Tulisan ini adalah tanggapan secara lengkap atas sanggahan tulisan kami di blog Ekonomi Orang Waras dan Investasi (EOWI) yang berjudul: PLURALISME, KEBEBASAN DAN PAHAM-PAHAM PARADOKS dan beredar juga milist ITB, milist Unhas dan milist MIGAS. Pada tulisan tersebut kami mengetengahkan 7 paradoks. Ada beberapa sanggahan yang kemudian dikirimkan ke saya. Hal ini kebetulan. Karena tanggapan ini bisa jadi bahan yang digunakan untuk memperkenalkan kepada pembaca seni berdebat elegan dan mencari kebenaran dalam berdebat.
Masalah logika adalah hal yang menyenangkan. Manusia senang tertawa dan merasa lucu kalau ada yang menderita, kalah, terhina. Pelawak harus menjelekkan (suatu bentuk penderitaan) dirinya sendiri atau temannya. Tukul Arwana, memperkosa kepribadiannya, rupanya, tingkahnya dan intelektualnya supaya penontonnya tertawa. Logika adalah senjata yang ampuh untuk berdebat dan dapat digunakan secara figuratif untuk membantai lawan bicaranya sampai babak belur. Pembantaian semacam Ini sangat menyenangkan untuk ditonton. Semakin lama bertahan di posisi yang salah, semakin babak belur dan semakin menjadi tontonan yang sangat menyenangkan. Di tempat saya bekerja dulu, rekan saya sangat menikmati perdebatan saya dengan siapa saja. Katanya, saya akan memancing lawan ke dalam jebakan kemudian membantainya habis-habisan sampai puas. Sedangkan kalau saya pada posisi yang salah, maka dengan cepat saya akan menyerah, throw in the towel, permainan selesai dan lawan tidak bisa membantai lagi, saya tidak babak belur. Tentu saja lawan saya akan mendongkol karena belum puas membantai tetapi permainan sudah selesai.
Yang saya bicarakan tadi ada kaitannya dengan kebenaran. Dalam berdebat, pihak yang pada posisi benar akan dengan mudah membantai yang pada posisi salah. Dan keluar sebagai pemenang. Itu hukum alam. Menang secara elegan.
Kalau anda pada posisi yang salah, dan hal itu harus disadari dengan cepat. Kemudian menerima kebenaran yang disodorkan lawan, maka perdebatan selesai. Lawan anda tidak bisa membantai anda. Dan anda keluar dari perdebatan dengan elegan, tidak babak belur. Jadi pesan saya ialah: “Jangan mengingkari kebenaran. Anda akan babak belur”.
Konsep yang saya kemukakan pada tulisan PLURALISME, KEBEBASAN DAN PAHAM-PAHAM PARADOKS secara hakiki benar, artinya bahwa paradoks adalah konsep hampa makna dan secara hakiki prinsip-prinsip yang berparadoks adalah salah. Karena saya pada posisi yang secara hakiki benar, maka posisi lain yang berseberangan adalah salah secara hakiki, pasti, absolutely! Mungkin anda menganggap saya sombong dengan implisit mengatakan: “saya tahu kebenaran yang hakiki”. Anggapan itu salah, karena kebenaran yang hakiki bukan hal yang patut disombongkan.
Tanggapan/sanggahan atas tulisan PLURALISME, KEBEBASAN DAN PAHAM-PAHAM PARADOKS secara absolut salah dan itu bisa dibuktikan. Itulah yang akan kita lakukan sekarang. Dalam pembahasan ini kami akan lakukan secara elegan dimana hanya menggunakan 1-3 kalimat saja dan anda bisa mencerna dengan mudah. Itu yang disebut debat yang elegan.
Setelah kami lihat, ternyata sanggahan yang masuk bukan sanggahan/rebuttal yang sejati. Sanggahan atau argumen seperti ini disebut argumen yang “informal” yang didefinisikan sebagai: “Tidak mengenai sasaran”.
