KONFRONTASI GANYANG MALAYSIA
Di Orchard Rd Singapura, di sebelah Dhoby Gout stasiun subway, ada gedung yang bernama “MacDonald House”. MacDonald House ini punya kaitan sejarah dengan Indonesia. Pada tanggal 10 Maret 1965, terjadi pemboman yang memakan korban dua orang mati dan melukai 33 orang. Peledakan itu dilakukan oleh dua orang marinir Indonesia Usman dan Harun. Kedua marinir ini tertangkap dan akhirnya dijatuhi hukuman gantung di Singapura. Kedua anggota marinir ini adalah dua dari ribuan pasukan Indonesia yang tewas pada saat perang dengan Malaysia (Singapore dulunya adalah bagian dari Federasi Malaysia). Dipihak tentara Indonesia korbannya dalam hitungan ribuan ditambah dengan sukarelawan – tentara tidak resmi Indonesia.
Resminya konfrontasi ganyang Malaysia (1962 – 1966) yang dicanangkan oleh
Presiden, Pangti ABRI, Panglima Besar Revolusi, presiden Sukarno adalah dilatar belakangi oleh pembentukan negara federasi Malaysia yang terdiri dari kerajaan-kerajaan kecil di Semenanjung Malaysia, Singapura, Sabah dan Serawak yang tidak disetujui oleh Sukarno. Itu yang dicatat oleh sejarah. Orang yang waras akan bertanya, apa urusan Indonesia dengan pembentukan negara Federasi yang mencakup Sabah dan Serawak di samping Semenanjung Malaysia dan Singapura? Bukankah Indonesia mengemukakan perdamaian dunia menurut Undang-Undang Dasar 45?
Dalam sejarah Romawi dikenal istilah
bread & circus (roti dan sirkus). Untuk menyenangkan rakyatnya para politikus harus memberikan roti (pangan) kepada rakyatnya disamping juga pertunjukkan, tontonan alias sirkus. Mereka jumpalitan di panggung politik bak bermain sirkus. Persoalannya jika roti untuk rakyat berkurang, istilah untuk ekonomi yang memburuk dan mencari pangan menjadi sulit, politikus akan memperseru sirkusnya, sebagai usaha pengalihan perhatian atas ketidak becusannya mengatur negara.
“
Kalau rakyat minta roti, beri mereka sirkus” kata kaisar Nero. Maksudnya kalau kalau rakyat mempertanyakan kondisi ekonomi yang memburuk, maka perhatian harus diubah ke tontonan lain. Mulanya mereka bisa bermain dengan statistik. Tetapi yang namanya statistik hanya merubah penampilan angka-angka, dan tidak merubah kenyataan kesengsaraan hidup. Kemudian bisa beralih ke yang lain, seperti perang. Sayangnya ketika para politikus bermain sirkus, mereka juga perlu makan lebih banyak. Porsi roti untuk rakyat semakin berkurang. Kesengsaraan akan bertambah.
Sukarno pada tahun ‘50an, bahkan sejak kemerdekaan, sudah mengalami kesulitan dalam bidang ekonomi. Hanya saja pada masa perang kemerdekaan, sirkus perang kemerdekaan cukup seru dan memukau sehingga rakyat bersedia menderita dan melupakan rotinya. Ketika perjanjian Meja Bundar mengenai penghentian peperangan dengan Belanda sudah ditanda-tangani, artinya sirkus sudah selesai. Orang segenerasi nenek saya mulai bertanya: “
Kapan merdekanya selesai?”. Maksudnya, kapan mereka bisa kembali kepada kondisi sebelum pendudukan Jepang. Masa sebelum pendudukan Jepang dikenal oleh mereka sebagai “
jaman normal”. Itulah jaman yang mereka kenal sebagai jaman idaman.
