Birokrasi Yang Ramping Dan Campur Tangan Pemerintah
Ironis sekali, pada kenyataannya bahwa dari data yang dikumpulkan oleh the www.heritage.org, negara-negara yang campur tangan pemerintahnya sedikit atau condong pada laissez-faire, justru memberikan kesempatan untuk pencapaian kemakmuran yang lebih besar, tetapi banyak orang berpikir untuk memperoleh campur tangan pemerintah dan memperoleh pertolongan pemerintah. Apalagi pada saat hidup sangat menghimpit, bukannya meminta tolong kepada Tuhan seperti ajaran agama mereka, tetapi berpaling kepada pemerintah. Mungkin Tuhan tidak dianggap riil.
Dengan kata lain, bahwa sesungguhnya dengan banyaknya campur tangan pemerintah justru memperparah keadaan. Hal ini juga diakui oleh the founding fathers dari Amerika Serikat, Thomas Paine: Pemerintah, sekalipun yang terbaik, tidak lain adalah pembawa kesengsaraan..., katanya. Kebanyakan orang berpikir sederhana dan punya jarak pandang yang dangkal, sehingga sulit menerima segala penjelasan bahwa campur tangan pemerintah tidak diperlukan untuk banyak pengaturan dan regulasi.
Dibalik ketidak-percayaan sebagian orang terhadap pengaturan tanpa pemerintah, pada kenyataannya, banyak badan-badan non-pemerintah yang menyediakan jasa peraturan dan tata pengaturan, dari mulai Underwriter’s Laboratories, lembaga keagamaan, majelis Ulama, semua melalui keikut-sertaan suka rela. Underwriter’s Laboratories memberi label “UL” pada barang elektronik yang mereka syahkan keamanannya. Demikian juga majelis ulama di banyak negara, memberi label halal. Demikian juga ISO, untuk standard management mutu.
Lembaga gereja Mormon dan masyarakat Amish di Amerika Serikat, serta masyarakat Darul Arqam yang umurnya pendek di Malaysia, punya aturan-aturan yang banyak yang mengatur prilaku pribadi-pribadi anggotanya dan dengan suka rela ditaati. Yang menarik adalah bahwa Mormon di Amerika Serikat dan Darul Arqam di Malaysia mempraktekkan poligami. Ketiga contoh di atas adalah merupakan masyarakat yang terbilang lebih teratur dan makmur dibandingkan dengan wilayah/daerah yang bertetanggaan. Daerah mereka relatif lebih bersih, lebih baik, dan lebih aman. Kepatuhan anggota-anggota masyarakat terhadap aturan-aturan yang diterapkan oleh agama/sekte ini melebihi kepatuhan masyarakat terhadap aturan-aturan resmi yang diterapkan oleh negara. Kepatuhan terhadap aturan-aturan yang diberlakukan dalam pandangan mereka akan memberi manfaat bagi mereka, baik dunia atau akhirat. Kebebasan masih dimiliki oleh masyarakat ini. Kalau mereka tidak suka terhadap aturan-aturan yang diterapkan, mereka dibebaskan untuk pergi kapan saja.
Ketika konflik etnis di Maluku masih berkecamuk di awal dekade 2000, Laskar Jihad pimpinan Ustadz Ja’far Thalib, masih bercokol di Maluku dan menerapkan tata penghukuman syariah (Arab: Hudud, Inggris: Islamic penal code) di wilayahnya. Ada satu kejadian yang sangat menghebohkan, yaitu pelaksanaan hukuman rajam (hukuman mati dengan dilempari batu) pada tanggal 27 Maret 2001 kepada seseorang yang melakukan zina. Pelaksanaan hukuman itu dilakukan atas permintaan pelakunya sendiri yang bernama Abdullah (30 tahun), ayah dari 3 orang anak. Kepatuhan terhadap hukum non-formal (saingan dari hukum formal) semacam ini membuat birokrat resmi menjadi gerah, karena mereka tidak pernah memperoleh ketaatan setinggi ini atas peraturan-peraturan yang mereka buat. Karenanya Ustadz Ja’far Thalib sempat berurusan dengan polisi.
Contoh Abdullah yang terjadi di wilayah Laskar Jihadnya Ja’far Talib menunjukkan bahwa hukum yang diterima secara suka rela, tidak memerlukan banyak perangkat hukum.untuk menegakkannya. Sekarang bandingkan dengan reaksi pejabat pemerintah dan politikus pemerintah yang tertangkap basah korupsi, menerima sogokan, atau menonton video porno ketika sidang pleno DPR. Mereka ini walaupun sudah tertangkap basah, masih juga menyangkal dan perlu polisi serta jaksa penyidik. Tidak hanya itu, mereka juga akan berusaha menyogok jaksa dan hakim supaya kasusnya diringankan bahkan dibebaskan.
