CNBC.COM minggu lalu menurunkan cerita mengenai Marc Faber. Analis Gloom and Doom yang kondang. Dalam artikel yang berjudul Why Marc Faber Is Such a Bear, http://www.cnbc.com/id/42370944, dikisahkan mengenai prestasi Marc Faber. Dia meramalkan crash 1987, dua minggu sebelum kejadian. Dia juga yang meramalkan meledaknya bubble dotcom. Hanya saja, ketika ia meramalkan pecahnya bubble dotcom tahunnya adalah 1998. Dengan kata lain Marc Faber terlalu cepat 2 tahun. Dan selama 2 tahun itu Marc Faber seperti keledai dungu, indeks Nasdaq melesat 2 kali lipat. Dan ramalan Marc Faber baru terwijud tahun 2000.
Ada opini yang menarik dari Marc Faber, dia menganggap bahwa menentukan market bottom lebih sulit dari pada menentukan market peak. Saya pikir kedua-duanya sulit ditebak. Menentukan market peak atau bottom sama saja dengan menebak isi manggis. Robert Prechter mengatakan bahwa kalau kita menebak terus menerus, lama-lama kena juga. Itu sih semua juga bisa. Katanya...., yang penting terus saja menebak walaupun sampai 10 tahun. Akhirnya pasti kena tebakannya.
Robert Prechter dari Elliot Wave International telah gagal dalam meramalkan periode bull market di sektor emas dan logam mulia sejak dari tahun 2000. Dia selama ini bearish terhadap emas dan logam mulia. Hanya pada beberapa tahun (2 tahunan) menjelang koreksi 2009, dia cautiously bullish. Dan sekarang dia super bearish terhadap emas.
Saya menggunakan makro ekonomi makro jangka menengah dan jangka panjang sebagai landasan dalam menentukan arah pasar. Tetapi pasar sering berlawanan dengan kondisi makro jangka menengah dan jangka panjang. Inilah yang sering menyulitkan. Saya setuju dengan opini Prechter bahwa pelaku pasar lebih banyak dikendalikan oleh emosinya. Data-data ekonomi dipakai untuk mendukung opininya, bukan untuk membentuk opininya. Artinya, pelaku pasar misalnya sedang bullish, maka data-data ekonomi yang buruk akan disebut “less bad” atau “better than expectation”. Prechter menunjukkan bahwa para analis dan pelaku pasar tetap bullish selama berbulan-bulan padahal pasar sudah berubah menjadi bearish.
Chart berikut ini menunjukkan bagaimana para analis ekonomi biasanya terlambat memperkirakan ekonomi, dalam hal ini laba bersih indeks S&P500. Keterlambatannya bisa mencapai 1 tahun. Padahal panjang resesi yang normal misalnya, biasanya sekitar 1 tahun. Jadi pada saat resesi selesai, para peramal masih meramalkan laba perusahaan yang negatif.
Kebanyakan pemain pasar mengalami kerugian, karena keterlambatan tadi. Mereka membeli pada saat pasar sudah dekat dengan peak atau ketika pasar menjadi bearish banyak pemain pasar yang mempertahankan posisinya sampai akhirnya secara mental tidak kuat dan akhirnya melepas/menjual posisinya pada saat pasar sudah berada di bottom nya. Dan rugilah dia. Jadi siapa yang untung? Jawabnya sederhana: “Para fund manager, broker dan analis. Pasar modal adalah bisnis besar. Mereka dibayar ketika klien nya rugi atau ketika klien rugi.”
Itulah cerita tentang tebak menebak harga saham. Lain kali kita cerita tentang siapa yang untung dalam perdagangan pasar modal dan saham.
