Beberapa hari lalu, tengah malam saya
menerima WA dari seorang teman untuk dimintai komentar saya. Isinya, katanya
tulisan menteri Luhut Panjahitan mengenai penurunan nilai rupiah. Tentang
kebenaran asal-usul tulisan ini, apakah benar dari Luhut Panjahitan, saya tidak
tahu. Tetapi isinya banyak yang absurd, mungkin mewakili opini jajaran menteri
di pemerintahan. Mungkin juga tidak. Jangan terlalu terpaku pada asal-usul tulisan ini, yang penting isinya. Karena tujuan EOWI bukan menyerang individu tetapi pemikirannya. EOWI akan selalu menghindari logical fallacy strawman argument.
Sebelum
saya membuat komentarnya, berikut ini adalah tulisan yang dimaksud. Nantinya
komentar saya akan saya bagi beberapa seri. Dan seri pertama, yang akan saya
komentari adalah pandangan pemerintah, c.q. (katanya) Luhut, atas situasi sekarang. Seri
berikutnya, komentar tentang solusi dari pemerintah.
Apa yang Terjadi dengan
Rupiah?
Teman-teman sekalian, saya banyak
membaca perdebatan-perdebatan di WA grup kita ini mengenai keadaan ekonomi
terutama terkait dengan pelemahan Rupiah.
Terhadap concern teman-teman, di sini
saya ingin memberikan gambaran lebih lengkap mengenai apa yang sedang terjadi
kepada Rupiah dan langkah-langkah yang sedang dan akan diambil oleh pemerintah.
Saya sangat paham mengenai kondisi
tersebut, karena kebetulan saya termasuk di dalam tim ekonomi Indonesia yang
diantaranya beranggotakan Menko Bidang Perekonomian, Menteri Keuangan, Gubernur
BI, dan Ketua OJK. Topik ini sendiri sudah kami bicarakan secara intens sejak 3
minggu yang lalu.
Secara global, recovery pertumbuhan
ekonomi dunia yang berjalan baik dalam satu tahun terakhir saat ini sedang
terancam oleh trade war yang dipicu oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump
terhadap mitra dagang utama mereka seperti Tiongkok, Uni Eropa, Meksiko dan
Kanada, dengan cara menaikkan tarif impor barang barang dari negara-negara
tersebut.
Negara-negara itu pun mengancam akan
membalas balik tindakan Trump. Hal inilah yang menyebabkan kekhawatiran bahwa
pertumbuhan ekonomi dunia yang mulai membaik akan melambat atau bahkan resesi.
Tiongkok, yang menjadi target utama trade
war dari Trump, telah mendepresiasikan mata uangnya secara signifikan untuk
menjaga harga barangnya tetap kompetitif di pasar Amerika Serikat. Dampak
depresiasi Yuan terhadap Dolar Amerika, juga memicu depresiasi mata uang negara
negara berkembang lainnya. Hal ini pula yg menjadi salah satu faktor utama
depresiasi Rupiah sejak Maret tahun ini.
Selain perang dagang Trump, krisis di
beberapa negara berkembang juga memiliki pengaruh terhadap pelemahan Rupiah.
Turki adalah salah satunya. Inflasi yang hampir mencapai 18%, dan hutang luar
negeri yang mencapai 53% dari total GDP menyebabkan tekanan depresiasi
terhadap mata uang Lira, yang per 31 Agustus kemarin mencapai 42%. Hal ini
kemudian diperburuk oleh rendahnya kredibilitas pemerintah Turki di mata
investor akibat intervensi yang dilakukan oleh Erdogan dengan melarang bank
sentral untuk menaikkan suku bunga, padahal inflasi sudah melambung tinggi.
Selain itu, Erdogan juga menunjuk menantunya sendiri menjadi menteri
keuangannya.
Di samping Turki, Argentina juga
mengalami krisis yg cukup parah. Mata uang Peso terdepresiasi sebesar 53% dan
tingkat inflasi yg mencapai 28%, memaksa bank sentral mereka untuk menaikkan
suku bunga menjadi 60% dan meminta talangan IMF sebesar USD 50 milyar. Selain
Turki dan Argentina, negara-negara berkembang lain yang mengalami depresiasi
signifikan per 31 Agustus antara lain Afrika Selatan (15.8%), Rusia (15.5%),
India (9.9%), Chili (9.3%), Philipina (6.7%), dan Indonesia (7.8%).
