Minggu ini EOWI (Ekonomi Orang Waras dan Investasi) menerbitkan sebuah artikel yang menyangkut masalah sosial di samping market review. Tulisan tentang masalah sosial ini merupakan sanggahan dari banyak artikel yang beredar di surat kabar dan blog. Salah satu Blog yang mengetengahkan masalah moralitas dan kebebasan adalah Akal dan Kehendak (http://akaldankehendak.com/). Saya mengirimkan tulisan ini kepada pengelola situs Akal dan Kehendak tersebut untuk diterbitkan di sana.
Situs Akal dan Kehendak termasuk situ yang sering saya kunjungi. Corak dan karateristiknya dipengaruhi ekonomi mazhab Austria dan aliran Libertarian. Walaupun coraknya hampir sama dengan EOWI, tetapi EOWI lebih cenderung memberikan penekanan pada ilmu logika.
Okey....., kita mulai saja.
Kalau kita mengamati sebuah karya seni lukis, bunga misalnya, maka untuk menikmatinya harus dilihat dari jarak yang tidak terlalu dekat sehingga detailnya terabaikan. Kalau terlalu dekat maka tidak menarik karena detailnya nampak jelas tidak ada. Untuk menghargai karya seni ini tidak diperlukan intelektual yang tinggi. Berbeda dengan bunga aslinya, semakin detail semakin menarik. Dari mulai bentuk makronya, kelopak bunga, benang sari, serbuk sari; kemudian detailnya sampai ke tingkat jaringan, sel, mitochondria, chromosom, gen, ribonucleic Acid, DNA, protein, proses metabolisme dan seterusnya; semuanya memerlukan intelektualitas yang tinggi untuk bisa menghargainya. Seorang botanist akan mengalami kesulitan untuk menerangkan bagaimana nutrisi/makanan bisa sampai ke kepala putik pada lukisan bunga, karena si pelukis tidak akan menggambarkan secara details bagian-bagian mikroskopis dari bunga. Itulah perbedaaan antara karya seni dan the real thing.
Hal seperti contoh bunga di atas berlaku untuk segala aspek seperti prinsip hidup atau isme. Suatu isme bisa berupa gagasan bisa juga hasil pengamatan yang diformulasikan. Suatu isme yang masih berupa gagasan, bisa terdengar indah, jika tidak ditest, atau tidak diuji secara intelek. Pada tulisan berikut ini kita akan membahas secara cerdas paham-paham yang sedang populer di media massa, yaitu yang berkaitan dengan kebebasan.
Berapa banyak orang yang mempunyai kecerdasan untuk menyadari bahwa paham kebebasan adalah paham paradoks? Perkiraan saya, tidak banyak. Paling tidak, opini yang berhasil keluar ke media massa mencerminkan demikian. Pada jaman modern ini, ujung tombak penganut prinsip-prinsip yang bersifat paradoks biasanya mempunyai latar belakang pendidikan ilmu politik, sosial dan seni. Mereka ini adalah ampas yang tidak lolos dari saringan masuk untuk jurusan kedokteran atau teknik. Siswa yang pandai akan masuk ke jurusan kedokteran dan teknik. Dan oxymoron, biasanya masuk ke jurusan ilmu politik, sosial dan seni serta menjadi pendukung paham kebebasan, women liberation, feminist, pluralisme dan sejenisnya yang penuh dengan prinsip-prinsip paradoks.
Kata oxymoron saya gunakan dalam artikel ini untuk melengkapi pembahasan mengenai paradoks karena oxymoron adalah paradoks. Oxymoron berasal dari kata Yunani oxy = tajam, cerdas dan moron = tumpul, bebal. Cerdas-bebal, tajam-tumpul, bukan kah itu paradoks. Kata ini menggambarkan orang yang pandai berbicara tetapi bebal. Mungkin lebih tepat kalau disebut pseudooxy-moron. Tampak cerdas tapi bloon. Kita gunakan oxymoron saja yang lebih umum untuk menggantikan kata yang benar – pseudooxy-moron.
Saya yakin banyak diantara pembaca bukan terlahir untuk menjadi oxymoron, tetapi karena pendidikan dan lingkungan, maka anda menjadi oxymoron. Kalau anda paham mengenai isi tulisan ini, berarti anda telah meningkatkan intelektual anda dan tidak berhak memperoleh gelar oxymoron lagi. Bahkan bisa menggunakan kalimat: “prinsip anda mengandung paradoks” sebagai ungkapan yang halus sarkastik untuk menghina dan mengatakan bahwa “tingkat intelektual anda sangat rendah”. Selamat menikmati, semoga nantinya anda lebih pandai.
Paradoks Orang Kreta dan Pyrrhonisme
Dengan ilmu logika banyak prinsip yang bisa diidentifikasi sabagai paradoks atau self defeating principles. Paradoks ini banyak ditemui dalam kehidupan kita sehari-hari dipakai oleh orang yang katanya terpelajar. Kita akan bahas hal ini. Tetapi untuk membiasakan diri dengan ilmu logika dan sebelum masuk ke menu utama, saya akan perkenalkan dengan dua paradoks klasik yaitu Paradoks Orang Kreta dan Pyrrhonisme, sebagai menu pembuka.
Diceritakan ada seorang Crete (pulau Kreta) bernama Epimenides berkata: “Orang Crete selalu pembohong”. Ucapan ini adalah suatu kontradiksi yang akhirnya membatalkan nilai kebenaran pernyataan itu. Kalau Epimenides benar, maka dia bohong (berkata tidak benar). Oleh sebab itu pernyataannya tidak pernah benar dan tidak pernah mempunyai nilai kebenaran.