Ekonomi Dunia Belum Kemana-mana
Indikator ekonomi yang saya anggap netral adalah Baltic Dry Index (BDI). Pertama karena BDI bebas dari campur tangan para spekulator. Ambil contoh saja minyak (bahan komoditi) yang dijual di bursa komoditi. Untuk pengiriman 3 bulan kedepan misalnya, sebelum jatuh temponya, barang ini bertukar kepemilikan beberapa kali, lewat lelang. Disini para spekulan bermain. Jadi harga minyak bisa melambung tidak karuan. Harga minyak tidak bisa dijadikan indikator ekonomi. Yang bisa dijadikan indikator ekonomi adalah konsumsi minyak.
BDI adalah indeks harga/ongkos yang harus dibayar untuk mengirimkan bahan-bahan curah. Bahan komoditi termasuk bahan-bahan curah. Kenaikan ongkos pengiriman bahan-bahan komoditi bisa diartikan sebagai maraknya pengiriman bahan-bahan ini. Karena bahan-bahan ini merupakan bahan dasar, maka meningkatnya pengiriman bahan-bahan ini berarti meningkatnya kebutuhan. Yang juga berarti peningkatan kegiatan ekonomi.
Keterlibatan spekulan dalam penentuan indeks BDI ini tidak ada. Oleh sebab itu BDI adalah indikator pasar yang murni, bebas dari pengaruh spekulan. Tradingnya terbatas untuk perusahaan-perusahaan anggota saja.
Chart berikut ini adalah chart BDI sejak tahun 1985 sampai 2011.
Kita lihat pada 3 shock ekonomi terakhir yaitu krisis Asia 1997 - 1998, Nasdaq 2000 – 2001 dan terakhir krisis subprime 2007 – 2009 BDI mengalami trend turun.. Memang tidak semua penurunan BDI bisa diidentikkan dengan resesi. Karena pada dasarnya memang BDI hanya menunjukkan ada aktifitas pengapalan barang-barang curah. Kadang kala penurunan BDI disebabkan oleh hal lain. Seperti untuk tahun 2005, penurunan BDI mungkin dikaitkan dengan penurunan aktivitas pembangunan sektor perumahan di US.
Pada saat ini BDI sudah mendekati level bawah seperti pra tahun 2000, sebelum periode bull market untuk bahan komoditi.
Kalau ekonomi dunia masih belum pulih, lalu apa yang menyebabkan harga bahan komoditi membumbung? Jawabnya adalah spekulasi.
Ciri spekulasi nampak sekali pada kenaikan harga perak yang parabolik bukan sekedar orderly. Tentunya jatuhnya akan parah sekali.
Cina Bubble
Cina mengalami pertumbuhan ekonomi yang fantastis sejak tahun 1980an. Sudah 30 tahun lamanya pertumbuhan ekonomi Cina rata-rata 11%. GDP/PPP naik dari $250 di tahun 1980 menjadi $7500 di tahun 2010 (Data IMF). Pertumbuhan seperti ini mengingatkan kita pada kisah sukses Jepang di tahun 1960 – 1990. Dalam arti kata, bahwa pertumbuhan yang cepat, dimotori oleh ekspansi kredit yang luar biasa, mau tidak mau akan melahirkan bubble dan akhirnya terhenti dengan meletusnya bubble. Tentu saja kita tidak pernah tahu, kapan bubble itu akan meletus.
Untuk memperpendek cerita, kisahnya kita mulai saja dari tahun 2008. The Fed dari US melakukan berbagai stimulasi dan penggelontoran liquiditas untuk menstimulir ekonomi US. Demikian juga bank-bank sentral di bagian lain di dunia, termasuk juga Cina. Paket stimulus yang diglontorkan di Cina banyak tersalur ke fix investment, kostruksi dan aktivitas industri. Kalau targetnya adalah ekspor, maka sasarannya akan meleset. Karena konsumer dunia seperti US dan Eropa sedang megap-megap. Dan Cina tidak bisa membanjiri produknya terus menerus sampai waktu yang tidak terbatas.
