Salah satu report mengenai ekonomi yang secara rutin saya baca adalah reportnya John Mauldin dari
http://www.investorsinsight.com/ dan
John Mauldin’s Outside the Box letter. Sejak lama opini saya dan Mauldin mengenai type krisis saat ini berbeda. Dari tulisannya, dia nampaknya dari kubu moneterisme. Ini saya tarik dari kesukaan dia terhadap Milton Friedman dan Paul Krugman. Mauldin sejak lama mengajukan kondisi yang dia sebut
‘Muddle Through Economy’. Mungkin yang dia maksud adalah ekonomi yang tidak jelas. Bahasa Jakartanya
‘ngubek-ngubek disitu aja’. Opini saya adalah depresi dunia ala tahun 1930an. Dan diakhiri dengan inflasi yang menggila dibeberapa negara. Itu opini saya sejak lama. Bagi saya, opini Mauldin adalah sebagai penyeimbang dari opini saya yang agak ke arah mazhab Austrian. Yang dimaksud penyeimbang disini adalah, barangkali saya bisa menemukan model dan data yang lebih baik dari pandangan saya.
Saya menjadi agak heran membaca beberapa tulisan mingguannya akhir-akhir ini. Karena Mr. Muddle Through sudah berubah menjadi Mr. Depression. Beberapa tulisannya mengarahkan situasi pada saat ini seperti kondisi depresi 1930an.
Artikelnya pada tanggal 19 Juni 2009 dengan judul “
This Time its Different”, dia bukannya mengetengahkan kesimpulan bahwa resesi akan segera berakhir, malah, dia mengatakan bahwa dunia harus terbiasa dengan tingkat konsumsi yang baru, yang lebih rendah. Artinya banyak kelebihan kapasitas produksi harus dipangkas. Banyak lowongan pekerjaan akan hilang untuk selamanya. Paling tidak untuk jangka waktu yang lama.
Kemudian dalam
Outside the Box nya bertanggal 22 Juni 2009, Mauldin menyitir,
copy-paste, sebuah artikel berjudul
‘A Tale of Two Depressions’ oleh dua ahli sejarah ekonomi, Barry Eichengreen dari University of California, Berkeley dan Kevin O'Rourke dari Trinity College. Artikel ini membahas persamaan antara depressi tahun 1930 dengan krisis saat ini.
Dan, coba tebak, minggu berikutnya 30 Juni 2009,
Outside the Box mengetengahkan artikel David Galland dari Casey Research yang berjudul ‘
A 20-Year Bear Market?’. Casey Research adalah kelompok gold bugs, pengusung standard emas dan kubu yang opini bahwa krisis saat ini adalah krisis inflasi. Tetapi kali ini David Galland bercerita tentang persamaan krisis saat ini dengan depresi 30an.
Dari semua itu, bagi saya, bahwa yang menarik adalah pada saat saya berpikir titik balik bursa sudah tidak jauh lagi. Paling tidak opini saya bahwa bursa akan mencapai titik terendah dengan
double bottom atau
inverted head and shoulders, dengan titik terendahnya di bulan Maret 2009. Tetapi Mr. Muddle Through ternyata berganti kulit menjadi Mr. Depression. Ini membuat saya harus berpikir lagi, menengok kembali data-data yang ada untuk mengambil kesimpulan. Orang yang bukan doom-sayer dan biasanya mengatakan krisis yang ringan-ringan saja, sekarang mengatakan kiamat. Apa yang telah terjadi? Saya punya argumen bahwa krisis akan segera berakhir karena ketika saya berkunjung ke Singapora, Kuala Lumpur dan melihat Jakarta, saya tidak melihat krisis. Dimana krisis? Yang pasti tidak di Pacific Place, Marina Square, Suntech City, Vivocity, Santosa Island, Orchad road, KLCC, Bukit Bintang. Dimana letak salahnya saya?
Berikut ini adalah artikel Ekonomi Orang Waras dan Investasi (EOWI) yang datanya sebagian diambil dari artikel
Outside the Box nya John Mauldin beberapa minggu ini.
GREEN SHOOT ATAU GREEN PUKESetelah 1 tahun atau 1.5 tahun tergantung dari mana anda menghitungnya krisis keuangan dunia, ternyata masih berlangsung. Baru-baru ini World Bank memperkirakan bahwa ekonomi dunia akan mengalami kontraksi sebesar 2.9% di tahun 2009. Sebagai orang yang berasal dari disiplin ilmu alam dan matematik, angka 2.9% itu aneh. Karena ada dua significant digit. Angka 3% sudah cukup bagus untuk menggambarkan situasi sekarang dan kemampuan meramal World Bank. Pasalnya Bulan Maret lalu (4 bulan lalu) badan yang sama mengatakan bahwa kontraksi ekonomi dunia adalah 1.7%. Dan 8 bulan lalu (November 2008) World Bank mengatakan bahwa ekonomi dunia masih tumbuh 0.9% pada tahun 2009. Mungkin mereka ini tidak belajar statistik sehingga tidak tahu bagaimana menggunakan angka. Dengan ketidak pastian seperti itu, dua angka terlalu banyak.
