___________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Doa pagi dan sore

Ya Allah......, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari bingung dan sedih. Aku berlindung kepada Engkau dari lemah dan malas. Aku berlindung kepada Engkau dari pengecut dan kikir. Dan aku berlindung kepada Engkau dari tekanan hutang, pajak, pembuat UU pajak dan kesewenang-wenangan manusia.

Ya Allah......ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim dan para penarik pajak serta pembuat UU pajak selain kebinasaan".

Amiiiiin
_______________________________________________________________________________________________________________________________________________

Friday, July 3, 2015

Deflasi atau Inflasi? (1): Fakta



Tulisan ini saya dedikasikan kepada para baby boomer Indonesia yang sedang memasuki masa pensiunnya. Karena dimasa yang tidak lama lagi, ada peluang  untuk terjadi krisis ekonomi. Dan saat nanti itu, sifatnya global.
Beberapa hari yang lalu, saya membicarakan seorang paman dengan adik saya yang tinggal di London. Dulu sekitar tahun 1992 ia memperoleh uang pensiun sebesar Rp 60 juta. Saya perkirakan tabungannya mungkin ada sekitar Rp 150 juta. Sehingga total simpanannya untuk menyongsong masa tuanya mencapai Rp 200 jutaan. Di masa itu Rp 200 juta itu banyak sekali.  Gaji pembantu masih Rp 50,000. Dan untuk hidup biasa cukup Rp 1 juta. Jadi Rp 200 juta dengan dia bisa hidup sekitar 15 - 20 tahun dari tabungannya.
Sayangnya.....tahun 1998 terjadi krisis moneter di Indonesia. Dan 80% dari nilai tabungannya amblas. Terus bagaimana dia harus hidup untuk sisa umurnya?
Obrolan saya dengan adik saya itu berawal mengenai menguapnya uang suaminya dan dirinya yang disimpan di salah satu anak perusahaan bank Lloyds di Cayman. Karena ada persoalan dengan debiturnya, bank tersebut di-rushed oleh deposan-deposan besarnya. Adik saya dan suaminya adalah investor kecil dan bukan deposan yang besar. Dan informasi semacam ini investor kecil adalah orang-orang yang terakhir tahu. Oleh sebab itu depositnya sebesar ₤ 350,000 (Rp 7.3 milyar) amblas. Padahal uang itu sebenarnya akan dipakai untuk membeli rumah.
Ini adalah kisah nyata. Yang satu kehilangan sebagian besar nilai tabungannya dan yang satunya lagi kehilangan seluruh tabungannya. Bisa dibayangkan jika hal ini terjadi lagi. Entah bagaimana cara para baby boomer Indonesia melewati masa tuanya, jika mereka tidak siap. Itulah sebabnya, tulisan ini saya dedikasikan untuk para baby boomer Indonesia....., yang akan/baru saja memasuki masa pensiunnya.
Cerita ini akan saya mulai dengan dua (2) penyataan:
Sentral bank boleh mengglontorkan liquiditas, mencetak uang, tetapi masyarakat tidak bisa dipaksa untuk mengambil kredit untuk membeli, mengkonsumsi sehingga roda ekonomi berputar.
Sentral bank boleh mengglontorkan liquiditas, mencetak uang dan membiarkan masyarakat spekulan menggunakannya untuk berspekulasi bahkan pemerintah ikut meningkatkan pemborosannya dengan proyek-proyeknya yang absurd serta ikut memborong saham dan bersama-sama dengan spekulan mendongkrak harga asset (properti, saham, bond, akik dan barang koleksi) dan selanjutnya menjadikannya bubble, dan diharapkan pada akhirnya dikalangan masyarakat memberikan rasa kaya dan makmur yang notabene adalah illusi. Selanjutnya diharapkan memberikan effek trickle down dengan memicu konsumsi,.......yang akhirnya memutar roda ekonomi. Tetapi...... tidak ada yang bisa memaksa masyarakat untuk tidak merasa kuatir akan masa depannya dan mulai menabung, melunasi hutangnya dan berhemat.
 Kurang lebih begitulah gambaran yang menjadi latar belakang stimulasi ekonomi yang dilakukan pemerintah. Roda ekonomi bisa berjalan lagi jika ada pengglontoran liquiditas. Itulah yang diinginkan pemerintah serta bank-bank sentral untuk bisa membuat negaranya keluar dari lingkaran deflasi, dimana masyarakatnya sedang menahan diri dari belanja dan konsumsi. Sayangnya pemerintah tidak bisa memaksa masyarakat untuk tidak mementahkan usahanya.
Deflasi terjadi di masyarakat yang sedang punya kecenderungan untuk menabung, menunda konsumsi dan melunasi hutangnya. Dan ini dipersepsikan akan membuat permintaan atas barang dan jasa turun, dengan demikian harga barang cenderung turun dan roda ekonomi melambat, pemasukkan pajak pemerintah turun, sehingga pemerintah harus mengurangi kegiatannya.
Dimasa deflasi, nilai uang meningkat karena meningkatnya daya beli uang akibat penurunan harga barang. Uang $10 yang tadinya hanya bisa untuk membeli rupiah sebesar Rp 90,000, ketika harganya turun 40%, maka dengan $10 itu bisa memperoleh Rp 166,000. Dalam kondisi ini, beban hutang dalam denominasi mata uang yang mengalami deflasi, menjadi semakin berat. Kalau US dollar yang mengalami deflasi maka debitur US dollar semakin berat bebannya. Jika pemerintah adalah debitur, maka pemerintah adalah yang dirugikan oleh kondisi deflasi.
Jadi deflasi akan membuat beban hutang pemerintah menjadi berat sementara keuntungan akibat deflasi tidak bisa dipajaki. Itu tidak disukai pemerintah!!! Oleh sebab itu pemerintah harus memeranginya. War on Deflation.
Di dalam sistem yang berbasis riba, kredit yang melalui fractional reserve lending, akan berbeda dengan sistem yang berbasis uang (Money).
Money dan credit adalah dua hal yang berbeda. Inilah yang menentukan apakah krisis saat ini adalah deflasi seperti Jepang atau inflasi seperti Zimbabwe, atau keduanya di tempat yang berbeda.
Seorang pembaca EOWI mengatakan bahwa EOWI berada di kubu deflasi, bersama Harry Dent. Sebenarnya bukan hanya Harry Dent, tetapi beberapa analis kondang seperti Robert Precter, dan blogger Mish Shedlock, dan yang tidak secara implisit mengatakannya sebagai kubu deflasi, seperti John Mauldin, blogger Pater Tenebrarum.
Sementara itu di kubu yang berlawanan adalah Peter Schiff dan yang agak lunak Jim Rickards.
Dan ada juga kubu agnostik seperti Jim Rogers. Walaupun banyak yang menyangka Jim Rickards ada di kubu inflasi, tetapi dilihat dari dasar-dasar opininya ada kemungkinan Jim Rickards, setengahnya adalah kubu agnostik.
EOWI akan menyajikan beberapa tulisan yang mendasari kepercayaan EOWI mengenai krisis dunia saat ini. EOWI tidak fanatik berada di kubu deflasi atau inflasi. Kalau pembaca EOWI yang lama ingat, sebelum tahun 2010, EOWI adalah salah satu cheerleader emas, perak dan komoditi. Setelah itu EOWI beralih sebagai cheerleader US dollar. Ada satu hal yang penting dipahami oleh investor dan penabung: “Jangan jatuh cinta pada investasinya dan tema investasinya”.
Pada bagian pertama ini EOWI akan menyajikan data-data. Dengan data ini pembaca bisa menilai, apa yang sedang terjadi, tanpa ada pengaruh dari Harry Dent atau Peter Schiff dan Jim Rickards. Kemudian, berikutnya adalah mengenai perjalanan rupiah dari masa ke masa. Dan setelah itu........, ah itu nanti saja supaya pembaca penasaran.

