___________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Doa pagi dan sore

Ya Allah......, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari bingung dan sedih. Aku berlindung kepada Engkau dari lemah dan malas. Aku berlindung kepada Engkau dari pengecut dan kikir. Dan aku berlindung kepada Engkau dari tekanan hutang, pajak, pembuat UU pajak dan kesewenang-wenangan manusia.

Ya Allah......ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim dan para penarik pajak serta pembuat UU pajak selain kebinasaan".

Amiiiiin
_______________________________________________________________________________________________________________________________________________

Saturday, September 12, 2009

ZAKAT (TAFSIR EOWI)

Beberapa bulan lalu, mungkin tahun lalu, di koran dan media massa sempat heboh mengenai keinginan pemerintah untuk menarik zakat. Argumennya bermacam-macam. Kali ini Ekomoni Orang Waras dan Investasi (EOWI) ingin mengetengahkan topik mengenai zakat.

Saya sengaja menggunakan kata ‘tafsir’ sebagai judul artikel ini untuk meluruskan makna ‘tafsir’. ‘Tafsir’ berpadanan dengan ‘commentary’ dalam bahasa Inggris. Silahkan terjemahkan sendiri dalam bahasa Melayu dan bahasa Indonesia. Tidak ada nilai-nilai sakral tersirat dalam kata ‘tafsir’. Kalau kemudian ada yang mengsakralkan kata ‘tafsir’ itu bukan urusan kami. Orang-orang itu lah yang punya masalah emosi. Harus diingat bahwa kata-kata bahasa Arab, ketika diadopsi kedalam bahasa Indonesia mengalami pergeseran arti. EOWI dalam kaitan ini akan meluruskan kembali arti kata-kata Arab itu. ‘Gaib’ misalnya berarti ‘tidak hadir’. Kalau saya katakan bahwa ‘anak saya gaib dalam pertemuan keluarga’ maksudnya bahwa ‘anak saya tidak hadir’. Yang menarik, secara definisi di dalam Quran, shadaqah sama dengan zakat. Ini yang hendak EOWI akan luruskan.

Topik kali ini adalah zakat. Seperti biasanya EOWI akan menggunakan data dan logika untuk mengulasnya. Kami ingin membebaskan diri dari fanatisme terhadap suatu aliran dan atau seseorang. Artikel ini juga akan menjawab dan meluruskan pandangan mengenai pengundang-undangan zakat dan kriminalisasi penghindar zakat. Artinya zakat akan ditarik oleh negara dan penghindar pajak bisa dipenjara. Bagi pengikut Islam yang sangat berkomitmen akan sangat cenderung dan bersemangat untuk me-resmikan zakat dalam undang-undang syariah. Tetapi apakah semangat ini didukung oleh Quran dan Hadis? Kita akan bahas hal ini. Kita akan membatasi diskusi hanya berlandaskan Quran dan Hadis. Kebiasaan sahabat nabi tidak akan diambil sebagai landasan legal.

Untuk memudahkan menulisan artikel ini saya menggunakan situs online hadis, sehingga bisa dengan mudah melakukan ‘cut & paste’. Sayangnya hadis online ini berbahasa Inggris. Harap dimaklumi.

Inilah situs untuk hadis, yang merupakan situs University of Southern California [link: http://www.usc.edu/schools/college/crcc/engagement/resources/texts/muslim/hadith/ ]. Dan untuk Quran adalah: http://quran.al-islam.com/Index/indexi1.asp

Saya sering berhadapan dengan teman-teman yang hanya menjadi pengikut. Pokoknya ikut kata kiai, ikut kata pemerintah (dalam menentukan waktu 1 Syawal atau 1 Ramadhan). Ini bukan anjuran Quran Saya menganjurkan pembaca sekalian untuk mempelajari agama secara langsung dari buku Quran dan hadis, bukan opini para ustadz atau imam atau ahli agama. Dengan teknologi komputer seperti saat ini, mempelajari agama sangat mudah. Seperti penentuan 1 Syawal, penentuan 1 Ramadhan, penentuan jadwal sholat, sudah ada softwarenya untuk membantu melakukan perhitungan. Juga untuk mencari referensi, sudah ada digital indexing yang memudahkan pencarian. Akhirnya saya mau mensitir sebuah ayat Quran, Al Israa 71-72:


[17:71] (Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan imam-imam mereka; dan barangsiapa yang diberikan kitab amalannya di tangan kanannya maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.

[17:72] Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).

Ayat ini mengatakan bahwa anda tidak bisa menghindar dengan berdalih: “saya mengikuti imam Fulan, kok. Jangan kesalahan ditimpakan kesalahan pada saya, dong”.

Bukankah kita sudah diberi akal dan kesempatan untuk melihat apa yang telah diwahyukan? Yang menarik adalah ayat berikut Yunus 100 ini:

[10:100] Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.

Sudah diberi akal dan indra kok tidak dipakai!!!


ZAKAT MENURUT QURAN (ZAKAT = SHADAQAH)
Orang selalu membedakan antara zakat dan sedekah (shadaqah). Zakat adalah wajib dan sedekah (shadaqah) adalah suka rela. Apakah Quran mengatakan demikian? Kami akan tunjukkan bahwa Quran tidak membedakan antara zakat dan sedekah (shadaqah).

Dalam Quran kata zakat banyak digunakan. Tetapi ayat Quran yang sering digunakan untuk sebagai dasar untuk menarik zakat adalah at Taubah ayat 103:

(Q 9:103) Ambillah zakat (kata Arab yang dipakai adalah shadaqah) dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan (kata Arab yang diditerjemahkan sebagai ‘membersihkan’ adalah tuzakihim, turunan dari zakat) dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.



Ada beberapa hal yang menarik pada ayat ini. Pertama kata Arab yang diterjemahkan sebagai ‘zakat’ adalah shadaqah (lihat cuplikan text Arabnya – sh-d-q-h). Sedangkan kata yang punya akar-kata sama dengan zakat (z-k-h) diterjemahkan sebagai ‘membersihkan’. Ini hanya mungkin jika kata shadaqah dan zakah adalah ‘interchangable’, sinomim. Zakat juga berarti ‘membersihkan’. Apakah itu ‘membersihkan’ jiwa atau ‘membersihkan’ harta, bisa didiskusikan lagi.