Hal inilah yang menjadi salah satu
karakteristik negara-negara berkembang, di mana investor internasional
menganggap mereka berada dalam satu keranjang yang sama. Jika ada satu dua yang
bermasalah, para investor ini cenderung mengambil langkah berjaga-jaga dengan
menarik investasi mereka dari seluruh negara berkembang. Akibatnya kurs mata
uang akan terdepresiasi bersama-sama
Tidak Perlu Khawatir
Saya tidak melihat bahwa Indonesia
berada dalam keadaan krisis besar. Kalau dibilang kita harus berhati-hati, itu
betul. Atau dibilang bahwa pemerintah melakukan koordinasi dengan sangat
intens, itu juga betul. Tapi tidak perlu khawatir berlebih bahwa krisis 1998
akan terulang lagi. Sebabnya, kondisi sekarang sangat berbeda dibandingkan
dengan 1998.
Perbedaan utama terletak pada sosok
pemimpinnya. Pemimpin sekarang, Pak Jokowi, tidak korupsi. Pak Jokowi, menurut
hemat saya, adalah seorang pemimpin yang sederhana, memberikan contoh, baik dirinya
maupun keluarganya tidak terlibat bisnis dengan pemerintah. Sehingga saya
pribadi pun tidak ada bisnis apapun dalam pemerintahan. Karena prinsip
ketauladanan yang saya percayai sebagai perwira, adalah kata kunci dari suatu leadership.
Selain Pak Jokowi, dari sisi
pemerintahan sekarang kita juga memiliki Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan,
yang kredibilitasnya di mata dunia tidak diragukan lagi. Hal hal tersebut yg
menjadi salah satu tumpuan kepercayaan investor global terhadap Indonesia.
Perbedaan ke dua adalah pada sisi fundamental ekonomi
sekarang yang lebih baik. Pertumbuhan ekonomi mencapai 5.27% di kuartal kedua
2018, tertinggi sejak tahun 2014. Inflasi pun masih terkendali di angka 3.20%
per Agustus 2018, hal ini menunjukkan bahwa kemampuan pemerintah dalam menjaga
stabilitas harga cukup baik. Rasio hutang luar negeri kita juga cukup rendah di
34% (60% di periode 1997-1998). Ekonomi kita pun sebagian besar didorong oleh
sektor domestik dan investasi, hanya sekitar 20% kontribusi ekspor terhadap PDB
kita. Hal ini akan meminimalkan dampak trade war seandainya terus berlanjut.
Solusi Pemerintah
Untuk menghadapi kondisi global di
atas, kita harus menuntaskan PR yang belum terselesaikan selama puluhan tahun
yaitu defisit neraca pembayaran atau impor barang dan jasa kita lebih besar
dibandingkan ekspor.
Yang terjadi selama ini, kita harus
mengimpor bahan baku dan barang modal lebih banyak setiap kali pertumbuhan
ekonomi meningkat. Belum lagi pertumbuhan kelas menengah yang signifikan dalam
beberapa tahun terakhir telah memicu peningkatan impor barang-barang konsumsi
mewah.
Akibatnya impor kita tumbuh kencang,
mencapai 24% pada periode Januari-Juli 2018 dibandingkan tahun sebelumnya.
Sementara ekspor, hanya tumbuh sekitar 11.35%. Akibatnya defisit neraca
pembayaran kita akan mencapai USD 25 milyar pada tahun ini, dibandingkan USD
17.5 milyar di 2017.
Dengan demikian, langkah-langkah yang
diambil oleh Pemerintah sebagai solusi adalah sebagai berikut:
1. Mengurangi
impor
Contohnya adalah mengganti penggunaan
crude oil dengan biodiesel sebagai bahan bakar. Targetnya, tahun ini kita bisa
menghemat USD 2.3 milyar impor minyak. Selain penghematan impor minyak,
teman-teman dapat melihat harga sawit sudah naik. Kita berharap harga ini
beberapa bulan ke depan dapat naik sampai ke USD 600-700 per ton. Kalau
skenario ini jalan, maka tahun depan diharapkan kita mendapat lebih dari USD
9.5 milyar dari penghematan impor minyak dan kenaikan devisa ekspor cpo.