Data Money Velocity

Kita akan memulai inti cerita dengan melihat data M1 money velocity. Tetapi sebelumnya EOWI akan mengulangi paragraf yang ada di awal tulisan ini:
Sentral bank boleh mengglontorkan liquiditas, mencetak uang dan membiarkan masyarakat spekulan menggunakannya untuk berspekulasi bahkan pemerintah ikut meningkatkan pemborosannya dengan proyek-proyeknya yang absurd serta ikut memborong saham dan bersama-sama dengan spekulan mendongkrak harga asset (properti, saham, bond, batu akik dan barang koleksi) dan selanjutnya menjadikannya bubble, dan diharapkan pada akhirnya dikalangan masyarakat memberikan rasa kaya dan makmur yang notabene adalah illusi. Selanjutnya diharapkan memberikan effek trickle down dengan memicu konsumsi,.......yang akhirnya memutar roda ekonomi. Tetapi...... tidak ada yang bisa memaksa masyarakat untuk tidak merasa kuatir akan masa depannya dan mulai menabung, melunasi hutangnya dan berhemat.
Pertanyaan yang mendasar mengenai stimulus-stimulus yang dilakukan oleh bank-bank sentral adalah: Apakah dengan stimulus dan membanjiri sistem dengan liquiditas akan membuat masyarakat serta merta berbelanja?
Salah satu indikator yang bisa dilihat adalah M1 money velocity (MV)
M1 money velocity (MV) adalah ukuran yang menunjukkan berapakali uang berpindah tangan untuk setiap uang yang diciptakan. Kalau uang itu berpindah tangan berkali-kali maka hal tersebut mencerminkan kemarakan ekonomi. Dengan kata lain, money velocity (MV) adalah salah satu indikator kemarakan ekonomi. Setidaknya, indikator effektivitas uang yang dicetak. Semakin besar MV tandanya penggunaan uang semakin meningkat.
Kita lihat, MV sejak tahun 2009 mengalami penurunan (Chart-1). Artinya perputaran uang mengalami penyurutan. Uang dicetak, tetapi tidak sering digunakan. Lebih sering ngendon di tabungan. Itu fakta.