Akan lebih jelas lagi kalau kata zakat dan shadaqah dalam at-Taubah 103 ini tidak diterjemahkan melainkan di’transliterasi’kan seperti di bawah ini:

(Q 9:103) Ambillah shadaqah dari sebagian harta mereka, dengan itu kamu menzakati mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Jelas dalam ayat ini bahwa shadaqah dan zakat adalah sama dan interchangable. Dengan demikian pengertian bahwa shadaqah dan zakat itu berbeda, tidak sesuai dengan Quran. Apalagi kalau dikatakan bahwa shadaqah itu suka rela dan zakat itu wajib dan jumlahnya tertentu. Itu tidak benar menurut Quran.

Poin pertama yang EOWI ingin tekankan bahwa Quran tidak membedakan penggunaan kata antara zakat dan shadaqah. Kalau ada ustadz masih ngotot mau membedakan antara zakat dan shadaqah, dengan mengatakan bahwa zakat itu wajib sifatnya dan shadaqah adalah suka-rela, maka anjurkanlah dia untuk melihat kembali ayat Q 9:103.

Kedua bahwa, menurut Quran, penerima zakat/shadaqah dianjurkan untuk mendoakan pemberi zakat. Ini perlu kami angkat untuk menjadikan dasar argumen pada persoalan berikutnya. (Komentar EOWI: Kalau zakat/sedekah itu ditarik oleh pemerintah, bagaimana pemerima zakat bisa mendoakan pemberinya?).


SIAPA YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT?
Quran juga sudah menggariskan, siapa-siapa yang berhak menerima zakat/shadaqah.

(Q 9:60) Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Lebih detail lagi pada ayat di bawah ini.

(Q 2:177) Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.

Disitu kerabat dan orang yang dekat dengan kita ditempatkan di nomer 1. Bahkan menurut hadis, pahalanya (apapun arti pahala itu) lebih besar dari pada zakat kepada orang lain.

Sahih Bukhari Volume 2, Book 24, Number 545:
Narrated 'Amr bin Al-Harith:

Zainab, the wife of 'Abdullah said, "I was in the Mosque and saw the Prophet (p.b.u.h) saying, 'O women! Give alms even from your ornaments.' " Zainab used to provide for 'Abdullah and those orphans who were under her protection. So she said to 'Abdullah, "Will you ask Allah's Apostle whether it will be sufficient for me to spend part of the Zakat on you and the orphans who are under my protection?" He replied "Will you yourself ask Allah's Apostle ?" (Zainab added): So I went to the Prophet and I saw there an Ansari woman who was standing at the door (of the Prophet ) with a similar problem as mine. Bilal passed by us and we asked him, 'Ask the Prophet whether it is permissible for me to spend (the Zakat) on my husband and the orphans under my protection.' And we requested Bilal not to inform the Prophet about us. So Bilal went inside and asked the Prophet regarding our problem. The Prophet (p.b.u.h) asked, "Who are those two?" Bilal replied that she was Zainab. The Prophet said, "Which Zainab?" Bilal said, "The wife of 'Abdullah (bin Masud)." The Prophet said, "Yes, (it is sufficient for her) and she will receive a double rewards (for that): One for helping relatives, and the other for giving Zakat."

Menurut hadis ini Bilal menanyakan kepada nabi tentang pertanyaan Zainab, apakah boleh memberikan zakatnya kepada Abdullah (suaminya) dan anak-anak yatim dalam perawatannya. Jawab nabi adalah ‘boleh dan pahalanya dapat dua pertama menolong kerabat dan kedua membayar zakat’.

Persoalan utama kalau zakat ditarik oleh pemerintah seperti pajak maka, peluang untuk memperoleh pahala double atas zakat/shadaqah menjadi hilang. Pemerintah belum tentu memberikan zakat itu kepada kerabat kita.

Jadi menurut Quran dan hadis, yang lebih berhak memperoleh zakat adalah saudara, kemudian orang-orang sekitar, termasuk pembantu kita, supir kita, satpam kita, tetangga, teman dan menjalar keluar. Tetapi yang terdekat harus didahulukan.

Pemberian kepada anak juga zakat. Berikut ini adalah hadisnya:

Sahih Bukhari Volume 2, Book 24, Number 546:
Narrated Zainab,:

(the daughter of Um Salama) My mother said, "O Allah's Apostle! Shall I receive a reward if I spend for the sustenance of Abu Salama's offspring, and in fact they are also my sons?" The Prophet replied, "Spend on them and you will get a reward for what you spend on them."

Pada hadis ini saya agak ragu dengan kata yang diterjemahkan sebagai ‘spend’. Karena, yang biasanya ‘spend’ juga hasil terjemahan dari kata ‘infaq’- membelanjakan, selain untuk kata ‘zakat’ dan ‘shadaqah’. Kami menganjurkan pembaca yang punya buku hadis berbahasa Arab untuk mengecheknya kembali.

Hadis berikut ini juga mengenai keutamaan memberi zakat kepada orang-orang yang menjadi tanggungan kita seperti anak, istri, pembantu, dan saudara-saudara sendiri.

Sahih Bukhari Volume 2, Book 24, Number 507:
Narrated Abu Huraira :

The Prophet (p.b.u.h) said, "The best charity is that which is practiced by a wealthy person. And start giving first to your dependents."


NABI DAN YANG MENOLAK MEMBAYAR ZAKAT
Menurut sejarah, khalifah Abu Bakar dimasa kekuasaannya memerangi kaum muslimin yang menolak membayar pajak. Terlepas apakah tidakan Abu Bakar ini benar atau salah, kita kembalikan kepada jurisprudensi nabi. Seseorang yang diutus nabi pernah menerima penolakan terhadap penarikan zakat. Mereka yang menolak adalah Ibn Jamil, Khalid bin Walid dan Abbas bin Abdul Muntalib. Khalid dibebaskan dari zakat dan penolakannya dimaklumi/diterima oleh nabi, sedang yang lain Ibn Jamil dan Abbas (paman nabi) tidak diterima. Berbeda dengan Abu Bakar, nabi tidak pernah memerangi mereka seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar.

