Sejarah, dongeng satir, humor sardonik dan ulasan tentang konspirasi,
uang, ekonomi, pasar, politik, serta kiat menyelamatkan diri dari depressi
ekonomi global di awal abad 21.
(Terbit, insya Allah setiap hari Minggu atau Senen)
Masa ORI dan Perang Kemerdekaan – Merdeka Mencetak Uang Semaunya
Masa yang paling kacau adalah
mulai dari pendudukan Jepang sampai masa perang kemerdekaan. Terlalu banyak otoritas
keuangan. Bermacam-macam uang dikeluarkan selama periode ini. Dari uang
pendudukan Jepang yang dikeluarkan beberapa bank, uang NICA (pemerintah
pendudukan Belanda), uang daerah Sumatra Utara, Banten, Jambi, dan deret lagi
di daerah repupblik. Bahkan di Yogya ada paling tidak dua jenis, yaitu yang
dikeluarkan oleh Pakualaman dan oleh Kraton Yogya. Kita bicara saja uang
republik yang paling resmi yaitu ORI – Oeang Repoeblik Indonesia, walaupun
sebenarnya uang-uang lainnya berlaku (kecuali uang pendudukan Jepang yang
ditarik pada tahun 1946). Berdasarkan dekrit no 19 pada tanggal 25 Oktober
1946.
Perangkap Bung Hatta
Lembaran sejarah uang republik
ini dibuka pertama kali oleh wakil presiden Mohammad Hatta melalui pidatonya
yang disiarkan oleh Radio Republik Indonesia (RRI). Sejak itu bangsa Indonesia
terperangkap seumur hidupnya ke dalam kerangka penipuan yang halus yang disebut
dengan kerangka penipuan dengan uang fiat alias uang politikus. Perangkap ini
bak parasit yang menghisap darah tumpangannya secara perlahan. Mungkin tidak
terlalu perlahan, karena kadang-kadang sang tumpangan sampai jatuh miskin
karena hiperinflasi. Yang pasti tumpangan ini dibiarkan hidup menderita.
Teks pidato Bung Hatta adalah
sebagai berikut:
Besok
tanggal 30 Oktober 1946 adalah satu hari yang mengandung sejarah bagi tanah air
kita. Rakyat kita menghadap penghidupan baru.
Besok mulai beredar Uang Republik Indonesia sebagai
satu-satunya alat pembayaran yang syah. Mulai pukul 12 tengah malam nanti, uang
Jepang yang selama ini beredar sebagai uang yang syah, tidak laku lagi. Beserta
dengan uang Jepang ikut pula tidak berlaku Uang De Javasche Bank.
Dengan ini
tutuplah masa dalam sejarah keuangan Republik Indonesia. Masa yang penuh dengan
penderitaan dan kesukaran bagi rakyat kita.
Sejak
mulai besok, kita akan berbelanja dengan uang kita sendiri, uang yang
dikeluarkan oleh Republik kita.
Uang
Republik keluar dengan membawa perubahan nasib rakyat, istimewa pegawai
negeri, yang sekian lama menderita
karena inflasi uang Jepang rupiah republik
yang harganya di Jawa lima puluh kali harga rupiah Jepang. Di Sumatra
seratus kali, menimbulkan sekaligus tenaga pembeli kepada rakyat yang bergaji
tetap yang selama ini hidup daripada menjual pakaian dan perabot rumah, dan
juga kepada rakyat yang menghasilkan, yang penghargaan tukar penghasilannya
jadi tambah besar.
Teks ini diliput oleh Kantor
Berita Antara tanggal 30 Oktober 1946 dan disitir oleh banyak penulis dan bisa
dijumpai di banyak situs internet yang berhubungan dengan keuangan.[1], [2], [3],
[4]
Seorang yang punya rasa ingin tahu
akan bertanya-tanya, kenapa seorang Mohammad Hatta yang mendalami bidang
ekonomi mengatakan uang fiat yang bernama rupiah akan mengeluarkan rakyat dari
penderitaan. Bukankah uang fiat, uang politikus, selalu menjadi alat para
politikus untuk menggrogoti tabungan rakyat secara diam-diam dan membawa
penderitaan bagi rakyat terutama kelas menengah?
