Sejarah, dongeng satir, humor sardonik dan ulasan tentang konspirasi, uang, ekonomi, pasar, politik, serta kiat menyelamatkan diri dari depressi ekonomi global di awal abad 21.
Dongeng ini didedikasikan bagi mereka:
- yang kritis, skeptis, berpikir bebas dan mencintai kebenaran
- dan yang suka menikmati sarkasme dan humor sardonik
(Terbit, insya Allah setiap hari Minggu atau Senen)
Ketidak-bijakan berdikari juga
membawa dampak pada swasta. Pabrik-pabrik yang memerlukan bahan baku, bahan
pembantu dan suku cadang mesin dari luar negri mengalami hambatan pasokan.
Mesin produksi tersendat. Dan ekonomi mengalami kontraksi berkepanjangan. Ini merupakan kontraksi ekonomi yang panjang dalam
sejarah Indonesia yang bisa dicatat.
Sirkus tanpa lagu, akan terasa
pincang. Pemilihan lagu yang tepat akan membantu mempopulerkan gagasan-gagasan
Sukarno. Dan Sukarno memilih lagu-lagu mars yang bersemangat. Tema lagu tahun
1960 – 1966 di Indonesia didominasi dengan tema perjuangan, revolusi dan
pemujaan pada pahlawan; pendek kata semuanya progressif revolusioner. “Acungkan
tinju kita – Nasakom bersatu”, “Lagu untuk paduka yang mulia Sukarno”, “Bulat
semangat tekad kita – Ini dadaku”, adalah sebagian dari tema lagu jaman Orde
Lama. Padahal di dunia pada saat itu yang populer adalah lagu-lagu ceria, rock
& roll dan lagu-lagu lembut the Beatles pada periode 1963 - 1966. Di
puncak kekuasaan Sukarno lagu-lagu populer the Beatles yang dijuluki Sukarno
sebagai musik ngak-ngik-ngok,
jarang diperdengarkan. Dan group band Koes Bersaudara yang lagu-lagunya
masuk kategori ngak-ngik-ngok, ditangkap dan dipenjara pada bulan Juli
1965, karena selera musiknya tidak sesuai dengan selera Sukarno. Mereka baru
dilepaskan akhir Agustus 1965.
Sirkus dengan lagu mars pertama adalah Trikora (1961 – 1962). Yaitu
konfrontasi dengan Belanda mengenai Papua bagian barat. Pasukan dikirimkan dan
satu kapal terpedo KRI Macan Tutul tenggelam. Pada akhirnya kemenangan
Indonesia diperoleh dari diplomasi dan perundingan, bukan dari pertempuran
operasi Trikora. Dengan demikian korban yang ikut tenggelam bersama KRI Macan
Tutul menjadi sia-sia. Papua bagian barat menjadi provinsi Indonesia dengan
nama Irian (Ikut Republik Indonesia Anti Netherland).
Tidak cukup dengan Trikora, sirkus baru perlu dibuat. Apalagi kalau roti
sudah semakin sulit diperoleh. “Kora” lain perlu dibuat, namanya Dwikora (1962
– 1966), ganyang Malaysia. Ini dilandasi politik bebas aktif yang dianut
Indonesia, artinya politik yang bebas dan aktif mencampuri urusan negara
tetangga. Semenajung Malaya, Serawak, Sabah dan Singapura berniat membentuk
satu negara federasi Malaysia dan masuk ke dalam organisasi negara-negara
persemakmuran. Menurut ceritanya, hal inilah yang tidak berkenan dihati Sukarno.
Sukarno tidak suka Malaysia menjadi boneka imprialis Inggris. Apakah itu adalah
alasan yang sebenarnya atau masalah ekonomi, entahlah. Kalau dipikir lebih
jauh, apakah salah Malaysia jika mereka memutuskan untuk menjadi boneka
Inggris, seperti halnya Ukrania menggabungkan diri dengan Russia untuk
membentuk Uni Soviet (1922) atau Hawaii menjadi bagian Amerika Serikat tahun
1959 atau Irian menjadi bagian dari Indonesia.
Kalau anda mendengarkan pidato-pidato Sukarno yang sekarang ini mudah
diakses di Youtube misalnya pada link
ini: http://www.youtube.com/watch?v=9-RuawIVKWY,
kalau belum dihapus, anda akan tahu kharisma dan kemampuan Sukarno untuk
mempengaruhi massa, sekalipun idenya
absurd. Saya anjurkan pembaca untuk mencari pidato Sukarno yang lain ketika
mencanangkan program ganyang Malaysia. Potongan pidatonya di atas adalah seperti
berikut ini:
.........Eh
engkau Malaysia, apa konsepsi yang engkau berikan kepada umat manusia, apa
konsepsi yang engkau berikan kepada rakyat di Kalimantan Utara, atau rakyat di
Malaya atau rakyat di Singapur? Apa
konsepsi yang engkau keluarkan?