Sanggahan Ferdy dan Rachmat-1
(Ferdy)
Dia (pen.: Imam Semar) membungkus idenya dengan bahasa filsafat, supaya dikira pandai. Menjual idenya dengan bumbu filsafat, supaya laris, dan termakan oleh orang2 yg masih polos. Mempengaruhi masyarakat, supaya masyarakat mendukung idenya.
(Rachmat)
....... tulisan ini sendiri bukanlah sebuah karya filsafat melainkan sebuah, katakanlah, pidato politik. Penulisnya (pen.: Imam Semar) mempunyai maksud lain dan menggunakan subyek-subyek filsafat itu untuk - saya kira - mencari massa yang mau mendukung aspirasi politiknya.
Jelas argumen ini bukan argumen yang sejati, tetapi memindahkan perhatian. Dengan memberi gambaran jahat dan buruk kepada lawan bicaranya; Ferdy dan Rachmat berharap bisa memindahkan perhatian issue paradoks ke issue motif lawan bicaranya. Teknik ini disebut pokrol ad hominem. Untuk mematahkan dan membantai jurus lemah seperti ad hominem ini, caranya dengan menghadapkan kembali ke pokok persoalan, bukan pribadi lawannya (penulis). Hanya diperlukan 1-2 kalimat untuk membuat knock down, contohnya:
“Andaikata Imam Semar politikus busuk, jahat, jelek yang sedang mencari massa, apakah bisa menjadikan paradoks orang Kreta berubah menjadi konsisten dan bukan paradok?” (– knock-down!)
“Andaikata Imam Semar politikus busuk-jahat yang sedang mencari massa, apakah bisa membuat aliran-pluralisme-saja jadi sama pluralnya dengan aliran yang mengakomodasi pluralisme, anti pluralisme, pembantai pluralisme?” (- knock-down!)
“Andaikata Imam Semar politikus busuk yang sedang mencari massa, apakah kalimat ‘jangan melarang’ menjadi bukan larangan?” (– knock-down!)
Sanggahan Ahmad Amiruddin
Wed Jun 18, 2008 3:00 am
Sependek pengetahuan saya dari tulisan opini seperti Politika di Kompas maupun Catatan Pinggir Goenawan Mohammad di Tempo Modus yang sama juga digunakan tentu untuk kepentingan yang berbeda.
Saya pernah berkorespondensi kepada pengasuh rubrik Politika Bp. Budhiarto Sambazy saat pilpres 2004. Kenapa Kompas sepertinya berpihak ke salah satu kandidat dan menjelekkan kandidat presiden yang lain. Beliau mengakui kalau memang berpihak ke salah satu kandidat, seperti juga Koran Tempo katanya yang bepihak ke kandidat presiden yang lain.
Sepertinya apa yang kita sebut tidak berpihak kepada siapa2, sebenarnya adalah pemihakan juga. (88 kata)
Komentar pak Amiruddin juga bukan merupakan sanggahan yang ditujukan pada pokok persoalan yaitu paradoks sama seperti jurus pak Rachmat dan Ferdy. Sasarannya adalah motif saya. Andaikata yang dikatakan pak Amiruddin benar, yakni saya berpihak pada salah satu kubu, hal ini tidak membuat ke 7 paradoks yang saya terangkan terbantahkan. Cara membuat knock down nya sama seperti di atas.
“Andaikata Imam Semar berpihak pada FPI, Komando Jihad, Jemaah Islamiyah, al Qaeda, -sebut saja 20 golongan yang anda tidak sukai, apakah kalimat ‘jangan melarang’ menjadi bukan larangan?” (tentu saja jawabannya adalah: tidak– knock-down!)
Mustamin al-Mandary
Berikutnya adalah tanggapan pak al- Mandary. Tanggapannya panjang dan banyak, tetapi tidak ada satupun yang mengenai sasaran. Pak al-Mandary merancukan methodology yang digunakan.
Wed Jun 18, 2008 7:46 am
Saya ingin memenuhi kata saya, bahwa saya ingin memberikan sedikit komentar. Lupakan dulu komentar Pak Rachmat yang bagi saya cukup menggelitik (hehe), tetapi sepertinya nyambung hehe..