Dari ‘perbaikan’ ramalan World Bank dapat disimpulkan bahwa perkiraan sebelumnya mengenai krisis ini lebih optimistik. Dan perlu diperbaiki dengan perkiraan yang lebih pesimistik.
Global bisnis yang diwakili oleh perdagangan dan output industri dunia mengalami kontraksi (Chart 1 dan Chart 2). Penurunan perdagangan dunia ini, bukan hanya dalam dalam dollar tetapi juga volumenya (Chart 3). Walaupun demikian rally
‘green shoot’ (rally karena optimisme krisis akan berakhir) dibursa saham masih terus berlanjut dengan keraguan. Bulan May dan Juni, dunia bisnis masih mengalami kontraksi, dan kontraksinya belum melambat. Tetapi optimisme tetap tinggi ini ditunjukkan dengan meroketnya angka confident level dalam survey. Oleh sebab itu ketika angka-angka yang riil keluar, seperti data pengangguran di US, maka angka ini perlu direvisi kembali dari angka
‘green shoot’, menjadi green puke (Chart 4). Angka pengangguran inipun tidak luput dari manipulasi. Ada asumsi bahwa disektor hiburan (hospitality & leasure) tercipta 180 ribu lowongan kerja baru. Itu tidak sesuai dengan kondisi resesi yang biasanya orang memotong pengeluaran sekunder seperti hiburan.
Chart 1 (Klik chart untuk memperbesar)
Chart 2 (Klik chart untuk memperbesar)
Chart 3 (Klik chart untuk memperbesar)
Chart 4 (Klik chart untuk memperbesar)
Resesi kali ini berbeda dengan resesi sebelumnya adalah saat ini konsumen terbesar dunia, (rakyat US) sudah tenggelam dalam hutang. Walaupun the Fed membanjiri ekonomi dengan liquiditas, uang yang diciptakan tidak keluar dari bank ke konsumen untuk dibelanjakan. Hampir 3 dekade (30 tahun) tingkat menabung di US turun, bahkan sempat negatif –2.5% pada tahun 2005 sebagai titik terendahnya (Chart 5). Konsumen US tidak akan kembali karena mereka banyak hutang, asset terbesar mereka (rumah) mengalami penurunan nilai, tabungan pensiun mereka juga tergerus. Saat populasi baby boomer yang menduduki porsi terbesar pada demografi US sudah menjelang pensiun atau sudah pensiun, terjadi krisis ekonomi. Asumsi terbaik untuk prilaku mereka dalam menghadapi krisis ini tentunya ialah menabung untuk pensiun mereka. Bukan tidak mungkin dalam waktu dekat ini akan mencapai 10% - 12% dari pendapatan mereka. Pantas saja dampak paket stimulus yang demikian besarnya teredam. Pada depressi 30an, tingkat menabung di US mencapai 25%, yaitu pada saat perang dunia II (Chart 6). Memang masyarakat (US) pada saat itu (perang dunia II) tidak bisa belanja apa-apa karena perhatiannya terfokus pada perang. Dengan tingkat tabungan yang tinggi, kemudian pada saat perang usai pemulihan ekonomi berlangsung sangat cepat.
Chart 5 (Klik chart untuk memperbesar)
Chart 6 (Klik chart untuk memperbesar)
Mazhab ekonomi Austria mempunyai postulate bahwa tabungan adalah konsumsi dimasa depan. Jadi kalau tabungan negatif, jangan harap ada konsumsi. Dan sebaliknya, hutang adalah konsumsi dimasa datang yang dimakan sekarang.
RENUNGANKita harus terbiasa dengan tingkat kehidupan yang lebih rendah sebelum dasar struktur ekonomi berubah. Selama US (dan Eropa Barat) masih sebagai konsumen dan negara berkembang sebagai produsen, maka kapasitas produksi dunia harus dipangkas. Di US banyak lapangan pekerjaan yang hilang selamanya, kalau tidak mau disebut hilang untuk beberapa dekade. Misalnya sektor real-estate dan otomotif. Artinya jangan diharapkan bahwa ada lapangan pekerjaan baru tercipta di US. Hal ini akan merembet ke prilaku konsumen. Mereka cenderung menabung. Masak sendiri,
‘do it yourself’ akan semakin populer. Hal seperti ini akan membuat stress yang lebih dalam pada ekonomi (US). Kemudian akan merambat ke negara eksportir seperti Cina, Jerman, Jepang, Singapura, dsb. Kegiatan ekonomi menurun dan peluang untuk kehilangan pekerjaan semakin tinggi.