Di dalam negri banyak terfokus ke sektor konstruksi, termasuk properti. Ekspansi kredit/uang mencapai 25% per tahunnya. Sama seperti di Indonesia tahun 1980an sampai 1990an. Maraknya (baca bubble) di Cina nampaknya dijadikan kesempatan bagi spekulan dunia. Yang terkena adalah barang-barang komoditi yang dipasarkan di bursa berjangka di dunia dimana spekulan bisa ikut berpartisipasi melakukan bidding. Minyak mentah misalnya, walaupun permintaan menurun dan pasokan selalu lancar, tetapi harganya melambung. Ini terjadi juga pada tembaga dan logam dasar. Kopi dan bahan komoditi pertanian juga ikut dipermainkan.
Jangan salah paham, spekulan tidak harus menahan barang dan menimbunnya sehingga pasokan langka. Tetapi dengan adanya spekulan ini barang akan berpindah kepemilikan berkali-kali sebelum sampai ke pengguna akhir. Di samping itu karena banyaknya penawar, maka pengguna akhir harus memasang penawaran yang cukup tinggi untuk mengimbangi harga dari spekulan.
Penguasa Cina nampaknya sudah menyadari hal ini. Membumbungnya harga bahan-bahan pokok tidak bagus untuk posisi mereka. Karena naiknya harga pangan dan kebutuhan sehari-hari bisa menimbulkan gejolak masyarakat.
Michael Pettis pengelola situs China Financial Market, dan professor di bidang ekonomi Cina mencurigai adanya skema peminjaman uang di Cina. Bank masih menyalurkan bantuan keuangan. Menurut Pettis, bank akan mudah menyalurkan kredit jika mempunyai agunan bahan komoditi seperti tembaga. Sikap ini ditanggapi oleh pengusaha dengan membeli bahan komoditi seperti tembaga. Di samping itu, mereka berpikir dengan pembangunan seperti sekarang ini, penggunaan tembaga akan meningkat terus. Oleh sebab itu, mereka tidak ragu-ragu untuk menimbun tembaga. Bahkan walaupun harga tembaga di bursa London lebih mahal dari pada di bursa Shanghai, mereka masih membeli, dengan harapan nantinya akan dipakai juga. Pola seperti ini sifatnya spekulatif. Andaikata spekulasi penimbunan ini dilakukan di saat harga masih rendah, akan baik hasilnya. Tetapi jika dilakukan di saat harga tinggi dan stok rumah melimpah dengan kata lain kemungkinan resiko perlambatan di sektor konstruksi semakin tinggi, maka spekulasi penimbunan ini mempunyai resiko tinggi.
Apakah hal seperti ini terjadi juga pada bahan komoditi lunak? Entahlah. Data dari Pettis menunjukkan bahwa Cina membutuhkan bahan-bahan konsumsi lain yang porsinya sangat tidak proporsional dibandingkan dengan GDPnya. GDP Cina adalah 13,6.% dari GDP dunia. Bandingkan dengan “konsumsi” semen, bijih besi, sampai dengan nikel (lihat tabel di bawah). “Konsumsi” ini sangat tidak proporsional. Konsumsi minyak Cina lebih proporsional.
Yang agak mengherankan dari data Pettis adalah makanan. Cina adalah konsumen 46,4% babi di dunia. Belum lagi telur. Padahal populasi Cina adalah 19,4% dari populasi dunia. Untuk beras, kedelai, gandum, ayam dan sapi masih masuk di akal. Apakah ada yang salah dengan data ini atau memang Cina secara kultur adalah pemakan babi dan telur serta bawang putih. Yang pasti mereka bukan pemakan semen, batu bara dan besi.
