beragama Islam, sore beragama Kristen, dan malam Hindu. Lalu bagaimana dengan Buddha? Selama 1 tahun mengambil pelajaran agama Buddha, saya tidak pernah mendengar dosen agama Buddha membicarakan Tuhan? Saya tidak yakin agama Buddha mengenal Tuhan dalam teologinya.

Kembali pada ide Azyumardi untuk mengajarkan Pancasila di sekolah-sekolah. Untuk sila ke-1, teologi yang mana yang akan dipilih? Kalau bukan teologi Islam, Kristen, Hindu atau salah satu agama di Indonesia, apakah bisa diterima?

Sila ke-2, Kemanusiaan. Seorang professor dari Universitas Hassanuddin (UnHas) menulis dalam sebuah milis kepada kenalan saya mengenai Pancasila sebagai guiding principle:

Kalo' kita cermati dan renungkan "biodata" Pancasila dari mulai lahirnya 66 tahun yang lalu sampai sekarang maka kita akan mendapati bahwa Pancasila punya sejarah kelam yang amat berdarah-darah. Puncaknya adalah ketika ia berusia 20 tahun, ketika sedang "sakti-sakti"-nya, kita ingat antara 500 ribu sampai 1 juta bangsa Indonesia (yang mustinya di-"guide" oleh Pancasila) justru terbunuh akibat "kesaktian"-nya itu .....


Belom lagi kisah tragedi-tragedi laen, DI TII-nya Kartosuwiryo (yang terus menyisakan masalah sampai sekarang), Peristiwa Tanjung Periuk, ...... dan masih banyak lagi deh ....... Alih-alih menjadi "guiding principles" yang membawa perjalanan bangsa ini dengan selamat dan sejahtera, Pancasila malah membuat anak-anak bangsa berbunuh-bunuhan satu sama laennya .....


Banyak tragedi-tragedi yang sama sekali tidak beradab dan tidak berkemanusiaan terjadi selama 66 tahun ini karena Pancasila. Bahkan katanya: Puncaknya adalah ketika ia berusia 20 tahun, ketika sedang "sakti-sakti"-nya, kita ingat antara 500 ribu sampai 1 juta bangsa Indonesia (yang mustinya di-"guide" oleh Pancasila) justru terbunuh akibat "kesaktian"-nya itu. [Komentar EOWI: di samping yang terbunuh yang angkanya bisa mencapai 3 juta jiwa, banyak juga yang dipenjara selama belasan tahun tanpa diadili. Suatu perbuatan biadab lainnya atas nama Pancasila].

Karena hanya kalimat terpenggal, maka sila ke-2 ini lengkapnya berbunyi: Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab dengan membolehkan berlaku tidak adil, bengis, kejam dan tidak beradab terhadap mereka yang dianggap tidak Pancasilais.

Ini sekedar menunjukkan bagaimana beragamnya pengertian kata kemanusiaan. Jadi yang mana yang akan dipilih untuk kurikulum?

Sila ke-3, Persatuan Indonesia. Untuk sila ke-3 ini entah apa yang harus dijadikan bahan kurikulumnya. Anda bisa berdebat lama dengan teman anda mengenai hal ini. Apakah Timor-Timur harus masuk Indonesia? Juga Sabah, Serawak, Brunei yang bahasa sama dengan bahasa Indonesia? Ide ini sudah ada sejak dulu. Topik bangsa dan persatuan, masuk dalam ranah opini yang tidak bisa disainskan dan kemudian dijadikan mata-pelajaran.

Mungkin sila ke-3 ini sejalan dengan opini Azyumardi ”Padahal, nilai-nilai Pancasila yang digali dari masyarakat, seperti kerukunan, musyawarah, gotong royong, rela berkorban, dan nilai-nilai luhur lain, terbukti efektif menyatukan bangsa ini,”. Persoalannya opini Azyumardi dibantah oleh sejarah dan prof UnHas rekan kita: Puncaknya adalah ketika ia berusia 20 tahun, ketika sedang "sakti-sakti"-nya, kita ingat antara 500 ribu sampai 1 juta bangsa Indonesia. Katanya lagi: “Tidak ada bukti empirik”.