Lalu apa yang harus kita lakukan? Ikut-ikutan menabung kah? Jawabnya iya dan tidak. Menabung memang perlu, apalagi kalau anda berkecimpung di sektor yang berorintasi ekspor. Anda punya peluang untuk kehilangan pekerjaan. Jadi menabung itu perlu untuk berjaga-jaga. Tetapi bentuknya yang harus di pertimbangkan. Memang di US terjadi deflasi saat ini. (nanti belum tentu). Tetapi lain halnya dengan Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya. Negara berkembang seperti Indonesia mempunyai hutang luar negri (swasta dan pemerintah) dalam denominasi mata uang asing, seperti US-dollar dan Yen. Pada saat depressi investor mengurangi
leveragenya dan mengembalikan hutangnya dalam bentuk US dollar, Yen dan sejenisnya, maka terjadi persaingan untuk memperoleh mata uang tersebut. Oleh sebab itu mata-uang rupiah cenderung melemah pada saat
deleveraging terjadi. Ini terlihat dengan adanya tingkat inflasi harga (
consumer price index) yang positif (Chart 7). Perhatikan Chart 7 ini. Negara-negara yang bergantung pada investasi dan dana asing, diktator, negara berkembang mengalami inflasi harga dan negara maju mengalami deflasi harga.
Chart 7 (Klik chart untuk memperbesar)
Jadi menabung konvesional dalam rupiah tidak menguntungkan, bahkan merugikan. Walaupun data menunjukkan bahwa tingkat inflasi adalah 6%, saya selalu meragukan angka-angka BPS (Badan Pusat Statistik). Ingat, walaupun chart-chart yang EOWI quote berasal dari sumber luar negri, tetapi kalau ditelusuri asal muasalnya dari pemerintah Indonesia. Ingat tentang klaim pemerintah yang katanya telah menurunkan rasio hutang-GDP ke 34%? (Padahal sebenarnya 77%). Saya menemukan angka ini di-quote oleh analis asing dan merekomendasikan Indonesia sebagai tempat investasi. Artinya koran lebih dibaca dari pada BI dan BPS. Bagi inverstor baru Indonesia bisa nampak menarik. Tetapi di lain pihak, investor yang sudah dan pernah di Indonesia seperti pabrik-pabrik sepatu beropini lain dan telah lama banyak hengkang dan menganggap Indonesia tidak prospek.
Data inflasi resmi Indonesia, menurut EOWI, jauh di bawah dari kenyataan. Oleh sebab itu menabung dalam rupiah sama dengan membuat miskin diri sendiri. Pemerintah perlu dana untuk membayar pegawainya dan dalam masa krisis pendapatan pemerintah turun. Untuk menutupi hal ini budget dipotong. Kita lihat lampu-lampu lalu-lintas saat ini dibiarkan mati dan tidak diganti. Katanya sekolah gratis, biaya pengobatan gratis. Tetapi pelayanan pun turun. Gratis kok mau pelayanan yang baik? Kalau dari penghematan tidak cukup, maka pemerintah akan mencetak uang untuk mendanai pengeluarannya. Uang baru itu bisa langsung masuk ke ekonomi. Itu inflasi. Ini kasusnya berbeda dengan negara-negara maju, dimana porsi stimulus pemerintah tidak bisa mengimbangi kecepatan menabung rakyatnya, sehingga terjadi deflasi harga. Porsi kebutuhan primer di negara berkembang cukup tinggi, sehingga konsumsinya sudah tidak bisa dipotong lagi untuk tabungan. Oleh sebab itu strategi menabung di Indonesia adalah dalam bentuk emas.
EOWI melihat terbentuknya
head and shoulder di indeks S&P dan DOW yang menandakan peluang koreksi semakin dekat dan membesar. Pembahasan ini akan kami publikasikan nanti malam atau besok pagi, insha Allah.
Sekian dulu....., jaga kesehatan, tabungan dan investasi anda baik-baik.
Jakarta, 4 Juli 2009
Disclaimer: Ekonomi (dan investasi) bukan sains dan tidak pernah dibuktikan secara eksperimen; tulisan ini dimaksudkan sebagai hiburan dan bukan sebagai anjuran berinvestasi oleh sebab itu penulis tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang diakibatkan karena mengikuti informasi dari tulisan ini. Akan tetapi jika anda beruntung karena penggunaan informasi di tulisan ini, EOWI dengan suka hati kalau anda mentraktir EOWI makan-makan.