UU Ketenaga Kerjaan (Kep - 150 / Men / 2000)
Keputusan Menteri 150 tahun 2000 ini mengatur masalah pemutusan hubungan kerja (PHK) atau pemecatan pegawai. Maksudnya memang untuk “melindungi” pegawai. Pada kenyataannya mengakibatkan adanya distorsi dalam pengupahan yang merugikan pegawai yang baik dan berprestasi untuk memperoleh upah yang kompetitif di pasar kerja. Keputusan Menteri 150 tahun 2000 ini mengalami perubahan/perbaikan dengan Kep-78/Men/2001 dan Kep-111/Men/2001. Berikutnya undang-undang No 13 tahun 2003, menguatkan jiwa Keputusan Menteri mengenai perlindungan terhadap pegawai dalam undang-undang.
Adanya peraturan ketenaga kerjaan Kep-150/Men/2000 dan turunannya membuat investor harus berpikir panjang sebelum menanamkan modalnya ke Indonesia walaupun upah buruh di Indonesia lebih murah. Suatu bukti mengenai murahnya upah buruh ialah banyaknya tenaga kerja Indonesia mau merantau ke Malaysia untuk menjadi buruh disana. Hal ini hanya bisa terjadi jika gaji/upah buruh di Malaysia lebih baik dari pada di Indonesia. Lalu, kenapa investor lebih enggan berinvestasi di Indonesia?
Upah buruh Indonesia memang murah. Tunjangan-tunjangan cukup moderat, tetapi biaya untuk mengeluarkan/memecat pegawai bisa sangat mahal. Tata cara pemecatan (kata halusnya PHK, pemutusan hubungan kerja), bisa memakan biaya yang tinggi. Pertama karena PHK dalam jumlah tertentu perlu ijin pemerintah. Kedua, masalah pesangonnya. Selama dalam proses penyelesaian perselisihan, upah harus dibayarkan – walaupun sudah tidak ada lagi pekerjaan yang bisa dilakukan para pekerja. Semua ini memerlukan biaya dan harus dimasukkan dalam faktor resiko biaya bagi investor yang hendak menanamkan modalnya ke Indonesia.
Perhitungan resiko oleh investor ini berdampak juga kepada penyedia jasa/pekerja. Pasar tenaga kerja menjadi terdistorsi. Komponen biaya yang seharusnya bisa diallokasikan sebagai upah, dengan adanya UU Ketenaga Kerjaan, maka dari komponen ini harus disisihkan untuk komponen resiko pembiayaan PHK. Penyisihan dana ini bisa dianggap sebagai premi terhadap resiko terjadinya sengketa buruh-pengusaha. Itu salah satu sebab, kenapa upah buruh di Malaysia masih sangat menarik dibandingkan dengan upah buruh di Indonesia. Sampai-sampai banyak pekerja Indonesia mencari nafkah disana, termasuk para professionalnya (tenaga ahli).
Dari sudut pekerja, penyisihan dana seperti ini bisa dipandang sebagai penyanderaan sebagian gajinya. Pekerja menanggung resiko ketidak pastian pada jumlah dana yang akan diterimanya pada akhir masa kerjanya, yang sangat bergantung pada jenis pengakhiran masa kerjanya, apakah itu PHK, mengundurkan diri atau pensiun. Dalam prakteknya, pekerja yang keluar/berhenti tidak secara baik-baik dan dilatar-belakangi persengketaan dengan majikannya akan memperoleh uang pesangon yang lebih besar dari pada pekerja yang keluar secara baik-baik. Alasannya sangat sederhana. Ketika terjadi perselisihan mengenai besarnya ganti rugi, perusahaan bagai disandra oleh pekerjanya yang nakal, karena perusahaan masih harus membayar gajinya selama perselisihan ini belum diputuskan. Oleh sebab itu kecenderungannya ialah, bahwa perusahaan akan mengalah dan meluluskan permintaan uang pesangon yang tinggi dari buruh nakal. Sedangkan pegawai yang baik, yang berhenti/meletakkan jabatannya/keluar secara baik-baik menerima upah bulanannya kecil dan ketika keluar akan memperoleh uang selamat tinggal yang kecil pula. Dengan demikian..... untuk apa menjadi pegawai yang baik?
Peraturan ketenaga-kerjaan dibuat dengan maksud baik, yaitu menolong buruh ketika diberhentikan, mencegah buruh untuk berpindah-pindah kerja. Sayangnya peraturan ini masuk ke dalam kategori produk yang dibuat dengan pandangan yang pendek sehingga akibat sekundernya lebih buruk dan lebih merugikan. Untuk apa jadi pegawai yang baik kalau gajinya kecil dan uang selamat tinggalnya juga kecil. Mungkin itu sebabnya banyak pekerja professional Indonesia bisa berprestasi di luar negri (di negara yang lebih bebas) dibandingkan di Indonesia. Karena di Indonesia, tidak ada insentif untuk menjadi pegawai/buruh yang baik.