Ada lagi Pyrrhonisme. Pyrrhonisme adalah aliran skeptis yang beragukan semua hal. “Di dunia ini tidak ada yang pasti”. Tentunya anda pernah mendengar seseorang mengucapkan kalimat ini. Bahkan juga anda sendiri. Untuk membuktikan bahwa pernyataan ini sebuah paradoks, ajukan pertanyaan ini: “Apa kamu yakin?”.
Lucu bukan, kalau ada pernyataan: ”Saya yakin bahwa di dunia ini tidak ada yang pasti”. Perhatikan paradoks yang ada pada kata yang ditebalkan. Seseorang yang menjadikan keraguan pada semua hal di dalam hidup ini sebagai prinsip hidupnya, maka ia juga meragukan keraguannya sendiri.
Prinsip atau dalil semacam ini disebut paradoks atau self defeating principle. Dan menurut ilmu logika, prinsip seperti ini tidak punya nilai kebenaran. Dan prinsip seperti ini mempunyai konflik internal. Maksudnya, kalau kita menganut prinsip tersebut maka kita juga menganut paham penghapusan prinsip tersebut.
Sejak lama banyak artikel-artikel di koran, atau komentar di TV yang menggunakan prinsip yang mengandung paradoks di dalam opini nara sumbernya. Untuk membiasakan penggunaan logika, yang saya percaya bahwa pembaca jarang menggunakannya, kita akan bahas beberapa prinsip seperti ini sebelum menginjak pada topik kebebasan seperti judul artikel ini.
Paradoks “Tidak ada yang tahu kebenaran hakiki, kecuali Tuhan”
Tentu anda sering mendengar ucapan: “Tidak ada yang tahu kebenaran hakiki, kecuali Tuhan”. Ada beberapa varian dari dalil paradoks ini, tetapi intinya sama, misalnya: “Di dunia ini tidak ada yang absolut, semuanya relatif.” Dalil ini sering dimunculkan dalam perdebatan tafsir firman Tuhan. Karena namanya tafsir, opini pribadi, maka satu dengan yang lain bisa berbeda. Pihak yang salah (ngawur tafsirnya) bukannya mencari kebenaran, tetapi mencari dan meminta kompromi dengan melontarkan dalil ini.
Prinsip ini masuk dalam kategori paradoks. Kita bisa uji dengan menanyakan: ”Apa benar bahwa hanya Tuhan yang tahu kebenaran yang hakiki?”.
Kalau jawabnya “ya” berarti orang tersebut tahu hakiki kebenaran prinsip di atas atau dia adalah Tuhan. Jadi jawab pertanyaan di atas harus “tidak”. Artinya bahwa prinsip itu salah. Dan “bukan hanya Tuhan yang tahu hakiki kebenaran, tetapi juga manusia”.
Paradoks “Agree to disagree”
Prinsip paradoks yang populer akhir-akhir ini: “Agree to disagree”. Prinsip ini juga digunakan pihak yang salah untuk mencari kompromi, bukan mencari kebenaran. Saya sempat mendengar ucapan Adnan Buyung Nasution di Metro TV beberapa waktu dalam rangka wawancara membela Ahmadiyah dua tahun lalu. Pewawancaranya, penyiar TV cantik Sandrina Malakiano. Pada akhir acara, bang Buyung menganjurkan (kepada kelompok yang berseberangan dengan Ahmadiyah) untuk “agree to disagree”. Dan Sandrina mendukungnya.
Prinsip ini juga sifatnya paradoks. Kalau waktu itu mbak Sandrina menanyakan pada bang Buyung: ”Anda dan Ahmadiyah seharusnya agree dong dengan disagreement MUI, FPI dan kelompok yang berseberangan dengan Ahmadiyah lainnya. Jangan mereka yang harus mengikuti anda dan Ahmadiyah”; kalau bang Buyung dan Ahmadiyah mengikuti “agree to MUI disagreement” maka MUI dan kelompok yang berseberangan dengan Ahmadiyah tidak perlu bergeming dari posisi mereka. Bingung ya? Problemnya Ahmadiyah dan bang Buyung tidak mau agree dengan disagreement dari MUI dan FPI.
Paradoks “Dilarang melarang” – berilah orang lain kebebasan
Dalil “jangan melarang” sering digunakan untuk membuka jalan untuk perbuatan yang tidak disukai oleh kelompok yang berseberangan. Dalihnya adalah kebebasan, liberalisme. Pada dasarnya prinsip ini juga paradoks. Kata JANGAN dan TIDAK BOLEH adalah kata melarang. Jadi kalau anda tanyakan:”Apakah anda tadi melarang?”. Atau: “Lho kok anda melarang saya untuk melarang”. Nah dia akan bingung. “Jangan melarang” adalah larangan juga. Bingung ‘kan? Memang self defeating principles membuat penggunanya bingung seperti orang tersesat.
Hal seperti contoh bunga di atas berlaku untuk segala aspek seperti prinsip hidup atau isme. Suatu isme bisa berupa gagasan bisa juga hasil pengamatan yang diformulasikan. Suatu isme yang masih berupa gagasan, bisa terdengar indah, jika tidak ditest, atau tidak diuji secara intelek. Pada tulisan berikut ini kita akan membahas secara cerdas paham-paham yang sedang populer di media massa, yaitu yang berkaitan dengan kebebasan.