Mohammad Hatta dipandang
sejarawan sebagai pahlawan tanpa noda sama sekali. Apakah para sejarawan ini
masih bisa mempertahankan opininya setelah melihat apa yang diperbuat
pemerintah dengan rupiah selama 4 tahun, 10 tahun, 20 tahun, 60 tahun atau 80
tahun kemudian. Nilai riil rupiah nyaris nol ketika rupiah berumur 60 tahun
dimakan inflasi. Pemerintah menjadikan rupiah sebagai sarana untuk mengutil
tabungan rakyat Indonesia dengan jalan mencetaknya secara terus menerus
sehingga nilai riilnya turun.
Rupiah Hanya Alat Pembayaran Yang Syah, Tidak Didukung Asset Riil
Pada penerbitan perdananya,
pecahan tertinggi adalah Rp 100. Yang menarik dari uang ORI ini ialah bahwa
tulisannya sudah ditulis dengan ejaan Soewandi. Perhatikan huruf “u” nya, bukan
“oe” seperti ejaan Van Ophuijsen. Padahal ejaan itu baru resmi berlaku pada
tanggal Tanggal 19 Maret 1947. Mungkin diantara pembaca yang jeli melihat ejaan
yang tertera di gambar uang kertas tertanggal 17 Oktober 1945 ini berbeda
dengan ejaan yang populer waktu itu.
Pecahan tertinggi ORI
(Oeang Republik Indonesia) saat peredaran perdana tahun 1946
Niat tidak baik sudah ada sejak
awal penciptaan uang rupiah. Kata rupiah digunakan untuk nama mata uang Republik
Indonesia karena maksud-maksud tertentu. Mungkin karena mata uang gulden Hindia
Belanda yang sebelumnya terbuat dari perak dan dalam pergaulan sehari-hari,
satuan uang ini sering disebut perak secara informal. Orang secara informal
menyebut lima puluh gulden dengan lima puluh perak dan lima perak untuk lima
gulden. Gulden memang identik dengan perak, karena terbuat dari perak.
Pemilihan kata rupiah ini adalah
untuk menyakinkan masyarakat bahwa uang kertas rupiah sama derajadnya dengan
uang perak dan masih layak disebut perak. Arti rupiah sebenarnya adalah “perak”
dalam bahasa Sansekerta. Dengan demikian orang masih bisa mengatakan lima
puluh perak untuk lima puluh rupiah. Tetapi peraknya republik
hanyalah kertas, bukan perak logam mulia. Dan juga jangan dikira bahwa rupiah
yang beredar didukung oleh cadangan perak atau emas. Republik tidak punya perak
dan emas sebagai cadangan yang mendukung uang kertas yang beredar. Uang rupiah
sejak awal diciptakannya adalah uang fiat, uang politikus yang bisa dicetak
seenaknya. Patut diduga bahwa politikus dan pendiri bangsa ini mempunyai niat
untuk menggrogoti nilai riil tabungan rakyatnya. Demikian juga penerusnya.
Tidak perlu heran jika sepanjang sejarah, pemerintah Republik tidak pernah
mencetak uang perak atau uang emas untuk diedarkan dan dijadikan alat tukar.
Yang ada hanyalah uang kertas. Andaikata ada uang emas dan perak yang dicetak,
maka fungsinya untuk souvenir, cindra mata.
Kata rupiah yang artinya perak
sangat kontradiktif dengan inskripsi yang tertera pada uang rupiah tersebut
yang berbunyi:
“Tanda Pembajaran Yang Sjah”
atau dengan ejaan yang sekarang
artinya “tanda pembayaran yang syah”. Artinya uang ini tidak didukung oleh
logam mulia. Kata-kata “tanda pembayaran yang syah” ini adalah yang pertama
kali berlaku di Nusantara. Pada mata uang yang pernah beredar sebelumnya, kata
“tanda pembayaran yang syah” tidak dikenal. Ini merupakan ciptaan para
politikus republik yang orisinil. Bahkan pada uang pendudukan Jepang pun tidak
ada inskripsi seperti ini. Pada uang yang diedarkan oleh Hindia Belanda
inskripsinya berbunyi: “bayarkan sekian gulden (nilai nominal setara dengan
gulden perak) kepada pembawa uang ini, jika diminta”. Artinya uang Belanda bisa
ditukar dengan perak. Niat awal dari pendiri republik ini adalah sudah jelas
yaitu akan menggunakan sistem uang fiat sehingga bisa mencetaknya dengan
semaunya. Itu dipelopori oleh Bung Hatta.
