___________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Doa pagi dan sore

Ya Allah......, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari bingung dan sedih. Aku berlindung kepada Engkau dari lemah dan malas. Aku berlindung kepada Engkau dari pengecut dan kikir. Dan aku berlindung kepada Engkau dari tekanan hutang, pajak, pembuat UU pajak dan kesewenang-wenangan manusia.

Ya Allah......ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim dan para penarik pajak serta pembuat UU pajak selain kebinasaan".

Amiiiiin
_______________________________________________________________________________________________________________________________________________

Wednesday, September 19, 2018

Biodiesel: The Devil is in the Details (Ketidak-bijakan Pemerintah)

Tulisan (katanya dari) L.B. Panjahitan dan Komentar EOWI (2)


Salah satu solusi dari melemahnya rupiah adalah peningkatan kandungan minyak sawit di dalam biodiesel dari 10% menjadi 20% dan ini disebut B20, mungkin singkatan dari Biodiesel 20%.

Kelihatannya ini adalah solusi yang bagus untuk mengurangi impor, menghemat devisa dan secara pelestarian lingkungan juga bagus, karena biodiesel adalah energi terbarukan (renewable) alias green energy. Begitu bukan?

Dalam tulisan ini, EOWI akan membuktikan bahwa penjelasan dan alasan itu adalah omong kosong. Menggantikan sebagian diesel dengan biodiesel yang berasal dari CPO (minyak sawit) akan menambah beban pada ekonomi, keuangan pemerintah dan penggunaan uang pajak. 

Ide biodiesel secara garis besarnya memang indah. Tetapi the devil is in the details. Artinya, jika sudah memasuki detailnya biodiesel adalah pepesan kosong yang akan merongrong keuangan negara.

Sebenarnya dengan cara orang bodoh saja bisa dijelaskan bahwa secara ekonomis, biodiesel itu tidak ekonomis. Cukup dengan pertanyaan investigative: “Kalau biodiesel memang bagus, kenapa kok tidak terlihat banyak yang berpindah ke biodiesel?”. Tidak perlu lagi eksplorasi minyak yang resiko gagalnya tinggi. Tidak perlu lagi ada enhanced oil recovery yang mahal. Tidak perlu lagi fracking yang mahal……. dan seterusnya. Cukup menanam sawit di setiap halaman, di setiap  tepi jalan, taman, pinggir kali dan memperoleh bahan bakar. Setiap negara punya tanah-tanah yang bisa dimanfaatkan untuk sawit. Tetapi kenapa hal ini tidak terjadi? Bahkan dulu pernah digembar-gemborkan bahwa tanah-tanah tandus dan tidak subur bisa ditanami jatropha (jarak) untuk bio-fuel, ternyata tidak pernah bisa terwujud. Kenapa?

Jawabnya sudah pasti: “Tidak menggiurkan, bahkan proyek itu akan merongrong kocek. Proyek yang secara ekonomis akan rugi”. Dan itu yang kan EOWI buktikan.

Biodiesel Butuh Minyak Bumi
Entah dari mana datangnya ide biodiesel. Yang pasti akan ditolak mentah-mentah oleh pelaku ekonomi yang sejati. Jadi kemungkinan ide ini datangnya dari lembaga riset pemerintah atau LSM yang hidupnya jauh dari ekonomi nyata. Saya tahu beberapa kenalan saya di ITB melakukan riset ini.

Untuk menghasilkan bio-fuel seperti minyak sawit, atau minyak jarak (jatropha) perlu minyak bumi. Ini yang sering diabaikan. Untuk menghasilkan biodiesel, perlu pupuk yang terbuat dari minyak bumi, perlu herbisida dan insektisida yang juga terbuat dari minyak bumi. Untuk memproses buah sawit dan mengambil minyaknya, perlu energi, dan sebagian dipasok oleh minyak bumi. Untuk transportasi buah sawit ke kilang, tidak menggunakan keledai atau kuda, melainkan dengan truk yang perlu minyak.

Sampai disini pembaca tentunya sudah bisa menebak, dimana tempat persembunyian jin iprit nya. Yaitu pada kenyataan bahwa untuk menghasilkan bio-fuel diperlukan minyak.

Selanjutnya untuk memperjelas persembunyian si jin iprit, yang diperlukan adalah menghitung effisiensi energinya dan cash-flownya saja.

Heating value (sebut saja kalor bakar, energi yang dihasilkan oleh pembakaran) dari diesel adalah 45.5 MJoule/kg diesel. Jika berat jenis diesel adalah 0.832 gr/cc, maka harga energi yang dihasilkan diesel per kcal (kilo kalori) bisa dihitung. Konstanta konversi dari MJoule ke kcal adalah 238.85 kcal/MJoule.