Berapa banyak orang yang mempunyai kecerdasan untuk menyadari bahwa paham kebebasan adalah paham paradoks? Perkiraan saya, tidak banyak. Paling tidak, opini yang berhasil keluar ke media massa mencerminkan demikian. Pada jaman modern ini, ujung tombak penganut prinsip-prinsip yang bersifat paradoks biasanya mempunyai latar belakang pendidikan ilmu politik, sosial dan seni. Mereka ini adalah ampas yang tidak lolos dari saringan masuk untuk jurusan kedokteran atau teknik. Siswa yang pandai akan masuk ke jurusan kedokteran dan teknik. Dan oxymoron, biasanya masuk ke jurusan ilmu politik, sosial dan seni serta menjadi pendukung paham kebebasan, women liberation, feminist, pluralisme dan sejenisnya yang penuh dengan prinsip-prinsip paradoks.
Kata oxymoron saya gunakan dalam artikel ini untuk melengkapi pembahasan mengenai paradoks karena oxymoron adalah paradoks. Oxymoron berasal dari kata Yunani oxy = tajam, cerdas dan moron = tumpul, bebal. Cerdas-bebal, tajam-tumpul, bukan kah itu paradoks. Kata ini menggambarkan orang yang pandai berbicara tetapi bebal. Mungkin lebih tepat kalau disebut pseudooxy-moron. Tampak cerdas tapi bloon. Kita gunakan oxymoron saja yang lebih umum untuk menggantikan kata yang benar – pseudooxy-moron.
Saya yakin banyak diantara pembaca bukan terlahir untuk menjadi oxymoron, tetapi karena pendidikan dan lingkungan, maka anda menjadi oxymoron. Kalau anda paham mengenai isi tulisan ini, berarti anda telah meningkatkan intelektual anda dan tidak berhak memperoleh gelar oxymoron lagi. Bahkan bisa menggunakan kalimat: “prinsip anda mengandung paradoks” sebagai ungkapan yang halus sarkastik untuk menghina dan mengatakan bahwa “tingkat intelektual anda sangat rendah”. Selamat menikmati, semoga nantinya anda lebih pandai.
Paradoks Orang Kreta dan Pyrrhonisme
Dengan ilmu logika banyak prinsip yang bisa diidentifikasi sabagai paradoks atau self defeating principles. Paradoks ini banyak ditemui dalam kehidupan kita sehari-hari dipakai oleh orang yang katanya terpelajar. Kita akan bahas hal ini. Tetapi untuk membiasakan diri dengan ilmu logika dan sebelum masuk ke menu utama, saya akan perkenalkan dengan dua paradoks klasik yaitu Paradoks Orang Kreta dan Pyrrhonisme, sebagai menu pembuka.
Diceritakan ada seorang Crete (pulau Kreta) bernama Epimenides berkata: “Orang Crete selalu pembohong”. Ucapan ini adalah suatu kontradiksi yang akhirnya membatalkan nilai kebenaran pernyataan itu. Kalau Epimenides benar, maka dia bohong (berkata tidak benar). Oleh sebab itu pernyataannya tidak pernah benar dan tidak pernah mempunyai nilai kebenaran.
Ada lagi Pyrrhonisme. Pyrrhonisme adalah aliran skeptis yang beragukan semua hal. “Di dunia ini tidak ada yang pasti”. Tentunya anda pernah mendengar seseorang mengucapkan kalimat ini. Bahkan juga anda sendiri. Untuk membuktikan bahwa pernyataan ini sebuah paradoks, ajukan pertanyaan ini: “Apa kamu yakin?”.
Lucu bukan, kalau ada pernyataan: ”Saya yakin bahwa di dunia ini tidak ada yang pasti”. Perhatikan paradoks yang ada pada kata yang ditebalkan. Seseorang yang menjadikan keraguan pada semua hal di dalam hidup ini sebagai prinsip hidupnya, maka ia juga meragukan keraguannya sendiri.
Prinsip atau dalil semacam ini disebut paradoks atau self defeating principle. Dan menurut ilmu logika, prinsip seperti ini tidak punya nilai kebenaran. Dan prinsip seperti ini mempunyai konflik internal. Maksudnya, kalau kita menganut prinsip tersebut maka kita juga menganut paham penghapusan prinsip tersebut.
Sejak lama banyak artikel-artikel di koran, atau komentar di TV yang menggunakan prinsip yang mengandung paradoks di dalam opini nara sumbernya. Untuk membiasakan penggunaan logika, yang saya percaya bahwa pembaca jarang menggunakannya, kita akan bahas beberapa prinsip seperti ini sebelum menginjak pada topik kebebasan seperti judul artikel ini.
Paradoks “Tidak ada yang tahu kebenaran hakiki, kecuali Tuhan”
Tentu anda sering mendengar ucapan: “Tidak ada yang tahu kebenaran hakiki, kecuali Tuhan”. Ada beberapa varian dari dalil paradoks ini, tetapi intinya sama, misalnya: “Di dunia ini tidak ada yang absolut, semuanya relatif.” Dalil ini sering dimunculkan dalam perdebatan tafsir firman Tuhan. Karena namanya tafsir, opini pribadi, maka satu dengan yang lain bisa berbeda. Pihak yang salah (ngawur tafsirnya) bukannya mencari kebenaran, tetapi mencari dan meminta kompromi dengan melontarkan dalil ini.
Prinsip ini masuk dalam kategori paradoks. Kita bisa uji dengan menanyakan: ”Apa benar bahwa hanya Tuhan yang tahu kebenaran yang hakiki?”.
