Siapa yang mau mobil, gratis? Ambil saja di Dubai. Ribuan mobil ditinggalkan oleh pemiliknya yang angkat kaki dari Dubai untuk selamanya, paling tidak untuk jangka waktu yang panjang sekali. Mobil-mobil mereka ditinggalkan dengan kunci, surat-surat kepemilikan lengkap di dalam mobil, di atas kursi supir berserta surat kepemilikannya.
Dubai yang 80% lebih penduduknya adalah orang asing (expatriates), mengalami eksodus besar-besaran. Banyak barang mereka termasuk mobil tidak bisa dijual karena semua orang (pernyataan yang agak hiperbolik) mau keluar dari Dubai akibat krisis ekonomi. Mereka juga meninggalkan rumah-rumah beserta cicilannya.
Pembukaan tulisan ini agak mungkin sedikit berlebihan – mungkin, mungkin, mungkin. Tetapi mungkin saja benar. Kita lihat saja cerita berikutnya. Tetapi, sebelumnya akan kita lihat sejarah.
KOTA HANTU MASA LALU
Siapa yang tidak kenal Angkor Wat, Machu Picchu atau dalam skala nasional, lokal, Trowulan, Singosari, Tanjung Pura. Angkor Wat pada abad ke 12 merupakan kota metropolitan yang disebutkan oleh catatan perjalanan Marcopolo. Tetapi kemudian Angkor Wat hilang lenyap seperti ditelan hutan.
Dari tahun 1583 to 1593, orang-orang Portugis menjelajahi pantai timur semenanjung Malaya sampai ke Thailand dan Kamboja. Mereka tidak dapat menemukan kota yang megah yang diceritakan Marco Polo. Mereka hanya menjumpai reruntuhan di dalam hutan. Padahal yang mereka mencari kota yang megah yang mempunyai emas dan kekayaan untuk dibawa ke negaranya seperti yang mereka lakukan di Amerika Tengah dan Selatan.
Angkor Wat dibangun pada antara tahun 1181 sampai 1218 dan menjadi kota metropolitan yang makmur selama 200 tahun (hanya 200 tahun). Pada abad ke 15, ketika raja Pona Yat berkuasa, penduduk melakukan eksodus (besar-besaran?) ke sebelah selatan, ke daerah yang sekarang dikenal dengan nama Phnom Penh. Eksodus ini meninggalkan segala kemewahan rumah, istana, infrastruktur dan segala kekayaan yang tidak bisa dibawa. Tidak ada yang tahu kenapa mereka melakukan eksodus. Wabah penyakitkah? Kemarau? Atau hanya ekonomi. Tidak lama, hanya beberapa dekade, kota metropolitan Angkor Wat diserbu oleh alam dan ditelan menjadi hutan. Ini hanya terjadi dalam bilangan dekade.
Angkor Wat dari kejauhan.
Angkor Wat ditelan hutan.
Cerita mengenai Angkor Wat sangat menarik, kalau dikaitkan dengan sejarah sebuah daerah yang beberapa dekade lalu juga mangalami masa kemakmuran. Namanya Tanjung Pura yang letaknya di kabupaten Langkat Sumatera Utara.
Tanjung Pura, Langkat. Anda tidak pernah mendengar kota ini bukan? Sekarang kota ini hanyalah kota kecamatan saja dengan penduduk 66 ribu jiwa saja. Ibu kota kabupaten Langkat sekarang adalah Stabat, yang pada tahun 1960 masih berupa desa dengan sederet toko dan warung di persimpangan jalan provinsi di antara Binjai dan Pangkalan Brandan, Sumatera Utara.
Tanjungpura dulunya adalah pusat kesultanan Langkat yang relatif (sangat) makmur. Pada masa kemakmurannya, minyak bumi dan perkebunan karet, menjadi andalannya. Daerah yang rawan banjir rutin – sekitar 2-5 bulan per tahunnya, pada masa jayanya memiliki tanggul-tanggul pencegah banjir. Mesjid raya Azizi, dengan design yang sama, kemegahannya tidak kalah dengan mesjid Baitul Rahman Banda Aceh. Setelah terjadi revolusi sosial tahun 1946, putra mahkota sultan terakhirnya, penyair Amir Hamzah, mati dengan kepala terpenggal, terpisah antara badannya di Kuala Begumit. Istananya yang bertingkat di jadikan SMA yang runtuh di tahun 1963, ketika para murid menonton perayaan 17 Agustus. Anda tidak akan pernah menjumpai istana Darussalam Tanjung Pura seperti halnya istana Maimun kesultanan Deli di Medan, karena istana kesultanan Langkat sudah runtuh.
