Keinginan pemerintah dan para politikus untuk merambah ke berbagai aspek kehidupan ekonomi masyarakatnya nampak pada awal konstitusi Indonesia dan amendemennya. Dibidang ekonomi, pasal 33 dan pasal 34 UUD 45 nampak jelas nuansa sosialismenya. Dengan amendemen IV menjadi lebih lengkap, kecuali pasal 33 UUD 45 ayat 4 (amendemen) yang maknanya tidak jelas. Jangan heran kalau pada penerapannya ke undang-undang dan tindakannya pemerintah menjadi sangat mengganggu.
Pada saat negara Republik Indonesia didirikan para founding father, berpikir bahwa peran dan posisi pemerintah bak sang maha kuasa, pemberi kehidupan dan pemelihara rakyat yang menjadi miliknya. Pengaruh semangat komunisme Russia/Uni Soviet sangat kuat. Walaupun di dalam UUD 45 tidak ada pasal yang menyatakan perampasan tanah dari tuan-tuan tanah, tetapi dikemudian hari pembatasan kepemilikan tanah melalui undang-undang land-reform tahun 1960 menunjukkan nuansa komunis. Kemudian, dasar perekonomian Indonesia dinyatakan dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar 45, walaupun tidak nampak jelas, tetapi penafsirannya juga berbau komunis/sosialis. Ketika dibuat amendemen UUD 45 di tahun 1999 – 2002, nuansa sosialis (kalau tidak mau disebut komunis) semakin kental. Peran pemerintah dan perencanaan terpusat di pemerintahan semakin kuat cengkramannya. Inisiatif, kebebasan berusaha terasa semakin dikurangi. Entah apa yang ada di dalam benak para pembuat undang-undang. Tidakkah mereka tahu bahwa kemakmuran berbanding lurus dengan kebebasan berusaha/ekonomi. Nampaknya yang namanya kebebasan semakin dipasung dan Indonesia menjadi semakin sosialis.
Pasal 33 UUD 45:
1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. (amendemen IV, 2002.)
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. (amendemen IV, 2002)
Koperasi ditafsirkan sebagai alat perwujudan dari ayat 1. Itu letak persoalannya. Tidak ada koperasi yang bisa berkembang menjadi perusahaan-perusahaan besar seperti Toyota, Honda, Nokia, Boing, atau Microsoft dan menyediakan lapangan kerja yang besar. Memang ada juga yang bisa berkembang dalam ruang lingkup nasional. Dan itu karena milik pemerintah. Di Indonesia yang bisa berkembang besar adalah koperasi milik pemerintah yaitu KUD (Koperasi Unit Desa) yang tugas dan misinya menunjang sektor pertanian di jaman Suharto.
Di dalam lingkungan kekeluargaan tidak menumbuh-suburkan kultur kompetisi yang menjadi pendorong kemajuan, menciptakan produk yang dengan mutu tinggi dan kompetitif serta berkembang menjadi besar sehingga bisa menyerap banyak kenaga kerja. Jadi jangan terlalu berharap banyak kepada koperasi kalau tujuannya kemakmuran. Tujuan yang bisa dicapai oleh koperasi hanyalah suasana kerja yang tenang dan santai (pemakaian waktu yang tidak effektif).
Pemikiran bahwa monopoli oleh pemerintah sektor-sektor produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak akan membawa kemakmuran didasari oleh asumsi bahwa kultur birokrat dan kultur swasta adalah selalu sama. Kenyataannya tidak demikian. Kultur bisnis swasta di alam non-monopolistik mengedepankan kepuasan pelanggan. Siapapun yang tidak bisa memuaskan pelanggannya akan punah dengan sendirinya. Disini ada semacam pemaksaan dan tekanan alami kepada penyedia barang dan jasa untuk terus memberikan produk dan layanan yang terbaik. Di dalam sistem monopoli, apalagi monopoli oleh pemerintah, konsumen tidak mempunyai pilihan. Sehingga produsen tidak perlu memikirkan kepuasan konsumen.