2. Optimalisasi
TKDN atau local content.
Selama bertahun-tahun kita tidak
pernah konsisten untuk mengutamakan penggunaan _local content_/komponen dalam
negeri untuk industri. Sekarang saya ditunjuk untuk mengkoordinasikan
tentang Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), sehingga kita bisa hemat USD
2-3 milyar. Saya sangat _concern_ dengan masalah-masalah detil seperti ini
karena belum pernah ada yang berpikir demikian. Mungkin selama ini kita terlalu
asyik berpikir pada tataran makro saja. Saya sendiri memang ngotot untuk dapat
dilakukan perbaikan dalam hal ini, karena saya suka melihat detil. Contohnya
kemarin saya datang ke kawasan industri morowali, disana bijih nikel diproses
sampai menjadi, slab, billet, stainless steel dan carbon steel. Saat ini mereka
ekspor 3.5 juta ton, sementara itu industri besi baja kita seperti krakatau
steel harus mengimpor slab jutaan ton. Mengapa tidak yg di morowali ini kita
hubungkan dengan krakatau steel? Sehingga nilai tambah dalam negeri bisa
meningkat dan devisa impor kita bisa hemat.
3. Perbaikan
pariwisata.
Pariwisata adalah salah satu sektor
fokus dari Presiden jokowi, yg sebelumnya sering dianggap remeh. Padahal salah
satu penghasil devisa yg cukup besar dan menciptakan tenaga kerja secara cepat.
Tahun ini, per Juli 2018, jumlah turis asing yg masuk ke Indonesia mencapai 9
juta orang. Angka ini naik 13 persen jika dibandingkan sebelumnya. Kita
harapkan tahun ini bisa mendapatkan devisa mencapai $15-17 milyar dolar dari
sektor pariwisata ini, naik dibandingkan tahun lalu yang $12.5 milyar.
Kita beruntung ada IMF-WB Annual
Meeting yang akan diselenggarakan Oktober 2018. Tanpa disadari, jujur saya
katakan bahwa dengan infrastruktur pariwisata yang kami perbaiki dalam
mendukung Annual Meeting, ternyata juga membantu menyelamatakan ekonomi kita ke
depan.
Dengan segala perbaikan yang kita
lakukan, tahun depan kita akan memperoleh revenue senilai USD 20 milyar dari
pariwisata dengan jumlah turis 20 juta orang. Kalau kita kurangi dengan angka
turis kira yang pergi keluar negeri, mungkin kita akan mendapat sekitar USD 7.5
milyar. Jadi total Current Account Deficit kita bisa single digit tahun depan.
Dengan langkah-langkah ini semua kami
melihat dari tim ekonomi dan anak-anak muda yang bekerja dengan saya kita akan
bisa membawa eknomi kita jauh lebih baik dari sekarang. Ini optimisme yang kita
bangun dan membutuhkan kerjasama tim yang kuat supaya ini bisa tercapai dan
sekaligus memperbaiki struktur ekonomi kita ke depan. Kalau industri kita kuat
maka ekspor kita kuat, kita bisa equilibrium antara ekspor-impor.
Kesimpulan
Sebagai penutup, saya mengajak kita
semua tidak perlu panik dalam menghadapi situasi saat ini. Kondisi ekonomi dan
pemerintah kita jauh lebih kuat dibandingkan Turki dan Argentina.
Saya juga mohon kepada teman-teman,
tidak perlu ragu terhadap upaya pemerintah dalam menghadapi kondisi global yang
makin tidak menentu.
Kalau ada yang perlu ditanyakan
kepada saya, silahkan saja. Saya siap menerima siapa saja untuk diskusi karena
saya paham angka-angka ini. Kalaupun saya kurang mengerti, anak-anak muda di
tim saya banyak yang sangat paham dengan angka-angka dan kami mengerjakannnya
dengan sepenuh hati.
Mudah-mudahan dengan tulisan yang
agak panjang lebar ini, teman-teman sekalian mendapatkan pemahaman yang lebih
baik lagi mengenai keadaan Indonesia.