Membaca tulisan saudara Imam Semar (pen.) membuat saya tertarik. Dalam defenisi saya, tulisan ini adalah essai hermeneutis. Sederhananya, ia menjelaskan teks, menganalisa ciri-ciri teksnya yang mungkin saja penulis anggap objektif, tapi bisa jadi analisa itu subjektif (menurut interpretasi pengarang). Inilah sifat ilmu hermeneutika. (Disini mungkin posting Pak Rachmat mengena). Mari kita lanjutkan.
Saya potong disini dulu, karena pak al-Mandary menggunakan “big words” yaitu kata essai hermeneutis untuk mengintimidasi. Setelah menggunakan “big words” ini beliau bukannya menunjukkan mana yang objektif dan mana yang subjektif, melainkan lari. Beliau menuduh analisa saya, katakanlah paradoks “dilarang melarang” sebagai opini subjektif. Beliau harus membuktikan bahwa “dilarang melarang” bukan suatu paradoks. Sedernaha saja. Mari kita lanjutkan lagi komentarnya pak Mustamin al-Mandary.
Secara bahasa, apa yang dijelaskan oleh saudara Imam Semar (pen.) benar adanya, bahwa di dalam beberapa pernyataan yang dicontohkannya terdapat paradoks. Lalu apa sikap kita terhadap "paradoks" itu? Seorang teman pernah menjelaskan kepada saya bahwa kalimat Laa ilaha illa Allah (Tidak ada Tuhan selain Allah) itu adalah sebuah kalimat paradoks. Mengapa? Karena katanya, tiga kata pertama (Tidak ada Tuhan) gugur dengan sendirinya oleh dua kata terakhir (selain Allah). Dia lalu menambahkan, bahwa jika sekiranya kalimat ini benar dan kita meluruskan "kesalahannya", maka sebenarnya Allah mengatakan "ada Tuhan yang lain selain Dia".
Saya potong lagi. Pak al-Mandary melakukan pengalihan topik dengan teknik intimidasi. Pak al-Mandary menggunakan contoh kalimat: “laa illaha illa allah”. Teknik ini disebut dengan intimidasi maksudnya sebagai berikut: Seorang muslim tidak akan berani mengatakan bahwa kalimat “laa illaha illa allah” adalah paradoks. Karena barang siapa yang mengatakan “laa illaha illa allah” suatu paradoks maka dia murtad (heresy). Kalau kalimat “laa illaha illa allah” adalah paradoks maka paradoks itu jelek, paham murtad. Buat orang yang waras, kalimat “laa illaha illa allah” diartikan sebagai berikut: “tidak ada illah, kecuali allah” –
laa = tidak ada
illah = illah (apapun artinya)
illa = kecuali
allah = allah (saya tidak memberi huruf besar – capital letter, karena dalam bahasa Arab tidak dikenal huruf besar, capital letter)
Kalau memang pak Mandary mau melakukan sanggahan, kenapa contohnya tidak salah satu dari 7 paradoks yang kami bahas?
Kita lanjutkan (katanya) sanggahannya pak Mandary
Bagaimana tanggapan Anda? Tanggapan saya begini: Saya mempercayai bahwa kata, atau kalimat, adalah simbol (bukankah kata lahir dari hurup yang merupakan simbol2). Artinya, sebenarnya kalimat itu ingin menjelaskan sesuatu dan simbol terdekat yang bisa digunakannya adalah rangkaian kata2 dalam kalimat tersebut. Lalu apakah kata-kata itu, atau kalimat itu, adalah sesuatu yang dijelaskan itu sendiri?
Jika kita kembali ke premis awal bahwa kata adalah simbol, dan percaya bahwa simbol bukanlah entitas atau wujud dari yang disimbolkannya an sich, maka itu berarti bahwa kata-kata tidak mewakili wujud, atau maksud, atau entitas, dari yang hendak dijelaskannya. Dengan demikian, saya setuju bahwa kita memerlukan hermeneutika dalam sebuah penafsiran, tetapi kitapun harus memahami bahwa hermeneutika tidak cukup dalam menjelaskan sebuah teks.