Saya mengunjungi Cina 10 tahun lalu dan 4 tahun lalu. Pada kunjungan itu saya sudah melihat bubble. Saya sudah melihat kota-kota yang sepi, gedung-gedung yang kosong. Tetapi selama itu pula bubble masih bertahan. Pada tahun lalu James Chanos ketua Kynikos Associates, hedge fund yang bergerak dalam bidang short-selling, tahun lalu mengatakan bahwa bubble konstruksi di Cina adalah 1000 kali yang ada di Dubai. Chanos yang punya reputasi selama 25 tahun lebih juga menjadi kaya karena melakukan short-selling Enron di awal dekade 2000. Padahal Enro pada masa itu adalah Wall St. darling. Jadi kalau ia mengatakan bubble dan pertumbuhan yang akan berlanjut dengan meletusnya bubble, kita patut memperhatikan apa yang dikatakannya.
Ada beberapa hal yang dikatakan Chanos beberapa waktu lalu. Salah satunya bahwa ia memperkirakan bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini sekitar 40%-50% dari GDP Cina datangnya dari konstruksi. Angka ini klop dengan pertumbuhan yang luar biasa itu, di atas 11% per tahunnya selama 30 tahun terus menerus. Angka ini saya sendiri tidak pernah melihat terjadi pada negara lain.
Kebanyakan Cina bulls menyangkal adanya bubble dengan mengatakan bahwa di Cina ada 10-20 juta per tahunnya orang Cina yang pindah dari pedesaan ke kota – urbanisasi. Jadi perlu pembangunan kota-kota baru dan perumahan. Lagi pula, katanya pembelian rumah di Cina kebanyakan dilakukan dengan cash.
Sayangnya data dan logika tidak mendukung kedua argumen di atas. Beberapa waktu lalu EOWI menunjukkan video Youtube yang menunjukkan adanya kota-kota kosong di Cina. Menurut Chanos, ada sekitar 3 milyar meter persegi properti perumahan dan perkantoran yang baru di bangun. Jumlah ini sama saja untuk memberi tempat 1 meter persegi untuk setiap penduduk Cina, anak-anak, dewasa dan orang tua.
Mengenai pembelian cash di Cina, Chanos mengatakan bahwa hal ini juga mitos. Argumennya adalah bahwa apartemen tier 2 dan tier 3 berharga sekitar $200,000. Ini adalah pangsa pasar bagi kelas menengah. Sedangkan penghasilan kelas menengah Cina berkisar antara US$15,000 to $20,000 per tahunnya. Artinya mereka harus menabung selama 10 – 12 tahun baru bisa membeli secara cash apartemen seperti ini. Lagi pula yang bermigrasi dari desa ke kota kebanyakan buruh pekerja kasar, bukan kelas menengah bawah dan menengah atas. Mereka tidak akan sanggup membeli rumah seperti ini.
Mengenai pendanaan yang katanya cash, kemungkinan mereka membeli properti melalui shadow banking, atau cara-cara lain. Itu untuk sektor perumahan, sedang untuk properti komersial – toko dan kantor, data dari Moody menunjukkan kenaikkan lebih dari 4 kali lipat selama 6 tahun terakhir ini. Ini adalah pertumbuhan sebesar 26% per tahun. Dari mana datangnya kredit itu? Begitulah wujud dari pertumbuhan 11% per tahun. Tentunya tidak akan bisa bertahan.
Chanos baru-baru ini mengatakan bahwa sudah terdengar berita yang dapat dipercaya tentang adanya beberapa pembangunan konstruksi dihentikan oleh developernya. Dia mengatakan berdasarkan pengalamannya terdahulu bahwa jika crane-crane berhenti menjulang, bubble mulai mengempis. Tetapi untuk Cina saat itu belum tiba, mungkin tidak lama lagi.
Siapakah yang akan menjadi korban jika bubble di Cina pecah?
Yang pasti adalah orang yang percaya bahwa Cina akan tumbuh dengan kecepatan seperti sekarang ini. Produser bahan komoditi yang menginvestasikan banyak kapitalnya dengan asumsi ekonomi Cina akan terus tumbuh dengan kecepatan 11% per tahun. Misalnya Vale – produser bijih besi dari Brazil. Yang satu ini membangun armada kapal pengangkut bijih besi yang besar sekali. Kemudian Australia, Canada, Brazil, Russia dan Indonesia tentunya.
