Sejarah, dongeng satir, humor sardonik dan ulasan tentang konspirasi, uang, ekonomi, pasar, politik, serta kiat menyelamatkan diri dari depressi ekonomi global di awal abad 21
(Terbit, insya Allah setiap hari Minggu atau Senen)
Sumber data Indeks Harga Konsumen bisa diperoleh dari BI (Bank Indonesia). Datanya perlu dipoles, karena BI setiap periode harus dilakukan indexing ulang agar nilai nominal IHK tidak tinggi. Ada periode dimana harga tahu 1966 dijadikan patokan IHK, IHK(1966) = 100. Ada data dengan IHK(2002) = 100. Untuk itu perlu diseragamkan terlebih dahulu.
Grafik VI - 2 menunjukkan perbandingan antara IHK dengan emas (tahun 1971 = 100). Emas digunakan sebagai pembanding karena emas adalah uang sejati dan juga karena emas mempunyai harga yang ditentukan oleh pasar, bukan orang yang mengaku punya kepandaian di bidang statistik.
Grafik VI - 2 Inflasi versi BPS (Indeks Harga Konsumen) vs Inflasi versi uang sejati (emas)
Untuk memperoleh perbandingan yang adil, harga emas juga dinormalisasi ke harga emas tahun 1971, yang disebut saja sebagai indeks emas. Harga emas pada grafik ini sudah standarisasi (dengan cara membagi) dengan harga emas tahun 1971, dan dikalikan dengan 100 untuk memperoleh indeks emas (1971) = 100. Pemilihan tahun 1971 sebagai patokan, karena harga harga emas sudah dilepas dari keterikatannya dengan dollar Amerika Serikat. Artinya, kita tidak pembandingkan yang dipengaruhi oleh dua periode kondisi moneter yang berbeda. Dan untuk data-data moneter Indonesia diharapkan sejak tahun itu dampak pergolakan politik di awal sudah mereda dan datanya bisa lebih akurat.
Indeks emas naik dari 100 di tahun 1966 ke 800.000 di tahun 2010 atau 8.000 kali dalam kurun waktu 44 tahun. Sedangkan Indeks Harga Konsumen hanya naik dari 100 di tahun 1966 ke 20.000 di tahun 2010, atau naik 2000 kali. Nampak antara indeks emas dan IHK versi BPS tidak berjalan seiring. Dan perbedaan ini semakin lama semakin melebar.
Emas bukan satu-satunya pembanding. Kalau mau, IHK – inflasi versi pemerintah (BI dan BPS) dibandingkan dengan harga kambing, kalau sekiranya datanya ada. Kalau ada yang berharap bahwa dengan tolok ukur kambing bisa membuat IHK sahih, maka dia akan kecewa. Karena harga kambing sejak nabi Muhammad sampai sekarang harganya sekitar 1 dinar atau 3,89 gr emas murni. Antara emas dan harga kambing tidak beranjak banyak selama 15 abad. Keduanya tidak mengalami banyak perubahan selama 15 abad.
Diskusi tentang definisi inflasi bisa panjang sekali. Politikus dan ekonom pemerintah yang biasanya bermazhab ekonomi moneter Keyenesian akan berusaha menghindar dari definisi inflasi selain IHK dengan berbagai dalih. Di pihak lain mazhab ekonomi Austria mendefinisikan inflasi secara umum adalah pertambahan uang di dalam ekonomi. Perdebatan inipun masih bisa panjang, karena masih ada pertanyaan lagi, uang yang mana yang digunakan. Apakah Monetary Base, M1, M2 atau M3 yang termasuk kredit. Perdebatan itu hanya untuk mereka yang sedang mencari gelar PhD – doktor. Orang seperti ini suka debat dan memutar otak sampai mendekati ambang kerusakan. Jangan heran kalau singkatan PhD bisa diplesetkan menjadi Permanently head Damage (kepala rusak permanen). Buku ini tidak dimaksudkan untuk membuat pembacanya mengalami kerusakan otak. Jadi diskusi kita batasi pada konteks yang sederhana, sarkas dan menghibur.