Sahih Bukhari Volume 2, Book 24, Number 547:
Narrated Abu Huraira

Allah's Apostle (p.b.u.h) ordered (a person) to collect Zakat, and that person returned and told him that Ibn Jamil, Khalid bin Al-Walid, and Abbas bin 'Abdul Muttalib had refused to give Zakat." The Prophet said, "What made Ibn Jamll refuse to give Zakat though he was a poor man, and was made wealthy by Allah and His Apostle ? But you are unfair in asking Zakat from Khalid as he is keeping his armor for Allah's Cause (for Jihad). As for Abbas bin 'Abdul Muttalib, he is the uncle of Allah's Apostle (p.b.u.h) and Zakat is compulsory on him and he should pay it double."

Apapun yang dilakukan oleh Abu Bakar, memerangi pembangkang zakat, adalah inisiatifnya sendiri dan bukan yang dicontohkan oleh nabi. Saya tidak menemukan suatu kisah yang mengatakan bahwa nabi memusuhi para penolak zakat. Ada kemungkinan Abu Bakar rancu antara pajak dan zakat. Pajak adalah pembayaran atas jasa yang diberikan pemerintah. Jasa itu bisa berupa fasilitas infrastruktur, keamanan dan lain sebagainya. Sedangkan zakat adalah kontrak antara Allah dengan seorang muslim. Pada jaman Abu Bakar, sistem pemerintahan sudah terorganisir. Artinya pemerintah sudah menjadi sebuah institusi pemberi jasa. Jasa hakim, jasa keamanan dan lain sebagainya. Dan ini memerlukan biaya. Dari mana biaya itu diperoleh kalau bukan dari pajak. EOWI menduga bahwa Abu Bakar rancu antara pajak dan zakat. Bahkan untuk non-muslim dikenakan jazia. Semacam iuran pengganti zakat. Kasus ini memperjelas kerancuan Abu Bakar dan khalifah penerusnya untuk membedakan pajak dan zakat.


BERAPA BESARNYA ZAKAT?
Benar bahwa nabi memberikan tuntunan mengenai besarnya zakat dan batas nilai harta yang kena zakat (nisab). Zakat itu terukur. Tetapi saya meragukan bahwa hal ini sifatnya tetap. Artinya, kemungkinan hal ini adalah petunjuk pelaksanaan pada waktu itu. Seperti untuk emas, 20 dinar (kurang lebih 80 gram emas 22 karat) dan perak 200 dirham (700 gram). Sebab setahu saya dari sejarah, Khalid bin Walid sangat kaya. Dalam sejarah dicatat bahwa dia pernah memberi seseorang 20,000 dirham sebagai hadiah, bukan zakat. Tetapi Khalid pernah dibebaskan dari zakat oleh nabi.

Dibawah ini adalah hadis yang mengatakan, perhitungan detail kewajiban zakat.

Volume 2, Book 24, Number 526:
Narrated Abu Sa'id Al-Khudri :

Allah's Apostle said, "There is no Zakat on less than five camels and also there is no Zakat on less than five Awaq (of silver). (5 Awaq = 22 Fransa Riyals of Yamen or 200 Dirhams.) And there is no Zakat on less than five Awsuq. (A special measure of food-grains, and one Wasq equals 60 Sa's.) (For gold 20, Dinars i.e. equal to 12 Guinea English. No Zakat for less than 12 Guinea (English) of gold or for silver less than 22 Fransa Riyals of Yamen.)

Sahih Bukhari Volume 2, Book 24, Number 560:
Narrated Salim bin 'Abdullah from his father:

The Prophet said, "On a land irrigated by rain water or by natural water channels or if the land is wet due to a near by water channel Ushr (i.e. one-tenth) is compulsory (as Zakat); and on the land irrigated by the well, half of an Ushr (i.e. one-twentieth) is compulsory (as Zakat on the yield of the land)."

Hadis terakhir ini saya meragukan kesahihannya. Sebagai orang yang pernah hidup di Saudi Arabia, saya tidak pernah melihat sungai (channel) yang mengalir atau mempunyai air sepanjang tahun. Yang sering saya lihat adalah banjir ketika hujan dan beberapa lama kemudian air itu hilang. Jika ada sungai (wadi), maka umur airnya tidak akan lama. Jadi bagaimana mungkin ada tanah pertanian dengan pengairan?

Masih untuk kasus tanah pertanian misalnya, saat ini pertanian tidak hanya menggunakan air saja, tetapi juga pupuk, obat-obatan, sehingga perhitungan zakat akan menjadi semakin kompleks. Memang pada hadis di atas seakan ada ketentuan yang pasti mengenai besarnya nilai kena zakat. Tetapi banyak hadis yang mengindikasikan bahwa nilai kena zakat tidak ditetapkan secara kaku. Lebih banyak oleh penilaian sendiri. Seperti pada hadis Sahih Bukhari Volume 2, Book 24, Number 507 sebelumnya di atas, yang mengatakan bahwa zakat diprioritaskan bagi orang-orang yang menjadi tanggungan kita, bukankan menjadi aneh kalau jumlah zakat dan nisabnya ditentukan secara kaku.

Hadis berikut ini sebenarnya mengandung hikmah (teladan) bahwa zakat bisa diberikan kepada siapa saja, termasuk pendosa dan juga orang kaya. Tetapi dari sisi lain kita bisa melihat bahwa zakat boleh berikan kapan saja, setiap hari, beberapa hari berturut-turut, dan tidak perlu hitung menghitung dari dan jumlah.

Sahih Bukhari Volume 2, Book 24, Number 502:
Narrated Abu Huraira:

Allah's Apostle (p.b.u.h) said, "A man said that he would give something in charity. He went out with his object of charity and unknowingly gave it to a thief. Next morning the people said that he had given his object of charity to a thief. (On hearing that) he said, "O Allah! All the praises are for you. I will give alms again." And so he again went out with his alms and (unknowingly) gave it to an adulteress. Next morning the people said that he had given his alms to an adulteress last night. The man said, "O Allah! All the praises are for you. (I gave my alms) to an adulteress. I will give alms again." So he went out with his alms again and (unknowingly) gave it to a rich person. (The people) next morning said that he had given his alms to a wealthy person. He said, "O Allah! All the praises are for you. (I had given alms) to a thief, to an adulteress and to a wealthy man." Then someone came and said to him, "The alms which you gave to the thief, might make him abstain from stealing, and that given to the adulteress might make her abstain from illegal sexual intercourse (adultery), and that given to the wealthy man might make him take a lesson from it and spend his wealth which Allah has given him, in Allah's cause."