Sisa-sisa kejayaan kesultanan ini masih nampak sampai tahun 1960. Rumah sakitnya adalah termasuk yang terbaik dimasa itu, dengan ruang operasi dan peralatan operasi yang lengkap. Gedung pengadilan negrinya yang megah, rumah dinas para pejabat negara (camat, jaksa, dokter, penghulu, dan lain lain) pada tahun 1960 masih menampakkan kemegahannya. (Catatan: rumah dinas dokter Tanjung Pura di tahun 1960 adalah rumah batu dengan kamar 12 besar, halaman tidak kurang dari 1 hektar, rumah jaksa dan camat agak kecil sedikit, mungkin 10 kamar dengan luas halaman 1 hektar. Semuanya terletak di jln. Khairil Anwar).
Tanjung Pura tidak/belum menjadi kota hantu. Begitu juga Pangkalan Brandan, sebagai kota minyaknya di Langkat. Tetapi keduanya sudah surut. Beberapa bulan lalu saya jumpa dengan seorang kenalan yang baru kembali menengok kampung halamannya, di Pangkalan Brandan dan Tanjung Pura. Yang ditemukannya, bahwa teman-teman sepermainannya telah menjadi tukang becak dan ojeg. Nampaknya begitulah kota yang sudah pudar, tidak banyak menyediakan lapangan kerja, atau mungkin penduduknya tidak kreatif. Yang pintar-pintar seperti alm. Dr. Imaddudin Abdurahim, dai, pembina mesjid Salman dan dosen ITB, atau alm. Ismail Marahimin (suami Hiang Marahimin – Hiang adalah mantan redaksi majalah Femina), hengkang dari Tanjung Pura. Demikian pula Imam Semar.
Banyak hal yang bisa menjadi sebab suatu kota ditinggalkan penduduknya. Ada karena wabah, serangan musuh, dan bisa juga karena faktor ekonomi. Untuk Tanjung Pura, dulunya merupakan pusat bisnis penunjang untuk aktifitas minyak bumi di Pangkalan Brandan dan perkebunan karet di sekitarnya, menjadi surut karena kedua komoditi ini kehilangan pamornya. Di Amerika Latin atau Mesir, Asia Tengah dijalur sutra banyak kota-kota tua yang dulunya megah telah ditinggalkan penduduknya, seperti Machu Picchu, Chichen Itza, Luxor, Akhetaten, Memphis, Leptis Magna, Carthage Angkor Wat, Ayutthaya dan lain lain. Sebabnya bencana alam, wabah, perang, ekonomi, sehingga menjadi tidak menjanjikan lagi. Akhirnya kota-kota ini menjadi kampung biasa atau ditelan alam, hutan, gurun atau tanah.
Kalau anda tertarik dengan cerita kota yang hilang, bisa dibaca di Wikipedia [link]. Yang sangat menarik adalah kota-kota yang hilang di sepanjang jalur sutra. Hilangnya kota-kota ini mungkin disebabkan memudarnya perdagangan di jalur ini.
DUBAI MENUJU KOTA METROPOLITAN (1990 – 2000)
Dua tahun lalu saya dapat tawaran kerja di Dubai. Istri saya sangat antusias untuk bisa menikmati hidup di kota yang sangat terkenal dengan berbagai keajaibannya. Mulai dari “Palm Island”, apartemen pencakar langit yang dibangun di pulau buatan yang berbentuk pohon palem, gedung apartemen yang setiap lantainya bisa berputar, metro/LRT (light Rapid Transportation – kereta listrik ringan ) yang futuristik . Semua itu dilihatnya di photo-photo design artis.
Bagi istri saya, Dubai akan menjadi pengalaman baru. Kami pernah hidup di Inggris, Canada, Singapore dan Kuala Lumpur, daerah tropis, subtropis, budaya Barat, Melayu, Cina. Sekarang (waktu itu maksudnya) mau ke Timur Tengah, gurun. Pengalaman hidup yang sangat berwarna-warna.