Kalau jawabnya “ya” berarti orang tersebut tahu hakiki kebenaran prinsip di atas atau dia adalah Tuhan. Jadi jawab pertanyaan di atas harus “tidak”. Artinya bahwa prinsip itu salah. Dan “bukan hanya Tuhan yang tahu hakiki kebenaran, tetapi juga manusia”.
Paradoks “Agree to disagree”
Prinsip paradoks yang populer akhir-akhir ini: “Agree to disagree”. Prinsip ini juga digunakan pihak yang salah untuk mencari kompromi, bukan mencari kebenaran. Saya sempat mendengar ucapan Adnan Buyung Nasution di Metro TV beberapa waktu dalam rangka wawancara membela Ahmadiyah dua tahun lalu. Pewawancaranya, penyiar TV cantik Sandrina Malakiano. Pada akhir acara, bang Buyung menganjurkan (kepada kelompok yang berseberangan dengan Ahmadiyah) untuk “agree to disagree”. Dan Sandrina mendukungnya.
Prinsip ini juga sifatnya paradoks. Kalau waktu itu mbak Sandrina menanyakan pada bang Buyung: ”Anda dan Ahmadiyah seharusnya agree dong dengan disagreement MUI, FPI dan kelompok yang berseberangan dengan Ahmadiyah lainnya. Jangan mereka yang harus mengikuti anda dan Ahmadiyah”; kalau bang Buyung dan Ahmadiyah mengikuti “agree to MUI disagreement” maka MUI dan kelompok yang berseberangan dengan Ahmadiyah tidak perlu bergeming dari posisi mereka. Bingung ya? Problemnya Ahmadiyah dan bang Buyung tidak mau agree dengan disagreement dari MUI dan FPI.
Paradoks “Dilarang melarang” – berilah orang lain kebebasan
Dalil “jangan melarang” sering digunakan untuk membuka jalan untuk perbuatan yang tidak disukai oleh kelompok yang berseberangan. Dalihnya adalah kebebasan, liberalisme. Pada dasarnya prinsip ini juga paradoks. Kata JANGAN dan TIDAK BOLEH adalah kata melarang. Jadi kalau anda tanyakan:”Apakah anda tadi melarang?”. Atau: “Lho kok anda melarang saya untuk melarang”. Nah dia akan bingung. “Jangan melarang” adalah larangan juga. Bingung ‘kan? Memang self defeating principles membuat penggunanya bingung seperti orang tersesat.
Paradoks Pluralisme
Paradoks Pluralisme mengatakan bahwa “Semua agama/aliran pada hakekatnya sama”. Ini prinsip yang sering ditonjolkan JIL (Jemaah Islam Liberal), AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan) bersama penganut pluralisme lainnya. Ada satu hal yang mereka lupa, yaitu: aliran yang memusuhi dan mau membasmi mereka, seperti FPI (Front Pembela Islam) juga seharusnya diperlakukan sama dan merupakan bagian masyarakat pluralis.
Aliran pluralisme sebenarnya menghendaki tatanan masyarakat yang tidak plural. Saya akan tunjukkan dengan pertanyaan ini. Mana bisa disebut (lebih) plural, lebih banyak keaneka-ragamnya?:
1. masyarakat yang hanya mengakomodasi aliran pluralisme.
2. masyarakat yang mengakomodasi aliral pluralisme, aliran pembasmi pluralisme, aliran membenci pluralisme, aliran yang bertentangan dengan pluralisme.
Kalau anda cukup waras, maka jawabannya adalah masyarakat yang terakhir. Apakah yang mengaku aliran pluralisme sesungguhnya menganut paham ini? Kalau benar maka mereka akan hancur karena mereka mengakomodasi lawannya yang boleh jadi termasuk yang brutal dan kejam. Oleh sebab itu paham pluralisme disebut paham paradoks.
Paradoks Kebebasan
Setelah pembaca terbiasa dengan sebagian ilmu logika, terutama paradoks, kita akan masuk ke menu utamanya. Sengaja saya sajikan menu pembuka karena perdebatan dengan logika biasanya pendek saja. Satu-dua kalimat cukup. Itu yang disebut perdebatan yang elegant, yang tidak perlu argumen berlembar-lembar untuk membuat orang mengerti.
Adakah kebebasan itu? Suatu pertanyaan valid bagi mereka yang mencari prinsip kebebasan. Secara logika, jawabnya ialah: “Tidak ada”. Kebebasan itu adalah gagasan yang pada hakikinya tidak ada. Buktinya:
Mari kita berasumsi bahwa perinsip berikut ini bisa dijadikan sebagai prinsip dalam kehidupan: “Manusia mempunyai kebebasan untuk berbuat menurut kehendaknya”.
Konsekwensi logisnya ialah: “Siapa saja bebas menghapuskan prinsip kebebasan tersebut”.
Lihat, hanya perlu 1 kalimat untuk membuktikan point utamanya bahwa kebebasan tidak ada dan paham kebebasan adalah paradoks. Sangat elegan. Habis sudah pembicaraan kita.
Untuk memperpanjang cerita ini, saya mau mengakomodasi hal-hal sampingan yang non-issue, supaya pembaca tidak kecewa. Yang non-issue adalah saya harus menyediakan isme alternatif. Secara alamiah, pilihan itu sudah ada, yaitu paham keterbatasan, “siapa saja di dalam masyarakat harus dibatasi prilakunya”. Apakah ruang geraknya cukup luas atau sempit, itu urusan lain.