Indonesia
tegap mengeluarkan konsep Pancasila, Manipol Usdek, Berdikari, Trisakti,
Nasakom. Dan ini semuanya di Kairo, huduuh..... dikagumi oleh rakyat
disana.....
....
Demikian juga tatkala saya berkata beberapa tahun lalu: “Go to hell with your
aid.” Pada waktu itu orang Afrika: “It rang through Africa.”
Saya tanya
sekarang kepada Malaysia: “Apa? apa suaramu yang membuat rakyat-rakyat di
lain negara merasa rang, merasa
menggelegar?”
Tidak ada.
Malaysia adalah suatu negara, kalau boleh dinamakan negara, tanpa konsepsi,
suatu negara tanpa ideologi..........
Berbondong-bondong rakyat mendaftar menjadi sukarelawan perang untuk
dikirim ke Kalimantan Utara (Serawak dan Sabah), yang kemudian dengan mudah
tertangkap oleh pihak Malaysia.
Sukarno demikian bangganya dengan
ide-idenya yang dianggapnya besar. Tetapi tidak sampai 10 tahun setelah
kejatuhannya, orang sudah melupakan semua ide-idenya kecuali Pancasila. Itupun
karena rejim Suharto menggunakannya sebagai subjek indokrinasi. Siapa yang
masih ingat Trisakti, Manipol Usdek? Dan Malaysia yang dikatakannya sebagai
negara tanpa konsep, ternyata bisa menjadi lebih makmur dari Indonesia,
sehingga banyak orang Indonesia yang mencari makan disana. Dipihak lain,
Indonesia dengan ide-ide brillian dari Sukarno, seperti Trisakti, Berdikari,
Manipol Usdek dan Nasakom, mengalami kehancuran ekonomi.
Pada saat ekonomi mandeg, apalagi
mengalami kontraksi, aktifitas dunia usaha melesu, kapital Belanda didepak
keluar, maka yang bisa dipajaki semakin sedikit. Pemasukan pajak berkurang.
Tetapi sirkus-sirkus seperti Asian Games di Jakarta, Ganefo, Conefo, Dwikora
perlu biaya, seperti halnya pegawai negri. Lebih-lebih untuk kabinet yang menterinya
berjumlah 100 orang (banyak). Dan bagi negara Indonesia, cari hutangpun sulit,
karena para pemilik uang, kaum kapitalis dimusuhi. Kata Sukarno: “Go to hell with your aids”. Bagaimana
jalan keluarnya?
Perlu uang? Takut rakyat memberontak karena dibebani dengan pajak yang
tinggi? Penyelesaiannya mudah saja. Selama terbuat dari kertas atau bahan yang
murah dan monopoli pencetakannya dan peredarannya di tangan pemerintah, maka
pemerintah tinggal mencetaknya saja. Mesin cetak uang berputar dengan kecepatan
penuh. Nilai uang dengan cepat merosot. Uang Rp 2.000 menjelang tahun 1964 bisa
dipakai untuk belanja makan keluarga selama 2 hari, nilainya merosot. Dan 4
tahun kemudian, tahun 1967, hanya bisa dipakai untuk membeli sebungkus kwaci.
Tabungan hancur. Alangkah mahalnya harga Trisakti, Manipol Usdek, Berdikari,
Nasakom dan Dwikora.
Hidup semakin sulit. Nasi harus
dicampur jagung. Tiwul dan gaplek menjadi biasa bagi sebagian masyarakat. Beras
sintetis TEKAD (pellet yang terbuat
dari Tela, Katjang, Djagung) pernah diperkenalkan untuk mengatasi kekurangan
ini. Tetapi menghilang begitu saja, mungkin karena tidak ada bahan-bahan untuk
membuatnya. Kenapa susah-susah membuat pellet, kalau tela, gaplek bisa dimakan
langsung.
Kesulitan hidup membuat mood masyarakat menjadi terkotak-kotak.
Dan akhirnya, ketika ada yang tidak bisa menahan diri dan memulai sesuatu yang
drastis, yang menjadi pemicu segalanya maka timbullah kekacauan. Kejadian yang
drastis itu terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965 pagi, yaitu pembunuhan 6 orang
jenderal dan seorang kapten angkatan
darat, yang kemudian dikenal sebagai pahlawan revolusi (walaupun saat itu tidak
ada revolusi). Mayatnya dibuang di sebuah sumur di Lubang Buaya, Pondok Gede.