Kynikos Associates menggunakan Poly Hong Kong atau Poly HK (diperdagangkan di bursa Hang Seng) sebagai sarana untuk melakukan short pasar properti Cina dan bank yang menyalurkan kredit properti real estate.
Untuk mengakhiri cerita ini, ada berita menarik. Inflasi di Cina mencapai 5,2%. Itu yang terdaftar. Sebab di Cina ada undang-undang Pengontrolan Harga. Beberapa waktu lalu beberapa perusahaan didenda karena menaikkan harga terlalu cepat. Berapa angka inflasi harga yang sebenarnya........, mungkin 10%, mungkin juga lebih. Tidak ada yang tahu.
5 comments:
Pak IS
Menurut saya, bubble china akan pecah jika dalam tahun ini mengalami penurunan surplus perdagangan berturut2 dan inflasi naik berturut2 pula. Siap2 aja 6bulan lagi... Tapi masalah terbesar justru si amerika sendiri defisit melulu. Ini bikin bingung dan bikin linglung saya. Mohon pak IS mengulasnya. terimakasih
"..., lalu apa yang menyebabkan harga bahan komoditi membumbung? Jawabnya adalah spekulasi."
"Ciri spekulasi nampak sekali pada.... Tentunya jatuhnya akan parah sekali."
Apabila kita membahas HARGA, tentu tidak terlepas dari BARANG / JASA. Namun sering kita lupakan sesuatu yang menjadi pengukurnya yaitu UANG.
Sebagai contoh, pada era 70-80 an ada sebuah lagu populer yang menceritakannya... abang tukang bakso marilah kemari... LIMA RATUS perak ).
Pada tahun 2004, menjadi Rp 4.000.
Dan sekarang ( th 2011 ), Rp 6.000
( tiap kota berbeda angkanya, harga yang saya sebut berlaku di Semarang ).
Pertanyaannya adalah ...
Apa yang menyebabkan harga bakso naik 1000% lebih dalam waktu 30 th an ?
Spekulasi tukang bakso ?
spekulasi pembeli bakso ?
Atau spekulasi investor bisnis bakso ?
Ironisnya, hal yang sama berlaku juga untuk beras, kambing, bensin, minyak tanah, dan SEMUA barang / jasa.
Tentu jawabannya LEBIH DARI sekedar SPEKULASI.
Ya...
MELEMAH secara pasti DAYA BELI uang terhadap BARANG / JASA
inilah problem sebenarnya...
logika ini sulit dipahami, karena sistem pendidikan kitalah yang telah mengatur MINDSET kita.
sehingga tidak bisa berfikir sebaliknya.
tidak bisa membedakan antara spekulasi dan SYSTEMATIC DEVALUATION.
Sehingga statement perak ( termasuk emas ) akan jatuh terhadap DOLLAR, RUPIAH
akan terjadi JIKA, pihak pencetak uang, mengintervensi.
untuk emas dan perak, mulai th 2000 adalah fase 2 ( fase naik pelan-pelan )
dan mulai 2010, mulailah fase 3
yaitu NAIK TAJAM
( kalaupun turun... tidak akan lebih dari 50%... itupun akan naik lebih tinggi dari turunnya )
karena problemnya sekali lagi
BUKAN spekulasi
tapi SYSTEMATIC DEVALUATION
akibat MASS MONEY PRINTING
pagi pak is, saya baru saja terkena margin call, saya berusaha mengikuti tren emas. awalnya untung tp selanjutnya berubah setelah osama tewa.
Pak mohon kisi kisi dalam membaca tren, bagaimana caranya dan apa saja yang dibutuhkan dan apa yang perlu diwaspadai. sedikit banyak tulisan EOWI cukup membantu. Tp ada baiknya pak is bantu kita kita yang newbie dengan postingan khusus mengenai kisi kisi investasi untuk para newbie. Terimakasih atas perhatiannya. wassalam.