Suatu kasus yang menarik ialah sektor telepon. Siapapun yang mengalami sendiri perteleponan di Indonesia, tahun 1970an tahu bagaimana buruknya. Jasa telpon pada saat itu masih dipegang badan yang berbentuk perusahaan negara, mungkin karena dianggap menguasai hajat hidup orang banyak. Untuk memperoleh sambungan telepon di rumah saja perlu waktu bertahun-tahun (baca: bertahun-tahun). Kadang harus menyogok supaya lancar prosesnya. Biaya yang dikeluarkan bisa jutaan rupiah. Untuk tahun 1988, kami harus mengeluarkan pelicin Rp 3 juta rupiah (kira-kira ekivalen dengan 180 gram emas. Sebagai perbandingan, harga rumah type 60 – luas bangunan 60 m2 dan luas tanah 100 m2 adalah Rp 18 juta). Padahal pada tahun-tahun itu, kalau minta sambungan telepon di Toronto, Canada, misalnya, hanya perlu waktu beberapa hari (1 sampai 3 hari). Itu pengalaman pribadi. Telpon pada masa itu adalah barang yang lux di Indonesia, bukan barang yang menguasai hajat hidup orang banyak. Kalau seseorang hendak menyewakan rumahnya, adanya telepon menjadi plus yang membuat rumah cepat laku.
Perkembangan pertelponan di Indonesia membaik dengan perubahan bentuk pengelolanya dan perundang-undangannya. Tahun 1989 setelah peran swasta dimasukkan, untuk memperoleh telpon menjadi lebih mudah. Tahun 2000an ke atas, ketika monopoli dihapuskan, anda bisa memperoleh telpon (telpon-sellular) kapan saja dengan kwalitas dan harga yang kompetitif. Hampir semua golongan masyarakat, dari mulai pembantu dan pemulungpun saat ini bisa menikmati telepon (sellular). Telepon bukan lagi barang mewah. Faktor teknologi memang ikut mempunyai andil dalam hal ini. Tetapi tanpa penghapusan monopoli, percepatan perkembangan penggunaan telpon sampai kepada pembantu rumah tangga, pemulung dan peminta-minta tidak akan secepat itu.
Kasus telepon adalah kasus yang unik, karena ketika dimonopoli oleh pemerintah (mungkin dianggap menguasai hajat hidup orang banyak) di tahun sebelum 1980an, telepon menjadi barang mewah, yang untuk memperolehnya orang harus menunggu bertahun-tahun dan harus menyogok. Ketika dibebaskan dari monopoli pemerintah, telepon menjadi barang yang menguasai hajat hidup orang banyak, semua orang aktif menggunakannya. Dari mulai para direktur perusahaan sampai ke pemulung, sibuk berSMS dan chatting. Sampai-sampai banyak kecelakaan lalu-lintas akibat mengoperasikan telepon sambil mengemudi sepeda motor.
Pernahkah anda berpikir kenapa di kota-kota Malaysia dan Singapura rakyatnya banyak yang bisa menikmati air minum bersih sedangkan di ibu kota Indonesia - Jakarta, air ledeng susahnya setengah mati. Sebab pertama ialah bahwa perusahaan pemerintah yang mengelola air minum di Malaysia dan Singapura lebih becus dari pada di Indonesia. Dan yang kedua adalah karena dalam hal pengelolaan air di Indonesia alternatif lain sudah tidak ada, opsi ini yang sudah ditutup oleh monopoli pemerintah. Pada pasal 33 ayat 3 UUD 45: “Bumi, air dan kekayaan alam, dikuasai negara........ ”. Kalau swasta dibebaskan menguasai bisnis air ledeng, termasuk menentukan harganya, mungkin situasinya menjadi lain. Buktinya, ketika swasta dibolehkan menguasai air minum kemasan botol, semuanya beres dan memberi kemakmuran bagi rakyat. Pemulung dan pengemispun sekarang minum air kemasan. Tentu saja harganya lebih mahal dari air ledeng karena kemasan botol plastiknya sudah mahal. Sayangnya untuk mandi air ledeng belum ada, karena swasta belum sepenuhnya dibebaskan masuk saling bersaing (termasuk menentukan harga). Andaikata kebebasan diterapkan untuk air ledeng, seperti halnya air minum kemasan, swasta dibiarkan bersaing bebas tanpa ada pembatasan harga dengan perusahaan–perusahaan air ledeng pemerintah, niscaya banyak rakyat yang bisa menikmati air mandi bersih. Walaupun ada resiko mematikan perusahaan pemerintah kalau kultur perusahaan pemerintah tidak berubah. Kasus air minum (kemasan) ini membuktikan bahwa sektor yang dikuasai swasta lebih beres dan lebih memberikan kemakmuran bagi rakyat.
Indonesia di masa depan punya peluang yang besar untuk mengalami krisis minyak dan gas. Sebabnya sederhana saja. Sebabnya tidak lain karena campur tangan pemerintah semakin banyak di sektor ini.