Salam dari atas langit
Lampung-Jakarta, di mana saya sedang menempuh perjalanan udara sambil menulis
ini, sembari kadang terkesima melihat pemandangan jalan tol di bawah saya yang
sudah jadi.
Hormat saya,
Luhut B. Pandjaitan.
Komentar Waras dari EOWI
Tentang
pandangan Luhut mengenai penyebab krisis dan situasi ekonomi saat ini, agaknya
perlu dipertanyakan. Setidaknya, begitu pandangan EOWI.
1.
Ekonomi Global Tidak Wajar.
Opini tentang pertumbuhan ekonomi dunia yang berjalan dengan
baik. Mari kita lihat data pertumbuhan ekonomi global, GDP global yang bisa
dilihat berikut ini.
Lima tahun terakhir ini, pertumbuhan ekonomi dunia bisa
dibilang payah. Di sekitar 2% - 3%. Kemudian bisa keluar sedikit dari 3% dan
Trump mengumumkan perang dagang dgn negara-negara lain, dan masih berpikir
pertumbuhan ekonomi global masih bagus? Sebelumnya saja payah tanpa perang
dagang dan tanpa quantitative tightening
(yang berarti) dari the Fed, dan sekarang berpikir ekonomi dunia membaik? Apa
krisis di Turki, Argentina dan Venezuela akan membuat ekonomi dunia lebih baik?
Kalau jawabannya “iya”, entah apa yang habis dihisapnya tadi.
Menurut data statistik, angka pengangguran di Indonesia
mencapai angka terendah dalam sejarah. Hanya dalam bilangan 5%. Saya tidak tahu
apakah harus mempercayai angka ini. Kalau hal ini benar maka konsumsi akan naik
dan orang akan banyak yang membeli rumah (memenuhi syarat mendapatkan untu
kredit KPR dari bank). Pada kenyataannya sektor properti lesu. Jangankan sektor
properti, produksi rokok, barang konsumsi yang membuat orang kecanduan pun
turun dalam beberapa tahun terakhir dan untuk tahun ini turun 8%. Walaupun BPS
(Badan Pusat Statistik) melacak pertumbuhan gaji yang trendnya masih naik,
tetapi angka ini meragukan karena tidak seiring dengan angka lainnya. Ini tidak
maka agak sulit untuk mengecheck angka pengangguran.
Contoh yang paling jelas adalah di US, angka pengangguran
juga mencapai level terendah dalam sejarah, di bilangan 4%. Tepatnya 3.9%.
Tetapi anehnya tidak ada tekanan kenaikan upah. Logisnya, jika yang menganggur
sedikit, para (calon) pekerja agak jaga gengsi dan minta upah yang lebih
tinggi. Dan bagi perusahaan, harus menawarkan gaji yang lebih tinggi jika akan
merekruit pegawai. Kenyataannya hal ini tidak terjadi (lihat chart di berikut).
Bahkan dalam setahun terakhir ini, ada kecenderungan turun. Upah cenderung
turun.
Antara statistik pemerintah dengan realitas hidup tidak
cocok. Sampai tahun 2013, bagi konsultan seperti saya dan teman-teman, cari
gaji $1,500 - $2,500 per hari adalah biasa. Sekarang, bisa dapat $500 per hari
sudah bagus. Di angka $300 per hari pun susah. Banyak teman-teman saya yang
harus kembali ke Indonesia, karena sulitnya memperoleh pekerjaan di pasar
internasional saat ini. Dan itu mau disebut ekonomi global membaik dan
pengangguran 5% (atau apapun angkanya)?
Entah apa yang habis dihisapnya tadi. Orang waras tidak akan
mau menelan angka-angka itu.
Bukti berikutnya adalah perdagangan global. Tingkat
perdagangan global mencerminkan tingkat ekonomi global. Perdagangan global
menurun secara konsisten sejak 5 tahun terakhir. Apapun yang menjadi latar
belakang, hal ini adalah simptom/gejala yang tidak sehat bagi perekonomian
dunia. Kalau ada yang bilang bahwa perekomonian dunia masih sehat setelah
melihat grafik ini, mungkin otaknya sedang tidak sehat.