Mengenai zakat yang terukur lebih dipelopori oleh Abu Bakar, saya melihat beberapa hadis, apakah itu diriwayatkan oleh Abu Bakar atau mengenai praktek yang dilakukan oleh Abu Bakar. Misalnya hadis dibawah ini adalah perbuatan Abu Bakar, bukan nabi Muhammad s.a.w.

Sahih Bukhari Volume 2, Book 24, Number 534 (dan lainnya):
Narrated Anas:

When Abu Bakr; sent me to (collect the Zakat from) Bahrein, he wrote to me the following:-- (In the name of Allah, the Beneficent, the Merciful). These are the orders for compulsory charity (Zakat) which Allah's Apostle had made obligatory for every Muslim, and which Allah had ordered His Apostle to observe: Whoever amongst the Muslims is asked to pay Zakat accordingly, he should pay it (to the Zakat collector) and whoever is asked more than that (what is specified in this script) he should not pay it; for twenty-four camels or less, sheep are to be paid as Zakat; for every five camels one sheep is to be paid, and if there are between twenty-five to thirty-five camels, one Bint Makhad is to be paid; and if they are between thirty-six to forty-five (camels), one Bint Labun is to be paid; and if they are between forty-six to sixty (camels), one Hiqqa is to be paid; and if the number is between sixty-one to seventy-five (camels), one Jadh'a is to be paid; and if the number is between seventy-six to ninety (camels), two Bint Labuns are to be paid; and if they are from ninety-one to one-hundred-and twenty (camels), two Hiqqas are to be paid; and if they are over one-hundred and-twenty (camels), for every forty (over one-hundred-and-twenty) one Bint Labun is to be paid, and for every fifty camels (over one-hundred-and-twenty) one Hiqqa is to be paid; and who ever has got only four camels, has to pay nothing as Zakat, but if the owner of these four camels wants to give something, he can. If the number of camels increases to five, the owner has to pay one sheep as Zakat. As regards the Zakat for the (flock) of sheep; if they are between forty and one-hundred-and-twenty sheep, one sheep is to be paid; and if they are between one-hundred-and-twenty to two hundred (sheep), two sheep are to be paid; and if they are between two-hundred to three-hundred (sheep), three sheep are to be paid; and for over three-hundred sheep, for every extra hundred sheep, one sheep is to be paid as Zakat. And if somebody has got less than forty sheep, no Zakat is required, but if he wants to give, he can. For silver the Zakat is one-fortieth of the lot (i.e. 2.5%), and if its value is less than two-hundred Dirhams, Zakat is not required, but if the owner wants to pay he can.'


KAPAN MENGELUARKAN ZAKAT
Para fuqaha (ahli fiqih) mengatakan bahwa zakat dikeluarkan setiap tahun. Mereka punya istilah untuk itu, yaitu ‘haul’. Bagi orang yang berpikir, akan mengkaitkan opini para fuqaha dengan hadis berikut ini:

Sahih Bukhari Volume 2, Book 24, Number 505:
Narrated Haritha bin Wahab Al-Khuza'i:

I heard the Prophet (p.b.u.h) saying, "(O people!) Give in charity (for Allah's cause) because a time will come when a person will carry his object of charity from place to place (and he will not find any person to take it) and any person whom he shall request to take it, I will reply, 'If you had brought it yesterday I would have taken it, but today I am not in need of it."

Hadis ini mengindikasikan bahwa zakat dikeluarkan pada saat ada yang membutuhkan. Kalau ditunda, maka kemungkian tidak ada yang membutuhkan lagi. Opini fuqaha lebih dekat dengan aturan membayar pajak yang tahunan. Bisa juga para fuqaha berpikir untuk kepraktisan pengeluaran zakat saja, maka diambil tahun sebagai siklus membayar zakat.


RENUNGAN
Nada tulisan ini nampak seakan EOWI menganjurkan agar kita pelit seperti pada contoh Khalid bin Walid yang enggan bayar zakat dan direstui oleh nabi Muhammad saw. Itu bukan yang kami maksud. Maksud sebenarnya adalah menyangkal praktek zakat yang sudah diinstitusikan secara kaku, baik jumlahnya, jadwalnya, atau lainnya.

Salah satu basis hukum zakat di Quran adalah Q 9:103. Disitu jelas-jelas ada penggunaan kata shadaqah dan zakat yang interchangible. Zakat sama dengan shadaqah. Kalau para fuqaha mengatakan bahwa shadaqah bisa dilakukan kapan saja, jumlahnya bisa 10%, 50% atau 90%, maka zakat juga bisa demikian, karena tidak ada perbedaan antara zakat dan shadaqah. Abu Bakar pernah memberikan zakat 90% dari hartanya. Umar 50%. Dan banyak contoh yang dilakukan para sahabat.

Zakat adalah perdagangan/perniagaan dengan Allah. Tidak ada yang lebih menguntungkan dari berbisnis dengan Allah. Kenapa harus dibatasi 2.5% atau 5% atau 10%? Bukankah lebih banyak akan lebih baik, lebih menguntungkan?