Karena itu kita mengenal aksiologi. Disana, kita diajari filsafat dari nilai-nilai. Jika kita anggap bahwa satu premis mewakili suatu nilai, maka kita harus mengkaji nilai tersebut. Disinilah kita tidak melulu berpatokan kepada teks, tetapi menyelam ke dalam. Kita menganalisis teks tentunya, karena dari teks-lah kita bisa mendapatkan informasi awal. Tetapi kita harus go beyond, bahwa teks itu memiliki nilai (kebenaran) dan pesan.
Lalu benarkah kalimat Laa ilaha illa Allah itu paradoks? Saya jawab tidak. Alasannya sederhana, karena saya ini percaya kepada Tuhan dan saya yakin kata2Nya tidak paradoks. Waktu itu saya katakan, jika Anda memerlukan penjelasan kenapa saya percaya Tuhan, saya akan menggunakan filsafat wujud untuk menjelaskannya. Untung saja kami sama2 percaya kepada Tuhan, jadi tidak perlu saya menggunakan filsafat wujud yang sebenarnya saya tidak tahu itu....hehehe....Jadi ada parameter lain yang bisa kita gunakan untuk menjelaskan satu premis yang dianggap sah, bukan hanya kajian teks atau bahasa. Kita harus menjelaskannya lebih detail, walau itu akhirnya tetap menggunakan kata-kata. Disitulah pentingnya lintas ilmu dalam penafsiran dan penerjemahan.
Pak Mandary berpanjang lebar menjelaskan bahwa kalimat "laa ilaha illa allah" sebagai non-paradoks. Mungkin maksudnya ingin menunjukkan bahwa sesuatu yang paradoks bisa jadi paradoks semu. Kalimat "ilaha illa allah" bukan paradoks. Cara berdebat yang elegan cukup menterjemahkan sebagai berikut: “tidak ada illah, kecuali allah”. Illah dan allah adalah dua kata yang jelas berbeda. (Catatan dalam bahasa Arab tidak dikenal huruf besar). Jelas sekali bahwa kalimat ini tidak mempunyai sifat self-contradictory (paradoks) seperti kata "jangan melarang".
Kita lanjutkan komentarnya (bukan sanggahan, pak Mandary).
Ada seorang teman lagi pernah bertanya, "Apakah benar Tuhan Maha Kuasa?" Saya jawab ya. Dia tanya lagi, "Lalu Kuasakah Dia menciptakan Tuhan lain untuk mendampingiNya?" Teman itu ingin menjebak saya (saya yakin dia main2). Jika saya jawab ya, itu berarti ada kemungkinan adanya Tuhan lain, apalagi kita tidak tahu detail perbuatan Tuhan, bahkan kalaupun Dia menciptakan Tuhan lain, toh tetap tidak kelihatan. Jika saya jawab tidak, itu berarti saya membantah jawaban saya yang pertama. Dia bilang, kekuasaan Tuhan terbukti paradoksal.
Saya lalu jelaskan bahwa pertanyaan dia yang salah. Saya katakan padanya bahwa dia "tidak mengenal" Tuhan sebagaimana yang dijelaskan oleh Akal dan Teks. Jika dia "mengenal" Tuhan dengan baik, maka semestinya dia tidak melahirkan pertanyaan kedua itu. Dengan bertanya yang kedua itu, justru dialah yang memproduksi paradoks dan bukan kekuasaan Tuhan yang paradoks. So be careful.