Pengelolaan Tenaga Kerja Indonesia yang Tidak Diperlukan
Salah satu layanan pemerintah c.q. Departemen Tenaga Kerja untuk para pekerja Indonesia (TKI, tenaga kerja Indonesia) di luar negri adalah perlindungan. Perlindungan terhadap ketidak adilan dan kesewenang-wenangan majikan, terhadap hukum di negara itu dan lain sebagainya. Tetapi pada prakteknya yang disebut perlindungan yang diberikan pemerintah c.q. Depnaker terhadap tenaga kerja hanyalah pura-pura alias palsu saja. Kalau dalam dunia pengobatan namanya placebo yaitu kapsul yang isinya tepung trigu atau gula yang tidak punya khasiat obat sama sekali. Placebo ini diresepkan sekedar untuk memberi ketenangan dan effek psikologi saja.
Setiap kali ada musibah terjadi pada TKI atau TKW (tenaga kerja wanita) seperti dianiaya, gajinya tidak dibayarkan, semua orang berteriak, apa lagi LSM (lembaga swadaya masyarakat) dan media masa, bahwa pemerintah perlu melakukan sesuatu. Orang-orang yang sok tahu ini tidak pernah berpikir bahwa dalam kasus ini pemerintah tidak bisa berbuat sesuatu yang effektif. Tetapi LSM tugasnya berteriak, juga media masa harus berteriak dan mengkritik pemerintah. Itu tugas mereka. Walaupun yang diteriakkan isinya tidak rasionil.
Menindak lanjuti teriakan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan media masa, maka pemerintah membuat banyak peraturan-peraturan, tetapi tidak satupun yang mengenai sasaran. Pembatasan pengiriman TKI, pemberian syarat-syarat bagi calon TKI dianggap sebagai cara pelayanan perlindungan TKI. Tentu saja cara-cara ini tidak effektif. TKI Perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negri hanya effektif jika pemerintah ada di luar negri dan bisa mengimplementasikan program perlindungannya luar negri sana, bukan di dalam negri. Sayangnya luar negri artinya luar jurisdiksi pemerintah. Dengan kata lain, pemerintah tidak bisa berbuat banyak (baca: tidak bisa berbuat apa-apa) untuk melindungi TKI.
Pemerapan pembatasan dan persyaratan pendidikan, umur, keterampilan, dan lain sebagainya, bak melawan keinginan pasar. Dorongan untuk bekerja di luar negri dalam rangka memperbaiki nasib, lebih kuat dari pada pagar-pagar yang dibangun pemerintah. Maka muncullah segala macam pemalsuan; umur, ijasah, surat keterangan, kartu penduduk. Bahkan peraturan tidak diperdulikan lagi, maka lahirlah tenaga kerja ilegal.
Sepertinya pemerintah tidak mengerti bahwa para TKI sudah memperhitungkan secara sadar akan resiko yang dihadapi. Sehingga aturan-aturan yang seyogyanya untuk melindungi mereka, tidak diikuti. Dengan kata lain TKI ini mengatakan: “Saya tidak perlu perlindunganmu pemerintah! Resiko kutanggung sendiri.”
Saya cukup lama menjadi TKI di Inggris, Singapura, Canada, Saudi Arabia, Malaysia serta negara lain; dan selalu berusaha menghindari berurusan dengan departemen tenaga kerja (Depnaker). Alasannya bahwa layanan perlindungan pemerintah tidak saya perlukan, untuk apa membuang-buang waktu dan uang. Walaupun demikian ketika bekerja di Saudi Arabia, saya tidak bisa menghindar dari berurusan dengan departemen tenaga kerja karena sulitnya lolos dari peraturan yang dibuat bersama imigrasi Saudi Arabia.
Ada suatu cerita tentang seorang teman yang bekerja di sektor eksplorasi dan produksi minyak di Saudi Arabia. Suatu hari, sekitar tahun 2006, ia jengkel karena ketika hendak kembali ke Saudi Arabia dari (cuti) off-daysnya. Pasalnya dia tidak diberi boarding pass pesawat terbang karena tidak bisa menunjukkan surat lapor-cuti dari Depnaker. Ternyata ada peraturan Depnaker (Departemen Tenaga Kerja) yang baru diberlakukan di minggu itu yang tidak diketahui sebelumnya oleh teman saya itu. Terpaksa dia mengurus dulu selama seminggu dan harus bayar $25. Masih untung bahwa pada saat itu tidak ada pekerjaan yang memerlukan penanganan dengan segera. Kalau ada pekerjaan yang mendesak, mungkin dia bisa dipecat.