Cerita di atas adalah contoh-contoh yang ekstrim untuk membuat kontras inti persoalan. Banyak peran pemerintah yang bisa diambil alih oleh masyarakat. Pada kenyataannya sekarang Sering kali pemerintah menjadi saingan masyarakat. Dalam hal fungsi departemen agama misalnya. Fungsi pembinaan moral dan spiritual lebih banyak dilakukan oleh dai, penceramah, pendeta non-pemerintah yang berasal bukan dari (digaji oleh) Departemen Agama. Dalam hal haji, pemerintah (haji ONH) harus bersaing dengan travel biro penyelenggara haji (haji ONH plus). Demikian juga Departemen Sosial yang bersaing dengan badan-badan amal dan badan zakat. TV pemerintah bersaing dengan TV swasta dan TV kabel, Bulog bersaing dengan tengkulak, pengelola jalan tol bersaing dengan jalan pemerintah (yang iurannya ditarik dari pajak kendaraan), PAM (perusahaan air minum) dengan monopolinya versus perusahaan air kemasan dalam penyediaan air bersih untuk minum. Anda bisa menilai dari sudut mutu servis yang diberikan antara badan pemerintah dengan swasta. Harus diingat bahwa swasta tidak menarik pajak, artinya mereka benar-benar hidup dari jasa yang mereka berikan. Sedangkan untuk jasa pemerintah, tidak semua pembayar pajak menikmati apa yang mereka bayar. Jangan heran kalau usaha-usaha penggelapan pajak, melarikan diri dari kejaran pajak oleh individu wajib-pajak dianggap wajar. Satu-satunya sebab orang membayar pajak adalah karena dipaksa.
Tanpa data-data dari Heritage.org, orang awam sulit percaya bahwa semakin sedikit campur-tangan pemerintah malah memberikan peluang yang lebih besar kepada masyarakat untuk bisa lebih makmur. Sulitnya menerima kenyataan seperti ini diungkapkan oleh Kennedy dengan baik sekali:
The great enemy of the truth is very often not the lie - deliberate, contrived and dishonest - but the myth - persistent, persuasive and unrealistic (John F. Kennedy, presiden Amerika Serikat, pada pelantikan sarjana Yale University, 1962)
Lawan utama dari kebenaran sering kali bukan kebohongan – yang disengaja, yang direkayasa, yang nyata-nyata tidak jujur, akan tetapi mitos yang melekat, sangat dipercaya dan tidak realistik.
Presiden Abdurahman Wahid pernah membubarkan Departemen Penerangan, dan negara Indonesia tidak mengalami bencana apa-apa. Ini membuktikan bahwa keberadaan Departemen Penerangan tidaklah essensial. Pada kenyataannya selama tahun 1956 – 1973 (16 tahun), Indonesia tidak mempunyai wakil presiden, dan negara Indonesia tidak apa-apa. Ketika jaman Hindia Belanda, wakil rakyat hanya 38 orang dan kementerian negara hanya ada 5 saja. Oleh sebab itu andaikata, institusi-institusi seperti Departemen Penerangan & Informasi, wakil presiden, Departemen Agama, Departemen Sosial, Departemen Tenaga Kerja, Departemen Peranan Wanita dan Pemuda, Bank Sentral, wakil gubernur dan wakil bupati serta sebagian besar wakil rakyat di parlemen dihapuskan, tidak akan membuat suatu negara runtuh. Di banyak negara, posisi wakil perdana menteri, wakil gubernur tidak ada.
Yang sebenarnya sudah jelas dan nyata tidak berguna adalah institusi wakil presiden. Menurut UUD 45 wakil presiden dipilih rakyat dan tugasnya adalah:
Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya. (UUD 45 Amendemen pasal 8)
Hanya itulah tugas wakil presiden berdasarkan dari keseluruhan isi konstitusi Indonesia. Secara sarkastik, bisa dikatakan bahwa selama presiden masih sehat dan berfungsi serta tidak berhalangan, maka kerja wakil presiden adalah berdoa supaya presiden cepat-cepat mati atau sakit. Andaikata Indonesia menghapuskan institusi wakil (dari mulai wakil presiden, wakil menteri, sampai wakil lurah) serta staf-stafnya, kemudian juga departemen-departemen dan institusi-institusi pemerintah yang tidak essensial, berapa banyak uang pajak yang tidak perlu disetorkan ke pemerintah untuk membiayai institusi-institusi ini dan penunjang-penunjangnya. Uang tersebut bisa dinikmati secara langsung oleh yang berhak, yaitu mereka yang memeras keringat untuk memperolehnya dan menjadikan mereka lebih makmur. Mengalahkan mitos bahwa institusi-institusi ini essensial dan penting, perlu perjuangan yang mungkin sangat panjang.