Yang berikutnya adalah suku
bunga. The Fed sedang melakukan pengetatan liquiditas. Suku bunga naik, artinya
pendanaan dari hutang naik juga. Seperti ditunjukkan pada chart berikut, suku
bunga LIBOR berjangka 1 tahun. Sejak Jokowi naik menjadi presiden, suku bunga
LIBOR naik 0.5% ke 2.8% atau 5.6 kali lipat. Jadi kalau 4 tahun lalu sebuah
perusahaan mengeluarkan biaya $ 1 juta untuk membayar bunga pinjamannya,
sekarang, jika hutang itu mau di-rollover, dia harus merogoh kocek $5.6 juta.
Itu kenaikan yang besar. Jadi kalau dikatakan bahwa ekonomi dunia aman-aman
saja, setiap orang yang masih punya kewarasan akan geleng-geleng kepala.
2.
Salahkan Pengelolaan Budget
Menyalahkan trade war
dan/atau krisis ekonomi di Turki, Argentina dan Venezuela tidak bisa dijadikan
alasan, melainkan dalih saja. Dikatakan dalih, bukan alasan karena Indonesia
sudah sepantasnya memperoleh goncangan moneter, walaupun kali ini tidak sebesar
tahun 1998 atau 1965. Tetapi jika prilaku pemerintah masih seperti sekarang
berlanjut sampai periode-periode berikutnya (terlepas siapa yang berkuasa),
kemungkinan antara tahun 2025 – 2030, kejadian goncangan ekonomi dan sosial seperti
tahun 1998 atau 1965 akan terulang.
Prilaku yang seperti apa
yang dimaksud. Sejak Jokowi menjadi presiden, hutang pemerintah meningkat, dari
US$24.7 milyar ke US$28.7 milyar. Dan rasio hutang terhadap GDP meningkat,
artinya beban hutang tidak diimbangi dengan kekuatan membayar hutang. Terlalu aggressive
berhutang.
Prilaku yang sifatnya
populis - pencitraan, seperti proyek jalan Trans Papua, BBM 1 harga, Listrik 35
ribu Megawatt, Asian Games. Ini adalah proyek-proyek yang tidak ekonomis. Yang
pasti BBM 1 harga akan mengakibatkan distorsi harga dan akhirnya pada mal-allokasi
sumber daya kapital. Program listri 35,000 megawatt adalah pembangunan listrik over-capacity.
Beberapa waktu lalu
diberitakan presiden Jokowi berkunjung ke kabupaten Nduga di Papua (lihat video
di bawah).
Perhatikan isi pidato Jokowi……
di kantor bupati tidak ada orang, di kota kabupaten sepi tidak ada orang. Jumlah
penduduk 129 ribu orang dan yang dijumpai di pasar hanya 60 orang saja.
Mengeluarkan biaya bermilyar
rupiah untuk pembangunan jalan di wilayah yang penduduknya hanya 129 ribu orang, disaat pendanaan cekak itu
absurd. Berapa ekonomi yang bisa diciptakan oleh 65 ribu orang (asumsi hanya laki-laki
dewasa dan wanita dewasa), mungkin hanya 33 ribu saja yang punya potensi bekerja.
Itupun tidak bisa direlisasikan dengan segera. Perlu yang lain-lain masuk,
seperti mobil, dan alat-alat produksi. Lalu kapan investasi ini bisa kembali?
Hal ini tidak dipikirkan
oleh pemerintah. Karena pemerintah tidak pernah berkeringat untuk mencari
uang. Kartun di bawah ini sangat untuk menggambarkan policy pemerintah. Oleh sebab
itu pemikiran tentang effisiensi dan ekonomis sangatlah jauh.
Policy seperti ini tentunya
tidak adil bagi tempat-tempat lain yang produktif dan mengalami kesulitan untuk
menjalankan roda ekonominya. Misalnya daerah Sukabumi yang punya potensi
ekonomi lumayan dari pabrik-pabrik yang ada dan tanah yang subur (hasil
pertanian). Wilayah Cibadak, Cicuruk dan Ciawi menjadi tempat kemacetan yang kronis.