Walaupun tujuan buku ini sebagai hiburan, tidak berarti semua prinsip-prinsip logika diabaikan. Untuk menguji kesahihan inflasi versi pemerintah, maka diambil M2 dan indeks emas untuk dibandingkan. Sebenarnya M3 secara logika adalah tolok ukur yang lebih baik dibandingkan dengan M2, karena komponen-komponen lain dari M3 yang tidak ada di M2, seperti kredit, bisa mempengaruhi dinamika harga barang. Sayangnya untuk rupiah, data M3 tidak tersedia. BI tidak mempublikasi data M3. Pemilihan M2 sebagai pembanding semata-mata sebagai kompromi antara akurasi dan kepraktisan.
Grafik VI - 3 memperlihatkan ketiga indeks, Indeks Harga Konsumen (IHK), indeks emas dan indeks M2. Semuanya di level 100 pada tahun 1971. IHK secara konsisten selalu di bawah indeks emas dan M2. Pertanyaannya, harga barang apa sajakah yang tidak lebih penting dari emas dan kurang dipengaruhi oleh pasokan uang yang beredar.
Grafik VI - 3 Inflasi Emas (harga emas), inflasi M2 dan Indeks Harga Konsumen
Emas adalah barang yang tidak penting dibandingkan baju, beras, ayam, ikan, minyak goreng bawang atau merica. Emas juga tidak memberikan bunga (interest) atau dividen. Disamping itu juga emas tidak bisa dimakan. Orang membeli emas setelah kebutuhan primernya terpenuhi. Kalau indeks harga konsumen mencerminkan harga barang-barang konsumen yang pokok maka seharusnya perubahan volume uang yang beredar akan mempunyai pengaruh yang sebanding ke harga barang-barang konsumen. Kenapa harga emas selalu naik lebih cepat dari IHK. Indeks macam apakah IHK ini?
Harga emas memang tidak mengikuti sepenuhnya pertumbuhan M2. Akan tetapi, dinamika ini bisa diterangkan dengan melihat data tentang emas. Antara tahun 1971 – 1980, ada mania di sektor emas, perak dan barang komoditi. Harga emas mengalami bubble yang pecah pada tanggal 21 Januari 1980 dengan harga penutupan perdagangan tertinggi di bursa London $ 850/oz. Setelah itu harga emas turun karena selain bubblenya pecah, emas juga mengalami perubahan fungsi. Bank-bank sentral di dunia menghapuskan sistem pseudo emas ke sistem fiat murni. Mereka melepaskan ikatan mata uang mereka dengan emas dan cadangan emas mereka keluar dari brankas-brankas mereka untuk dijual atau dipinjamkan kepada spekulator. Selama 20 tahun dari 1980 sampai 2000 harga emas mengalami tekanan. Ini bisa menerangkan kenapa indeks emas naik lebih cepat dari M2 di tahun 1971 – 1980 pada saat bubble emas. Kemudian kenaikkannya melambat sehingga tahun 1989 bisa tersusul. Sejak tahun 2000, orang kembali menyadari pentingnya emas sebagai asset lindung nilai dan mulai menjadikan emas sebagai tabungan. Dinar emas mulai diperkenalkan di 57 negara-negara Islam, Koin-koin emas, seperti kijang mas (Malaysia), gold eagle (Amerika Serikat), gold panda (Cina), maple leave (Canada) dan emas batangan pencetakannya meningkat. Belum lagi sertifikat emas juga mulai populer. Dan sejak tahun 2000, perbedaan antara indeks emas dan M2 mulai menyempit. Tahun 2010, permintaan emas dunia untuk investasi lindung nilai melampaui permintaan untuk perhiasan. Emas mulai kembali kepada fungsi asalnya, yaitu sebagai uang sejati.