Sebelum tahun 2001, ketika Pertamina mengelola sektor perminyakan dan gas bumi di Indonesia melalui BPPKA (Badan Pembinaan Pengusahaan Kontraktor Asing), birokrasi lebih pendek. Pertamina sebagai badan semi-swasta kulturnya sedikit banyak masih berbau swasta. Walaupun nama Badan Pembinaan Pengusahaan Kontraktor Asing (BPPKA), terutama kata “Pembinaan” sangat ironis dengan kenyataan, karena secara teknologi, Pertamina harus dibina oleh kontraktornya yang punya teknologi yang maju, bukan sebaliknya. Siapa yang harus dibina kalau sampai tahun 2010, Pertamina tidak punya teknologi lepas pantai, Pertamina tidak punya ladang di lepas pantai, sedangkan pada dekade 70an saja, banyak kontraktor asing sudah masuk di sektor produksi minyak dan gas di lepas pantai.
Semangat reformasi pasca rejim Suharto, merombak tatanan lama. UU No. 22 Tahun 2001 mencabut posisi Pertamina/BPPKA sebagai regulator. Dan sebagai gantinya diambil Pemerintah melalui Badan Pelaksana Migas (BP Migas). BP Migas inilah sebagai kepanjangan Pemerintah, sebagai regulator manajemen kontraktor produksi minyak dan gas (PSC, Production Sharing Company). Ternyata cara kerja BP Migas lebih micro-management, mengurusi dan mencampuri hal yang kecil-kecil. Kalau rejim Suharto pemerintah mengurusi siapa yang boleh kerja di PSC, pada rejim reformasi fokusnya pada remeh-temeh yang dikerjakan kontraktor. Banyak proyek yang terhambat. Produksi minyak dan kondensat Indonesia turun dari level 1,670 juta barrel per hari tahun 1991[1] ke 950 ribu barrel per hari tahun 2009[2].
Micro-management menjadi lengkap ketika dikeluarkannya UU no 41 tahun 2008 yang salah satunya menyangkut pembatasan cost recovery sebagai bagian untuk menyelamatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dan undang-undang ini kemudian dijabarkan dalam Peraturan Menteri ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) Nomor 22 tahun 2008. Sejak saat itu cost recovery menjadi salah satu agenda DPR dan pemerintah. UU 41 tahun 2008 setahun kemudian direvisi dengan UU no. 26 tahun 2009.
Indonesia yang menganut sistem bagi-hasil produksi minyak, mempunyai mekanisme cost recovery sebagai jalan bagi kontraktor untuk mengklaim kembali biaya produksi dan investasi yang dikeluarkan. Ini termasuk gaji pegawai, perawatan/pembelian/sewa alat, dan lain sebagainya. Micro management ini mencabut dari cost recovery semua program-program yang sifatnya sebagai pemberian insentif guna mencegah keluarnya karyawan. Dan yang paling konyol lagi tidak bisanya cost recovery untuk, quote, “surplus material yang berlebihan akibat kesalahan perencanaan dan pembelian. Pembangunan dan pengoperasian projek/fasilitas yang telah Place into Service (PIS) dan tidak dapat beroperasi sesuai dengan umur ekonomis akibat kelalaian Kontraktor Kontrak Kerja Sama.” Perhatikan kata “kesalahan” dan “kelalaian” pada cuplikan peraturan menteri ini. Setiap orang yang waras yang bekerja di perusahaan yang berorientasi keuntungan tidak akan mau berbuat salah dengan sengaja sehingga perusahaannya rugi.
Di satu sudut, BP Migas ditekan untuk “berprestasi” dengan menekan cost dan cost recovery, sehingga membuat BP Migas seperti auditor dan penyidik. Di sudut lain PSC menjadi enggan berinvestasi karena dihambat oleh gaya penyidik BP Migas dan takut biaya yang dikeluarkan tidak bisa mendapatkan cost recovery. Akibatnya pembangunan penemuan-penemuan minyak mengalami hambatan. Dari pengalaman, terkadang produksi dari suatu penemuan ladang minyak harus menunggu 4-6 tahun (bisa lebih lama). Padahal sebelum UU No. 22 Tahun 2001 dan reformasi, rata-rata hanya perlu 40 bulan bila memang temuan ladang minyak itu ekonomis untuk diproduksi. Produksi minyak Indonesia menurun drastis sejak krisis moneter 1997 dan sejak itu tidak pernah bisa mendongkrak produksi. Dan Tahun 2004 Indonesia menjadi net-eksportir minyak (lihat Grafik V- 12). Lihat juga pada grafik bahwa tingkat produksi minyak mentah mulai menurun sejak masa reformasi 1998. Apakah suatu kebetulan atau cermin dari semakin parahnya campur-tangan pemerintah?