Bogor – Sukabumi yang jauhnya sekitar 60 km bisa memakan waktu 5 jam. Dalam
kondisi seperti ini, sayuran tidak akan bisa dipasarkan ke Jakarta (mungkin
juga Singapura). Barang-barang ekspor akan kena biaya ekstra. Pada saat tulisan
ini diturunkan, jalan Ciawi – Sukabumi belum selesai dan entah kapan
selesainya.
Coba renungkan, mana yang
bisa lebih memberi manfaat membangun jalan di wilayah dengan penduduk 129 ribu
orang yang bisa memanfaatkannya dengan
wilayah yang berpenduduk 2.4 juta orang yang bisa memanfaatkannya? Untuk setiap
rupiah atau dollar, pembangunan jalan di Sukabumi bermanfaat bagi orang yang
jumlahnya 20 kali lebih banyak dari pada di Nduga, Saya berani bertaruh bahwa mobil/kendaraan yang melewati jalan Sukabumi-Ciawi mungkin ratusan kali lebih banyak dari jalan Nduga.
Jadi kalau yang jadi
prioritas adalah proyek-proyek yang tidak membuahkan hasil ekonomis dengan
segera, bagaimana bisa ekonomi Indonesia punya ketahanan? Jadi jangan
menyalahkan orang lain, karena pemerintah tidak smart dalam memilih proyek. Akan banyak proyek-proyek yang tidak
ekonomis akan mandeg di tengah jalan seperti Trans Papua, Kereta Cepat
Jakarta-Bandung, Listrik 35 ribu megawatt dan sejenisnya. Jika sekarang sudah
dibangun, maka akan banyak menara-menara kegagalan seperti Hambalangnya SBY.
3. Salahkan Ketidak-bijakan Sosialisme
Menggunakan BUMN dan swasta
untuk tujuan pemerataan kesejehteraan akan menghancurkan perusahaan-perusahaan
itu. Seperti kartun di atas, Orang yang dikutili uangnya, lama-lama tidak bisa menjalankan
peran ekonominya. Dalam kasus BPJS misalnya, beberapa rumah sakit mulai
mengeluh karena asuransi BPJS menunggak pembayaran. Dahulu, sebelum ada BPJS, penderita
sakit terminal, secara alamiah akan
memilih mati secara terhormat. Usahanya mungkin hanya bagaimana mengelola dana
yang dimilikinya untuk menunggu datangnya maut senyaman mungkin. Dengan adanya
BPJS,…… kenapa tidak dimanfaatkan untuk memperpanjang umur beberapa bulan? Gratis!!
Perubahan sikap seperti ini membuat prilaku ekonomi masyarakat berubah, dan menciptakan
ekonomi mahal. Pertanyaannya adalah: Sampai kapan rumah sakit yang finansialnya
pas-pasan bisa bertahan?
Banyak lagi bentuk-bentuk
program sosialisme populis seperti BPJS, misalnya ketidak-bijakan 1 harga BBM,
listrik bersubsidi, biodiesel (kita akan bahas lebih detail tentang kesalahannya
biodiesel ini).
Kita hentikan dulu karena sudah terlalu panjang
dan akan kita lanjutkan minggu depan. Saya akan akhiri dengan menyitir pekataan
seorang entertainer Penn Jillette:
Sangat mengherankan,
bagaimana orang berpikir bahwa memilih pemerintahan yang menyantuni orang
miskin disebut welas asih…… Welas asih yang sesungguhnya adalah jika kamu
sendiri yang membantu orang miskin.
Sekian
dulu, jaga kesehatan dan tabungan anda baik-baik.
Jakarta 15 September 2018.
Disclaimer: Ekonomi (dan investasi) bukan sains dan tidak pernah dibuktikan secara eksperimen; tulisan ini dimaksudkan sebagai hiburan dan bukan sebagai anjuran berinvestasi oleh sebab itu penulis tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang diakibatkan karena mengikuti informasi dari tulisan ini. Akan tetapi jika anda beruntung karena penggunaan informasi di tulisan ini, EOWI dengan suka hati kalau anda mentraktir EOWI makan-makan.
7 comments:
Bener-2x gila, di US gembel makin banyak sampai muncul istilah the great exodus california. Lebih buruk dari indonesia. Ga usah teori rumit-2x kalo US kolaps yang jelas semua juga hancur
Mantab Tulisannya Bung IS. Selalu Tulis Bung.