Bagi indeks harga konsumen yang kenaikannya selalu lebih rendah dari M2, sulit dijelaskan. Kesulitan juga muncul kalau mau menjelaskan dengan argumen bahwa dengan tumbuhnya GDP maka jumlah barang juga meningkat, sehingga uang yang baru akan mengejar barang yang secara kwantitas naik. Argumen ini tidak sahih. Sebabnya, untuk memenuhi kondisi seperti itu, seharusnya pertumbuhan GDP lebih tinggi dari pertumbuhan M2. Kenyataannya pertumbuhan GDP tidak pernah lebih tinggi dari pertumbuhan M2. Kalau begitu, IHK mencerminkan apa? Mungkin BPS juga tidak tahu, karena mereka sudah kehilangan jejak atas apa-apa yang mereka telah lakukan.
Mungkin IHK bukan singkatan dari Indeks Harga Konsumen, tetapi Impian Hasil Kreatifitas Biro Pusat Statistik, BPS. Hipotesa ini sangat beralasan, mengingat secara undang-undang salah satu tugas Bank Indonesia (dan juga bank sentral lainnya) adalah mengontrol inflasi. Rupanya para birokrat ini punya cara yang kreatif, kalau tidak bisa mengontrol inflasi, kenapa tidak merubah tolok ukurnya saja? Ide yang cerdik bukan?
Di Amerika Serikat BLS (Bureau of Labor Statistic – Biro Pusat Statistiknya Amerika Serikat) berkali-kali merubah cara perhitungan indeks harga konsumennya mereka (CPI – Consumer Price Index) untuk memperoleh angka yang memuaskan. CPI yang mula-mula diperkenalkan tahun 1913, saat ini telah mengalami perubahan di tahun 1940, 1953, 1964, .....dan yang terakhir dimasa presiden Bill Clinton tahun 1999. Sekedar untuk pengetahuan saja, harga telepon selluler, komputer tidak dimasukkan ke dalam CPI tanpa dimasak terlebih dahulu. Telepon selluler dan komputer ditaksir kecanggihannya, kemudian diberi faktor pengali, dan baru dimasukkan ke dalam kuali CPI. Demikian juga dengan harga rumah. Disetarakan dulu dengan sewa rumah sebelum dicemplungkan ke kuali CPI. Kalau anda bertanya bagaimana caranya menaksir kecanggihan suatu barang atau bagaimana mensetarakan harga rumah dengan harga sewa, maka jawabannya ialah.....tergantung juru masaknya dan buku masaknya. Itulah yang saya mengerti. Pengertian saya bisa salah.
Sulit untuk menyalahkan pembaca, jika mereka menjadi marah kepada Suharto, Gus Dur dan Megawati setelah membaca bagian berikut dari buku ini. Sulit juga untuk menyalahkan pembaca, kalau mereka akan menuntut Suharto dan presiden-presiden yang terlibat dalam penyelamatan krismon 1997-1998 di pengadilan akhirat nanti, meminta pertanggungan jawaban atas perampokan tabungan mereka yang disalurkan untuk menutup sebagian hutang-hutang konglomerat kroni di masa itu.
Salah satu akibat dari inflasi adalah turunnya nilai riil uang. Selanjutnya, ada dua konsekwensi yang ditanggung masyarakat. Pertama nilai riil tabungan turun dan yang ke dua nilai riil hutang juga turun. Dengan demikian, dalam kaitannya dengan inflasi, ada pihak yang diuntungkan dan pihak yang dirugikan. Yang pasti diuntungkan adalah penghutang alias debitur karena nilai riil hutangnya turun. Sedangkan penabung adalah pihak yang dirugikan karena nilai riil tabungannya turun. Penabung bak harus menanggung hutang debitur yang tidak dikenalnya sekalipun tidak tahu menahu sama sekali atas transaksi hutang-piutang antara kreditur dan debitur. Dan kreditur, pemberi hutang, dikurangi kerugiannya, yaitu terbayarnya piutangnya. Ketidak adilannya terletak pada pembebanan sebagian kerugian transaksi hutang-piutang antara kreditur dengan debitur kepada penabung. Kesalahan kreditur yang tidak melakukan evaluasi atas kemampuan membayar mitra bisnisnya yang berakibat gagal bayar, dibebankan kepada penabung. Sangat tidak adil.