Saya setuju dengan Azyumardi mengenai Pancasila sebagai perekat dan pemersatu bangsa. Tetapi mekanismenya berbeda. Pihak yang kuat dan berkuasa, menindas, memaksa pihak lain untuk menerima Pancasila. Dan kalau tidak mau, dilenyapkan saja. Dengan demikian bisa dibentuk masyarakat yang monolitik.

Mungkin 2 professor ini harus di tempatkan di satu meja dan berdebat (saya tidak mau ikut campur dan mau menonton saja). Saya percaya rekan prof. UnHas ini akan menang, karena dia dasar ilmunya adalah sains dan teknologi yang landasannya adalah fakta, bukan ilmu sosial yang landasannya adalah opini. Kita hanya menonton saja bagaimana Azyumardi dibantai dan dipermalukan. Sayangnya kejadian ini mungkin tidak akan pernah terwujud karena tidak ada sponsor.

Sila ke-4, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Untuk hal ini EOWI tidak akan berkomentar. Karena yang dimaksud dengan Perwakilan disini adalah kelembagaan yang didominasi oleh politikus, Terhadap politikus, EOWI akan memulainya dengan skeptis. Mayoritas dari mereka adalah hewan yang tidak memikirkan orang-orang yang diwakilinya.

Sila ke-5, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Ada kerancuan mengenai kata “Adil”. Adil adalah kata dari bahasa Arab yang berarti “tidak memihak”. Tetapi dalam perjalanannya ke dalam bahasa Indonesia berarti “pemerataan”. Bahkan selanjutnya berarti “memihak golongan kecil”. Persoalan akan timbul karena golongan kecil selanjutnya akan menindas golongan kuat. Dalam kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) karena kebangkrutan perusahaan, management perusahaan yang berada pada golongan kuat, menjadi golongan tertindas dan golongan teraniaya, karena dalam keadaan bangkrut masih dipaksa untuk membayar pesangon.

Kasus lain adalah di jalan raya. Motor (golongan kecil) meraja-lela, menyerempet mobil (golongan kuat yang tidak kuat dan terlindungi).

Jadi apa arti keadilan di sila ke-5 ini? Apakah orang yang tidak bekerja harus digaji sama dengan orang yang berpenghasilan? Apakah orang yang telah menginvestasikan uang, tenaga dan pikirannya untuk sekolah dan menuntut ilmu memeperoleh penghasilan sama dengan orang yang tidak melakukan usaha seperti ini?

Secara keseluruhan, apa yang harus diceritakan dalam kurikulum Pancasila ini? Terus terang saja, selama saya mengambil mata kuliah Pancasila dulu, kalau saja dosennya bukan kolonel-kolonel, maka para mahasiswa sudah membantainya dengan pertanyaan-pertanyaan yang mematikan. Mata pelajaran hanya bisa diajarkan kepada mahasiswa yang tidak bepikir. Apakah itu karena ditekan dan diintimidasi, atau otaknya sebebal otak keledai.


Pancasila Sebagai Sumber Perpecahanan, Bukan Sebagai Perekat Bangsa

Dosen & rekan kita dari UnHas yang disebutkan, bercerita panjang mengenai Pancasila. Ceritanya cukup satiris dan penuh ironisme sangat cocok dengan gaya EOWI. Oleh sebab itu EOWI akan mengangkat keseluruhan emailnya.

EOWI tetap menjaga namanya anonymous. Seandainya beliau ingin memperkenalkan diri, silahkan merenspons di komentar, dan kami akan mengedit tulisan ini.

Salam dari Makassar !

(.......... mumpung masih tanggal 1 Juni ..........)