Untuk minyak sawit CPO, kalor bakarnya 39.6 MJoule/kg. Inipun bisa dihitung harga energinya dalam US$/kcal.

Berikut ini adalah kurva harga CPO di spot market Malaysia dan diesel di spot market New York. Semuanya dalam satuan US$ per juta kcal. Kita lihat pada chart ini bahwa harga diesel tidak jarang sekali berada di atas harga minyak sawit/CPO. Hal itu tidak mengherankan, karena untuk membuat minyak sawit diperlukan minyak bumi. Bisakah harga minyak sawit lebih rendah dari diesel secara langgeng, bukan sementara saja? Mungkin….. bisa. Kalau ada teknologi yang membuat yield produksi sawit tinggi sekali.

Chart-1

Untuk lebih memperjelas, bentuk kurvanya diubah sedikit. Yaitu perbedaan harga CPO dengan harga diesel. Dan area yang diarsir merah adalah periode dimana harga diesel lebih tinggi dari harga CPO. Kondisi yang demikian terjadi hanya sesaat, yaitu tahun 2005 – 2006, akhir tahun 2008, dan beberapa kali di tahun 2013 dan 20014.


Chart-2

Dari CPO ke Biodiesel FAME
Biodiesel tidak sama dengan CPO atau minyak sawit. Minyak sawit atau CPO cenderung untuk terurai menjadi asam lemak dan gliserin. Walaupun asam lemak bukanlah asam yang kuat, tetapi dalam jangka panjang akan membuat korosi pada peralatan. Oleh sebab itu perlu diubah menjadi senyawa lain yang lebih stabil, yaitu Fatty Acid Methyl Ester disingkat FAME. Disini CPO harus direaksikan dengan methanol. Tentu saja ini akan ada biaya tambahan. Dengan berpegang pada dalil bahwa semakin panjang rantai proses, harga produk semakin mahal maka Harga FAME selalu lebih tinggi dari CPO.

Chart berikut ini (Chart-3) menunjukkan harga FAME di spot market. Dalam 3 tahun terakhir, harga rata-ratanya sekitar $900 per ton. Sedangkan CPO sedikit di bawah $700 per ton, atau 25% lebih rendah dari FAME.

Chart-3

Heating value FAME sedikit lebih rendah dari CPO, yaitu sekitar 38 MJoule. Atau sekitar 4% lebih rendah dari CPO. Jadi dalam satuan kcal, kilo kalori, harga FAME sekitar 30% lebih mahal dari diesel. Jadi kalau Chart-2 yang diplot adalah perbedaan harga kalor bakar antara FAME dan diesel, maka bagian yang diarisir merah akan hilang. Artinya sepanjang sejarah (jika ada data harga FAME dimasa lalu) diesel tidak pernah lebih rendah harga kalorinya dibanding dengan biodiesel. EOWI memplot harga CPO dgn diesel karena CPO punya histori harga yang cukup panjang. Jadi CPO dijadikan proxy untuk FAME.

Variable Yang Hilang Dalam Persamaan
Di atas sudah ditunjukkan bahwa harga biodiesel per energi yang dihasilkannya mahal. Lalu kenapa dipaksakan? Bukankah itu proyek rugi dilihat dari segi aggregat ekonomi Indonesia.

Seseorang akan berargumen bahwa untuk menekan keluarnya devisa dari impor, perlu biaya. Dan harga bahan bakar yang mahal itu adalah harus dibayar demi menyelamatkan rupiah.

Benarkah demikian?

EOWI tidak mudah percaya.

Pertama. Salah satu bahan baku untuk membuat FAME adalah methanol. Dan methanol harus diimpor. Produksi dalam negri terlalu kecil untuk menutupi keperluan untuk membuat FAME. Tetapi ini mungkin hanya faktor yang kecil, karena methanol yang dibutuhkan sekitar 15% dari biodiesel saja dan harganyapun hanya sekitar 70% dari CPO.

Kedua. Suatu pertanyaan yang menggelitik di otak EOWI: “Apakah Indonesia punya pabrik FAME?.” Setidaknya akan perlu tambahan kapasitas. Untuk meningkatkan kapasitas ini tentu perlu pabrik baru. Itu adalah impor barang modal. Kalau tidak mau membuat di dalam negri, maka harus impor. Dan ini justru akan membuat defisit perdagangan melebar. Karena setiap persen diesel akan diganti oleh FAME dengan jumlah yang sama, tetapi harganya lebih mahal. Dengan kata lain, mengurangi impor diesel dan menggantikannya dengan FAME yang lebih mahal akan melebarkan defisit perdagangan.

