Tens of Thousand Commandments Yang Mahal
Kalau ditanya, kenapa ada peraturan dan siapa yang membuatnya. Jawabannya akan bermacam-macam. Di dalam keluarga, orang tua yang membuat peraturan. Tidak pernah ditemukan adanya keluarga dimana anak-anak yang membuat peraturan. Di masyarakat, yang membuat peraturan adalah kepala suku, penguasa, otoritas, jagoan, dan sejenisnya. Selebihnya harus tunduk kepada peraturan itu sendiri. Tidak salah jika pembuatan peraturan dipersepsikan dan diasosiasikan dengan pamer kekuasaan, bersikap ngeboss (bossy). Itulah yang mungkin menjadi sebab munculnya demokrasi. Semua orang ingin berkuasa.
Bagi manusia, peraturan dan kewajiban adalah beban. Mungkin itulah sebabnya, Tuhan yang pengasih dan penyayang hanya memberi 10 perintah dan aturan yang disebut the ten commandments kepada manusia. Ketika Tuhan membuat the ten commandments, Dia tjuga idak membebankan biayanya kepada manusia. Berbeda dengan manusia, semua peraturan yang dibuat oleh para birokrat, biayanya dibebankan kepada pembayar pajak, masyarakat. Biaya itu namanya pajak. Bagi Tuhan pajak penjualan, bea masuk, dan restribusi lainnya untuk menggaji diriNya tidak ada. Mungkin karena Tuhan maha-pengasih dan penyayang tidak tamak dan sudah punya segalanya. Sedangkan para birokrat masih lapar dan tamak sehingga perlu menariki bayaran yang membebani. Mungkin juga Tuhan hanya membebani 10 perintah saja, bukan ribuan seperti pemerintah. Jadi bisa gratis. Entah mana yang benar.
Dorongan pada manusia untuk membuat aturan-aturan, bersikap ngeboss, mungkin didasari oleh keinginan berkuasa seperti Tuhan. Mau jadi saingan dari Tuhan. Kalau Tuhan mengeluarkan perintah-perintah yang harus ditaati adalah wajar, karena Dia adalah yang paling kuasa dan manusia ‘kan tidak.
Politikus birokrat, semakin beradab mereka, semakin suka mengatur, ngeboss dan membebani masyarakatnya dengan peraturan. Tidak salah kalau kita mengatakan ada puluhan ribu peraturan dikeluarkan oleh setiap negara yang modern. Dan ketika para birokrat membuat peraturan ada biaya yang dikeluarkan. Besarnya biaya ini penuh ketidak pastian dan sulit membuat perkiraannya untuk anggaran pengeluaran. Pembuatan undang-undang dasar oleh Konstituante tahun 50an misalnya, berakhir tanpa hasil. Untuk membuat undang-undang, dimulai dari rancangan undang-undang, ada uang untuk penyusunan naskah; rapat ada uang rapat; ada uang lobby, belum lagi kalau aktifitasnya dilakukan di hotel-hotel di luar kota. Untuk Republik Indonesia ini akan sangat menarik kalau ada data mengenai biaya pembuatan sebuah undang-undang; berapa biaya yang dikeluarkan untuk setiap peraturan.
Peraturan tidak hanya memerlukan biaya pada saat membuatnya (yang tentunya dibebankan kepada pembayar pajak), tetapi juga membebani ketika diterapkan, lebih-lebih dalam dunia usaha dan ekonomi. Untuk penerapannya pemerintah memerlukan perangkat pelaksanaan dan pengawasannya. Dan dari pihak masyarakat/bisnis diperlukan perangkat internal-audit agar bisa mememuhi dan mentaati (comply) peraturan itu. Belum lagi konsekwensi perijinannya, waktu dan deretan birokrasi yang semakin panjang untuk mengurus perijinan. Ini juga biaya. Pada akhirnya semua biaya ini akan dibebankan kepada konsumen melalui harga barang dan jasa. Semakin banyak campur tangan pemerintah semakin berat beban ekonomi. Jangan heran kalau Hong Kong yang lebih laissez faire (campur tangan pemerintah yang minimum) dari Inggris bisa menyusul Inggris dalam kemakmuran (yang dicerminkan oleh GDP) sekalipun pada masa itu Hong Kong masih di bawah kangkangan imperialisme Inggris.