Presiden ke-5 Ibu Megawati Sukarnoputri mengatakan dalam pidato-nya tadi siang bahwa Pancasila adalah "perekat bangsa" ............. maksudnya tentu Pancasila diharapkan bisa berfungsi sebagai "lem" yang menempelkan satu komponen bangsa dengan komponen bangsa laen. Ini tentu salah satu dari sekian banyak impian Bung Karno, yaitu bapaknya Ibu Mega. Saya pernah membaca bahwa Bung Karno punya banyak sebutan (misalnya "Pemimpin Besar Revolusi"), dan salah satu sebutan beliau adalah "Sang Pemimpi Agung". "Pemimpi", ndak pake' huruf "n". Tentu Bung Karno disebut demikian, karena banyak mimpi-mimpi-nya tentang bangsa dan negara yang digagasnya. Mimpi-mimpi-nya memang semua indah-indah dan mulia, ........ tapi beberapa di antaranya malah menjelma menjadi "nightmares" (= mimpi buruk) bagi bangsa ini.


[Komentar EOWI: Benar bukan ilmu sosial dan politik adalah hanya opini, bukan sains].

Salah satu mimpi beliau yang kemudian menjadi suatu "nightmare"........ adalah Pancasila. Alih-alih menjadi "perekat", Pancasila malah pada kenyataannya jadi "peretak" dalam perjalanan sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara selama 66 tahun ini.


Potensi Pancasila sebagai "peretak" sudah disadari Bung Karno ketika mem-pidato-kannya dalam penutupan sidang BPUPKI. Tentu saja kesadaran ini beliau dapatkan setelah mengamati dan mendengarkan pidato-pidato dan perdebatan-perdebatan selama beberapa bulan dalam sidang-sidang BPUPKI sebelomnya.


[Komentar EOWI: Bung Karno mana perduli keretakan ini. Targetnya adalah menduduki posisi politik tertinggi dengan biaya berepapun].

Makanya, setelah beliau mengemukakan ke lima dasar yang dinamainya Pancasila itu, beliau langsung "memerasnya" jadi tiga, lalu "memerasnya" lagi jadi satu, yaitu "gotong-royong". "Pemerasan" Pancasila ini mengundang banyak kritik, antara laen misalnya dari Mr. Muhammad Roem yang keberatan kok sila Ketuhanan diperas ke dalam "gotong- royong" [ESA, "Piagam Jakarta", hal. 25]. Seandainya......, yah seandainya, ...... Bung Karno mengusulkan saja "gotong-royong" sebagai "The Guiding Principle" dari bangsa dan negara Indonesia yang di-impi-impi-kannya, tanpa harus memeras-merasnya dari Pancasila segala.......... tentu sejarah bangsa ini akan laen jadinya.... Kalo' "gotong-royong" yang menjadi sumber dari segala sumber hukum di negeri ini, maka tidak akan ada yang namanya kasus "suap". Kalo' legislatif kasih uang sama eksekutif, atau kasih amplop sama yudikatif, atau sebaliknya, itu namanya "gotong-royong", bukan "suap" ........'kan gitu? Kalo' ada yang mengatakan itu suap, berarti ndak ngerti filosofi bangsa "gotong royong" !!!


Dari mulai lahirnya saja Pancasila ini sudah kelihatan potensi-nya sebagai peretak persatuan. Perdebatan-perdebatan keras di antara 1 Juni sampai 22 Juni 1945 yang dicatat Mr. Muhammad Yamin [ESA, "Piagam Jakarta", hal. 15-43] menunjukkan hal itu, tapi "Allah SWT memberkati kita.....", kata Bung Karno, karena 9 orang panitia kecil berhasil menyetujui sebulat-bulatnya rancangan "preambul" pada tanggal 22 Juni 1945 dan menanda-tanganinya. Naskah tersebut kemudian dikenal dengan nama "Djakarta Charter", yang direncanakan akan menjadi semacam "Declaration of Independence" sekaligus sebagai Mukaddimah dari Konstitusi negara dan bangsa yang akan dibentuk saat itu.