Karena tidak cocok mengenai kompensasi dan kondisi kontrak, tawaran itu saya tolak. Istri saya sangat kecewa. Tetapi hal itu saya hibur, bahwa ide untuk tinggal di Dubai akan tetap disimpan sampai nanti kalau pensiun. Barangkali harga apartemen sudah murah. Ramalan yang pada waktu itu sepertinya ramalan kosong.
Dubai 20 tahun lalu, awal tahun 1990an masih berupa gurun dengan beberapa bangunan gedung. Ekonominya sangat bergantung pada produksi minyaknya. Amir penguasa Dubai kemungkian seorang yang mempunyai visi yang jauh. Cadangan minyak dan gasnya tidak sebanyak Saudi Arabia atau Qatar. Oleh sebab itu Dubai harus dijadikan pusat jasa (keuangan) untuk daerah teluk Parsi dan menunjang aktifitas perminyakan. Dan selama dua dekade ini Dubai tumbuh dari gurun menjadi kota perdagangan dan kota jasa finansial, seperti Singapura.
Dubai tahun 1989. Masih berupa gurun dengan jalan-jalan yang buruk. Perhatikan photo berikutnya yang diambil dari tempat yang sama tahun 2003.
Dari tempat yang sama, Dubai pada tahun 2003
Photo yang diambil tahun 2007 dari tempat yang sama.
DUBAI MENJADI KOTA MODERN
Dalam kurun waktu kurang dari 10 tahun, Dubai menyulap dirinya menjadi kota metropolitan yang modern. Semua ini berkat minyak. Perkembangan selanjutnya, agak menggila. Dubai berubah menjadi kota perdagangan dan jasa, terutama finansial yang mendukung bisnis minyak di wilayah teluk Persia. Usaha lain ialah menjadikan Dubai sebagai tujuan wisata. Hotel dan apartemen dibangun untuk menunjang semuanya ini. Saya katakan, agak menggila karena, ide-ide arsitektur dan fungsinya kemudian tidak lazim lagi.
Salah satu kegilaan Dubai ialah pembangunan “Palm Islands”, pulau-pulau buatan yang berbentuk pohon palem. Rencananya di pulau-pulau itu akan didirikan hotel dan apartemen, perumahan mewah. Kenapa mesti pulau buatan, bukankah masih banyak tanah di Dubai? Dubai bukan Singapura yang kekurangan lahan.
Menara berputar misalnya, akan dibangun. Menara ini, setiap lantainya bisa berputar secara independen, sehingga setiap pemilik lantai bisa memutar lantainya untuk menghadap ke arah yang diinginkannya (lihat image di bawah). Untuk apa sebenarnya, putar memutar lantai gedung? Tidak mempunyai fungsi praktis dan kegunaan, melainkan hanya keinginan nafsu yang tidak jelas saja. Belum lagi tempat rekreasi ski es (salju) dalam ruangan. Bisa dibayangkan betapa gilanya dan kekanak-kanakan ide ini. Salju di gurun pasir?
Palm Islands, untuk apa bikin pulau baru. Dubai bukan Singapura.
Rotating Tower, Dubai. Dari kiri ke kanan: Rotating tower ketika semua lantainya orientasinya searah, kemudian terpelintir sedikit dan akhirnya setiap lantainya berputar sehingga orientasinya berbeda-beda.
Gambaran artis, Rotating Tower diwaktu malam.
Bermain ski es di ruangan
Trump Hotel, rencananya akan dibangun di Palm Island.
Marina di Dubai
Suasana Dubai dimasa mendatang, menurut artis.DUBAI CALON KOTA HANTU?
Dubai mempunyai populasi 1.24 juta orang menurut sensus 2006. Jumlah laki-lakinya 73% dan 27% prempuan. Kaum laki-laki ini kebanyakan adalah pekerja migran asing. Populasi warga negara Dubai sendiri kurang dari 20%. Jadi di Dubai, lebih banyak orang asing dari pada penduduk setempat. Kebanyakan pekerja asing ini berasal dari India.