Pertanyaan berikutnya ialah: siapa yang berhak menentukan batas-batas, apa yang boleh dan yang tidak boleh? Pemerintah? Saya? Anda?
Kalau orang Betawi akan menjawab: “Emang lu siapa? Sok tahu dan sok ngatur-ngatur”. Intinya bahwa secara alamiah manusia enggan tunduk kepada entity yang derajadnya sama; sama-sama manusia. Pemerintah tidak lebih pandai dan lebih tahu dari kita, karena elemen mereka juga sama seperti kita, yaitu manusia. Alam mengarahkan kita hanya ke satu pilihan, yaitu kepada sang Pemaksa. Prima kausa (sang Pencipta, the ultimate creator), juga sang Pemaksa mempunyai aturan untuk membatasi ruang gerak manusia. Setiap perbuatan, ada akibatnya. Ada hukuman bagi yang melanggar dan ada imbalan bagi yang tetap pada koridor moral dan prilaku yang ditetapkan oleh alam (baca: Tuhan). Ini adalah premis, asumsi dasar, yang mau-tidak mau harus digunakan oleh manusia dan masyarakat.
Pelanggaran atau invasi, agresi, bisa dari individu ke individu lain, individu ke masyarakat, masyarakat ke individu. Jenisnya bisa agresi/invasi fisik dan agresi/invasi non fisik. Kelompok Ahmadiah telah melakukan agresi non-fisik kepada kelompok Islam tradisionil dengan mengaku bagian dari Islam dan mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Jadi jangan salahkan kalau ada kelompok Islam tradisionil membalasnya secara fisik. Dewi Persik menggunakan baju dengan dada tersembul menantang (agresi non fisik) di tempat publik, jangan salahkan kalau ada yang terangsang dan mencoleknya.
Porno-aksi bukan freedom of expression yang tanpa konsekwensi. Mungkin kata yang lebih tepat adalah: freedom of expression sesungguhnya tidak bebas menerima konsekwensinya. Saya pernah melihat seekor kuda betina yang sedang birahi. Tidak jauh dari situ ada kuda jantan yang di kandangkan. Kuda jantan tersebut mengamuk, menendang-nendang kandangnya, sampai dia dilepaskan. Ketika dilepaskan dia langsung nyosor ke betina yang sedang birahi itu. Tahukah anda bagaimana melewati anjing penjaga jantan yang galak sekali? Dengan kain yang dibasahi oleh kencing anjing betina yang sedang birahi. Lemparkan saja kain itu. Anjing jantan itu akan sibuk dengan kain basah itu sementara anda bisa melewatinya dengan aman. Inti cerita; seksualitas adalah hal yang secara naluri sulit dikontrol ketika rangsangan sudah timbul. Bagi manusia, rangsangan itu bukan bermula dari bau saja tetapi jaga pandangan (juga pendengaran) dan khayalannya. Haruskah kita salahkan orang yang melakukan agresi fisik (dengan mencolek) Dewi Persik karena terangsang oleh cara berpakaian Dewi Persik? Mana yang sebab dan mana yang konsekwensi?
Kebebasan berbicara, freedom of speech, termasuk mempromosikan kebohongan. Orang yang tidak bersalah bisa dihukum mati karena kesaksian palsu. Banyak orang yang mati karena kebohongan George Bush dan Tony B-lair mengenai senjata pemusnah massanya Saddam Hussein. Bagaimana speech yang berisi kebencian dan agitasi untuk menghancurkan penganut aliran freedon of speech itu sendiri. Self defeating principle bukan? Itukah jalan yang benar?
Banyak slogan kebebasan-kebebasan lainnya, kebebasan beragama, kebebasan berusaha, kebebasan berbicara dan lain lain. Manusia tidak mungkin bebas bertindak. Secara fisik manusia tidak bisa melompat sampai ke bulan, bukan? Andaikata yang dimaksud adalah kebebasan sebatas (hmm... paradoks) kemampuan fisiknyapun tidak bisa lepas dari konsekwensinya. Itulah alam. Jangan lupa, karya seni tidak seindah barang aslinya – the real thing. Para oxymoron tidak akan bisa memperdayakan anda jika anda cukup jeli waras dan berakal.
Jakarta, 13 Juni 2008
16 comments:
Yth. Pak Imam Semar.
Saya sendiri memiliki pemikiran yang sama dengan Bapak mengenai isme2 aneh dari barat itu. Namun tidak/belum bisa mengungkapkannya se-sistematik Anda, termasuk referensi2nya.
Thanks. Ditunggu tulisan2 cerdasnya yang lain. BTW kadang2 saya curiga jangan2 Imam Semar ini sesungguhnya lebih dari satu orang. Menulis untuk masing2 tema yang berbeda. :)
Suatu negara mengadakan referendum. Rakyat disuruh memilih satu diantara dua.
1. Memilih bentuk negara kerajaan.
2. Memilih bentuk negara demokratis.
Ternyata 80% rakyat memilih bentuk negara kerajaan. Sebuah proses yang demokratis, yang karenanya harus dihormati apapun hasilnya.
Bentuk paradoks yang lain ?
Ha ha ha ha ha.....
Atau 80% tidak memilih apa-apa (baca: tidak memilih negara demokratis).
Itu yang terjadi pada pemilihan pilkada. Mayoritas adalah kursi kosong.
kalau ada manusia yang mengaku "perwakilan Tuhan". Maka dia bisa dikatakan menyalahi kodratnya sendiri (yang memiliki keterbatasan)...