Tapi belom dua bulan dari tanggal 22 Juni itu, sudah mulai ada tanda-tanda keretakan. Bung Hatta mendapat bisikan dari seorang tentara Jepun yang beliau lupa namanya siapa, bahwa ada segolongan orang yang (tidak jelas juga identitas-nya siapa yang bicara) menyatakan tidak akan ikut Republik kalo' tujuh kata dalam Pancasila versi "Djakarta Charter" tidak dihilangkan, sehingga lahirlah Pancasila dalam wujud versi Pembukaan UUD'45 18 Agustus 1945.


Hilangnya tujuh kata ini pun kelak di kemudian hari akan menimbulkan keretakan bangsa yang cukup berdarah-darah juga. Bahkan pada puncak "kesaktian"-nya 500 ribu sampai 1 juta anak bangsa dikorbankan untuk Pancasila ini.


Terlepas dari pengamatan empirik (yang JUJUR saja) terhadap perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara selama 66 tahun guided by Pancasila dalam berbagai versi dan penjelasannya ..... sehingga carut-marut seperti sekarang ini, sebenarnya kalo' kita mau sedikit kritis dan menggunakan akal sehat saja, dalam Pancasila itu terkumpul berbagai macam ideologi, yang sebetulnya tidak mungkin disatukan. Pancasila is not AN IDEOLOGY, but a bunch of ideologies!


Seorang agamis (wa bil khusus Islamis) akan meyakini bahwa satu-satunya sila yang penting dalam Pancasila adalah sila pertama, asal ditambah dengan tujuh kata seperti dalam Djakarta Charter. Kalo' tidak, Ketuhanan jadi "kosong", diisi batu tuhannya batu, diisi pohon ya tuhannya pohon, kata K.H. Masykur [ESA, "Piagam Djakarta", hal. 82]. Maka seorang Islamis meyakini bahwa kalo' sila pertama saja dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, yang laen akan ikut saja.


Tapi seorang nasionalis tidak akan setuju, baginya yang paling penting adalah sila ketiga. Kalo' persatuan dijunjung tinggi, yang laen akan beres dengan sendirinya, begitu katanya. Seorang demokrat akan mementingkan sila keempat. Seorang sosialis-komunis akan memilih jalur via sila kelima dulu. Seorang humanis-liberalis, tentu menganggap sila kedua yang paling penting. Jadi bagaimana bisa seorang warga-negara menjadi "Pancasilais" dalam arti seorang Islamis, sekaligus humanis, nasionalis, demokrat dan komunis? Hehehe, cuma bisa kalo' dia seorang "humoris" yang lucu banget dah....... Dalam bahasa Psikologi itu namanya "split personality" alias berkepribadian ganda ............. suatu penyakit kejiwaan yang bisa berbahaya (ingat cerita "Hide and Jeckill"). [EOWI: dalam bahasa kedokteran namanya waham atau schitzoprenia]


Karena orang normal tidak bisa berkepribadian ganda, maka setiap orang palingan hanya bisa ber-ideologi-kan SALAH SATU saja dari kelima sila Pancasila itu. Dengan demikian akan besar potensi konflik-nya dengan orang laen yang mengambil sila yang laen dari Pancasila. Akhirnya sama-sama mengaku "Pancasilais" tapi berkelahi dengan orang laen, sesama yang mengaku "Pancasilais" juga....... bisa jadi bahkan sampai bunuh-bunuhan. Kita tahulah yang seperti apa itu "Pemuda Pancasila"....... "menyeramkan" 'kan? Itulah kenyataan (REALITA) yang terjadi sejak Pancasila lahir 66 tahun yang lalu.