Kalau dilihat komposisi laki-laki:prempuan serta komposisi pekerja asing dan penduduk lokal, dapat diduga bahwa kebanyakan pekerja asing ini adalah laki-laki yang tidak membawa keluarga. Pekerja-pekerja asing inilah yang membangun dan memelihara Dubai. Dari mulai pekerja bangunan, tukang masak hotel, dokter, tenaga paramedis, geologist, engineer dari berbagai bidang, pramusaji, sales, grafik design dan lain sebagainya. Bisa dibayangkan bagaimana pertumbuhan populasi pekerja pendatang ini. Hitungan kasarnya, kalau saat ini perbandingan antara pendatang dengan penduduk lokal adalah 5:1, maka dalam kurun waktu 20-25 tahun penduduk Dubai bertambah kurang lebih 5 kali atau 7.4% - 8.5% per tahunnya.
Ekonomi lokal Dubai sangat dipengaruhi oleh pemenuhan kebutuhan 81% pendatang ini. Baik itu untuk akomodasinya sampai pada kebutuhan sehari-harinya. Walaupun mereka ini pendatang, banyak dari mereka mempunyai asset seperti mobil, rumah/apartemen untuk menunjang kehidupan mereka. Banyak diantara asset-asset itu dibeli dengan kredit jangka panjang semasa kredit murah dan Dubai mengalami booming. Pada saat booming orang akan berpikir bahwa mereka tinggal di Dubai untuk masa yang amat panjang. Kehidupan pendatang Dubai didukung dengan leverage. Memang pendatang kelas buruh, cenderung untuk tidak banyak mempunyai asset di Dubai dan sebagian penghasilannya dikirimkan ke negaranya. Tetapi pekerja krah putih, lain sifat-sifatnya.
Dubai juga tempat investasi properti tumbuh menjadi bubble. Uang tumpah ke Dubai, berkat advertensi yang gencar. Anda bisa lihat di CNBC. Memang dimasa bubble, semuanya nampak indah. Menara berputar, inddor ski, menara tertinggi di dunia, Palm Islands, kereta metro futuristik, dan lainnya seakan sudah di depan mata. Tetapi ketika bubble pecah,..... bencana. Ini mengingatkan perkataan nabi Muhammad yang kurang lebih seperti ini: “kalau manusia sudah membangun gedung yang tinggi-tinggi, tunggulah hari pembalasan”. Istilah gedung yang tinggi-tinggi, bisa diartikan sebagai membangun sesuatu yang tidak perlu, tidak merupakan pemenuhan kebutuhan wajar.
Ada suatu berita dari New York Times minggu lalu yang menarik tentang Dubai. Banyak penduduk asing Dubai yang ngacir dari Dubai meninggalkan barang-barangnya, mobil dan apartemen mereka. Mereka pulang ke negri asalnya dengan menenteng apa yang bisa dibawa. Mobil mereka ditinggal di airport [
link]
Laid-Off Foreigners Flee as Dubai Spirals Down
Bryan Denton for The New York Times
February 11, 2009
DUBAI, United Arab Emirates — Sofia, a 34-year-old Frenchwoman, moved here a year ago to take a job in advertising, so confident about Dubai’s fast-growing economy that she bought an apartment for almost $300,000 with a 15-year mortgage.
Now, like many of the foreign workers who make up 90 percent of the population here, she has been laid off and faces the prospect of being forced to leave this Persian Gulf city — or worse.
“I’m really scared of what could happen, because I bought property here,” said Sofia, who asked that her last name be withheld because she is still hunting for a new job. “If I can’t pay it off, I was told I could end up in debtors’ prison.”
With Dubai’s economy in free fall, newspapers have reported that more than 3,000 cars sit abandoned in the parking lot at the Dubai Airport, left by fleeing, debt-ridden foreigners (who could in fact be imprisoned if they failed to pay their bills). Some are said to have maxed-out credit cards inside and notes of apology taped to the windshield.
The government says the real number is much lower. But the stories contain at least a grain of truth: jobless people here lose their work visas and then must leave the country within a month. That in turn reduces spending, creates housing vacancies and lowers real estate prices, in a downward spiral that has left parts of Dubai — once hailed as the economic superpower of the Middle East — looking like a ghost town.
No one knows how bad things have become, though it is clear that tens of thousands have left, real estate prices have crashed and scores of Dubai’s major construction projects have been suspended or canceled. But with the government unwilling to provide data, rumors are bound to flourish, damaging confidence and further undermining the economy.