Jadi setidaknya ada dua (2) faktor yang masih tersisa untuk melengkapi gambaran yang menyeluruh tentang biodiesel sebagai solusi untuk mengurangi impor dan menghemat devisa. Jawabannya mungkin tidak ada devisa yang dihemat, bahkan defisit bisa melebar. Dan EOWI tidak tahu (karena tidak punya datanya).

Siapa yang Diuntungkan?
Di atas sudah ditunjukkan bahwa harga biodiesel per energi yang dihasilkannya mahal. Itu harus dibayar, entah oleh konsumen (untuk diesel non-subsidi) atau dibayar oleh rakyat lewat pajak dan hutang. Harus diingat bahwa pemerintah bukan institusi yang menghasilkan uang dan kemakmuran, tetapi badan yang merampok secara legal (disebut pajak) orang-orang yang berhasil dalam menciptakan kemakmuran dan mendistribusikannya kepada kaum yang miskin untuk memperoleh vote dan kepada kroni-kroninya.

Biodiesel di negara-negara maju seperti Eropa barat adalah untuk pencitraan. Biodiesel diassosiasikan dengan green energy. Walaupun harganya lebih mahal, demi pencitraan harus ditelan juga. Apakah rakyat Indonesia juga harus menelan tambahan biaya yang tidak perlu ini? Dalam jangka panjang, biodiesel ini akan ditinggalkan orang, seperti gema global warming. Tahukah anda bahwa istilah global warming sedang mengalami penenggelaman, dan perlaha-lahan diganti dengan climate change. Karena global warming itu tidak ada. Yang ada dan nyata adalah global cooling. Saya tidak terlalu heran jika dalam beberapa abad mendatang, ice age akan muncul. Lain kali kita bahas hal ini untuk pengetahuan saja.

Secara ringkas bisa dikatakan bahwa konsumen, rakyat, seperti saya ini tidak diuntungkan, malah dirugikan. Devisa (mungkin) tidak dihemat. Dari sudut pelestarian alam pun perkebunan sawit bukan bisnis yang ramah lingkungan. Untuk membuka kebun sawit, telah terjadi pembabatan hutan, penggusuran satwa liar langka seperti harimau, gajah dan orang utan. Dan juga pembakaran hutan sebagai cara yang murah untuk membuka lahan. Belum lagi, bahwa sawit sangat menuntut banyak pupuk.

Lalu untuk apa? Pasti harus ada kelompok yang diuntungkan.

Kalau dilihat mata rantainya, yang diuntungkan adalah:
  • Produsen CPO
  • Produsen dan/atau importir FAME
  • Produsen dan/atau importir methanol
  • Periset yang dapat research grants dan LSM penggiat green energy
Itu yang bisa saya lihat. Semua aliran uang dari kocek konsumen/pembayar pajak ke kocek produsen CPO dan produsen/importir FAME legal dan syah sesuai dengan undang-undang.

Sekian dulu, jaga kesehatan dan tabungan anda baik-baik. Kalau tulisan ini mau diviralkan silahkan, semoga bisa dibaca oleh teman-teman di badan-badan riset sehingga mereka bisa berpikir waras dan cerdas, bukan seperti oxymoron.



Jakarta 20 September 2018.

Disclaimer: Ekonomi (dan investasi) bukan sains dan tidak pernah dibuktikan secara eksperimen; tulisan ini dimaksudkan sebagai hiburan dan bukan sebagai anjuran berinvestasi oleh sebab itu penulis tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang diakibatkan karena mengikuti informasi dari tulisan ini. Akan tetapi jika anda beruntung karena penggunaan informasi di tulisan ini, EOWI dengan suka hati kalau anda mentraktir EOWI makan-makan.

24 comments:

Unknown said...

Apakah katalisatornya gak impor pak IS?

Imam Semar said...

Kemungkinan impor......

Unknown said...

http://ebtke.esdm.go.id/download/index/aaa6132f1b8d127c29dfb61396efc8db

terlampir link HIP BBN

Ranoe said...

Bung IS, bikin tulisan khusus tentang global cooling dong, sangat menarik bahwa nubuwah nabi tentang jazirah arab yang kembali hijau dan dialiri sungai-sungai ternyata tidak lama lagi menjadi kenyataan... the end is very near!

Kevin said...

global cooling??which data?

kumbayamylord said...

Belum lagi airnya... atau sawit nggak perlu disiram ya ?

kumbayamylord said...

Bahas Global Cooling dong...

Anonymous said...

Ramalannya bakal betul, bakalan ada rusuh besar, ekonomi crash hutang terlalu besar, fed rate hike , panen gagal, harga makanan naik, gara2 grand solar minimum. Sebaiknya pindah ke Bali kah ?