Pada saat dikeluarkannya, mungkin
bank sentral republik waktu itu masih naif, (mungkin juga tidak) mereka
membagikan Rp 1 kepada setiap warga negara, anak-anak, pemuda, orang tua, semua
dapat bagian. Mertua saya menceritakan betapa senang dia mendapat uang itu
bagai mendapat durian runtuh. Dia pakai untuk jajan. Awalnya uang Rp 1 ORI bisa
dipakai untuk beli nasi dan lauk pauknya beberapa porsi. Setelah beberapa hari
pedagang menaikkan harga-harga. Tindakan para pedagang bisa dimaklumi karena
uang kertas tidak enak dan tidak mengenyangkan, lain halnya dengan makanan atau
pakaian yang mempunyai manfaat yang nyata.
Ketika ORI dikeluarkan dengan
dektrit no 19 tahun 1946 pada tanggal 25 Oktober 1946 mempunyai nilai tukar
terhadap uang sejati (emas) Rp 2 = 1 gram emas. Jadi Rp 1 ORI pada saat dikeluarkan
punya nilai dan daya beli setara dengan Rp 100.000 uang tahun 2007 atau sekitar
Rp 175.000 uang 2010. Tetapi nilai tukar ini cepat sekali berubah.
Pecahan Rp 250 adalah
pecahan tertinggi pada penerbitan ORI ke dua tahun 1947.
Pecahan tertinggi pada saat uang
rupiah ORI dikeluarkan pada tahun 1946 pecahan terbesar adalah Rp 100. Sebagai uang fiat, uang politikus, pemerintah
bisa mencetaknya dengan seenaknya, tanpa batas. Bisa tebak kelanjutannya,
pemerintah Republik mencetak uang seenaknya dengan kecepatan penuh. Ternyata
mesin cetak itu masih kurang cepat, sehingga setahun kemudian Republik merasa
perlu untuk membuat pecahan baru yang lebih besar yaitu pecahan Rp 250. Tahun
1947 keluar pecahan-pecahan baru dengan pecahan tertinggi Rp 250.
Pecahan Rp 600 adalah
pecahan tertinggi pada penerbitan ORI ke tiga tahun 1948.
Pecahan Rp 250 ini pun tidak
cukup untuk menhancurkan tabungan rakyat. Kemudian tahun 1949 dicetak lagi
pecahan Rp 600. Pecahan tertinggi uang yang beredar naik dari Rp 100 ke Rp 600
dalam waktu 3 tahun bukan hal kecil. Apa yang dilakukan pemerintah Republik
hanya untuk membuat rakyatnya secara nominal kaya, tetapi secara riil miskin.
Perdaran ORI dianggap tidak cukup menyengsarakan rakyat, banyak daerah
seperti Sumatra Utara, Jambi, Banten, Palembang, Aceh, Lampung dan entah mana
lagi juga mengeluarkan uangnya sendiri. Bahkan, cerita mertua saya, di Jogya,
ada dua uang daerah, yaitu yang dikeluarkan oleh Paku-Alaman dan yang
dikeluarkan Kraton Jogya.
Untuk sementara pencetakan uang yang berlebihan dimasa revolusi ini tidak
nampak dampaknya pada nilai riil uang. Karena pada masa ini ekonomi sedang
mandeg. Sirkulasi uang terbatas. Orang tidak menggunakan uang, melainkan
melakukan barter. Nenek saya ketika mengungsi, membawa banyak kain batik yang
ditukarkan dengan makanan ketika diperlukan.
Akan tetapi hal ini seperti bom waktu. Pada saat likwiditas mulai
mengalir dan ekonomi bergerak, uang digunakan kembali, maka uang yang berlimpah
ini akan mengejar asset riil sehingga gejala inflasi baru nampak. Pada periode
sejarah berikutnya terlihat bagaimana inflasi sulit dikendalikan.