Entah itu kerajaan atau republik dengan penguasa raja, presiden, gubernur, bupati, Pak camat....
seandainya mereka "makan" bukan dari keringatnya sendiri. Maka bisa dikatakan dia adalah pengemis....
Dan bila dia meminta dengan paksaan melalui undang2 maka bisa dikatakan dia itu perampok....
Jadi, ketika manusia tidak dapat adil dengan dirinya sendiri, maka dia tidak akan dapat adil dengan orang lain....
itu pelajaran dari Bapak saya....
Jadi pemimpin tidak harus pemerintah/aristokrat yg melalui kedok negara atau kerajaan memeras rakyatnya untuk memberi makan dirinya sendiri...
Quote:
seandainya mereka "makan" bukan dari keringatnya sendiri. Maka bisa dikatakan dia adalah pengemis....
Dan bila dia meminta dengan paksaan melalui undang2 maka bisa dikatakan dia itu perampok....
Unquote
Makau dia makan dari hasil keringatnya orang lain dengan jalan "mengakali", disebut penipu....
kalau mengambil tanpa diketahui pemiliknya adalah pencuri....
Mas IS, menurut saya kaum pluralis pasti bisa mengakomodir kehadiran FPI yang anti pluralisme jika itu dalam konteks ismenya . Kaum pluralis menuntut FPI dibubarkan bukan karena pahamnya, tetapi karena dia identik dengan kekerasan. FPI bisa diterima kehadirannya selama dia tidak menyerang orang, memukuli sesamanya, merampok toko2, mengambil paksa botol2 minuman keras dan memasukkannya ke mobil mereka sendiri dan entah dibawa kemana (dijual atau dikonsumsi sendiri ?). Keanekaragaman OK, tapi menyerang orang lain apapun alasannya tetap tidak dapat dibenarkan. Jadi saya rasa itu buikan paradoks.
Seorang ilmuwan berhasil menemukan Alternatif bahan bakar. Pada suatu konferensi pers, ilmuwan tersebut ditanyai oleh wartawan.
“Seandainya produk yang diciptakan oleh bapak sudah banyak dipakai oleh para pengguna kendaraan, apa yang akan bapak lakukan selanjutnya?
“Menaikkan harga bahan bakar ini”
Ini baru paradoks
Bung IS, trims atas kiriman berita ini. Sesuai janji saya, tadi sore saya *mengkritisinya* di A&K. --Nad
Jadi menurut Anda, untuk tidak terjebak dalam statemen paradoksal, apa kita perlu mendefinisikan 'aliran keterbatasan'?
::Pak Imam, menurut saya Paradok itu, perlu untuk ditembusi, sehingga tidak lagi menjadi paradoks, namun inipun bisa jadi khusus bagi diri yg menembusinya bukan menjadi mengeneral,
Umpama "tidak ada yang mengetahui yg hakiki kecuali Tuhan" ya ini pernyataan benar, jika Jiwa manusia yg sebenarnya amat sangat dekat dengan Tuhan, dan ada sebuah statement "terbuka hijab" maka diperlihatkan mengenai perbuatan Tuhan", dengan situasi ini sebenarnya dirinya bukan Tuhan, namun Tuhan mempertontonkan perbuatanNYA", dan ADAM AS, mengalami proses ini menurut Ayat yg diturunkan kepada Nabi Muhammad (maksudnya kalau pak Imam percaya :) ).
jadi kesimpulan saya, pengetahuan manusia sampai batas ditemukannya semua hal Paradoks, maka itu seperti sampai diujung jalan, untuk pilihannya berhenti sampai disitu dan siap untuk bingung sendiri, atau menembusi jalan yg terbatas itu... ada iklan rokok A-MILD, dimana ada dinding seperti air yg ditembusi, dan menemui dunia baru...nah siapa tahu disitu ada ketidakbertentangan...
Paradoks lainnya sepertinya ada hal yg dalam konteks contohnya yg terlalu dipaksakan, namun silahkan Pak Imam cek sendiri, jika dipakai sendiri maka bersifat tidak paradoks... mis agree to disagree, camkanlah untuk diri sendiri dan tidak memaksa fihak lain...hmmm...
salam
kalau kita berbicara paradoks, maka hampir segala hal bisa menjadi paradoks dengan silat lidah yang tepat
ini bukan masalah kebenaran, cuma omong kosong silat lidah
misalkan masalah hukum keterbatasan anda, bisa saya jadikan paradoks dengan pertanyaan
apakah layak anda yang memiliki keterbatasan mencoba memabatasi sesuatu yang luas??
kebenaran sejati hanya terletak pada dua hal, logika dan hati nurani
sayang sekali tulisan anda yang kali ini tidak memenuhi dua hal ini
anda melakukan pemaksaan terhadap orang lain yang berbeda pendapat dengan anda
dan anda tidak menggunakan logika anda secara benar karena menggunakan cara yang dapat diputar 180 derajat untuk balik menghantam pendapat anda
misalkan
untuk pertanyaan anda
”Apa benar bahwa hanya Tuhan yang tahu kebenaran yang hakiki?”.
maka jawaban saya adalah saya tidak tahu sebab saya bukan Tuhan
tapi saya akan balik bertanya
apakah ada manusia yang mengetahui segala kebenaran hakiki tanpa diberitahu Tuhan?
atau paradoks ahmadiyah anda
bagaimana kalau anda dan fpi dsb yang setuju dengan pendapat orang2 ahmadiyah?