Menurut penelitian, palingan cuma maksimum 12 % dari populasi orang yang peduli dengan masalah-masalah ideologi begini. Sementara itu ada kurang-lebih 5 % dari populasi yang sebenarnya menguasai 80 % asset dan roda ekonomi bangsa ini, yang dengan seksama "mengontrol" perilaku (politik) dari ke 12 % populasi tadi dengan uang-nya, sehingga tidak membahayakan mereka punya kehidupan. Jadi sebenarnya yang langsung berkepentingan secara real dengan "Pancasila" ya palingan hanya 12 + 5 = 17 % saja. Yang 83 % sisanya ........... paling berfungsi untuk teriak-teriak "Hidup Pancasila", dan menyanyikan "Garuda Pancasila" ........supaya "rame" aja-lah gitu. Bahkan ada yang begitu ndak pedulinya, sampai-sampai teriak "Selamat Hari Kesaktian Pancasila", pada hari kelahirannya. Mana ada yang baru lahir kok langsung sakti, ta'iya?


nDak masuk akal sama sekali ........ Bahkan pada situasi tertentu bisa juga yang 83 % populasi ini di-gosok-gosok dan di-adu-adu-in satu sama laen, disuruh bunuh-bunuhan pun mau, "demi Pancasila" katanya...... na'udzubillahi min dzaalik !


Olehnya itu, kalo' seandainya Pancasila di-pensiun-kan nanti pada usia-nya yang ke 70, insya Allah, maka akan jauh lebih banyak manfaat-nya daripada mudharatnya karena akan mengurangi potensi keretakan antar komponen bangsa. Mari kita mulai memikirkan dan mempersiapkan pengganti Pancasila yang sudah mulai "uzur" dimakan usia ini ............


Mungkin Pancasila sudah mulai menghilang dari Indonesia. Pemuda Pancasila sekarang sudah kalah sakti dibanding Forkabi, Betawi Repuk atau FPI. Bahkan mantan presiden Habibi sempat bertanya: dimanakah Pancasila? dalam beritanya berjudul Habibie: Pancasila Bukan Milik Satu Rezim Pemerintah


Rabu, 1 Juni 2011,......

Namun, Habibie juga mempertanyakan dimana posisi Pancasila sekarang ini.

"Pertanyaan ini penting karena sejak reformasi bergulir, ideologi bangsa itu seolah tenggelam dari memori kolektif bangsa ini," ujarnya seraya menambahkan fakta bahwa Pancasila semakin jarang dikutip, dibahas dan apalagi diterapkan dalam konteks kehidupan berbangsa bernegara.

Hiruk pikuk demokrasi dan kebebasan berpolitik di indonesia saat ini, kata Habibie, tidak pernah lagi menyertakan Pancasila itu.


Akhirnya saya kutipkan lagi dari emailnya prof. UnHas:

Bicara soal "prestasi" Pancasila dalam meng-"guide" kehidupan bangsa ini, ...... yah, palingan yang dikenang adalah "sepakbola Pancasila"-nya Bardosono, yang sekarang tidak dipake' lagi, terutama untuk menghadapi FIFA (yang tentu tidak mengerti Pancasila, ta'iya?). Pernah ada proyek "Ekonomi Pancasila"-nya Prof. Mubyarto, ........... ndak tahu sekarang bagaimana ceritanya tuh. "Pendidikan Moral Pancasila" di sekolah-sekolah dan "P4", ....... ternyata hanya menghasilkan koruptor-koruptor yang sama sekali tidak bermoral.


Sudahlah, ........ sama sekali TIDAK ADA BUKTI EMPIRIK yang menunjukkan bahwa Pancasila betul-betul bisa berfungsi secara real menjadi "guiding principles" dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kalo' "counter examples"-nya malah banyak sekali, sudah banyak pembunuhan (baik pembunuhan fisik mau pun pembunuhan "karakter") yang dilakukan "berdasarkan pada Pancasila". Sudah waktunya kita memikirkan "The Guiding Principle", satu saja, yang bisa membawa bangsa ini ke depan menuju ke kehidupan dunia dan akhirat yang lebih baik dari kemaren dan hari ini ...........