Chart- 1
Dilihat dari sisi M2, yaitu M1 + uang yang ada di buku tabungan di bank, keadaan juga tidak berubah (Chart-2).


Chart- 2
 Perpindahan tangan, uang-uang yang ada termasuk yang di tabungan juga menurun.
Mungkin ada yang berpikir bahwa penurunan perputaran uang karena meningkatnya angka tenaga kerja. Saya gunakan kata tenaga kerja, supaya lebih nyata. Chart-3 menunjukkan sejak tahun 2011 terjadi divergen (berlawanan arah) antara jumlah tenaga dengan M2 money velocity. Sejak tahun 2011 M2 money velocity tetap turun, sementara  tetapi tingkat tenaga kerja (employment) meningkat. Nampaknya tekanan kecenderungan untuk tidak melakukan konsumsi sedemikian kuatnya sehingga walaupun ada peningkatan employment, tetapi tidak ada imbasnya ke konsumsi.
Biasanya antara employment dan M2 velocity punya trend yang seiring. Tetapi selama tahun 2011 – 2015 tidak demikian. Hal seperti ini pernah terjadi antara tahun 1982 – 1985, yang setahu saya, Amerika Utara sedang kurang baik ekonominya. Kebetulan waktu itu saya tinggal disana.

Chart- 3
 Kalau orang enggan melakukan konsumsi dan cenderung melunasi hutangnya atau cenderung menabung, apakah ini inflasi atau deflasi? Silahkan jawab sendiri.

Hutang Rumah Tangga

Bagaimana dengan hutang? Apakah hutang-hutang mengalami kontraksi atau malah ekspansi? Kemana larinya liquiditas yang diglontorkan bank-bank sentral?
Sebenarnya pertanyaan-pertanyaan di atas sudah dijawab di artikel Ramalan Untuk Tahun Kambing 4713 (II).
Tetapi tidak ada salahnya kita mengulangnya kembali.
Kita mulai dengan hutang rumah tangga. Kita tahu bahwa Money Velocity mengalami perlambatan. Apakah hal ini bersumber dari rumah tangga?
Kita mulai dari Jerman. Kita tidak akan membahas Jepang, karena untuk Jepang jawabannya sudah jelas.
Rumah tangga di Jerman mengalami deleveraging. Hal ini nampak pada rasio hutang rumah tangga terhadap GDP di Jerman menurun (Chart-4) sejak akhir 2008. Jadi setelah krisis 2008, kultur konsumsi orang Jerman berubah.

Chart- 4
Silahkan simpulkan, apakah ini inflasi atau deflasi.
Sekarang kita lihat untuk US, negara dengan ekonomi terbesar di dunia.
Chart di bawah ini menunjukan bahwa rumah tangga di US juga melakukan pelunasan hutang sejak tahun 2009. Hutang rumah tangga secara konsisten turun dari tahun ke tahun.

Chart- 5

Jadi secara fakta…., apakah ini inflasi atau deflasi?
Bagaimana dengan Cina, negara dengan ekonomi terbesar ke dua di dunia setelah US?
Hutang rumah tangga Cina memang masih menanjak (Chart-6, kurva biru). Tetapi dari sudut kecepatannya, terjadi perlambatan (kurva merah). Yang menarik adalah pada tahun 2007, menjelang krisis sub-prime, hutang rumah tangga meningkat dengan drastis, kemudian berhenti tumbuh di masa krisis sub-prime 2008 - 2009.
Jadi secara kenyataan, masyarakat/keluarga di Cina, negara dengan ekonomi terbesar ke dua di dunia masih belum melakukan deleveraging hutang, walaupun sedang mengalami perlambatan.