Zakat yang bisa diartikan sebagai ‘membersihkan’ apakah itu jiwa atau/dan harta. Dalam konteks pembersihan jiwa, sudah jelas. Muslim didik untuk tidak kikir. Umar atau Abu Bakar memberikan hartanya lebih dari 50% untuk mensucikan jiwanya. Dalam konteks membersihkan harta, dikatakan bahwa di dalam penghasilan yang kita peroleh, ada hak orang lain. Misalnya seorang pegawai negri yang tidak effektif dengan gaji Rp 3 juta perbulan, banyak meluangkan waktunya main catur atau malas-malasan. Waktu effektifnya hanya 30% saja. Maka sebaiknya dia mengeluarkan zakat 70% karena penghasilan yang 70% itu bukan haknya. Juga misalnya wakil presiden, yang sebenarnya posisi itu tidak perlu (wakil presiden hanya berfungsi kalau presidennya berhalangan), maka 100% dari gajinya harus diberikan untuk zakat. Seorang peternak, mungkin ada sebagian dari rumput/pakan ternak diambil dari kebun tetangganya. Itu kotoran yang perlu dibersihkan. Kalau pedagang/penjual barang, ada advertensi yang berlebihan. Jadi zakat sebaiknya dilakukan dengan self-assessment. Karena anda dan Allah yang bisa mengira-ngira berapa banyak porsi yang bukan menjadi hak anda. Yang pasti tidak selalu tetap 2.5% atau 10%. Itu kalau zakat diartikan sebagai pembersihan penghasilan.

Opini saya mungkin salah, tetapi yang pasti saya tidak menelan mentah-mentah apa kata imam. Dengan demikian saya bebas dari ancaman yang dijelaskan pada Q 17: 71-73. Juga karena saya sudah menggunakan akal, maka ancaman yang dinyatakan dalam Q 10:100, juga sudah gugur.

Saya mengajak anda untuk menggugurkan ancaman Q 17:71-73 dan Q 10:100. Jangan percaya pada saya atau para imam atau kiai. Bikin riset sendiri. Silahkan.

Selamat menjalankan puasa.


Jakarta 12 September 2009


Disclaimer: Ekonomi (dan investasi) bukan sains dan tidak pernah dibuktikan secara eksperimen; tulisan ini dimaksudkan sebagai hiburan dan bukan sebagai anjuran berinvestasi oleh sebab itu penulis tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang diakibatkan karena mengikuti informasi dari tulisan ini. Akan tetapi jika anda beruntung karena penggunaan informasi di tulisan ini, EOWI dengan suka hati kalau anda mentraktir EOWI makan-makan.

12 comments:

rsauqi said...

Damai, Pak IS

Pada dasarnya, saya setuju dgn ungkapan: "jangan langsung percaya pada Imam, gunakan akal, kritis".

Mengenai zakat sendiri, walaupun secara umum hampir sependapat, ada satu hal yg menurut saya secara terminologi tidak pas. Sedekah, IMHO, hanyalah bentuk kecil (salah satu bentuk) dari "zakat/pemurnian".

Mengenai jumlah, saya pun lebih setuju dgn alQuran (2:219), "di luar kebutuhan kita (sesukarelanya)".

Mengenai waktu, tidak ada aturan spesifik yg saya temukan, jadi bebas2 saja.

Kebenaran hanya milik Tuhan.

Damai.

Anonymous said...

Assalamu 'alaikum Wr. Wb.
Menurut saya, perlu ada tambahan penjelasan pada kata "kerabat" ketika memaknai Q 2:177 dan Hadits Sahih Bukhari Volume 2, Book 24, Number 545 dan Sahih Bukhari Volume 2, Book 24, Number 546. Dalam Hadits tersebut dikisahkan Zainab diperbolehkan oleh nabi untuk memberi zakat kepada suaminya dan anak yatim yg dalam perawatannya.
Menurut pemahaman saya hadits tersebut menceritakan seorang istri memberi zakat kepada suaminya (tidak sebaliknya) dan anak yatim dalam peliharaannnya (bukan anak kandung). Hadits selanjutnya mengisahkan, anak boleh menerima zakat dari ibunya. Bagaimana jika suami memberi zakat kepada istri dan ayah memberi zakat kepada anaknya? Jawabannya belum ada dalam hadist yang dikemukakan dalam tulisan pak IS. Jadi kesimpulan pemberian kepada anak adalah zakat harus diberi syarat: pemberi zakat adalah ibunya.
Tapi, pemberian zakat kepada pembantu, sopir, dan famili yang belum beruntung, insya Allah saya telah menjalankan perintah Nya.
Wassalam,
sigit

Farrah said...

makasih pak IS, dua jempol buat anda.
tolong di ulas juga antara zakat fitrah dan zakat mal.
kalau menurut saya, tulisannya masih agak global, jadi tolong di spesifikan. Karena pemahaman saya masih rancu.
nilai untuk tulisan anda ini, 9 / 10.
saya pengagum tulisan dan analisa anda, saya sering singgah kesini. baca ekonomi orang waras, biar tetap waras. oh ya, sekali kali di ulas dong perihal dinar dan perekonomian.
ditunggu. thank you, salam kenal.

Anonymous said...

Saya sampaikan penghargaan buat Anda yang sudah menggunakan akalnya.

Namun saya nilai artikel anda terlalu global dan dalil dalil yang disampaikan terlalu sedikit. Begitu pula antara dalil dan kesimpulan terkesan lompat jauh.

Kritik: anda komitmen hanya menggunakan Quran dan Hadist, tapi meragukan kesahihan salah satu hadis yang anda sampaikan yang bersumber dari Shahih Bukhari. Sementara shahih bukhari sangat diakui keshahihannya (validitas periwayatan). Para Imam hadist tidak pernah mempersoalkan isi hadist, mereka hanya meneliti validitas runutan perawi.

Simak komentar Ali bin Abi Thalib: "Andai kata agama ini hanya berlandaskan akal, pastilah seharusnya yang diusap adalah telapak Khuf (dalam hal wudhu ketika musim dingin). Sungguh aku melihat Rasulullah mengusap bagian atas nya Khuf".

Saran: Pelajari lebih banyak dengan akal anda mengenai agama ini.

Salam,
Achmad

Imam Semar said...

@Sigit...., assalam'kum wr. wb.

Posisi laki-laki dalam keluarga adalah pemberi nafkah (pemelihara, penjaga). Ini disebutkan dalan An Nissaa 34.

[4.34] Kaum laki-laki itu adalah pemelihara (pelindung & pemberi nafkah) bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan (kekuatan) sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah mebelanjakan (Arab: infaq)sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta'at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada...,

Kata yang digunakan dalam kaitannya dengan mengeluarkan hartanya adalah infaq yang artinya tidak se-spesifik zakat.