Memang pemerintah sekarang lebih banyak retorika ketimbang Hasil.
Dulu Jokowi menjanjikan pertumbuhan Ekonomi 7% dengan syarat Infrastruktur semuanya Jadi.
2018 semua infrastuktur sudah banyak yang jadi tapi pertumbuhan ekonomi 2019 cuman ditarget 5.3%
Berarti pemerintah ga yakin dong bisa menarik investasi dengan semya infrastruktur yang sudah dibangunnya ?
Trus ngapain selama ini hambur2 uang buat bangun infrastruktur2 ? Mubazir dong.
Menarik sekali pak IS...
Kalo bs dilengkapi dgn data semen & baja nasional 5thn terakhir.
Masalah proyek plat merah, sebenarnya tergantung kelincahan dirjen/dinas di kementrian dlm merayu legislatif.
Masalah efisiensi biaya & waktu sepertinya memang dikesampingkan, semakin megah & wah yg ditonjolkan.(mungkin dilihat dr % fee-nya)
Proyek yg memiliki status strategis(dlm arti yg sesungguhnya), spt Tol Laut, Double Track Jawa, jalan nasional pantai selatan jawa masih kalah dgn Toll Trans Jawa(proyek strategis dgn LHR yg kurang strategis).
Tp ngomong2, distribusi sayur biasanya pd jam 18:00 s/d 06:00 WIB, itu jg supirnya lebih memilih jalan alternatif.
komentar luhut yang saya baca di cnbc indonesia juga isinya kurang lebih sama, jadi saya rasa tulisan ini memang ditulis oleh luhut sendiri. saya pribadi setuju dengan tanggapan bung IS di sini, tulisannya terlalu absurd dan sangat dipaksakan.
kritik rasional kepada pemerintah jokowi sebetulnya sudah dicetuskan oleh banyak kubu netral, dalam artian bukan pendukung jokowi dan prabowo seperti saya, tapi kami biasanya dihujat dan dimusuhi oleh pembela setia jokowi, lama-lama ya jadi malas untuk berkomentar lagi, pendukung pemerintah ini jadi lebih mirip pemuja berhala kalau disinggung soal dosa-dosa pemerintah, meskipun ketika krisis nanti kita juga bakal ikut kena getahnya. soal pecahnya krisis global, saya cenderung pasang ancang-ancang di 2019/2020, dan untuk indonesia sendiri mungkin baru babak belur mulai Q2 2019, saat ini cadev BI masih cukup buat jadi bantalan sampai pertengahan tahun 2019, setelah itu saya gak tahu.
Pagi, Pak dimana saya busa beli Obligasi Pemerintah Amerika, krn dolar naik terus dan oblihasi yield bakal naik terus. Trims
upah gak naik belum tentu pengangguran banyak
ingat skrg tren pekerjaan sudah berubah bung is,bukan lagi dgn pola pikir generasi x kyk is pola pikirnya,sekarang itu orang sgt byk bisa jadi freelance ojek online,taxi online,toko online,jasa jasa lainnya, atau bahkan sampai yang buka dapur rumahan dsb dan jumlahnya?,Banyak memang!
tp bukan berarti sy dukung pemerintah dgn tulisan sy diatas,buat saya selama pemerintah tdk bs efisiensi struktural dan korupsi tidak di berantas ya hasil akhirnya ttp kearah ini nih (defisit dan ambruk),masalahnya politik kita overdosis diisi sama maling maling munafik berbalut agama atau kalau gak diisi sama figur yang jago pencitraan,yang bener bener mau kerja disingkirkan,ini juga gk lepas dari konstituen (rakyat) yang mayoritas bodoh dan bisa dihasut dan dibodohi
Kalau disini ada yang bilang jaman rezim jokowi lebih baik dari rezim sebelumnya itu biasanya otaknya udah ga waras.
Dari pertumbuhan Ekonomi
Sby +/- 6%
Jokowi +/- 5%
Dari angka ini aja udah kelihatan, masih ngotot jaman ini lebih baik ? asli otaknya ga waras.
Post a Comment