Pada periode buku ini ditulis, saya terlibat dalam sebuah percakapan dengan mantan wakil walikota Bandar Lampung tahun 2000 – 2005, Ahmad Yulizar. Dia menginjinkan percakapan ini dikutip di buku ini. Hal ini terjadi ketika berjumpa dengannya. Saya mengajukan pertanyaan yang menyodok: ”Apakah yang kamu kerjakan selama menjadi wakil walikota Bandar Lampung, hanya sekedar mendoakan walikotamu supaya cepat mati atau sakit?”
Dia tersenyum dan katanya: ”Untuk apa saya lakukan itu? Orang yang seperti itu hanyalah orang yang mau korupsi. Saya tidak berminat korupsi tetapi hanya mau makan gaji buta. Tidak punya tanggung jawab tetapi digaji.”
Mantan wakil walikota yang baik ini tersenyum ramah, mengakui apa yang terjadi dan sama sekali tidak menyangkalnya. Itulah yang terbaik yang dapat dilakukannya dan tidak korupsi.
Dalam hal ukuran birokrasi, ada kasus yang menarik dalam sejarah Indonesia yaitu periode tahun 1964-1966. Pada periode ini Indonesia mengalami keterpurukan ekonomi yang hebat. Pada periode ini ukuran kabinet mencapai kurang lebih 100 menteri (kabinet Dwikora I, II dan III), sehingga sering disebut kabinet 100 menteri. Inflasi tidak terkendali dan puncaknya di level 620%. GDP/PPP turun 7% dihitung dari saat kabinet ini bekerja sampai setahun setelah dibubarkannya. Ini mungkin merefleksikan kaitan antara besarnya birokrasi dengan kesengsaraan. Bisa dibayangkan jika ada 50 juta orang hakim dan jaksa, 1 juta anggota DPR dan 1 juta orang menteri. Atau sebaliknya; hanya 4 menteri, 38 anggota DPR. Pasti sangat kontras hasilnya. Lima (5) kementerian dan 38 orang anggota parlemen adalah birokrasi di jaman Normal dimasa penjajahan Belanda. Perhatikan kata jaman Normal, nama Normal adalah nama yang diberikan oleh kakek dan nenek kita dulu yang hidup dan mengalami masa dengan rentang tahun dari 1920 sampai 2000 atau lebih. Tentu saja istilah jaman Normal itu tidak akan pernah muncul di buku sejarah resmi, karena akan merendahkan jaman-jaman lain yang dianggap tidak normal.
Disclaimer:
6 comments:
Ngomong2 Analisa Ekonominya Mana?,selain salah terus,Kok Malah Out Of Topic dari Tema Blognya?
Kenapa bung IS tidak lagi bahas investasi...? apa sudah patah arang dgn investasi...? saya mau dengar pendapat bung IS saat $index sedang rally, apa bisa lanjut hingga 81.
Pak IS
Bagaimana logika hukuman mati bagi Koruptor ?
Hukuman mati bagi koruptor menjadi perdebatan sengit. Koruptor belum ada yang dihukum mati. Padahal, Setelah berstatus napi, koruptor sama dengan napi narkoba dan napi teroris yang bisa (sudah) dihukum mati.
Hukuman mati memiliki dampak yg sama bagi semua pelaku kejahatan, yaitu kejahatannya berhenti dan tidak diulang di kemudian hari karena pelakunya mati.
Minimal, hukuman mati bisa dilakukan pada residivis kambuhan yang tertangkap lagi...
terimakasih...
Di Header Blog tertulis : Kalau anda merasa kurang nyaman dengan ilmu sejarah, agama, ekonomi, sosial dan politik yang diajarkan di sekolah, dan ingin mencari jawaban yang objektif, maka disinilah tempatnya. Blog ini membahas masalah makro ekonomi, politik dan investasi dari sisi pandangan orang waras dan yang berjiwa merdeka. Fokus Utama: Saham, Emas, Mata Uang, Bond, Perundang-Undangan, Ke(tidak)bijaksanaan Pemerintah, Politik, Ekonomi Makro.
Bahasan Penipu,penipu ulung..... ini masih nyambung lah :) Kalau analisa Saham dan Komoditi, sepertinya nunggu QE3, jika The Fed "meluncurkan" QE3, masukkin aja semua dana ke saham atau Reksadana saham hehehehe
setuju Bank Sentral dihapus, tapi di mimpi, hehe, impossible lah, mana bisa penguasa dunia didepak begitu saja, bisa perang Duni 3 bro.
Anonymous, June 20, 2011 8:50 AM : Setuju Bank Sentral dihapus kalau perlu pake perang dunia ke-3 ayo aja. Kekekek...
Post a Comment