Sepengetahuan saya, infaq berarti 'membelanjakan'. Penggunaan kata infaq oleh Quran, mengacu arti yang luas. Sehingga bisa diartikan kalau memberi baju, mobil, motor untuk dirinya sendiri atau untuk istri/anaknya sebagai infaq.

Jadi untuk seorang suami terhadap tanggungannya, pengeluarannya tidak disebut zakat, tetapi infaq. Sedangkan bagi istri, memberi nafkah kepada suami dan anak-anaknya disebut zakat (karena itu bukan tugas istri).

Bagi yang tertarik untuk melihat topik ini, bisa mencarinya di indeks Quran dan melihat dalam konteks apa saja infaq ini digunakan.

Imam Semar said...

@Farrah, ... Assalamu'kum wr. wb.

Hukum zakat fitrah atau shadaqah fitrah bisa dilihat di hadis sahih Bukhari (Muslim juga ada). Kalau anda tertarik untuk melihatnya bisa diaccess disini:

http://www.usc.edu/schools/college/crcc/engagement/resources/texts/muslim/hadith/bukhari/025.sbt.html

Salah satu bunyinya:
Volume 2, Book 25, Number 579:
Narrated Ibn Umar:

Allah's Apostle enjoined the payment of one Sa' of dates or one Sa' of barley as Zakat-ul-Fitr on every Muslim slave or free, male or female, young or old, and he ordered that it be paid before the people went out to offer the 'Id prayer. (One Sa' = 3 Kilograms approx.)


Jadi zakat fitrah anda adalah 3 kg beras (atau gandum atau jagung). Bukan 1 kg seperti kebiasaan di Indonesia.

Siapa saja yang wajib dizakati:Semua orang, budak, orang tua, anak-anak, kaya, miskin....

Volume 2, Book 25, Number 580:
Narrated Ibn 'Umar:

Allah's Apostle made it incumbent on all the slave or free Muslims, male or female, to pay one Sa' of dates or barley as Zakat-ul-Fitr.

Volume 2, Book 25, Number 581:
Narrated Abu Said:

We used to give one Sa' of barley as Sadaqatul-Fitr (per head).

Perhatikan juga bahwa kata zakat interchangible dengan shadaqah.

Imam Semar said...

@ Pak Achmad Assalamu'kum wr. wb.

Salah satu misi dari EOWI adalah meluruskan sesuatu yang menyimpang di masyarakat. Khusus mengenai zakat ini, yang EOWI ingin luruskan ialah pengertian zakat dan shadaqah. Di masyarakat, keduanya dibedakan. Zakat wajib dan shadaqah suka rela. Padahal menurut hadis dan quran, keduanya sama.

Para pengumpul hadis umumnya menilai kesahihan dari riwayat. EOWI, karena tidak ahli dalam riwayat, maka melihatnya dari konteks dan isinya. Yang kami katakan tidak sahih ialah jika tidak sesuai dengan kenyataan atau saling beradu dengan Quran.

Terima kasih atas kritiknya.

Tentang riwayat Ali bin Abi Thalib:

Ali bin Abi Thalib: "Andai kata agama ini hanya berlandaskan akal, pastilah seharusnya yang diusap adalah telapak Khuf (dalam hal wudhu ketika musim dingin). Sungguh aku melihat Rasulullah mengusap bagian atas nya Khuf".

Bandingkan dengan Quran:

Q[10:100]: ......Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.

Mungkin anda akan bertanya, apakah Ali r.a. menganjurkan kaum muslimin untuk dimurkai Allah dengan jalan tidak menggunakan akalnya?

Riwayat..., kadang meragukan kalau dilihat isinya...

Unknown said...

Assalamu'alaikum, Mas Imam

Saya suka dengan tulisan anda yang sangat kuat dalam argumentasi, walaupun tidak berarti saya menyetujui semua.

Menurut saya, anda terlalu percaya diri sehingga menolak adanya otoritas keilmuan, sehingga anda menganjurkan untuk menolak opini imam atau ustad, semua anda jawab sendiri melalui analisa logika anda. Anda meragukan semua pendapat imam atau ustadz sebelum "disahkan" oleh logika anda.

"Jangan percaya pada saya atau para imam atau kiai. Bikin riset sendiri. Silahkan." Demikian keyakinan anda. Saya mendapat kesan bahwa anda menganggap bahwa mengikuti imam berarti tidak menggunakan akal (mudah-mudahan saya salah)

Menurut saya justru sebaliknya, jika orang menggunakan akal, maka ia akan menggunakan otoritas untuk memahami hal2 yang terlalu sulit untuk ia mengerti sendiri. Ilmu itu terlalu luas, terkadang untuk hal2 yang diluar kapasitas pengetahuan kita, jalan paling baik adalah dengan mengikuti kata otoritas. Perkara mana pendapat siapa yang layak dipercaya mana yang tidak, disinilah peran akal seharusnya, artinya jangan asal turut saja, perhatikan juga siapa yang diikuti itu.

Saya beri contoh, misalnya suatu ketika anda sakit, lalu obat apa yang harus anda minum? Tentunya anda akan mengikut kata dokter, anda tidak perlu membuktikan dulu, apakah obat itu manjur atau tidak. Anda ikut saja apa saran dokter. Meskipun tetap tidak ada jaminan anda sembuh, tapi dokter adalah orang yang lebih pantas memberi resep obat, bukan polisi lalu lintas (misalnya). Ini adalah pengakuan terhadap otoritas.

Coba lihat buku-buku tesis atau disertasi ilmiah, disitu kita temukan banyak footnote,ini adalah pengakuan terhadap otoritas.

Ilmu itu berkembang karena otoritas. Orang yang datang belakangan mengkaji apa yang telah dicapai oleh ilmuwan sebelumnya. Kalau setiap orang bisa membuat tafsiran ilmu yang bukan kompetensinya, yang muncul adalah kekacauan. Saya setuju, bisa jadi ada kesalahan dari ilmu yang dikembangkan sebelumnya, dan itu dikoreksi oleh generasi berikutnya, tapi itu tidak berarti serampangan semua orang bisa membuat tafsiran sendiri. Ilmu fisika, misalnya, di awal perkembangannya banyak sekali yang salah, tetapi dikoreksi oleh fisikawan juga pada generasi berikutnya, bukan oleh politisi atau petani jagung.