Kami di EOWI, tidak akan menganjurkan apa-apa mengenai falsafah negara atau guiding principle. Apalagi yang cuma berupa bait-bait puitis. Kami di EOWI berpendapat, kalau Quran yang mempunyai 6.348 ayat atau Bible dengan 66 bukunya saja tidak bisa menyatukan opini penganutnya, bagaimana dengan opini lain.

Mungkin kita tidak perlu idiologi seperti Pancasila kalau hanya sekedar ingin tidak saling berkelahi. Jaman Belanda dulu, tidak ada Pancasila. Rasanya tidak ada perang dan pembantaian yang dilatarbelakangi ideologi. Yang ada karena perebutan kekuasaan, seperti antara Trunojoyo vs. Amangkurat; Sultan Hassanudin vs, Sultan Haji Banten; Arung Palakka vs. Sultan Hassanuddin, dan lain-lain. Kita tidak perlu memerdulikan kalau Taufik Kemas, Megawati, SBY, Amien Rais, Nazaruddin, Ava Maria, Arifinto, Yahya Zaini, Hidayat Nur Wahid saling baku bunuh. Bahkan makin banyak yang mati makin bagus, mungkin pajak kita bisa turun dengan berkurangnya politikus yang digaji rakyat. Mungkin........, siapa tahu?

Di EOWI, kami hanya bercerita dan menghibur dengan kalimat-kalimat dan dagelan sarkasnya untuk pembacanya yang merasa kurang nyaman dengan ilmu sejarah, agama, ekonomi, sosial dan politik yang diajarkan di sekolah, dan ingin mencari jawaban yang objektif, seperti yang terpampang di bagian atas laman EOWI. Kami juga tidak mau dipersalahkan memaksakan ide-ide serta kehendak yang salah, seperti founding father Indonesia yang telah memaksakan Pancasila yang dalam sejarahnya telah banyak menumpahkan darah. Mereka ini berhutang darah. Dan EOWI tidak mau menanggung beban seperti itu atau seperti apapun. Bahkan dalam setiap tulisan EOWI selalu memampangkan disclaimer.

Sekian dulu, selamat merenung..........


Disclaimer: Ekonomi (dan investasi) bukan sains dan tidak pernah dibuktikan secara eksperimen; tulisan ini dimaksudkan sebagai hiburan dan bukan sebagai anjuran berinvestasi oleh sebab itu penulis tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang diakibatkan karena mengikuti informasi dari tulisan ini. Akan tetapi jika anda beruntung karena penggunaan informasi di tulisan ini, EOWI dengan suka hati kalau anda mentraktir EOWI makan-makan.

9 comments:

Skydrugz said...

damn..this is a good posting...

harus dibaca sama semua penganjur pancasila...


saya rasa kita memang perlu meniadakan pancasila...

tanpa itu pun kita semua masih bisa hidup...

i believe in God say :D

Anonymous said...

membahas Science & Agama di comment yang dibawah

menurut IS science harus sejalan dengan agama,well sy berpendapat tidak bs dihubungkan

sebagai contoh di Agama Kristen(saya tdk mau membahas Agama Lain,namun sy yakin Agama Lainpun memiliki permasalahan yang sama apalagi menyangkut Mujizat)
Lagipula Sebenarnya Isa(Yesus) juga diterima dan diakui sebagai nabi yang penuh mujizat di Agama Islam

sekarang sy mau coba tanya IS
apa 5+2 = 5000 + 12 x 100
Apa 5 Roti + 2 Ikan bisa jadi 5000 Makanan Bagi Para Pria(Tidak Termasuk Wanita dan anak2) dan masih menyisakan 12 Keranjang?

Anonymous said...