Chart- 6
 Tanpa ingin bertele-tele mengeluarkan semua chart, secara umum Eropa barat mengalami kontraksi hutang rumah tangga. Dari 3-4 negara dengan ekonomi terbesar dunia dan Eropa, hutang rumah tangga mengalami kontraksi, setidaknya mengalami perlambatan. Apakah ini deflasi atau inflasi?
Kata yang tepat: bubble hutang rumah tangga yang mengempis alias deflated.

Hutang Perusahaan (Non-Finansial)

Kalau hutang pemerintah, semua pemerintah di dunia, dari US, Cina, Jerman, Inggris, Prancis, Jepang..... mungkin Yunani sebagai pengecualian,.....semua orang juga tahu. Yaitu, pasti naik sepanjang tahun 2009 – 2015. Karena pemerintah perlu dana untuk melakukan kegiatan-kegiatannya dan pemasukkan pajak tidak mencukupi.
Tetapi bagaimana dengan dunia usaha, corporate, perusahaan? Apakah mereka melakukan deleveraging terhadap hutang mereka. Toh konsumen yang mereka servis melakukan deleveraging terhadap hutang? Apakah dunia usaha masih melakukan ekspansi (dengan hutang)?
Chart berikut ini menunjukkan bahwa corporate di US tidak melakukan deleveraging selama krisis sub-prime atau sesudahnya. Hutang dan liabilities nya masih menanjak terus.


Chart- 7
 Kita harapkan hal yang sama untuk Cina atau negara lain.
Pertanyaannya adalah, untuk apa mereka melakukan ekspansi, sedangkan konsumen melakukan perlambatan? Sampai berapa jauh corporate bisa seperti ini?
Mungkin pertanyaannya tidak tepat bagi tulisan ini. Siapa yang perduli apakah corporate masih ekspansi atau tidak. Toh hal itu adalah masalah ke-tidak-rasionalan manusia. Pertanyaan yang lebih tepat dalam konteks tulisan ini adalah: Apakah ini deflasi atau inflasi?
Anda bisa menjawabnya sendiri.

Harga Bahan Komoditi

Bahan komoditi memang bukan merupakan indikator aktifitas ekonomi. Bisa digunakan, tetapi tidak selalu seiring dengan aktivitas ekonomi. Harus ditambahkan faktor spekulasi dan leveraging di sektor ini. Hanya saja kadar spekulasinya, apakah lebih besar dari pada faktor permintaan-penawaran, untuk setiap periode akan berbeda.
Sejak terjadinya krisis subprime, sektor komoditi sudah mengalami penyurutan. Ini terlihat di sektor logam. Walaupun terjadi rebounce karena stimulus-stimulus ekonomi yang diglontorkan pemerintah-pemerintah, tetapi akhirnya tidak bisa juga menahan tekanan untuk deleveraging. Sejak tahun 2011, komoditi metal mengalami tekanan dan turun (Chart-8). Rebounce nya adalah a dead cat rebounce.

Chart- 8
 Sektor minyak juga mengalami hal yang sama, hanya saja indeks harga minyak mentah dan produk-produknya bisa bertahan sampai tahun 2014, sebelum terjun bebas kembali (Chart-9). Dan secara keseluruhan sektor komoditi mempunyai dead cat rebounce yang mirip dengan sektor minyak (Chart-10).

Chart- 9

Chart- 10
 Jadi bagaimana kesimpulan untuk sektor ini? Deflasi atau inflasi?
Opini EOWI: ....., ini bubble komoditi yang pecah, karena toh rebounce nya adalah dead cat bounce!

Pasar Saham

Krisis sub-prime 2007, bursa saham mengalami crash, tetapi di awal tahun 2009 hampir semua bursa di dunia mengalami rebounce. Bahkan banyak diantaranya kemudian menciptakan rekor baru.
Bursa saham kecipratan (spill-over) dari stimulasi bank-bank sentral adalah yang lebih tepat untuk pertanyaan, kemana saja larinya liquiditas yang diglontorkan bank-bank sentral. Hal ini bisa dilihat juga dengan meningkatnya margin debt di bursa saham (Chart-11).


Chart- 11
Tidak semua bursa saham memulai rebounce nya di tahun 2009. seperti bursa Cina, misalnya, baru mengalami rebounce pada tahun 2014, setahun lalu. Di Cina pengglelontoran liquiditas melimpah ke sektor properti sehingga mem-bubble, seperti halnya di Indonesia. Baru setelah bubble properti Cina berhenti menggembung (belum pecah lagi), spekulasi beralih ke bursa saham. Indeks saham Shanghai meroket (Chart-12) dan dalam kurun waktu 1 tahun menjadi hampir 2.5 kali lipat!!