masalah pluralisme
pertanyaan anda akan saya balik seperti ini
Tuhan yang mengizinkan manusia berbuat kejahatan, apakah layak Tuhan tsb menciptakan neraka untuk menghukum orang jahat?
pluralisme membolehkan anda berbeda pendapat, tapi pluralisme tidak membolehkan anda memaksakan perbedaan pendapat anda tsb
paradoks kebebasan
kalau manusia bebas berbuat membalas orang lain hanya karena alasan sesuka udelnya
kalau begitu bolehkah saya menjitak anda hanya karena saya tidak suka melihat muka anda atau membaca tulisan anda?
hal terakhir
tidak emua orang sosial adalah pecundang dalam ilmu eksak, sayang sekali anda yang memiliki tulisan bagus dan cenderung membahas ilmu sosial malah mengejek bangsa anda sendiri
Holmes: kalau kita berbicara paradoks, maka hampir segala hal bisa menjadi paradoks dengan silat lidah yang tepat
I.S.: Dengan kecerdasan (bukan silat lidah) yang paradoks akan menjadi nyata dan jelas ke-paradoksal-an nya, dan yang benar dan lurus akan menjadi jelas kebenarannya.
Holmes: apakah layak anda yang memiliki keterbatasan mencoba memabatasi sesuatu yang luas?
I.S.: Layak saja kalau keterbatasan saya lebih luas dari "sesuatu" itu dan mencakup "sesuatu" itu. Catatan: terbatas tidak berarti tidak luas.
Holmes: kebenaran sejati hanya terletak pada dua hal, logika dan hati nurani.
I.S.: hati nurani tidak bisa membedakan mana yang benar dan salah. Hanya dengan metode pemikiran yang runut (logika) saja kebenaran bisa ditemukan.
Holmes: sayang sekali tulisan anda yang kali ini tidak memenuhi dua hal ini
I.S.: Benar sekali. Hati nurani tidak pernah saya gunakan untuk menentukan kebenaran. Jadi jangan heran kalau saya tidak akan berkata: "menurut hati nurani saya: 3+6 = 4456" kecuali untuk contoh-contoh absurd.
Holmes: kalau begitu bolehkah saya menjitak anda hanya karena saya tidak suka melihat muka anda atau membaca tulisan anda?
I.S.: Itu argumen menganut paham kebebasan. "Orang boleh berbuat apa saja". Oleh sebab itu paham kebebasan adalah paham yang paradoksal, secara logika adalah paham yang salah.
Holmes: anda melakukan pemaksaan terhadap orang lain yang berbeda pendapat dengan anda
I.S: Tulisan ini adalah bahasan logis dari beberapa faham. Logika adalah hukum alam. Hukum alam sifatnya memaksa (menjadi pembatas). Gravitasi memaksa anda untuk jatuh. Friksi (gesekan) memaksa benda bergerak untuk berhenti.
Holmes: anda tidak menggunakan logika anda secara benar karena menggunakan cara yang dapat diputar 180 derajat untuk balik menghantam pendapat anda
I.S.: Silahkan ditunjukkan dimana.
Holmes: ”Apa benar bahwa hanya Tuhan yang tahu kebenaran yang hakiki?”.
Maka jawaban saya adalah saya tidak tahu sebab saya bukan Tuhan.
Tapi saya akan balik bertanya
apakah ada manusia yang mengetahui segala kebenaran hakiki tanpa diberitahu Tuhan?
I.S: Kata segala (ditebalkan) menjebak. Begini kalau pertanyaannya:apakah ada manusia yang mengetahui segala kebenaran hakiki tanpa diberitahu Tuhan?
maka jawabannya: Tidak. Manusia tidak tahu semua/segala hal. Manusia hanya tahu dari pengalamannya dan pengalaman orang lain yang dipelajarinya (pengalaman tangan kedua).
Kalau pertanyaannya: :apakah ada manusia yang mengetahui kebenaran hakiki?
Jawabnya: Ya selama dalam pengetahuannya. (Contoh: saya tidak tahu banyak mengenai subjek organ manusia karena saya tidak mempelajarinya)
Holmes: pertanyaan anda akan saya balik seperti ini:
Tuhan yang mengizinkan manusia berbuat kejahatan, apakah layak Tuhan tsb menciptakan neraka untuk menghukum orang jahat?
I.S.: Tuhan tidak bisa dimintai pertanggungan jawaban. Mau bikin neraka, sorga atau nggak sama sekali, itu urusan yang nggak bisa dimintai pertanggungan jawaban. Itu adalah Kemauan yang absolut.
Holmes: pluralisme membolehkan anda berbeda pendapat, tapi pluralisme tidak membolehkan anda memaksakan perbedaan pendapat anda tsb.
I.S.: Mana yang lebih plural? Kelompok yang hanya membolehkan perbedaan pendapat, atau kelompok yang membolehkan perbedaan pendapat dan juga membolehkan pemaksaan pendapat. Tentu saja yang terakhir lebih plural.
Holmes: hal terakhir tidak semua orang sosial adalah pecundang dalam ilmu eksak, sayang sekali anda yang memiliki tulisan bagus dan cenderung membahas ilmu sosial malah mengejek bangsa anda sendiri.
I.S.: Terima kasih atas pujiannya (tulisan ini bagus). Semoga anda menikmatinya. Kami sendiri menikmati debat logika.