Grafik V- 12 Produksi dan konsumsi minyak Indonesia tahun 1986 - 2009
Negara yang katanya kaya akan sumber daya alam, kaya minyak, ternyata menjadi negara pengekspor minyak. Semakin berkurang perusahaan yang betul-betul mau investasi disektor minyak. Untuk tahun 2009 misalnya, dari 17 blok eksplorasi minyak yang ditawarkan pemerintah, hanya 2 diambil peminat. Padahal tahun 2008 ketika UU yang mengatur cost recovery belum diterapkan, ada 25 blok konsesi yang ditawarkan dan 22 diambil peminat.
Walaupun masih banyak prospek cekungan-cekungan geologi yang mempunyai potensi cadangan minyak, tetapi peminatnya menyurut sejak UU yang menyangkut cost recovery diberlakukan. Tragis, Indonesia berubah dari ekportir minyak menjadi importir minyak.
Kalau swasta tidak berminat, kenapa tidak negara saja yang mengeksplorasi dan mengeksploitasi saja? Bukankah bunyi kalimat di UUD 45 adalah:
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pembaca yang kritis, skeptis dan su’udhon...., pemerintah bukan organisme makhluk hidup yang perduli dan punya motivasi untuk memakmurkan rakyat dengan keringatnya sendiri. Mereka adalah sekumpulan individu – politikus dan birokrat – yang mengejar kepentingannya sendiri. Ide bahwa sektor-sektor yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak, kekayaan alam dan sumber daya mineral dikuasai oleh negara, terbatas menjadi ide bahwa swasta yang berkeringat mencari sumber-sumber alam, mengolahnya, menanggung resiko gagal dan para birokrat/politikus yang dapat nama dan keuntungan. Tetapi semua ada batasnya. Bisnis adalah bisnis, bila resiko yang ditanggung swasta terlalu besar, maka mereka akan mengatakan: “makan tuh tahi!!.” Dan .... turunlah produksi minyak nasional.
UUD 45 Pasal 34 – Sosialisme Kerakyatan
Banyak orang mengira kalau para politikus menjanjikan program kesejahteraan, uangnya datang dari langit atau tinggal memetik dipohon yang tidak ada pemiliknya. Sehingga dalam pikiran mereka bahwa sudah sewajarnya kalau politikus dan pemerintah menjanjikan dan menjalankan program kesejahteraan rakyat yang tentu saja dianggap mulia. Janji seperti yang tertuang pada pasal 34 UUD 45, seakan wajar-wajar saja. Bahkan pada UUD 45 yang lama ditambahkan amendemen mengenai pelayanan kesehatan.
Pasal 34 UUD 45:
1. Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
2. Negara mengembangkan sistem jaringan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat
kemanusiaan.
3. Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. (Amendement IV)
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. (Amendement IV)
Oleh masyarakat, program-program kesejahteraan pada pasal 34 UUD 45 itu dianggap wajar, dan mereka menganggap hal ini adalah sejalan dengan ajaran agama. Di Quran dan di Bible tidak ada anjuran bagi negara dan pemerintah untuk bersedekah dan berbuat baik kepada orang miskin. Silahkan cari. Anjuran itu adalah diperuntukkan bagi manusia – orang, bukan institusi yang disebut negara dan pemerintah. Hal ini mudah dibuktikan dengan metode pengguguran alternatif:
Kalau yang melakukan perbuatan-perbuatan sosial adalah negara maka nantinya yang masuk surga adalah negara, bukan manusia.
Sosialisme kerakyatan adalah konsep yang absurd dan agama tidak pernah menganjurkan negara untuk beramal baik. Apa lagi kalau uangnya diperoleh dari cara ambil-paksa seperti pajak.
Alexis de Tocqueville sejarawan dan pemikir yang hidup di tahun 1805 – 1859 punya kata-kata bijak tentang praktek-praktek sosialisme:
“The American Republic will endure until the day Congress discovers that it can bribe the public with the public's money.” (Alexis de Tocqueville – pemikir dalam bidang politik dan sejarawan)
“Republik Amerika akan bertahan sampai saatnya Kongres mengetahui bahwa mereka bisa menyogok rakyat dengan uang rakyat.”