Kami potong lagi untuk memberi komentar. Pak Mandary memberikan contoh yang buruk sebagai analogi karena entity Tuhan/tuhan dipersepsikan sebagai tidak terjangkau akal. Kalau hal ini dijadikan dalil (asumsi dasar, premis), maka diskusi secara intelek terhenti. Kedua, kata “maha” dalam kata Tuhan Maha Kuasa. Kata “maha” yang disandingkan dengan kata Tuhan selalu tidak jelas artinya. Yang paling nyata ketidak jelasan makna “maha’ ada dalam kata “maha esa”. Apakah maksudnya 1.00000000 atau 1.002. Kata “maha” dalam kata “maha esa” tidak punya makna. Sebab esa berarti 1. Kata maha kuasa, apakah berarti kekuasaanNya tidak terbatas? KemampuanNya tidak terbatas? Kalau memang arti kata “maha" adalah “tidak terbatas”, saya dengan mudah membuat anda bingung. Ini pertanyaan saya:
Bisakah Tuhan bunuh diri?
Bisakah Tuhan membuat batu yang besar sehingga Dia tidak bisa mengangkatnya?
Bisakah Tuhan berbuat konyol?
Membahas analogi pak Mandary akan membuat diskusi tidak terfokus pada topik semula, yaitu 7 paradoks. Jadi kita lanjutkan saja dengan komentar pak Mandary.
Sekarang saya ingin menyentil satu contoh saudara Imam Semar (pen.). Contoh paradoks yang lain saya kira sejenis, jadi sentilan saya ya sejenis juga.
*Paradoks Pluralisme dan Setuju untuk Tidak Setuju*
Saudara Imam Semar (pen.) mengatakan bahwa ada paradoks yang dilakukan oleh AKKBB atau JIL (lepas dari setuju tidaknya kita terhadap kelompok2 ini). Katanya, jika JIL itu pluralis, mestinya JIL menerima kelompok lain yang ingin membasmi mereka, bukankah menerima kelompok yang ingin membasmi atau menghapus mereka itu adalah sikap pluralis juga?
Jika dianalogikan, contohnya mungkin begini. Jika saya pluralis, maka saya harus menerima orang yang hendak meniadakan saya. Menerima sesuatu yang akan meniadakan saya itu maksudnya apa? Jika saya menerima peniadaan saya, itu berarti saya tidak pluralis. Ini mutar-mutar jadinya. Pertanyaannya, apa yang disebut pluralisme? Apakah ada syarat dan kondisi dalam masyarakat pluralis? Apakah batasan dan karakteristik masyarakat pluralis itu? Jika dalam suatu masyarakat ada satu kelompok yang hendak membasmi atau menghapus kelompok lainnya apakah itu "patut" dibiarkan? Adakah prosedurnya? Adakah hukumnya? Pluralisme memang hanya satu isme, nilai yang dianut. Akan tetapi, isme yang mengejawantah dalam suatu masyarakat pastilah memiliki rambu-rambu. Disinilah peran hukum (entah itu hukum samawi ataupun hukum manusia). Disini pula, menurut saya, wahyu itu "harus" diturunkan oleh Tuhan.
Kita bisa tidak setuju dengan kelompok tertentu. Akan tetapi, jika hendak mempertahankan pluralisme, ketidaksetujuan itu mestinya dalam suatu jalur yang berkarakteristik pluralis. Jika saya adalah kelompok yang dikafirkan, tentu saya tidak setuju dengan fatwa sekelompok orang tentang pembubaran saya dan jelas saya akan menolaknya. Saya berfikir bahwa saya salah menurut Anda, tetapi menurut saya, apa yang saya yakini adalah kebenaran. Masalahnya adalah, fatwa ini adalah pembubaran dan penghapusan (ini bertentangan dengan semangat pluralis itu), ada tindakan pisik yang bisa dilakukan, bukan hanya sekedar ketidaksetujuan saja. Jika fatwa itu hanya meminta pembubaran, tidak masalah, bukankah kita berhak juga menolak. Nah kalau mau pluralis tulen, ya biarkan saja saya, saya juga akan membiarkan Anda tidak menyetujui saya, bahkan memberikan hak kepada Anda untuk meminta pembubaran saya, tetapi saya akan membela keberadaan saya, menutup telinga kepada ajakan Anda untuk menghapus saya, dan jangan coba-coba melakukan suatu tindakan kepada saya karena saya akan membela diri untuk mempertahankan semangat pluralisme itu.