Kalau ada badan yang menghitung berapa kerugian yang diakibatkan oleh peraturan-peraturan pemerintah di Indonesia akan sangat menarik. Di Amerika, dimana orang punya waktu dan kemudahan untuk melakukan hal seperti ini, ada badan nir-laba yang setiap tahunnya melaporkan besarnya kerugian/biaya yang diakibatkan oleh peraturan-peraturan birokrasi di Amerika Serikat. Clyde Wayne Crews Jr dari Competitive Enterprise Institute setiap tahun menerbitkan laporan yang berjudul Ten Thousand Commandments[1]. Isinya mengenai besarnya biaya yang akibatkan oleh peraturan-peraturan pemerintah. Laporan tahunan ini bisa diunduh disitus Competitive Enterprise Institute[2].
Penamaan Ten Thousand Commandments untuk publikasi itu adalah bentuk satir atas pandangan yang minor terhadap banyaknya campur tangan pemerintah dalam dunia usaha. Padahal kalau mau lebih akurat, nama publikasi itu seharusnya adalah Tens of Thousand Commandments, karena sesungguhnya jumlah peraturan-peraturan yang ada mencapai puluhan ribu.
Federal Register Amerika Serikat atau seperti lembaran negara di Indonesia mencantumkan semua pengumuman dan peraturan-peraturan yang perlu diketahui umum. Untuk tahun 2009 besarnya 68.598 halaman. Volume ini sudah turun drastis dibandingkan tahun sebelumnya 79.435 yaitu halaman. Dari 68.598 halaman ini, 20.782 halaman diperuntukkan bagi peraturan yang sudah final. Sejak tahun 1995 sampai tahun 2009 telah dikeluarkan sekitar 60.000 aturan, atau rata-rata 4.000 aturan per tahunnya. Untuk tahun 2009, ada 3.503 aturan yang sudah final. Dibandingkan dengan 125 undang-undang yang disyahkan Kongres dan Presiden, maka kebanyakan aturan-aturan baru ini dikeluarkan oleh birokrat yang tidak dipilih melalui pemilihan umum, bukan wakil rakyat. Itulah makna demokrasi sesungguhnya.
Di dalam laporan untuk tahun 2010, Ten Thousand Commandments mengatakan bahwa di Amerika Serikat, biaya yang harus dikeluarkan untuk mentaati peraturan di tahun 2009 mencapai $ 1,187 trilliun. Dibandingkan dengan laba kotor semua perusahaan di Amerika yang hanya mencapai $1,89 trillion (2007), beban biaya untuk mentaati peraturan mencapai 63%nya. Beban biaya untuk mentaati peraturan ini adalah 8,3% dari GDP (yang besarnya $ 14,253 trilliun untuk tahun 2009). Artinya jika beban biaya untuk mentaati peraturan bisa ditekan sampai nol, maka perusahaan-perusahaan di Amerika bisa memperoleh laba 63% lebih besar.
Biaya untuk mentaati peraturan ini tentu saja berpengaruh pada daya saing. Dalam hal daya saing, Amerika Serikat tidaklah terlalu buruk dibandingkan dengan negara-negara lain. International Institute for Management Development (IMD)[3], setiap tahun mengevaluasi daya saing negara-negara di dunia, membuat rankingnya dan menerbitkan hasilnya dalam The World Competitiveness. Ringkasannya bisa diunduh dari situs internetnya[4].
Untuk tahun 2009 (publikasi tahun 2010), coba terka, 3 negara mana yang mempunyai daya saing paling tinggi? Jawabannya yang pasti bukan negara-negara sosialis yang sarat dengan peraturan, akan tetapi adalah Singapura di tempat teratas, diikuti oleh Hong Kong dan Amerika Serikat. Menarik bukan? Singapura dan Hong Kong adalah negara kecil dan tidak mempunyai sumber alam bisa menjadi negara yang mempunyai daya saing tinggi.
Tahun sebelumnya Singapura menempati posisi ke 3 dan Hong Kong ke 2, sedangkan Amerika Serikat menempati posisi pertama. (Catatan: Indonesia menempati posisi ke 36 untuk tahun 2009). Posisi Hong Kong dan Singapura dalam hal kemampuan bersaing selaras dengan atmosfir kebebasan yang rankingnya dilakukan oleh Heritage.org. adalah yang tertinggi. Jadi Singapura dan Hong Kong ini memang dipandang sebagai negara yang paling bebas dan paling tangguh daya saingnya. Tanpa sumber alampun mereka bisa makmur. Modalnya hanya kebebasan berusaha yang sangat luas.