Entah apa yang dipikirkan pembuat surat edaran itu. Mungkin sebagai usaha untuk melindungi TKI. Entah melindungi dari apa. Yang pasti teman saya malah terkena resiko dipecat dan rugi banyak. Itulah konsekwensi sekunder yang buruk dan tidak terpikirkan pemerintah ketika membuat peraturan itu.
UU Kepemudaan – Pemerintah Mau Menjadi Bank Investasi
Pemuda dan wanita ditampakkan seakan menjadi sorotan. Ada kementerian pemuda dan ada kementerian wanita. Tetapi tidak ada kementerian anak-anak atau bapak-bapak apa lagi kakek-kakek. Dalam urusan kepemudaan, jaman Reformasi adalah jaman kebablasan kalau dikaitkan dengan urusan kepemudaan. Pemerintah mau jadi bank investasi bagi pemuda. Rupanya bank-bank serta institusi-institusi keuangan dan permodalan dirasa tidak cukup atau tidak cukup pandai dalam melihat pangsa pasar. Maka pemerintah merasa bahwa potensi pasar di kalangan pemuda cukup besar. Pernyataan ini hanyalah sarkasme saya saja.
Pada tahun 2009 para pembuat undang-undang, mengeluarkan peraturan baru tentang pemuda yaitu UU no 40 tahun 2009. Isinya banyak sekali. Salah satunya adalah mengenai kewiraswataan. Masalah duit. Pemerintah dan duit adalah dua hal yang membuat melarat. Karena birokrat umumnya bukan pengelola keuangan rakyat dan bisnis yang baik. Pernyataan ini punya kata bersayap yaitu umumnya. Jadi bisa saja, ada birokrat yang baik dalam mengelola bisnis dan uang.
Berikut ini adalah beberapa cuplikan dari UU Kepemudaan yang berkaitan dengan uang yang disebutkan tadi:
Bab VIII pasal 27 ayat 3 butir g
Pengembangan kewirausahaan pemuda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui bantuan akses permodalan.
BAB XIV Pasal 51
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyediakan dana dan akses permodalan untuk mendukung pengembangan kewirausahaan pemuda.
(3) Dalam hal akses permodalan untuk mendukung pengembangan kewirausahaan pemuda sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah membentuk lembaga permodalan kewirausahaan pemuda.
Rupanya pemerintah tidak merasa puas dengan posisinya sebagai bank sentral, kreditur utama bagi bank-bank komersial, bank-bank retail, tetapi mau terjun langsung menjadi bank retail, penyalur kredit langsung ke bisnis. Sejarah menunjukkan bahwa adanya bank sentral selalu berujung kepada kesengsaraan masyarakat, sekarang mau menjadi kreditur retail. Ini adalah ide dari orang yang tidak pernah belajar dari sejarah.
Bank-bank komersial swasta penyalur kredit ke masyarakat adalah badan usaha pencari untung, sehingga penyaluran kredit dilakukan dengan seleksi yang ketat. Meskipun demikian, masih juga sering kecolongan. Pada dekade 1990an, adalah kecolongan yang mempunyai kategori besar, berakhir dengan krisis moneter dan hiper-inflasi di Indonesia tahun 1997-1999. Bayangkan kalau bank penyalur kredit ini (lembaga permodalan kewirausahaan pemuda) adalah badan pemerintah yang non komersial. Apakah perekrutan pegawainya sampai tingkat staf operasionil akan cukup ketat dalam konteks kemampuan perbankannya bukan dalam konteks afiliasi partai/politiknya? Apakah praktek kroni kapitalisme dan sosialisme hutang bisa dicegah? Bila dasarnya bukan bisnis berapa kerugian lembaga permodalan kewirausahaan pemuda tiap tahun yang boleh ditanggung oleh pembayar pajak? Bagaimana menilai kesuksesan hasil kerja lembaga permodalan kewirausahaan pemuda ini?
Korupsi di Indonesia sudah banyak akibat besarnya birokrasi. Dengan adanya lembaga permodalan kewirausahaan pemuda, akan bertambah pintu korupsi yang baru. Mungkin bukan pintu korupsi, tetapi pintu usaha untuk memperkaya teman dan kroni secara legal. Mungkin inilah yang menjadi tujuan UU Kepemudaan. Uang tidak akan mengalir ke penggunaan yang optimum bagi ekonomi, melainkan akan ke tujuan-tujuan politik dan perorangan, bila uang ini disalurkan oleh para birokrat. Opini yang sangat su’udhon dan skeptis, tetapi punya peluang untuk terjadi.
1 comment:
You cannot solve the problem of tyrannical imposition by "taxing the rich."
You're concentrating on superficialities, pushing for additional taxes, and marketing musicians.
- Eliminate central banking
- Eliminate all subsidies of all types
- Eliminate the ability of Governments to acquire debt
- Eliminate corporate personhood
- Institute an unalterable consumption tax
- Shrink Government in all ways possible
Post a Comment