Ketidak becusan Sukarno di bidang ekonomi diperlihatkan dengan tingginya inflasi yang menyebabkan diberlakukan dua tindakan keuangan, yaitu:
1. Gunting Sjafruddin: Rp 10 ORI (Oeang RI) menjadi Rp 5 GS (Gunting Sjafrudin) pada bulan Maret 1950.
2. Sanering: Rp 10 GS menjadi Rp 1 Orla pada tanggal 25 Agustus 1959.
Tentu saja kedua tindakan ini tidak bisa memperbaiki ekonomi. Sirkus harus dimainkan. Kebetulan Sukarno seorang orator yang baik, seperti Hitler, Kennedy, Obama atau Nasser, sirkus yang dimainkan berupa pidato-pidato yang bersemangat bisa memukau penonton. Tidak hanya itu, perang dikobarkan Trikora melawan Belanda untuk merebut Irian Barat, dan Dwikora untuk mencampuri urusan negara tetangga Malaysia. Demikian memukaunya banyak yang terseret ikut ke medan perang. Herannya tidak ada yang tahu bahwa Sukarno telah melanggar UUD 45: ........
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka.......
Yang pasti mengirimkan tentara ke Malaysia untuk memerangi rakyat Malaysia bukan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi. Sirkus harus berjalan terus. Kalau ada sirkus tandingan harus disingkirkan. Anggota-anggota band penyanyi Koes Bersaudara, misalnya, ditangkapi dan dimasukkan dalam penjara Glodok pada bulan Juli 1965 oleh Komando Operasi Tertinggi (KOTI). Alasannya karena lagu yang Koes Bersaudara bersifat cengeng dan tidak sejalan dengan lagu-lagu mars perjuangan yang dipakai untuk memberi semangat maju ke medan perang. Sirkus tandingan harus disingkirkan.
Persoalan dengan kehidupan ialah kalau mau roti, harus ada yang menanam gandum. Kalau semuanya ikut bermain dalam sirkus dan penjadi penontonnya, maka siapa yang akan menanam gandum untuk menghasilkan roti? Sirkus dimasa depresi dan ekonomi yang menyurut nampaknya bagus. Orang dari pada “
bengong” tidak ada kerja, lebih baik menonton sirkus dan ikut serta bermain sirkus, melakukan tindakan yang tidak produktif seperti perang. Uang dicetak terus tanpa diimbangi dengan keluaran produksi. Akibatnya inflasi yang meledak di tahun 1964 – 1967.
DEPRESI DAN PERANG DUNIA II
Mitos mudah dibentuk karena, wartawan tidak terlalu pandai. Kalau mereka pandai, maka mereka sudah menjadi engineer atau dokter atau ilmuwan. Oleh sebab itu mereka akan menelan apa saja yang dikatakan politikus yang kemudian dikuatkan oleh para sejarawan. Kejadian-kejadian sejarah diceritakan dengan plintiran-plintiran sehingga memberikan nuansa yang bertolak belakang. Perang dimitoskan sebagai obat penyembuh untuk resesi ekonomi atau bahkan depresi. Yang sering dijadikan contoh adalah US dimasa
Great Depression tahun 1930an. Tentu saja ini merupakan mitos semata yang diciptakan oleh para politikus dan dipopulerkan oleh sejarawan dan wartawan. Akal sehat akan mengatakan bahwa, bagaimana mungkin perang bisa menciptakan kemakmuran? Kalian saling membunuh dan saling menghancurkan?
Kubu yang beropini bahwa perang adalah obat depresi ekonomi mengajukan argumen bahwa perang membuka lapangan kerja. Argumen ini sama saja dengan mengatakan bahwa: “
Ayo rubuhkan rumah kita, supaya kita bisa ada pekerjaan untuk membangun kembali. Ayo kita saling baku tembak supaya kita punya pekerjaan mengobati”. Memang perang memberikan pekerjaan yaitu saling membunuh dan melukai, membuat alat-alat pembunuh, kemudian menolong yang luka, menguburkan yang mati. Tetapi adakah kemakmuran yang tercipta? Jadi kalau dilihat secara keseluruhan tidak ada kemakmuran (penambahan barang dan jasa) yang tercipta.