Pada saat ORI dikeluarkan, nilai tukarnya terhadap uang sejati (emas) 1gr
emas = Rp 2 dan setelah gunting Sjafruddin tanggal 10 Maret 1950, diberlakukan
1 gr emas = Rp 4,30 hanya dalam kurun waktu 3 tahun. Ini nilai resmi. Nilai
riil resmi uang rupiah jatuh, dan 53% nilainya menguap hanya dalam kurun waktu
3 tahun akibat kebebasan pemerintah mencetak uang. Artinya bagi yang memiliki
tabungan dalam bentuk uang ORI di bawah bantal atau di dalam celengan,
kehilangan nilai riil resmi sebesar 53%. Dengan data ini, apakah para sejarawan
masih menganggap Mohammad Hatta sebagai pahlawan tanpa noda? Dimana perubahan
nasib rakyat yang dijanjikannya pada tanggal 30 Oktober 1946 itu? Mungkin
yang dimaksud dengan perubahan nasib rakyat untuk menjadi lebih buruk.
Ironis sekali dengan bunyi
Pembukaan UUD yang disusun para pendiri bangsa ini:
Dan
perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang
berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu
gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil
dan makmur.
Atas
berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan
luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia
menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Kemudian
dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum,
Bagaimana mungkin bisa memajukan kesejahteraan dan kemakmuran dengan
mencetak uang sedemikian banyak dan cepatnya sampai nilai riilnya menguap 53%
dan tersisa hanya tinggal 47% hanya dalam 3 tahun? Apakah para pendiri bangsa
ini bersungguh-sungguh dan tulus dalam ucapannya (ungkapannya) di dalam UUD 45
itu? Apakah ucapan Hatta tanggal 30 Oktober 1946 mengenai rupiah adalah
bersungguh-sungguh dan tulus.
Pada saat yang sama, beredar juga
uang NICA (pemerintah pendudukan Belanda). Kalau ORI dikeluarkan oleh
bapak-bapak pendiri bangsa, maka uang NICA dan uang pemerintah pendudukan
Belanda dikeluarkan oleh pengkhianat bangsa. Apakah pemerintah pendudukan
Belanda dan pengkhianat bangsa ini lebih buruk dari para bapak pendiri bangsa?
Kalau uang rupiah ORI bertuliskan
“Tanda Pembajaran Jang Sjah” (Tanda Pembayaran Yang Syah). Artinya sudah
jelas bahwa pemilik rupiah tidak bisa ke bank dan menukarkan uangnya dengan
asset riil (Inggris: tangible).
Rupiah secara terang-terangan tidak didukung asset yang riil. Sedangkan uang
pemerintah pendudukan Belanda bertuliskan “ De Javasche Bank membajar kepada
pembawa ........ gulden/rupiah”. Dan arti gulden adalah uang perak, maka
uang kertas pemerintah pendudukan Belanda ini “resminya” didukung dengan
cadangan perak.
Pecahan Rp 50, uang
Hindia Belanda keluaran tahun 1943
Pecahan Rp 10, uang
Pemerintah Federasi Indonesia, keluaran tahun 1946
Dikatakan “resminya”, karena
kenyataannya belum tentu. Setelah perang, biasanya, negara jatuh miskin dan
tidak punya cadangan emas atau perak. Dan bank sentral bisa jadi tidak punya
kolateral emas dan perak untuk mendukung uang kertasnya karena sudah disita
pemerintah pendudukan Jepang sebelumnya. Walaupun De Javasche Bank adalah
perusahaan terbuka yang sahamnya diperdagangkan di bursa Amsterdam, situasi
tidak membuat audit menjadi mudah di masa semacam itu. Jadi resminya, uang
kertas dari De Javasche Bank bisa ditukarkan (uang) perak di semua
cabang-cabang De Javasche Bank sebesar nilai nominalnya yang tertulis. Walaupun
kenyataannya sangat meragukan. Kalau semua orang membawa uang kertas terbitan
De Javasche Bank yang dimilikinya ke cabang-cabang bank yang bersangkutan untuk
ditukarkan dengan perak, pasti semua cabang-cabang bank itu akan cepat-cepat
menutup pintunya. Seperti Nixon menutup penukaran dollar ke emas tahun 1971.
Dalam keadaan perang, jangan berharap terlalu banyak orang berlaku jujur,
apakah itu dari pihak Belanda atau republik.