Kalau saya sendiri sebagai orang islam menempatkan pedoman agama saya di atas pancasila. Tidak urusan pancasila adalah dasar negara. Bagi saya agama di atas negara. Toh saya merasa baik2 saja dalam hidup bermasyarakat. Oia, setahu saya pengertian adil dalam islam ( saya tidak tahu terjemahan per kata ) bukanlah "tidak memihak" namun justru malah "memihak" yaitu "memihak yang benar". Wallahu alam.

Anonymous said...

Pancasila mirim NASAKOM YAH ?

Imam Semar said...

@Anony June 3, 2011 11:13 PM,
Sampai saat ini pendekatan saya dalam mempelajari Quran (yang dianggap sebagai karangan Tuhan, paling tidak pengarangnya mengaku Tuhan), saya temui kecocokan dengan science. Seringkali tafsir yang beredar menyimpang dari terjemahan harfiahnya. Yang kami jadikan pedoman jika menyangkut Quran adalah terjemahan harfiah, bukan tafsir umum. Oleh sebab itu seringkali anda jumpai opini yang tidak umum di kalangan orang Islam.

Misalnya mengenai asal usul manusia, menurut Quran Adam bukan manusia pertama, melainkan khalifah pertama. Sedangkan untuk moyang manusia disebut nafsin wahida (gender=feminin). Inipun tidak disebut sebagai manusia (arab=naas), pertama, melainkan asal usul manusia yang sekarang. (artinya masih terbuka bahwa bersama nafsin wahida, ada orang lain yang keturunannya punah). Tentu saja pengertian ini tidak lazim pada tafsir ulama muslim umumnya yang mengatakan bahwa Adam adalah manusia pertama. Tafsir semacam ini biasa disebut tafsir Israiliyat karena merujuk kepada 4 buku Musa (di Perjanjian Lama).

Mengenai agama Kristen (Bible), sulit menjumpai kamus Aramea dan Hebrew, oleh sebab itu, dalam mempelajari teaching Bible secara harfiah agak sulit.

Tetapi, kalau dilihat dari bentuk kalimatnya, dalam Perjanjian Baru, teaching Jesus (peace on Him), sering menggunakan perumpamaan/parable. Misalnya dalam parable mustard seed, Jesus mengatakan bahwa mustard seed adalah biji yang terkecil. Kita tahu bahwa biji vanili jauh lebih kecil dari biji mustard.

Matthew 13:31-32
(31) Yesus membentangkan suatu perumpamaan lain lagi kepada mereka, kata-Nya: "Hal Kerajaan Sorga itu seumpama biji sesawi, yang diambil dan ditaburkan orang di ladangnya.

(32) Memang biji itu yang paling kecil dari segala jenis benih, tetapi apabila sudah tumbuh, sesawi itu lebih besar dari pada sayuran yang lain, bahkan menjadi pohon, sehingga burung-burung di udara datang bersarang pada cabang-cabangnya."

Dalam kasus ini dan banyak kasus lain pernyataan Jesus (peace be on Him), bukan suatu evaluasi, melainkan penggambaran dengan perumpamaan. Demikian juga angka-angka yang anda ceritakan, dimaksudkan sebagai penggabaran bahwa makanan di tangan Jesus lebih berkah.

Asumsi kami, bagi Tuhan yang benar, maka alam ini adalah cermin dari hasil karyanya. Dan antara hasil karyanya dengan firmannya (karyanya yang tertulis) harus selaras. Sekiranya antara firman dan karya tidak selaras, maka kita harus bertanya, apakah keduanya dari sumber yang sama?

Imam Semar said...

Anony June 4, 2011 9:18 AM

Anda benar, bahwa adil = memihak yang benar.....

He he he he he he...., komentar nakal!

sigit said...