Saya potong lagi. Karena inti sanggahan pak Mandary ada pada kalimat berikut ini (selebihnya tidak esensiel):
Setuju dan tidak setuju itu ada dua..........
Inti perdebatan mencari kebenaran bukan masalah setuju dan tidak setuju, suka dan tidak suka, tetapi benar dan salah. Jadi ini adalah pembelokkan masalah dari benar/salah ke setuju/tidak-setuju, suka/tidak suka.
Kita lanjutkan lagi sanggahan pak Mandary.
Pertama dalam keyakinan, kedua dalam perbuatan. Saya tidak setuju Anda berqunut di shalat subuh dan saya tidak akan mengikutinya. Tetapi silahkan berqunut jika itu pilihan fiqh Anda. Dan tentu saja, jangan tahan saya, memanggilkan polisi untuk menghukum saya, memenjarakan saya, jika saya berqunut di shalat subuh. Sikap pluralis itu begitu saja. Sederhana. Maka ndak usah dinjelimetkan dalam kata-kata.
Wittgenstein (seorang filosof) berkata, "what you can not speak about, just keep it in silence." Maka tidak salah jika banyak sufi yang memilih larut dalam diam. Simbol memang sering menjebak. (1037 kata)
Rachmat Santosa
Wed Jun 18, 2008 8:04 pm
Tulisan Imam Semar (pen.) itu adalah sebuah orasi dengan tendensi yang jelas,sebuah propaganda. Tujuannya bukan mencari "kebenaran" tapi memenangkan golongannya (fundamentalis?) atau sedikitnya memenangkan pendapatnya. Jahatnya memang karena beliau melakukan appeal pada logika kita sehingga mereka yang tidak pernah belajar filsafat bisa terjebak padahal beliau melanggar prinsip pertama dan utama dari sebuah diskusi mengenai, tentang dan dalam logika.
Kami potong disini dulu untuk melakukan bantahan. Pembaca sudah tahu, teknik ini adalah membelokan perhatian dari masalah paradoks ke motif penulis.
Kita lanjutkan sanggahan pak Rachmat.
Prinsip pertama itu adalah : "define your concepts first before starting the discussion". Ini supaya peserta diskusi atau pembaca atau hadirin atau jemaah "memakai bahasa yang sama" dengan mereka yang sedang menjadi "nara sumber".
Saya berikan satu contoh saja: "Hanya Tuhan yang tahu kebenaran hakiki". Ini bukanlah sebuah philosophical statement yang lahir diujung sebuah penalaran logis. Ini adalah sebuah statement of belief yang dicomot dari ungkapan2 men in the street yang sepertinya bermaksud baik, ingin mendamaikan mereka yang bertengkar tentang agama dan kepercayaan.
Komentar kami: Pak Rachmat nampaknya setuju bahwa statement paradoksal berikut ini tidak punya nilai kebenaran: “Hanya Tuhan yang tahu kebenaran hakiki". Tetapi kemudian mengingkarinya (kami tebalkan pernyataan pak Rachmat itu).
Sebagai kalimat yang mempunyai tujuan baik demikian, statement itu ok, dan dia mempunyai kebenaran bersyarat. Syaratnya adalah pemahaman kebenaran hakiki sebagai: agama dan kepercayaan yang mana yang benar?
Memang hanya Tuhan yang tahu agama dan kepercayaan mana yang benar, lebih benar, paling benar dan kita hanya bisa percaya (ada orang yang lebih suka menggunakan kata yakin) bahwa agama kitalah yang paling baik (maafkan, saya lebih suka menggunakan istilah ini daripada paling benar). Tapi kalau dianalisis dengan menggunakan metode filsafat maka gampang banget untuk tiba pada "paradoks" di dalam statement itu seperti yang diistilahkan oleh Imam Semar (pen.). Pak Mus sudah memberikan beberapa contoh lain dari kalimat/statement yang sering kita dunakan namun yang mengandung paradoks di dalamnya. Tapi dalam diskursus filsafat adalah biasa bagi kita untuk "merasa" bahwa kita telah mencapai kebenaran hakiki tentang sesuatu hal, tidak perduli bahwa filsuf lain juga menyatakan telah mencapai kebenaran hakiki lain tentang hal yang sama. Dengan segera saya teringat pada pertarungan aliran idealisme dan keturunan2nya melawan aliran materialisme dan keturunan2nya pula.