[1] Mengenang Detik-Detik Beredarnya Uang Republik Indonesia,
http://www.depkeu.go.id/ind/Data/Berita/hari_keuangan.htm
[2] Menuju Hari Keuangan ke-63: 30 Oktober 1946-30 Oktober 2009 - Dari Bung
Hatta kepada Indonesia,
http://beacukaikediri.wordpress.com/2009/10/16/dari-bung-hatta-kepada-indonesia/
[3] Sejarah Bank Indonesia : Sistem
Pembayaran - Periode 1953-1959, Unit Khusus Museum Bank Indonesia
[4] Oeang Repoeblik, Mohammad Iskandar,
Jurnal Sejarah, Vol. 6, No.1 Agustus 2004
Disclaimer:
Dongeng
ini tidak dimaksudkan sebagai anjuran untuk berinvestasi. Dan nada
cerita dongeng ini cenderung mengarah kepada inflasi, tetapi dalam
periode penerbitan dongeng ini, kami percaya yang sedang terjadi
adalah yang sebaliknya yaitu deflasi US dollar dan beberapa mata uang lainnya.
6 comments:
Om Is, ini ada berita mau keluar uang baru :
http://bisnis.liputan6.com/read/2089769/uang-nkri-baru-resmi-beredar-pada-18-agustus
Apakah mirip uang baru Bung Hatta, yang makin memiskinkan rakyat Indonesia ?
Kira2 nominal Rp.200.000 kapan muncul ya ?
Bapak Daffa,
Adanya uang baru Rupiah NKRI adalah karena kegagalan pendidikan kita untuk mensosialisasi (mengajarkan) bilangan yang lebih tinggi dari trilliun.
Kalau anda lihat di koran, TV, atau bacaan (sumber informasi) lainnya untuk 1000 trilliun atau 1000000 triliun, tidak pernah ada yang menyebut kwadrillun atau kwintilliun.
GDP Indonesia sudah mencapai level kwadrilliun...., gaji pembantu sekarang sudah mencapai 1 juta. Tahun 2050 nanti akan mencapai Rp 1 milyar uang ORBA. Kalau Departemen Pendidikan gagal mengajarkan sebutan kwadrillun atau kwintilliun....., bisa cilaka kita. Oleh sebab itu solusinya adalah membuat uang jenis baru.
Om Is, sepertinya soal bilangan uang yg lebih tinggi itu sudah disadari oleh para Politikus karena katanya ndak lama lagi mau dibuang angka nol yang makin banyak di uang rupiah itu.
Kemudian Om, sejak 3-4 thn lalu saya sudah mengubah sebagian uang kertas dan uang digital saya ke Emas. Tapi pas saya butuh barang dan karenanya Emas tadi saya jual ke rupiah, kok nilainya lebih rendah dari waktu saya beli ya?
Kira2 sebaiknya apa yg saya lakukan dengan uang tabungan saya yg berupa kertas/digital serta Emas tadi agar saya merasa lebih bernilai ? Terima Kasih lagi Om :-)
Bapa Daffa,
EOWI membuat disclaimer untuk dongeng Penipu, Penipu Ulung, Politikus dan Cut Zahara Fonna (PPUPCZF) sbb:
Dongeng ini tidak dimaksudkan sebagai anjuran untuk berinvestasi. Dan nada cerita dongeng ini cenderung mengarah kepada inflasi, tetapi dalam periode penerbitan dongeng ini, kami percaya yang sedang terjadi adalah yang sebaliknya yaitu deflasi US dollar dan beberapa mata uang lainnya.
Artinya, pada masa penerbitan (PPUPCZF) yang terjadi adalah deflasi bukan inflasi. Pada masa ini harga emas dan hard assets akan mendapat tekanan untuk turun akibat deleveraging. Sebenarnya harga emas dan komoditi sudah tertekan sejak tahun 2011.
pak Is bagaimana tanggapan bapak mengenai fenomena bitcoin yg dianggap lebih fair systemnya
Mas A Yung,
Pemerintah benci pada saingannya dan pemberontakan. Kemungkinan Bitcoin akan menjadi sejenis asset seperti emas, saham dan sejenisnya. (juga akan menjadi sarana spekulasi)
Post a Comment