Instead of moving toward greater transparency, the emirates seem to be moving in the other direction. A new draft media law would make it a crime to damage the country’s reputation or economy, punishable by fines of up to 1 million dirhams (about $272,000). Some say it is already having a chilling effect on reporting about the crisis.
Mobil-mobil yang ditinggalkan
Mobil-mobil yang ditinggalkan
Mobil-mobil yang ditinggalkan
Sudah ribuan mobil di tinggalkan begitu saja oleh pemiliknya. Kenapa mereka hengkang begitu saja? Pasalnya hukum syariah Dubai (mungkin hukum syariah Saudi Arabia, Kuwait, atau Iran berbeda. Hukum syariah kok bisa beda-beda yah?), mengatakan bahwa bagi penghutang yang tidak mampu bayar hutangnya maka harus dipenjara. Jadi dari pada masuk penjara, lebih baik hengkang!!! Dan tidak kembali lagi.
Financial Times melaporkan, diperkirakan bahwa dalam tahun 2009 ini Dubai akan mengalami penciutan penduduk sebesar 8% akibat repatriasi pendatang [link]. Perkiraan saya bisa lebih. Lebih dekat ke 10%-12%. Sebagian adalah mereka yang tidak akan pernah kembali karena lari dari hutang. Dan ini akan berlanjut sejalan dengan krisis ekonomi dan mengempisnya bubble di sektor properti di Dubai. Financial Times memperkirakan bahwa tahun berikutnya penciutan populasi hanya 2% saja. Saya meragukan hal ini karena, berdasarkan pengalaman properti bubble Jepang tahun 1990, diperlukan waktu 20 tahun untuk mencapai titik nadirnya. Itu pada kasus dengan pemain 100% penduduk lokal dimana tidak ada penduduk yang hengkang ke luar negri dengan meninggalkan propertinya. Bayangkan sekarang, Dubai dengan 80% - 90% pendatang yang siap hengkang dari Dubai dan meninggalkan tempat tinggalnya? Belum lagi orang asing, fund manager di luar Dubai (overseas) yang membeli untuk spekulasi. Dari foto-foto bahan advertensinya, saya pikir bubble properti di Dubai jauh lebih besar dari yang pernah yang saya lihat.
Kasus Dubai, apakah ia akan menjadi kota hantu atau berhasil keluar dari kemelut ini, sangat menarik untuk dipelajari dan diamati. Bagaimana nasib kereta metro yang katanya termodern di dunia yang akan beroperasi tahun 2009 ini. Akan kosongkah? Bagaimana nasib hotel Burj yang tertinggi di dunia dan pembukaannya akan dilakukan pada 9-9-09?. Atau hotel Atlantis yang pembukaannya pada bulan November 2008 dengan biaya $20 juta?
Buat saya Dubai akan menjadi kasus yang menarik. Belum pernah ada daerah (negara) yang ekonominya dibangun dan dipelihara oleh pendatang yang siap hengkang. Tumbuh dengan pesat, over leverage dengan kredit/hutang dan terjadi bubble, . Ketika bubble pecah, harga properti dan asset turun, tetapi hutang masih tetap. Banyak orang (kreditur) yang memiliki negative equity (hutangnya lebih besar dari harga asset yang diagunkannya). Pada saat tidak ada pekerjaan (menganggur), tidak ada penghasilan, maka ngacir adalah solusinya. Tetapi jangan pessimis dulu, di samping semua yang negatif itu Dubai juga merupakan tempat pelancongan para selebritis, CEO dan orang-orang kaya. Itulah yang bisa membuat Dubai bertahan. Kekuatan mana yang lebih dominan? Kita lihat saja sampai beberapa dekade mendatang.
Jakarta 13 Februari 2009.
Disclaimer: Ekonomi (dan investasi) bukan sains dan tidak pernah dibuktikan secara eksperimen; tulisan ini dimaksudkan sebagai hiburan dan bukan sebagai anjuran berinvestasi oleh sebab itu penulis tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang diakibatkan karena mengikuti informasi dari tulisan ini. Akan tetapi jika anda beruntung karena penggunaan informasi di tulisan ini, EOWI dengan suka hati kalau anda mentraktir EOWI makan-makan.