Para filsuf idealis dan materialis sama2 merenungkan hal yang sama dan tiba pada "kebenaran hakiki" yang berbeda. Maksud saya, jika kita jujur mau mencari "kebenaran" (yang elusive itu) maka "first, define your concepts please!" Supaya kita bisa berbicara dalam bahasa yang sama. Itu yang tidak dilakukan oleh Imam Semar (pen.) dan banyak penulis propaganda lainnya. (363 kata)
Pada bagian akhir dan di beberapa tempat pada komentar pak Rachmat, beliau mengatakan bahwa kebenaran yang hakiki itu bisa berbeda. Menurut ilmu logika, jika ada 2 (atau lebih) opini hal yang berbeda untuk hal yang sama, maka semua opini itu salah atau hanya satu yang benar. Sebab, kalau ada dalil yang bisa membuktikan 2 hal yang saling bertentangan/berbeda (kontradiksi) itu benar semua, maka dengan dalil itu kita bisa membuktikan apa saja. Bahkan kerbau sama dengan monyet. Ini contohnya:
Dalil/aksioma yang dipersoalkan: A = bukan A
Pernyataan: Monyet = bukan Tuhan,
Dalil: Tuhan = bukan Tuhan,
maka,
Tuhan = monyet.
Secara logika telah ditunjukkan bahwa kalau kita percaya bahwa kebenaran hakiki bisa berbeda-beda maka kita juga harus percaya bahwa Tuhan sama dengan monyet.
Catatan: Pengambilan contoh Tuhan = monyet tidak bermaksud untuk intimidasi dan masih relevan. Pak Rachmat tidak menjelaskan bagaimana 2 kesimpulan yang berbeda secara hakiki bisa, sama benarnya, maka saya punya peluang untuk menjelaskannya bahwa konsep itu salah. Memang yang saya gunakan adalah Tuhan = monyet untuk memperjelas pembuktian.
Catatan lain: Pak Rachmat menggunakan kata lebih benar, paling benar. Kata “benar” (true) tidak memiliki gradasi. Bentuk comparative dan superlative nya tidak ada. Yang ada hanya true & false.
Djasli Djamarus
Hmmm ... puyeng juga bacanya ... tapi gue komentari sedikitlah:
Berapa banyak orang yang mempunyai kecerdasan untuk menyadari bahwa paham kebebasan adalah paham paradoks? Perkiraan saya, tidak banyak. Paling tidak, opini yang berhasil keluar ke media massa mencerminkan demikian. Pada jaman modern ini, ujung tombak penganut prinsip-prinsip yang bersifat paradoks biasanya mempunyai latar belakang pendidikan ilmu politik, sosial dan seni. Mereka ini adalah ampas yang tidak lolos dari saringan masuk untuk jurusan kedokteran atau teknik. Siswa yang pandai akan masuk ke jurusan kedokteran dan teknik. Dan oxymoron, biasanya masuk ke jurusan ilmu politik, sosial dan seni serta menjadi pendukung paham kebebasan, women liberation, feminist, pluralisme dan sejenisnya yang penuh dengan prinsip-prinsip paradoks.
Gue keberatan dengan statement diatas ! Kecerdasan itu bermacam-macam ! Orang yang cerdas di logika/matematika bisa jadi tolol di bidang estetika, dst-2nya. Jadi ga bener tuh kalau mereka yang berlatar belakang ilmu politik/sosial merupakan ampas dari mereka yang berpendidikan kedokteran/teknik.
Jadi ga bisa dibilang suatu ilmu (batasi untuk yang ada program studi s-1) tertentu lebih tinggi dari ilmu yang lain! Gue terus terang aja bisa jadi DO kalau masuk FISIP atau SR, untung aja gue masuk ELEKTRO yang gampang (paradoks ?)