Untuk menjelaskan paragraf di atas, kita lihat kembali krisis moneter 1997-1998. Dimasa sebelumnya banyak konglomerat mengalami kesulitan menservice hutangnya karena krisis kepercayaan. Yang bermasalah tidak hanya konglomerat tetapi juga bank-bank yang menjadi krediturnya. Untuk mengatasi hal ini pemerintah memberikan bantuan kucuran dana (baca glontoran likwiditas), BLBI – Bantuan Likwiditas Bank Indonesia, sebesar sekitar Rp 144,54 trilliun dan kemudian dilanjutkan sampai tahun 2004 dengan rekapitalisasi bank-bank bermasalah. Jumlah peredaran uang M1 naik dari Rp 65 trilliun pada bulan Mei 1997 ke Rp 109,5 trilliun pada bulan Juni 1998, hampir dua kali lipat dalam kurun waktu 13 bulan (lihat Grafik VI - 4).
Grafik VI - 4 Pasokan dan pertumbuhan uang kartal dan uang giral rupiah semasa krisis moneter 1997-1998
Pembaca yang jeli mungkin akan bertanya, kucuran BLBI selama krisis moneter di Indonesia 1997 – 1998 adalah Rp 144,54 trilliun, kenapa M1 hanya naik Rp 44,5 trilliun. Pertambahan M2 dari dari Rp 303,67 trilliun pada bulan Mei 1997 ke Rp 565,79, kemudian mungkin bisa menjelaskan bahwa sebagian besar dari pengucuran BLBI masuk ke dalam kategori rekening tabungan dan deposito. Dan pengucuran dana untuk menanggulangi krisis moneter bukan itu saja, masih ada lagi sebagian dan diperkirakan tidak masuk ke dalam M2, yaitu dana obligasi rekapitalisasi bank sebesar Rp 422,6 trilliun Ini tentunya sebagian masuk ke M3. Catatan: biaya total untuk krisis moneter 1997-1998 adalah Rp 640,9 trilliun yang dikucurkan sampai tahun 2004.
Kalau nilai riil rupiah hilang sebanyak 80%, kemanakah larinya? Menurut ceritanya sebagian besar (95,8%) dari Rp 144,54 trilliun dana BLBI diselewengkan dan pelaku-pelakunya (pemilik bank) sebagian ditangkap dan diadili. Sebagian lagi berhasil melarikan diri. Tetapi, menurut berita yang diselewengkan hanya Rp 138,5 trilliun. Apakah jumlah sebesar itu bisa membuat nilai rupiah lenyap 80%nya?
Seharusnya tanpa penyelewengan dana BLBI pun, sebenarnya rupiah akan anjlok juga. Nilai yang diselewengkan hanya Rp 138.5 trilliun, itupun tidak kemana-mana dan masih beredar di dalam ekonomi. Jumlah yang selewengkan ini kecil dibandingkan dengan dana kucuran total yang berjumlah Rp 640,9 trilliun. Ketika likwiditas sebesar ini dikucurkan, otomatis nilai riil rupiah turun dengan bertambahnya jumlah uang sebesar ini (Rp 640,9 trilliun) di dalam ekonomi. Pada saat turunnya nilai rupiah itulah nilai riil hutang juga ikut terpangkas bersama nilai riil tabungan dan gaji pegawai. Jadi yang diuntungkan adalah para penghutang. Hutangnya direstrukturisasi, pembayaran hutangnya dijadwal ulang, bunganya mungkin dibekukan dan nilai riil hutangnya jauh berkurang dan dengan perjalanan waktu nilai riil itu terus berkurang. Dengan adanya pengikisan nilai riil mata uang pembayaran hutang bagi debitur menjadi lebih ringan. Yang sengsara adalah orang yang punya tabungan untuk pensiun. Nilainya amblas. Tanpa adanya penyelewenganpun, setiap usaha penyelamatan perusahaan atau bank oleh di masa krisis moneter, adalah identik dengan tindakan memacu inflasi yang merugikan penabung dan pekerja.