Begitu juga dalam ilmu agama, hemat anda seyogyanya menghormati otoritas para imam atau ulama. Anda tidak bisa menyalahkan pendapat imam begitu saja (dalam kasus ini) dengan analisis bahasa arab seadanya dan dalil2 yang minimal.

Menurut saya, anda terlalu ceroboh untuk mengatakan zakat sama dengan shadaqah hanya bersandar pada satu ayat saja. Apakah anda sudah menelaah ayat2 yang lain atau hadits2 yang lain? Apakah anda sudah menelaah argumentasi mengapa ulama membedakan shadaqah dengan zakat? Apakah anda bepikir imam2 atau ulama2 itu membuat tafsiran tidak pakai akal? Apakah anda pikir imam atau ulama itu tidak berdasar dalil Qur'an atau hadits?

Wallahua'lam

Imam Semar said...

Wa alaikum salaam wr wb Oom Wendi,

Saya akan quote anda punya komentar (dicetak miring) dan kemudian disusul dengan tanggapan saya

Saya suka dengan tulisan anda yang sangat kuat dalam argumentasi, walaupun tidak berarti saya menyetujui semua.

Bagus sekali, karena anda telah meragukan otoritas imam (Semar).

Menurut saya, anda terlalu percaya diri sehingga menolak adanya otoritas keilmuan, sehingga anda menganjurkan untuk menolak opini imam atau ustad, semua anda jawab sendiri melalui analisa logika anda. Anda meragukan semua pendapat imam atau ustadz sebelum "disahkan" oleh logika anda.

Benar sekali dan hal ini bukan opini saya tetapi anjuran Quran 10:100.

"[10:100] Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya."

[17:71] (Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan imam-imam mereka; dan barangsiapa yang diberikan kitab amalannya di tangan kanannya maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.

[17:72] Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).

"Jangan percaya pada saya atau para imam atau kiai. Bikin riset sendiri. Silahkan." Demikian keyakinan anda. Saya mendapat kesan bahwa anda menganggap bahwa mengikuti imam berarti tidak menggunakan akal (mudah-mudahan saya salah)

Dengan akal, anda bisa sepaham dengan imam atau bertentangan dengan imam. Pada saat anda menggunakan akal anda maka, opini imam menjadi tidak penting lagi bagi anda.

Menurut saya justru sebaliknya, jika orang menggunakan akal, maka ia akan menggunakan otoritas untuk memahami hal2 yang terlalu sulit untuk ia mengerti sendiri. Ilmu itu terlalu luas, terkadang untuk hal2 yang diluar kapasitas pengetahuan kita, jalan paling baik adalah dengan mengikuti kata otoritas. Perkara mana pendapat siapa yang layak dipercaya mana yang tidak, disinilah peran akal seharusnya, artinya jangan asal turut saja, perhatikan juga siapa yang diikuti itu.

Yang penting bukan siapa yang diikuti tetapi apa yang diikuti.

Imam Semar said...

Saya beri contoh, misalnya suatu ketika anda sakit, lalu obat apa yang harus anda minum? Tentunya anda akan mengikut kata dokter, anda tidak perlu membuktikan dulu, apakah obat itu manjur atau tidak. Anda ikut saja apa saran dokter. Meskipun tetap tidak ada jaminan anda sembuh, tapi dokter adalah orang yang lebih pantas memberi resep obat, bukan polisi lalu lintas (misalnya). Ini adalah pengakuan terhadap otoritas.

Berbicara tentang siapa otoritasnya atau apa materinya. Misalnya kalau anda sakit kepala dan diberi haldol oleh dokter, apakah anda mau memakannya? Kalau saya...., akan saya check dulu apa itu haldol (obat untuk orang gila). Berapa banyak dokter yang mengalami malpraktek? Apakah anda tidak perlu hati-hati?

Coba lihat buku-buku tesis atau disertasi ilmiah, disitu kita temukan banyak footnote,ini adalah pengakuan terhadap otoritas.

Thesis itu tidak mengikuti ajaran Islam. Dan kultur akademi tidak wajib mengikuti Islam.

Ilmu itu berkembang karena otoritas. Orang yang datang belakangan mengkaji apa yang telah dicapai oleh ilmuwan sebelumnya. Kalau setiap orang bisa membuat tafsiran ilmu yang bukan kompetensinya, yang muncul adalah kekacauan. Saya setuju, bisa jadi ada kesalahan dari ilmu yang dikembangkan sebelumnya, dan itu dikoreksi oleh generasi berikutnya, tapi itu tidak berarti serampangan semua orang bisa membuat tafsiran sendiri. Ilmu fisika, misalnya, di awal perkembangannya banyak sekali yang salah, tetapi dikoreksi oleh fisikawan juga pada generasi berikutnya, bukan oleh politisi atau petani jagung.

Einstein adalah seorang klerk di kantor akuntan ketika membuat theory general relativity yang menrupakan koreksi terhadap relativitas klasik.

Begitu juga dalam ilmu agama, hemat anda seyogyanya menghormati otoritas para imam atau ulama. Anda tidak bisa menyalahkan pendapat imam begitu saja (dalam kasus ini) dengan analisis bahasa arab seadanya dan dalil2 yang minimal.

Kebenaran biasanya sederhana. Terlalu banyak dalil bisa membuat satu dalil bentrok dengan dalil lain. Ini disebut non-singularity. Kasus seperti ini sama ketika Muhammadiyah dalam menentukan 1 Syawal tahun lalu (2008 M). Untuk Indonesia bagian Timur, Muhammadiyah sudah melanggar dalil pokoknya tentang hilal, dan mendaulukan dalil kesatuan wilayatul hukmi. Anda bisa lihat dalam tulisan EOWI ttg lebaran ganda.

Menurut saya, anda terlalu ceroboh untuk mengatakan zakat sama dengan shadaqah hanya bersandar pada satu ayat saja. Apakah anda sudah menelaah ayat2 yang lain atau hadits2 yang lain? Apakah anda sudah menelaah argumentasi mengapa ulama membedakan shadaqah dengan zakat? Apakah anda bepikir imam2 atau ulama2 itu membuat tafsiran tidak pakai akal? Apakah anda pikir imam atau ulama itu tidak berdasar dalil Qur'an atau hadits?