Yang dituding sebagai pelakunya adalah Partai Komunis Indonesia (PKI).
Selanjutnya pemburuan
besar-besaran anggota-anggota PKI dan antek-anteknya berlansung. Ada yang
memang layak mati karena dosanya. Banyak juga diantaranya adalah petani-petani
biasa, buruh dan rakyat kecil yang tidak tahu apa-apa tentang PKI; yang
keanggotaannya hanya ikut-ikutan. Bahkan hanya terdaftar saja. Mereka
ditangkap, ada yang dibunuh dan banyak yang ditahan. Ada yang memperkirakan
500.000 orang yang dituduh PKI dan antek-anteknya dibunuh. Itu hanya perkiraan
yang banyak disitir, tidak ada sensus dan pendataan tentang jumlah yang
sebenarnya.
Ekonomi semakin parah dengan
dihabisinya sebagian petani dan buruh tani yang dituduh PKI. Makanan semakin
langka. Pemerintah terpaksa mendatangkan makan yang disebut bulgur, makanan
hewan dari daerah Iran, Turki dan Asia Tengah. Kalau memasaknya pandai, enak
juga rasanya. Yang pasti, bikin kenyang. Pada masa ini, keluarga saya terpaksa
membagi 1 telur untuk 3 orang. Padahal 6 tahun sebelumnya, yaitu tahun 1961,
anjing saya mengkonsumsi 0,25 kg daging per harinya.
Diperkirakan kurs dollar Pasar
Baru mencapai Rp 2.000 di awal tahun 1964, kemudian melorot ke hampir Rp 5.000
di akhir 1964. Dan akhirnya menjadi sekitar Rp 35.000 di akhir 1965. Ini
dikenal sebagai inflasi 620% di jaman Sukarno. Kemudian di akhir tahun 1965
ini, rupiah disunat 3 nolnya, supaya tidak terlalu banyak nolnya. Pecahan Rp
1000 menjadi Rp 1 uang baru. Di akhir masa kepresidenannya, tahun 1967, kurs
dollar mencapai Rp150 (rupiah baru) per
dollar. Sebungkus kecil kwaci adalah Rp 2 atau US$ 0,013. Prestasi yang
mengagumkan bagi Sukarno. Dalam masa 8 tahun (1959 – 1967) 99,97% dari nilai
riil rupiah terbabat habis dan hanya tersisa 0.03% saja. Kolonialisme dan
imperialisme yang dimusuhinya, rata-rata tidak sekejam ini dalam hal
menyengsarakan rakyat. Buktinya Malaysia yang dicap sebagai boneka imperial Inggris bisa melaju lebih
makmur dari pada Indonesia.
Kejatuhan Sukarno, sangat
mengenaskan. Dia tersingkirkan, dihinakan, paling tidak sampai 15 tahun setelah
kematiannya. Juga keluarganya mengalami kesulitan. Walaupun demikian, pengikut
setianya masih ada. Kata Abraham Lincoln:
You can fool some of the people all of the time, and all
of the people some of the time, but you can not fool all of the people all of
the time.
Kamu bisa menipu banyak orang sepanjang masa, dan semua
orang untuk masa tertentu, tetapi kamu tidak bisa menipu semua orang
selama-lamanya.
Sukarno yang bisa diibaratkan
sebagai seorang salesman ulung yang
mampu menjual kulkas kepada orang Eskimo atau menjual tahi ayam seharga coklat,
pada akhirnya sebagian orang akan bertanya: Apakah kulkas dan tahi ayam yang
telah dibelinya layak dan ada gunanya? Ada masanya orang menjadi tidak percaya
kepada ide-ide brillian Sukarno karena tidak terbukti seperti yang
diadvertensikan. Sebagian masih percaya, bahkan sampai sekarang. Itu pokok
ucapan Lincoln. Dan pada saat mulai banyak orang menjadi tidak percaya,
muncullah politikus baru untuk mempergunakan kesempatan. Dan lahirlah rejim
baru, periode baru dan jaman baru. Tetapi inti proses dan isinya sama, hanya
pelaku-pelakunya yang berbeda. Sejarah berulang kembali dengan pelaku-pelaku
yang berbeda.
Disclaimer:
Dongeng
ini tidak dimaksudkan sebagai anjuran untuk berinvestasi. Dan nada
cerita dongeng ini cenderung mengarah kepada inflasi, tetapi dalam
periode penerbitan dongeng ini, kami percaya yang sedang terjadi
adalah yang sebaliknya yaitu deflasi US dollar dan beberapa mata uang lainnya.