Antara indeks daya saing yang diterbitkan dengan IMD.org dan indeks kebebasan yang diterbitkan oleh Heritage.org ada korelasi yang kuat. Grafik V- 14 menunjukkan korelasi antara indeks kebebasan dan indeks daya saing dari 58 negara yang disurvey oleh IMD dan hasil survey Heritage.org. Grafik ini menunjukkan adanya koralasi yang bagus. Arti dari grafik ini adalah, bahwa semakin bebas suatu negara maka daya saingnya pun semakin tinggi. Dari dari pembahasan sebelumnya, korelasi ini selanjutnya meluas jangkauannya kepada kemakmuran.
Pembaca boleh iri melihat kemakmuran negara-negara yang tidak mempunyai sumber alam seperti Singapura dan Hong Kong. Mereka memberi contoh yang jelas. Kalau Indonesia mau semakmur dan sekompetitif mereka, contohnya sudah ada.
Grafik V- 14 Korelasi antara Kebebasan dan Daya Saing versi IMD dan Heritage.org
Untuk Indonesia, entah berapa banyak peraturan-peraturan yang resmi dari pusat, provinsi, kabupaten, adat dan yang tidak resmi. Kalau ada badan seperti Competitive Enterprise Institute di Indonesia yang memantau beban ekonomi dan daya saing sebagai biaya yang dikeluarkan untuk mentaati peraturan, maka laporannya mungkin harus disebut Ten Million Commandments, mengingat banyaknya peraturan-peraturan di negara ini. Saya tidak tahu berapa jumlahnya, tetapi diukur dari kemampuan dan daya saing Indonesia, patut diduga bahwa beban untuk mentaati peraturan cukup tinggi dan peraturan yang harus ditaati lebih banyak dari pada yang dimiliki Amerika Serikat. Ini hanya dugaan saja. Dasarnya yang lain adalah banyaknya lapisan birokrasi, dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan, dan banyaknya instansi yang terkait tetapi tidak ada sangkut-pautnya langsung, seperti lingkungan dan tenaga kerja. Ini tidak termasuk kelompok adat setempat yang menuntut program community development gratis. Banyak waktu yang dikeluarkan untuk mengetuk pintu, banyak juga uang yang harus dikeluarkan sebagai uang ketuk pintu dan uang untuk menjaga agar tetap bisa compliance terhadap peraturan. Itulah yang membuat rendahnya daya saing, yang kemudian menjalar kepada pencapaian kemakmuran.
Catatan EOWI:
Kami sedang mempertimbangkan untuk menghentikan untuk sementara dongeng PENIPU, PENIPU ULUNG, POLITIKUS DAN CUT ZAHARA FONNA (PPUPCZF), mungkin selama 1-3 minggu karena kami ingin melakukan editing terhadap naskah yang sudah ada dan juga untuk mengevaluasi kisah yang sudah diterbitkan. Hal ini agar kwalitas dagelan sadoniknya bisa membuat pembacanya tersenyum lebih lebar.
Mungkin hal ini akan kami lakukan mulai minggu depan setelah bab tentang pajak diterbitkan, karena kwalitas joke pada bagian awal bab ini masih bisa membuat pembaca tersenyum. Mungkin juga tulisan ini adalah titik penghentian sementara itu, agar kisah tidak terputus.
Kami juga sedang mempempersiapkan sebuah tulisan berseri yang bertema investasi untuk dekade 2010 - 2020, yang akan diberi judul Trade of the Decade. Materi outlinenya masih dalam bentuk konsep, karena semuanya sangat bergantung dari data yang diperoleh. Penerbitan Trade of the Decade ini mungkin baru bisa dimulai ketika PPUPCZF selesai, kami perkirakan 4 bulan mendatang.
Harap pembaca maklum.
[1] Ten Thousand Commandments, An Annual Snapshot of the Federal Regulatory State, Clyde Wayne Crews Jr, Edisi 2010, Competitive Enterprise Institute.
[2] http://cei.org/publication-types/studies
[3] http://www.imd.org/
[4] http://www.imd.ch/research/publications/wcy/index.cfm
Disclaimer:
2 comments:
apa? ini berita buruk....
masa sih harus dihentikan?
posting apa saja mas Imam semar...
syg sekali klo harus dihentikan apalgi smp 3 minggu...khkhkh kering.
klo pun mmg harus berhenti sementara, semoga bisa cepat balik...
viva EOWI
Perhatikan ini : Each central bank... Sought to dominate its government by its ability to control treasury loans, to manipulate foreign exchanges, to influence the level of economic activity in the country, and to influence cooperative politicians by subsequent economic rewards in the business world."
Carroll Quigley, Professor, Georgetown University ... jadi politikus boleh berubah tiap Pemilu, penguasa ya para banker, jangan terlalu fokus pada monyet politikus, mereka hanya boneka badut saja yang dimainkan para banker penguasa dunia.
Post a Comment