 Chart- 12
 Dan bulan lalu tepatnya 5 Juni 2015, indeks Shanghai mencapai 5,023 dan setelah itu terjun bebas, terpangkas 20% hanya dalam kurun waktu kurang dari 1 bulan.
Apakah terjun bebas ini akan berlanjut? Jika “iya” maka targetnya adalah di bawah 2,000.
Wow.........., ini berbahaya. Lebih berbahaya dari gagal bayarnya hutang Yunani.

Data Inflasi

Poin terakhir........data inflasi. Untuk menentukan apakah sekarang ini masa inflasi atau deflasi, bukan kah lebih baik melihat langsung pada data inflasi harga-harga bahan konsumen?
Di bawah in adalah data inflasi harga barang konsumen di US. Ingat grafik ini adalah untuk US dan harga barang-barang yang disurvey adalah dalam US dollar, bukan dalam yen, rupiah atau euro.
Inflasi Y-o-Y kadang meningkat dan kadang melambat. Tetapi menurut grafik di bawah ini, untuk tahun 2009 dan selanjutnya cenderung menurun.


Chart- 13
 Jadi kesimpulannya bagaimana?
Menurut grafik di atas: Inflasi harga (bukan inflasi lainnya) dalam US dollar, di US, cenderung menurun. Tetapi belum negatif. Itu kesimpulannya.
Harus diingat bahwa grafik/data di atas adalah untuk US saja dan mata uang yang digunakan untuk menentukan harga adalah US dollar. Kalau untuk Indonesia, Yunani, Malaysia atau Cina......., grafiknya lain lagi.
Apa implikasi dari grafik di atas. Apakah anda pikir the Fed akan menaikkan suku bunganya untuk memerangi inflasi? Kalau anda jawab “iya”......., sebaiknya anda jangan baca EOWI lagi.

Kesimpulan

Bagaimana kesimpulannya?
Silahkan simpulkan sendiri........mau ikut Jim Rickards? Harry Dent? Peter Schiff? Silahkan.
Bagi EOWI......., yang ada adalah bubble-bubble-bubble. Ada yang sedang mengempis, ada yang sudah matang, siap meletup dan ada yang masih mekar dipompa.
Sekian dulu....., semoga anda tercerahkan.
Kalau anda belum jadi follower EOWI, silahkan klik link untuk jadi follower, supaya EOWI jadi keren, karena banyak followernya. Dan anda juga jadi keren karena membaca secara rutin situs ekonomi alternatif yang terbaik di Indonesia.
 


Disclaimer: Ekonomi (dan investasi) bukan sains dan tidak pernah dibuktikan secara eksperimen; tulisan ini dimaksudkan sebagai hiburan dan bukan sebagai anjuran berinvestasi oleh sebab itu penulis tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang diakibatkan karena mengikuti informasi dari tulisan ini. Akan tetapi jika anda beruntung karena penggunaan informasi di tulisan ini, EOWI dengan suka hati kalau anda mentraktir EOWI makan-makan.

2 comments:

Anonymous said...

pak is tetep kaya dulu dong pak gaya menulisnya jangan takut dong pak kan sudah ada disclaimer mengenai opini bapak. apa ada aparat pemerintah yang keberatan atas opini bapak?

Fari said...

Jakarta, Aktual.com – Pemerintah Amerika Serikat (AS) menyatakan perusahaan asal negeri mereka bakal terus berinvestasi di Indonesia, selama keberadaannya diinginkan Pemerintah Indonesia.

Hal tersebut disampaikan Wakil Asisten Menteri Energi AS Jonathan Elkind, menanggapi langkah Presiden Joko Widodo yang memberi previllege kepada PT Pertamina (Persero).

Yakni terkait masa kontrak ladang minyak dalam negeri yang akan habis masa kontrak pengelolaannya dari tangan swasta asing, sebagaimana yang telah dilakukan dalam isu Blok Mahakam di Kalimantan Timur.

“Perusahaan AS bisa kontribusi dengan baik di pasar Indonesia apabila pemerintah Indonesia masih menginginkan keberadaan mereka di Indonesia,” kata Elkind, dalam jumpa pers usai menghadiri acara diskusi bertajuk Indonesia Energy Investment Roundtable di Jakarta, Senin (3/8).

Siap Investasi, Perusahaan AS Tunggu ‘Sinyal’ Pemerintah Indonesia