Sekalipun ucapan Tocqueville mengacu pada Amerika Serikat, namun pada dasarnya berlaku umum, seperti Indonesia, Uni Soviet, Korea atau lainnya. Kalau mau belajar dari Amerika Serikat, inilah neraca keuangan Amerika Serikat. Menurut perkiraan US Government Accountability Office 2009, Amerika Serikat di tahun 2060 akan mengalami defisit antara 27% sampai 47% dari GDPnya (Grafik V- 13). Ini termasuk yang konservatif. Artinya menganggap krisis ekonomi berakhir tahun 2009. Pada kenyataannya, mungkin masih akan berkepanjangan sampai tahun 2012 atau 2013.
Grafik V- 13 Defisit menghantui negara kapitalis yang berubah menjadi sosialis.
Perubahan secara bertahap selama beberapa dekade dari kapitalis bebas ke negara welfare (negara kesejahteraan), sosialis-kapitalis kroni, pemerintah Amerika Serikat menciptakan janji-janji yang disebut Tocqueville sebagai Kongres menyogok rakyat dengan uang rakyat. Sekarang pemerintah Amerika Serikat secara bertahap mengarah ke keambrukan menahan beban kewajiban yang telah dijanjikannya sebagai welfare state alias negara sosialis. Ketika tidak ada tambahan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi untuk membiayai kewajibannya, hanya ada dua pilihan, yaitu mengingkari janjinya atau membebani generasi mendatang dengan tagihan hutang/pajak. Program-program pensiun, medicare dan medicaid, tunjangan pengangguran, yang mengalami kekurangan dana (Grafik V- 13), harus ditutup oleh generasi di masa dengan dengan pajak yang sangat tinggi, Atau sama sekali diingkari. Ini akan meluluskan para politikus dengan predikat perampok atau sebagai penipu. Tinggal pilih.
Hal yang sama untuk Indonesia dengan amendmen UUD 45nya. Apa yang dilakukan politikus dengan amendmen UUD 45, tidak lain menawarkan sogokan kepada rakyat dengan dana dari rakyat juga setelah dikurangi dengan overhead untuk membayar gaji politikus dan birokrat. Akankah kemakmuran bisa dicapai? Kemungkinan akan berakhir sama: yaitu akan meluluskan para politikus dengan predikat perampok atau sebagai penipu. Tinggal pilih saja.
Walaupun Tocqueville hidup setengah abad sebelum revolusi Bolshvik, Russia. Apa yang dikatakannya ternyata terbukti abad-abad sesudahnya. Contoh-contoh kegagalan sistem sosialisme/komunisme tidak hanya keruntuhan Uni Soviet, tetapi juga kemelaratan di negara-negara komunis dan kelambanan pertumbuhan ekonomi negara-negara sosialis dibanding negara yang condong pada laissez-faire, seperti kasusnya Inggris (sosialis) yang GDPnya tersusul oleh Hong Kong (laissez-faire), atau pesatnya pertumbuhan ekonomi Cina setelah melonggarkan banyak kekangan kebebasan berusaha.
----------------------------------------------------------------------
[2] Migas, http://www.migas.esdm.go.id/?
Bersambung.........................
3 comments:
abang ini inginnya apa ? maksud dibalik maksud, dg dikeluarkan seri2 crita2 ini yg bersambung sampe skrg seri 30 ?
Penurunan produksi minyak di Indonesia sudah ada di sisi sebelah kanan peak oil, bukan karena pemerintah/sosialisme
@Anony May 31, 2011 6:36 AM
Opini menarik,
Hanya saja, pengembangan lapangan Banyu Urip masih tersendat, marginal field masih tersisa dan cekungan yang belum dieksplor juga masih banyak.
Opini peak oil sudah ada sejak tahun 70an. Saya termasuk yang terperangkap dengan ide ini dan selama 5 tahun mengikuti karier alternatif energy yang terbukti menjadi kuburan bagi yang mengikutinya selama 20 tahun. Harga minyak mentah jatuh.
Memang untuk lapangan minyak/gas yang ada sekarang, adanya di cekungan-cekungan yang sudah mature. Mereka harus pindah ke daerah frontier.
Harus diingat bahwa pada krisis minyak tahun 70an membuka kesempatan eksplorasi di laut utara. Dan penemuan yang dilanjutkan dengan eksploitasi membungkam opini peak oil.
Kalau penemuannya di Venezuela atau negara sosialis sejenisnya, opini peak oil tetap akan bertahan. Tetapi jika terjadi di negara yang lebih bebas...., sejarah akan berulang.
Moga-moga sejarah tidak berulang secara cepat...., sehingga saya masih sempat mengumpulkan tabungan. He he he he he....
Post a Comment