Saya persilahkan membawa topik ini kepada ahli bahasa Arab seperti Qurai Shihab. Yang penting adalah materi argumen bukan pembawa argumen.

Unknown said...

Wa’alaikumussalam Mas Imam

Senang berdiskusi dengan anda. Semoga Allah menjadikan diskusi ini sebagi pintu masuknya ilmu bagi kita dan mengampuni kita jika ada dosa kita dalam diskusi ini. Diskusi ini untuk mencari kebenaran, bukan menang kalah. Saya yakin anda setuju. Tapi, jangan panggil Om dong, kayaknya saya masih lebih muda dari anda 

Saya akan komentari respon anda dengan cara yang sama

"Benar sekali dan hal ini bukan opini saya tetapi anjuran Quran 10:100."

Jangan salah, saya tidak menganjurkan meninggalkan akal, tapi… poin saya adalah anda tidak mungkin memecahkan semua hal sendiri, oleh karena itu anda perlu mengikuti otoritas. Ada bagian2 kehidupan kita yang menuntut otoritas. Bagaimana anda bisa meyakini hadits itu shahih atau tidak? Apakah anda akan meneliti riwayatnya satu demi satu? Alhamdulillah ada Bukhari, Muslim, Nasa’I, Ahmad, Abu Daud, dll. Itulah otoritas. Mengenai ayat [17:71], itu adalah peringatan bagi agar orang hati2 memilih imam, bukan larangan mengikuti imam.

"Dengan akal, anda bisa sepaham dengan imam atau bertentangan dengan imam. Pada saat anda menggunakan akal anda maka, opini imam menjadi tidak penting lagi bagi anda."

Jawaban saya sama dengan di atas. Apakah anda bisa buktikan bahwa kita tidak butuh otoritas?

"Yang penting bukan siapa yang diikuti tetapi apa yang diikuti."

Setuju…tapi… jika pengetahuan saya kurang, saya ikut kata otoritas. Dua orang bicara tentang tafsir Quran, yang satu ulama dan yang satu lagi artis. Saya akan ikut ulama, walaupun saya tidak bisa membuktikan bahwa ulama lebih benar dari artis.

"Berbicara tentang siapa otoritasnya atau apa materinya. Misalnya kalau anda sakit kepala dan diberi haldol oleh dokter, apakah anda mau memakannya? Kalau saya...., akan saya check dulu apa itu haldol (obat untuk orang gila). Berapa banyak dokter yang mengalami malpraktek? Apakah anda tidak perlu hati-hati?"

Jika anda dokter atau punya pengetahun tentang itu, gak masalah. Tapi bagaimana dengan orang yang tidak tahu, istilah ‘haldol’ itu juga baru dengar, dan ia tidak punya kapasitas keilmuan untuk mengetahui haldol itu obat bener atau enggak? Otoritas tidak menjamin kebenaran, tetapi kebenaran lebih dekat dengan otoritas. Mengikuti dokter dalam hal kesehatan, lebih besar kemungkinan benernya daripada mengikuti kata dosen kalkulus. Hati-hati perlu, tapi jika anda meragukan semua otoritas rusaklah sistem sosial kita.

"Thesis itu tidak mengikuti ajaran Islam. Dan kultur akademi tidak wajib mengikuti Islam."

Saya pikir kebalikannya. Itu kultur Islam. Coba baca buku agama Islam, banyak hadits, perkataan sahabat atau ulama yang dikutip dan diangkat sebagai landasan untuk menjelaskan sesuatu. Itu adalah pengakuan terhadap otoritas.

"Einstein adalah seorang klerk di kantor akuntan ketika membuat theory general relativity yang menrupakan koreksi terhadap relativitas klasik."

Betul, tapi Einstein adalah fisikawan, dia punya otoritas. Dia mempelajari fisika, meski kerjanya di kantor akuntan. Pengetahuan fisikanya tidak datang tiba-tiba. Apakah anda mengharapkan seorang pengacara yang tidak pernah bersentuhan dengan dunia fisika tiba2 hendak menjelaskan teori Relativitas Umum-nya Einstein? Einstein tidak seperti itu.

"Kebenaran biasanya sederhana. Terlalu banyak dalil bisa membuat satu dalil bentrok dengan dalil lain. Ini disebut non-singularity."

Itulah pengetahuan manusia, banyak cacatnya. Tapi di tangan orang yang otoritatif mereka punya penjelasannya, walaupun tetap tidak akan sempurna. Di tulisan anda itu, anda meragukan hadits shahih yang bertentangan dengan Qur’an. Tapi para ulama mempunyai metode untuk menjelaskan hal tersebut. Saya tidak punya pengetahuan untuk menjelaskan ini, tapi sepanjang pengetahuan saya mereka punya cara untuk menjelaskan bahwa Qur’an atau hadits yang terlihat ‘bertentangan’ itu sebenarnya tidak bertentangan. Ini juga berlaku dalam ilmu hadits.

Innallaaha ‘alaa kulli syai’in ‘aliim.

Salam hangat.

Anonymous said...

Pak IS,
saya coba menggunakan akal..
ada yg jadi pertanyaan saya, ttg commentary bapak di salah satu hadits..
yaitu mengenai kondisi arab yg ketika hujan, biasanya banjir kemudian air terserap.. tidak ada yg mengalir..
pertanyaan saya: memang latar belakang hadits harus berasal dari keadaan tanah arab ya? agar bisa dibilang sahih? kalo gitu, kemungkinan ga applicable dong di luar tanah arab? kalo gitu, Islam agama buat orang Arab aja dong?
itu aja sih..
jadi menurut saya, tidak tepat menduga sahih/tidaknya suatu hadits berdasarkan kontennya saja. Toh nabi SAW yg menyampaikan quran, beliau tahu ada sungai yg mengalir di surga, artinya konsepsi sungai yg mengalir ada di benaknya.
sip.. udah semua kayanya yg mau saya sampaikan.