Unknown said...

Saya setuju mmg pemanfaatan bio ini kurang efektif dan memerlukan cost yyg tidak sedikit, namun saya pikir langkah yang ditempuh pemerintah sbnnya bukan bertujuan utk efisiensi bio diesel namun lebih bertujuan mengangkat penjualan dr kelapa sawit yang kurang kompetitif dg adanyanya kebijakan biodiesel ini di harap pengusaha kelapa sawit bergairah makanya kemarin pemerintah menghimbau utk pemakian kelapa sawit berbasis minyak dan memberi lapangan luas utk perkebunan sawit dalam rangka perluasan komoditi .

faizarhabdg said...

Jadi solusi buat nambal defisit perdagangan akibat impor BBM yg lebih ekonomis apa? Memperbanyak eksplorasi sumber minyak bumi baru? Menambah kapasitas kilang? Atau diem-diem aja impor BBM kyk sekarang?

faizarhabdg said...

Jadi gatel pengen ngoreksi nih hahaha
1. Kok cmn fokus di heating value aja? Kemana data bahan bakar lain seperti setana dan kandungan sulfur? Mutu bahan bakar ga cmn dari heating value saja, masih banyak banget faktor mutu bahan bakar selain heating value
2. Heating value FAME sedikit lebih tinggi daripada CPO, bukan lebih rendah (FAME 37,2 MJ/kg sedangkan CPO 37 MJ/kg). Itu data heating value FAME lebih rendah CPO dari mana ya? Tapi memang betul heating value FAME msh kalah dengan petrodiesel yg punya heating value 43,1 MJ/kg
3. Pabrik FAME di Indonesia sudah ada mas, bahkan Indonesia sudah ekspor FAME ke Tiongkok

Anonymous said...

Bahasan yang menarik tentang oil, ada kasjian afer oil yang akan habis setelah tahun 2027, bagaimana menurut pendapat Pa IS tentang artikel dibawah ini tentang solusi after oil dan Bio massa serta prediksi after olim dalam film dokumentasi after oil berikut



http://geraidinar.com/using-joomla/extensions/components/content-component/article-categories/81-gd-articles/entrepreneurship/1943-after-oil


https://www.youtube.com/watch?v=D4XmJZOpB8s

Shanti Putri said...

Saya nyimak blog ini mas... lanjutkan menulis dong..please

Unknown said...

Kalau pabrik methanol ada brp pak?
Kapasitas produksinya brp?
Yg dijual lokal brp?
Kebutuhan lokal brp?

*sekedar ingin tahu, krn buka data bps impor methanol msh sangat kecil.

Unknown said...

Apakah kabar dr negri jiran benar adanya pak IS?

https://www.nea.gov.sg/media/releases/news/index/singapore-to-introduce-limits-on-additives-in-petrol-and-diesel

GOLD FOR MONEY VALUES said...

Sebaiknya memang produsen cpo back to basic.. sebagai food not fuel. Jika hanya ingin menghindari impor diesel, sebaiknya fokus ke kendaraan berbasis listrik, mobil listrik! Kereta listrik dll... ketidakbijaksanaan terkait biofuel hanya menyebabkan harga cpo semakin jatuh dalam...

Eka said...

Wah, perkataan pak eowi menggugah hati saya. Saya setuju dengan sebagian besar kata pak eowi tapi kalo yg ramalan2 gak percaya, wkwkwk.

Anonymous said...

Mas Ini berita terlalu penting, bisakah bikin dolar makin terbang?

https://ekonomi.kompas.com/read/2018/10/17/080400626/s-p--utang-pemerintah-daerah-china-6-triliun-dollar-as-tak-terpublikasikan

Dikaresta said...

Eh tapi masih bisa masuk di akal dan logika loh, apalagi di jaman yang kaya gini..
tapi gw masih lebih mentingin investasi gw sih wkwkwkkwkwkw.. mendingan percaya yang ada agunannya deh cuy.. dibanding nyari untung malah buntung.

coba pada baca dah :
investasi yang aman dari inflasi

Anonymous said...

Sawit jangan dijadikan BBM setuju.
Global cooling ga setuju, di mana² air laut naik, termasuk di delta Mahakam. Jika di Jakarta bisa ngeles muka tanah turun.

Anonymous said...
This comment has been removed by a blog administrator.
samuraix said...

Sudah november.. belum update lagi pak IS.. hehe

Ong.briabjatmiko said...
This comment has been removed by a blog administrator.
Shanti Putri said...

bantu jawab: Setau saya cuma 1; Kaltim methanol indonesia. Sebelumnya ada Medco Methanol Bunyu juga tapi sudah tidak operasi