@ Sigit,
Kapan pecahnya bubble di Cina adalah pertanyaan Rp 1 milyar untuk saya dan $ 3 trilliun bagi Cina.
Saya ke Cina tahun 2000 dan tahun 2007, pada masa itu sudah bubble, toh bisa bertahan sampai sekarang. Marc Faber harus menunggu 2 tahun untuk melihat ramalannya tentang pecahnya bubble nasdaq. Selama 2 tahun dia seperti keledai dungu, karena indeks nasdaq melesat 2x lipat.
Amerika defisit melulu masih bisa bertahan? Kalau dilihat, pemerintah Jepang hutang/GDP rasio yang jauh lebih tinggi dari US, tetapi masih jalan saja tuh.
Ramal-meramal dan realisasi ramalan perlu waktu. EOWI berusaha menggunakan beberapa teknik (yang terakhir adalah Elliot Wave) untuk menentukan timing, tetapi Elliot Wave, seperti halnya analisa teknikal, bukan silver bullet yang ampuh.
Hari ini kita cerita tentang emas saja......,
Cak Waras, said.
Topik anda mengenai dialog antar ideologis menginatkan saya cerita tentang “pengemis di restoran taman”. Pengemis yang kelaparan mendatangi sebuah meja yang dikelilingi 4 orang ideolog yang lagi ngobrol kosong sambil menikmati hidangan makan malamnya, seperti jalan cerita berikut:
Pertama pengemis dengan memasang muka memelas mendatangi ideolog liberal meminta sesuatu untuk dimakan. Bukan makanan yang didapat melainkan nasihat “kamu harus rajin bekerja dan harus hemat dalam belanja supaya kamu kaya, dan berusahalah secara mandiri jangan mengandalkan orang lain”. Sang liberal menambahkan “harta saya akan saya tabung untuk kebahagian di hari tua atau akan saya investasikan untuk mendapatkan return, bukan untuk saya hambur-hamburkan di jalan yang tak berguna”
Kedua pengemis bergeser ke ideolog sosialis dengan mengulurkan tangannya. Sosialis dengan cekatan langsung berorasi “wahai kaum tertindas marilah menghimpun diri membentuk organisasi yang kuat untuk merampas kembali hak kita yang diambil oleh orang kaya secara tidak adil, kita kuasai Negara supaya Negara mengalokasikan harta kekayaan di Negara kita yang sesungguhnya melimpah ruah”. Selesai orasi sang sosialis melanjutkan santapan makan malamnya.
Ketiga pengemis menemui ideolog Pancasila. Dengan bingung sang Pancasilais menjelaskan bahwa dalam undang undang dasar Negara menjamin hidup dan kehidupan orang miskin. Negara juga menganjurkan kepada masyarakat agar bersama sama memikul tanggung jawab ini sesuai keyakinan ajaran agama dan kepercayaan yang telah hidup dipersada nusantara sejak dahulu kala, kan Pancasila di gali dari bumi nusantara”.
Karena masih belum mendapatkan sesuatu pengemis kali ke empat meletak harapannya pada idelog Islamis. Pertama sekali yang dilakukan oleh sang Islamis adalah membagi sebagian makanannya kepada pengemis, setelah perut pengemis kenyang lantas diberi nasehat bahwa “mengemis itu bertentangan dengan sunnah baginda Rasullullah yang menyuruh umatnya bekerja keras walaupun mencari kayu bakar untuk dijual, kemuliaan didapat dari sikap tangan di atas, dan baginda mengancam di hari berbangkit pengemis mukanya rata tidak ada daging” Sang islamis menasehatiorang orang kaya tentang kewajiban berzakat dan mengamal sunnah sadaqah sebagai ibadah/pengabdian setiap individu kepada Tuhannya. Menganjurkan penyelenggara Negara untuk memfasilitasi masyarakatnya dalam menaati aturan dan ketentuan Allah.
Sekian.
Post a Comment