Penabung dan pekerja sangat dirugikan. Bagi penabung dan pekerja yang tidak tahu apa terjadi mungkin hanya marah atau kecewa. Tetapi bagi yang tahu, tentunya akan marah sekali kepada pemerintah. Tindakan pemerintah yang seperti ini mengingatkan kita pada kata-kata mutiara di Perjanjian Lama:
Orang kaya memerintah orang miskin; yang berhutang menjadi budak dari krediturnya (Perjanjian Lama, Proverb 22:7)
Ini adalah prinsip keadilan. Orang kaya mempekerjakan yang miskin dan orang yang berhutang harus membayar hutangnya. Dan kalau tidak mampu dia harus bekerja kepada pemberi hutang sampai hutangnya lunas. Di dalam sistem kapitalis kroni (kapitalis semu), konglomerat yang berhutang banyak mempekerjakan pegawai yang punya tabungan. Dan hutang konglomerat (debitur) dibayar oleh tabungan para pekerja. Itulah sistem demokrasi kapitalis kroni. Bagi konglomerat yang dekat dengan politikus, hidupnya enak. Dengan manipulasi kekuasaan yang dimiliki konco-konconya di pemerintahan, hidup mewahnya dibayar dari hutangnya, kemudian hutangnya dibayari oleh penabung dan pekerja, dan masih bisa menjadi boss bagi pekerja yang ikut membayari hutangnya. Dengan kekuasaan, tipu muslihat dan pengelabuhan, kata-kata bijak dari Perjanjian Lama dibalikkan.
Politikus dan rakyat Indonesia punya daya ingat yang sangat pendek, walaupun belum bisa dikategorikan sebagai penderita Alzheimer. Sejarah berulang, tahun 2009 kembali terjadi penyelamatan bank Century. Walaupun skala yang jauh lebih kecil, yaitu hanya Rp 6,7 trilliun, seharusnya menjadi peringatan dan pelajaran bagi penabung bahwa pemerintah akan melakukan ketidak-bijaksanaan yang sama, akan mengulangnya lagi dan mengulangnya lagi, yaitu melakukan pengenceran (debasement) mata uang setiap kali ada peluang. Bagi politikus dan pemerintah, perbuatan mencetak uang sangat menggoda seperti pecandu narkotik melihat heroin di depan matanya. Bak pecandu narkotik, walaupun berjanji menghentikan kebiasaan buruknya, ketika barang itu tersedia di depan matanya, besar kemungkinan, janjinya untuk meninggalkan perbuatan yang buruk, akan dilanggar. Baik itu secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan. Baginya istilah buruk tidak ada. Oleh sebab itu senantiasa berhati-hatilah, sebab krisis moneter di masa depan selalu ada. Bagi politikus, melakukan debasement mata uang, menghancurkan tabungan anda bukanlah hal yang buruk. Tidak ada seorangpun di bank sentral merasa berdosa ketika langkah-langkah penyelamatan krisis moneter 1997-1998 membuat 80% nilai riil tabungan masyarakat menguap. Politikus tidak bisa membedakan lagi antara penyelamatan dan penyembelihan korban. Orang yang melakukan blunder di dalam bisnis, hutangnya besar sehingga tidak bisa membayarnya, ditolong dengan menyembelih orang yang di dalam hidupnya berhati-hati, menabung untuk hari tuanya. Dan ini dilakukannya tanpa ada rasa dosa. Pada makhuk yang bernama politikus birokrat, syaraf perasa dosa sudah mengalami kerusakan.
(Bersambung.........)
Disclaimer:
Dongeng ini tidak dimaksudkan sebagai anjuran untuk berinvestasi. Dan nada cerita dongeng ini cenderung mengarah kepada inflasi, tetapi dalam periode penerbitan dongeng ini, kami percaya yang sedang terjadi adalah yang sebaliknya.
Ekonomi (dan investasi) bukan sains dan tidak pernah dibuktikan secara eksperimen; tulisan ini dimaksudkan sebagai hiburan dan bukan sebagai anjuran berinvestasi oleh sebab itu penulis tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang diakibatkan karena mengikuti informasi dari tulisan ini. Akan tetapi jika anda beruntung karena penggunaan informasi di tulisan ini, EOWI dengan suka hati kalau anda mentraktir EOWI makan-makan.