I.S.: Layak saja kalau keterbatasan saya lebih luas dari "sesuatu" itu dan mencakup "sesuatu" itu. Catatan: terbatas tidak berarti tidak luas
jawab: apabila keterbatasan anda lebih sempit dari sesuatu yang luas itu, apakah anda layak mempersempit yang luas??
I.S.: hati nurani tidak bisa membedakan mana yang benar dan salah. Hanya dengan metode pemikiran yang runut (logika) saja kebenaran bisa ditemukan.
ini apabila berkaitan dengan ilmu eksak dan alam
dan logika memang hampir dapat menemukan 90 persen kebenaran, tapi ada 10 persen yang tidak akan dapat ditemukan
misalnya, apakah membunuh bayi yang baru lahir karena ia cacat itu benar??
logika anda akan bilang benar, apa gunanya ia hidup? toh ia cacat
tapi hati nurani akan berkata itu salah
I.S.: Itu argumen menganut paham kebebasan. "Orang boleh berbuat apa saja". Oleh sebab itu paham kebebasan adalah paham yang paradoksal, secara logika adalah paham yang salah.
benar, tapi paham ketidakbebasan juga paham paradoksal
bagaimana sesuatu yang tidak bebas bisa dengan bebas membatasi??
anda lihat, ini cuma masalah silat lidah
jadi karena keduanya paradoksal, lalu mana yang benar?? apakah tidak ada??
jawabannya ada, kebebasan yang tidak bebas (bertanggung jawab)
IS : Ya selama dalam pengetahuannya. (Contoh: saya tidak tahu banyak mengenai subjek organ manusia karena saya tidak mempelajarinya)
bagaimana anda tahu kebenaran anda adalah hakiki??
sebelum ada teori relativitas, hukum newton adalah kebenaran hakiki, sekarang ia tidak lagi hakiki
anda bilang bahwa anda sehat? apakah itu hakiki?? belum tentu, anda bisa saja sakit parah tapi anda tidak sadar
anda lihat?? kebenaran itu relatif sampai ditemukan hal lain yang lebih benar
manusia hanya bisa berusaha mencari kebenaran
Tuhan yang mengetahui kebenaran hakiki
I.S.: Mana yang lebih plural? Kelompok yang hanya membolehkan perbedaan pendapat, atau kelompok yang membolehkan perbedaan pendapat dan juga membolehkan pemaksaan pendapat. Tentu saja yang terakhir lebih plural.
bagaimana membolehkan perbedaan pendapat dan melakukan pemaksaan pendapat bisa eksis secara bersamaan?
anda membuat paradoks anda sendiri
dan apakah fpi itu membolehkan perbedaan pendapat?? tidak
dan apakah ahmadiyah membolehkan pemaksaan pendapat? ya, apabila itu berkaitan dengan jamaah mereka sendiri
Paradoks besar di blog ini adalah tidak ada kebebasan dalam berkomentar. Membaca kutipan ini, "Democracy is a government by the people, of the people, to fool the people.", ternyata author blog ini bertujuan membodohi pembaca. Sangat bertolakbelakang dengan konsep libertarian, laissez faire yg diagung-agungkan di blog ini. Ternyata kita sedang membesarkan seekor srigala.
Mas IS, menurut saya kaum pluralis pasti bisa mengakomodir kehadiran FPI yang anti pluralisme jika itu dalam konteks ismenya . Kaum pluralis menuntut FPI dibubarkan bukan karena pahamnya, tetapi karena dia identik dengan kekerasan. FPI bisa diterima kehadirannya selama dia tidak menyerang orang, memukuli sesamanya, merampok toko2, mengambil paksa botol2 minuman keras dan memasukkannya ke mobil mereka sendiri dan entah dibawa kemana (dijual atau dikonsumsi sendiri ?). Keanekaragaman OK, tapi menyerang orang lain apapun alasannya tetap tidak dapat dibenarkan. Jadi saya rasa itu buikan paradoks.
Pluralis tidak sama dengan membiarkan kemungkaran merajalela. Bayangkan yang FPI lawan itu siapa? para sampah masyarakat, orang2 yang kerjanya cari masalah di masayarakat. Apakah pelacur tdk membawa keresahan? begitu juga penjudi, bandar narkoba, dsb? Apa anda mau keluarga anda terpengaruh sama mereka? kalau kerusakan dibiarkan merajalela, bagaimana jadinya republik ini? Maukah anda generasi masa depan Indonesia menjadi masyarakat zombie spt masyarakat kapitalis di negara2 manju? Yang tidak tahu akan ke mana mereka menuju, menuhankan akal dan hawa nafsunya sendiri. Tak heran kalau peradaban negara2 maju itu peradaban yang kosong. Kaya materi tapi miskin substansi. Tak heran mereka suka berstandar ganda. Terhadap musuh mereka, berteriaklah HAM, demokrasi, dsb. tapi bagi kawan mereka, meskipun diktator, mereka bela habis2an. Contohnya sudah ada. Arab Saudi, Israel, pakistan, bahkan si pelopor demokrasi sendiri, AS. Lihat korbannya; Palestina, Irak, Afghanistan, Somalia, darfur, dsb.
Entitas pluralis bagi kami, org2 yang anti isme2 konyol ala barat tak lebih propaganda kekafiran, alat penjajahan modern kpd mereka yg tidak mau tunduk kepada sang pengatur dunia, AS, Israel, dan UE.
Pak Imam, terima kasih atas pencerahannya. Jika demikian adanya, maka saya semakin mantap untuk menjadi seorang oxymoron. Dunia sepertinya lebih indah dengan ke-paradoksal-annya.
Post a Comment