Data menunjukkan bahwa perang akan meningkatkan GNP (Gross National Produk, semacam GDP yang digunakan dulu). Tetapi peningkatan ini semu sifatnya. Perang Dunia II resminya dimulai tahun 1939 ketika Jerman menyerbu Polandia. US sendiri tidak terjun ke dalam perang sampai tahun 1941. Terlihat jelas (titik 2 pada Chart-1) bahwa pada masa itu terjadi lonjakan GNP (Gross National Produk) sampai ke 28%!!! Pertumbuhan GNP 28% ini sangat besar. Tetapi nanti dulu, sebab inflasi juga menggila (Chart-2, titik 2), mencapai 20%. Pertumbuhan yang 28% ini kalau dinormalisasi terhadap kenaikan harga konsumen (CPI), hanyalah 6.7%.
Chart 1
Pertumbuhan di US di awal perang menang ada, karena US mengimport mesin-mesin perang dan bahan-bahan logistik untuk Eropa. Tetapi ketika perang menjelang usai, Pertumbuhan GNP turun lagi, tetapi inflasi CPI melonjak 35% (titik 3 Chart-1 dan Chart-2). GNP riil turun minus 18.6%. Jadi secara keluruhan ekonomi US mengalami penurunan selama perang dunia II. Belum lagi kalau GNP ini dipilah-pilah, mana yang bersifat memberikan kemakmuran riil, dan mana yang semata-mata untuk perang, tindakan saling menghancurkan dan membunuh. Bagian yang memberikan kemakmuran riil akan semakin kecil.
Chart 2
BIAYA PERANGOrang yang berpikir bahwa perang akan menyelesaikan persoalan ekonomi dan akan membawa kemakmuran adalah orang yang mempunyai pikiran yang sudah terplintir habis-habisan. Bagaimana mungkin tindakan penghancuran bisa menciptakan kemakmuran?
Mitos dan sejarah yang mengatakan bahwa perang adalah obat depresi ekonomi, kalau dipikirkan secara waras, tidak akan pernah bisa diterima akal. Semakin detail data-data ekonomi mengenai perang digali semakin tidak cocok dengan mitos yang didengungkan. Politikus perlu sirkus dan tontonan. Perang adalah sirkus yang disukai politikus. Politikus menyukai kekuasaan. Dan perang adalah salah satu cara untuk mengekspresikan kekuasaan disamping memperbesarnya. Jerman menyerang Polandia, US menyerang Afganistan dan Irak, Indonesia menyerang Timor-Timur, atau Kalimantan Utara (Sebutan untuk Serawak dan Sabah dimasa konfrontasi). Tentu saja biasanya mereka memilih lawan yang dianggap lebih lemah, kecuali jika sudah terlalu gila, seperti ketika Hitler memutuskan menyerang Stanlingrad atau Jepang memutuskan membom Pearl Harbor.
Perang disukai oleh para politikus karena dampaknya jarang sampai kepada mereka. Karena mereka tidak berada di medan tempur. Mereka jauh dari peluru, lumpur, panas, dingin yang mengigit, atau tertangkap musuh. Resiko yang terbesar ada pada serdadu dan rakyat. Romantisme pertempuran dan peperangan diciptakan melalui lagu, syair, slogan. Kamikaze, Bushido di Jepang pada perang pasifik, bambu runcing perang kemerdekaan Indonesia, elan di Prancis pada perang dunia II. Seperti pasukan kamikaze di Pasifik, pilot-pilot yang masih hijau dan tidak berpengalaman, dipersenjatai dengan bom dan pesawat yang sekedar bisa tebang, mereka maju ke medan perang dengan misi bunuh diri. Kebanyakan misi kamikaze ini gagal, pesawat yang sudah kedaluwarsa ini dengan mudah ditembak jatuh oleh senjata anti pesawat udara Sekutu.
Politikus di Tokyo tidak merasakan bagaimana derita di medan pertempuran. Ide-ide taktik pertempuran kadang diluar akal waras. Pertempuran di Saipan di kepulauan Marianna Pasifik, diakhiri dengan serbuan ‘banzai’. Pasukan Jepang bagai gelombang manusia menyerbu pasukan sekutu dengan bayonet. Tentu saja ini menjadi sasaran empuk peluru carabine tentara US. Hampir seluruh pasukan tempur garnisun Jepang yang berjumlah sekitar 30 ribu orang tersungkur. Dan 22 ribu warga sipil non-tempur Jepang juga mati. Dan pasukan sekutu hanya kurang dari 3000 orang mati.