Komentar kami: Silahkan lihat kenyataan. Anak-anak SMA yang masuk jurusan IPA, kalau mau pindah ke IPS boleh, tetapi tidak untuk sebaliknya.
Saya yakin banyak diantara pembaca bukan terlahir untuk menjadi oxymoron, tetapi karena pendidikan dan lingkungan, maka anda menjadi oxymoron.
Ini bisa terjadi dalam pendidikan apapun juga, termasuk teknik dan kedokteran. Jadi bagaimana kita menjalankan pendidikan (dalam arti umum: bisa terbuka, bisa formal, bisa alternatif) itulah yang penting, bukan bidang pendidikan jenis apa.
.......... paham mengenai isi tulisan ini, berarti anda telah meningkatkan intelektual anda dan tidak berhak memperoleh gelar oxymoron lagi. Bahkan bisa menggunakan kalimat: “prinsip anda mengandung paradoks” sebagai ungkapan yang halus sarkastik untuk menghina dan mengatakan bahwa “tingkat intelektual anda sangat rendah”. Selamat menikmati, semoga nantinya anda lebih pandai.
Ini lagi ... koq bisa-bisanya menilai HANYA dari sebuah tulisan saja. Kalau gue lagi malas ga mau ngerti apa gue oxymoron, kalau dibaca setiap hari selama 1 bulan, baru ngerti apa sudah bebas dari oxymoron
Inti paradoks2 yang dicontohkan sebenarnya datang dari tata nilai yang menggangap bahwa kebenaran/kebebasan/persetujuan dll itu adalah diskrit 0 (false) dan 1 (true), padahal dunia nyata ini adalh FUZZY, jadi ada nilai continues kebenaran/kebebasan/persetujuan diantara 0% s.d 100%. Jadi kalau kita beranggpan demikian maka beberapa paradoks2 itu sebenarnya bisa tidak paradoks. (379 kata).
Tantangan kami: Silahkan buktikan dari 7 paradoks yang kami ajukan adalah paradoks semu (bukan paradoks). Kalau ada nilai dari 1 – 10 untuk paradoks yang dicontohkan, silahkan buktikan. Dari uraian anda yang terdiri dari 379 kata itu tidak ada yang membuktikan bahwa ke 7 paradoks yang dibahas itu ternyata bukan paradoks.
Secara umum kami ingin memberi nasehat kepada para penyanggah yang dari namanya (kebanyakan) beragama Islam. Kalau anda membaca Quran dengan teliti, maka kata untuk petunjuk kebenaran, NUR, selalu berbentuk singular, bukan jamak (plural)nya yaitu ANWAR. Sedangkan kata kesesatan – DHOLAMA/DHOLIM selalu berbentuk jamak. Seakan akan Quran memberi petunjuk bahwa hanya ada 1 (satu) set kebenaran diantara banyak kesesatan. Kami menilai kebenaran dari sudut logika yang sekuler, dan kami sejalan dengan Quran.
Sampai disini dulu diskusi kita mengenai moralitas, kebenaran dan logika. Dalam diskusi kita telah mengenal satu pengertian logika yang disebut paradoks. Lain kali kita akan membahas beberapa prinsip-prinsip logika antara lain:
- Pembuktian dengan menurunan (proving)
- Pembuktian dengan eliminasi (proving by exhaustion)
- Kondisi cukup dan kondisi perlu (necessary and sufficient conditions)
- Kontradiksi (Catatan, paradoks adalah self-contradiction, kontradiksi internal)
Sebelum kita akhiri tulisan ini, kami akan meninggalkan beberapa teka-teki untuk dicerna.
Sesuatu ada karena ada pembuatnya. Alam semesta ini ada karena ada pembuatnya yaitu Tuhan. Kalau begitu, tentu ada pencipta dari Tuhan?
Kalau Tuhan maha pengasih, kenapa Dia menciptakan penyakit dan bencana serta kesengsaraan? Apakah Dia tidak mampu melenyapkan bencana dan penderitaan?
Selamat berpikir........
Jakarta 3 Agustus 2008