To All,
Bagi saya, email professor itu adalah pendapat yg konyol, meskipun saya juga tidak memerlukan Pancasila yg sakti. Konyol karena menuduh Pancasila sebagai sumber kekerasan yg terjadi pada bangsa ini. Namun saya juga kecewa karena Pancasila sendiri kok mau maunya ditunggangi sebagai alat politik pemerintah dengan peringatan Kesaktian Pancasila, bahkan disembah sebagai ideologi baru. Padahal Fakta yang terjadi adalah perseteruan politik yg menimbulkan kekerasan dan pembataian. Itu adalah perebutan kekuasaan yg tidak perlu dikait-kaitkan dengan Pancasila. Guru saya mengajarkan Pancasila sebagai arahan budi pekerti bagi orang Indonesia.
Namun, Saya tidak heran Pak IS sebagai penganut libertarian yg keberatan adanya pemerintah, tentu saja tidak nyaman dengan Pancasila, karena Pancasila lahir berkat pemikiran salah satu pendiri pemerintah RI.
Bagi saya, pancasila tidak sama seperti Al Quran atau Bible. Saya menggangap Pancasila sekedar simbol seperti Bendera Merah Putih. Simbol orang indonesia sepatutnya ada 2 yaitu bendera merah putih dan Pancasila. Pancasila adalah simbol bagi manusia indonesia untuk memiliki egoisme individu yg mengedepankan sisi spiritual tanpa mengabaikan pamrih material dalam mengakui egoisme individu lain sehingga menjadi individu yang bertuhan, beradab dan tidak arogan, toleran dalam bekerja-sama antar individu dari suku/agama/ras/adat yg berbeda-beda, bermusyarah dalam menyelesaikan permasalahan, dan giat bekerja dan berusaha. Soal gotong royong, saya percaya sifatnya terbatas pada hubungan peran-serta antar individu, tidak ada kaitannya dengan lembaga apapun. Gotong royong tidak identik dengan duit. Kalau kemudian memberi duit berkaitan dengan jabatan, itu namanya gratifikasi atau suap yg dekat dengan korupsi. Ronda malam untuk keamanan kampung termasuk gotong royong, tapi gak ada duitnya disitu.
Saya Mohon maaf jika ada kata2 yg tidak berkenan. terimakasih.

Anonymous said...

kali ini saya sangat tidak setuju dengan anda bahwa bangsa ini tidak perlu pancasila, bahwa pancasilalah sumber malapetaka di indonesia. Lalu nanti orang juga bisa berpikir bahwa Bible, al quran,weda, tripitaka adalah sumber malapetaka dunia karena begitu banyak pertumpahan yang megatasnamakan agama.Padahal itu karena kesalahan oknum yang menafsirkan dalam arti sempit . Padahal semua kitab tersebut mngajarkan kebaikan dan kedamaian. Justru bangsa ini butuh pancasila sebagai aturan dasar kita berbangsa dan bernegara .Saya yakin jika bangsa ini melaksanakan dan mengamalkan pancasila bangsa ini akan maju dan besar. Jayalah bangsaku dan jayalah negeriku

Syams Ideris said...

Pancasila Subset dari Ajaran Islam.

Nilai-nilai Pancasila jika dicermati semuanya ada dan tercakup dalam ajaran Islam. Lihat saja ketuhanan yang maha esa = Allah yang tunggal. Kemanusiaan yang adil dan beradab = akidah islam. Islam itu adil bahkan sampai pembagian warisan pun seadil-adilnya. Beradab..hmmm coba tanya pakar sejarah, peradaban pertama yang membawa cahaya pada zaman dimana sihir dan tahayul merajalela itu peradaban siapa?peradaban Islam.

Persatuan, jangan tanya kuatnya persatuan dalam Islam karena Nabi sendiri mengatakan bahwa Ummat Islam itu seperti satu bangunan.

Sila-sila yang lain silakan cari sendiri.

Jadi sebenarnya merumuskan, membahas, dan menyatakan Pancasila sbg dasar negara tidak perlu. Cukup gunakan Islam sebagai dasar negara maka otomatis Pancasila sudah termasuk didalamnya.