Lain lagi dengan bambu runcing. Semangat mengalahkan akal sehat penjuang kemerdekaan Indonesia maju dengan bambu runcing untuk dijadikan sasaran empuk senapan Belanda dan Sekutu.
Prancis terkenal dengan romantismenya. Sajak tentang maju ke medan perang dengan menunggang kuda, pedang yang mengkilat, gegap gempita teriakan menyerbu merangsek musuh terdengar indah dan memberi semangat.
Elan yang artinya semangat, keteguhan hati, menggantikan taktik perang dan strategi! Di awal Perang Dunia I, tentara Preancis dengan semangat maju menyerbu dengan menunggang kuda dan pedang yang mengkilat terhunus. Inilah yang disebut semangat tanpa akal waras. Serbuan bersemangat ini disambut dengan senapan mesin Jerman. Tidak memerlukan waktu yang lama untuk membuat bumi menjadi merah bersimbah darah tentara Prancis.
Kalau pertempuran Saipan dianggap mengerikan dilihat dari jumlah korban yang mati, maka pertempuran di Stalingrad akan jauh lebih mengerikan. Tentara Jerman yang terbunuh atau luka-luka 750,000. Dan yang tertangkap 91,000 orang. Yang luka-luka bisa diduga punya peluang yang kecil untuk hidup, mengingat Soviet juga mengalami kehancuran dan tidak bisa merawat tawanannya yang luka. Dipihak Soviet 478,741 terbunuh atau hilang, 650,878 luka-luka atau sakit ditambah sekitar 40,000 lebih mati. Apakah orang Soviet yang masih hidup punya obat, tenaga dan niat untuk merawat tawanan Jerman yang sakit?
Diantara biaya perang yang termahal adalah nyawa manusia. Mungkin ada yang beranggapan bahwa manusia semacam ini layak mati. Mereka mau saja mengikuti ide-ide para politikus. Orang seperti ini selayaknya mati. Anggaplah nyawa manusia murah, perang juga menghancurkan asset. Nagasaki rata dengan tanah. Stanlingrad juga rata dengan tanah. Belin hancur. Apakah ini murah. Apakah ini seimbang dengan ‘
pertumbuhan’ ekonomi yang dihasilkan dari perang. Pertumbuhan atau penghancuran ekonomi?
Mitos perang sebagai solusi depresi ekonomi adalah mitos yang diciptakan oleh politikus yang tidak waras dan maha sadis. Seorang pembunuh bisa disebut sadis jika dia membunuh 1, 2, 4, 10 orang. Tetapi kalau korbannya mencapai jutaan orang, nama apa yang layak baginya. Tetapi pikiran yang terplintir membuatnya sebagai pahlawan, seperti Abraham Lincoln, F.D. Roosevelt, Harry Truman, Sukarno. Dalam sejarah mereka dipuja sebagai pahlawan. Apakah angka-angka korban perang mendukung kesimpulan para sejarawan? Anda bisa menilainya sendiri.
Berlin diakhir perang dunia II
Nagasaki setelah bom atom dijatuhkan.
Stalingrad ketika penyerbuan oleh tentara Jerman.
Catatan: Perang bisa saja menjadi obat depresi jiwa. Kalau jiwa sudah tertekan......., ayo keluar dan pergi untuk bunuh orang............
Disclaimer: Ekonomi (dan investasi) bukan sains dan tidak pernah dibuktikan secara eksperimen; tulisan ini dimaksudkan sebagai hiburan dan bukan sebagai anjuran berinvestasi oleh sebab itu penulis tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang diakibatkan karena mengikuti informasi dari tulisan ini. Akan tetapi jika anda beruntung karena penggunaan informasi di tulisan ini, EOWI dengan suka hati kalau anda mentraktir EOWI makan-makan.