Di Ekonomi Orang Waras dan Investasi (EOWI) kita punya dalil/hipotesa yang sudah dipakai sejak lama dan semakin lama semakin ditunjang oleh data-data.
1. “Democracy is a government by the people, of the people, to fool the people”. (Demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk mengecoh rakyat).
2. “Ada penipu kecil, penipu ulung, politikus dan Cut Zahara Fonna”
Kalau anggota DPR dan pejabat pemerintah melakukan korupsi (definisi korupsi ialah memperkaya diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dan merugikan negara) adalah orang goblog. Karena untuk memperkaya diri sendiri, anak, keluarga dengan merugikan negara tidak perlu melanggar hukum. Maksudnya, kalau pejabat negara memperkaya diri sendiri, anak, keluarga dengan merugikan negara tetapi tidak melanggar hukum maka tidak bisa disebut korupsi dan hal itu bisa dilakukan karena memang pintunya terbuka lebar.
Misalnya Megawati. Dia naik tahta dari wakil presiden menjadi presiden karena Gus Dur digulingkan oleh MPR. Megawati menjabat menjadi presiden tidak 5 tahun penuh, tetapi hanya 3 tahun lebih. Megawati cerdik, dia membuat Keppres No 81 tahun 2004, yang diteken sendiri pada Senin (28/9/2004) intinya ialah presiden memutuskan untuk memberi dirinya sendiri Rp 20 milyar ketika dia turun tahta. Catatan: Rp 20 milyar tahun 2004 itu setara dengan kira-kira 200 kg emas. Kalau dibandingkan dengan emas yang ada di atas tugu Monas (32 kg) maka jumlahnya 6.25 kali. Tugu Monas akan terlihat megah sekali kalau api emas di atasnya tambah menjadi 7.25 kali yang sekarang.
Apakah tindakan Megawati legal? Tentu saja 100% legal. Apakah tindakan Megawati ini merugikan negara? Tentu saja, karena uang yang seharga 200 kg emas ini ditarik dari pembayar pajak. Ini uang negara, maksudnya uang pembayar pajak yang seharusnya kembali ke pembayar pajak. Persoalannya ialah ketika Megawati (atau calon presiden lainnya) tidak pernah membuat kontrak dengan pembayar gaji dan tunjangannya (yaitu pembayar pajak) tentang berapa gaji dan tunjangannya sebelum presiden mulai bekerja dan memegang jabatannya. Ketika dia hampir selesai masa jabatannya, sebagai presiden dia menyodorkan kwitansi (baca: Keppres 81 Tahun 2004) sebesar 200 kg emas sebagai tunjangan purna bakti. (Catatan: Keppres terakhir yang ditandatangi Megawati adalah Keppres No 108 Tahun 2004 tertanggal 18 Oktober 2004. Sedang kwitansi tunjangan purna bakti ditanda-tangani tgl 28 September 2004). Lumayan kerja 3 tahun (23 Juli 2001 - 20 Oktober 2004) dan bisa memperoleh bonus setara 200 kg emas. Jumlah ini tidak dibagi dengan Gus Dur, karena menurut Keppres 81 Tahun 2004 itu seorang presiden yang dicopot (dengan tidak hormat) tidak akan memperoleh bonus setara 200 kg emas itu. Dan juga Keppres 81 Tahun 2004 itu tidak berlaku retroaktif.
Cara-cara ini diluar norma-norma transaksi dan membuka jalan ke arah “mischieving”, atau akal-akalan. Norma yang umum adalah: kalau kita bekerja atau melakukan transaksi jasa/barang, pertama-tama yang harus dilakukan adalah masing-masing pihak setuju kewajiban dan hak. Apakah hal itu melalui tender atau melalui negosiasi, yang penting kedua belah pihak setuju.
Sekarang anda bayangkan, saya bekerja di suatu perusahaan. Kemudian pada akhir bulan saya menyodorkan tagihan dengan jumlah seenak saya. Itulah yang dilakukan oleh Megawati pada bulan September 2004 dimana bulan November 2004 dia tidak lagi jadi presiden.
Ini sebagai contoh bagaimana cara memperkaya diri sendiri secara legal di dalam sistem demokrasi. Pintu terbuka lebar. Dan cara seperti ini dimanfaatkan/ditiru oleh DPR dan DPRD dengan bantuan pemerintah. Dalam hal ini anggota parlemen harus bekerja sama dengan pemerintah. Kong-kali-kong istilahnya. Nampaknya saat ini anggota parlemen masih harus kong-kali-kong. Kecuali nanti kalau sistem menjadi lebih demokratis lagi dan DPR(D) berhak menentukan tujangan dan gajinya sendiri.
Sebagai contoh adalah kasus Tunjangan Komunikasi untuk anggota DPRD. Ceritanya kembali pada tahun 2006, anggota DPRD memperoleh Tunjangan Komunikasi yang dirapel dari awal 2006 sesuai dengan PP Nomor 37 Tahun 2006. Tetapi karena kekurangan dana dalam anggaran pemerintah dan ramainya kritik dari masyarakat maka dikeluarkanlah PP Nomor 21 Tahun 2007 yang isinya agar rapelan itu dikembalikan.
Kalau kita lihat banyak ketidak warasan dalam semua kejadian ini. Pertama, mengenai rapel. Kalau tunjangan komunikasi ini dimaksudkan untuk membiayai pengeluaran komunikasi anggota DPRD, maka dari awal 2006 sampai dikeluarkannya rapelan ini, semua biaya komunikasi dikeluarkan sudah dibayar. Artinya, tanpa ada tunjangan ini, dana operasi yang diberikan ke anggota DPRD sudah cukup. Jadi kalau diberi tunjangan tambahan larinya akan ke kantong pribadi alias tindakan pemerintah memperkaya sejawat di parlemen. Apakah ini legal? Tentu saja, bukankah ada Peraturan Pemerintahnya? Pemerintah dan parlemen bisa melakukan persekongkolan legal yang merugikan rakyat, secara legal memperkaya diri mereka sendiri dengan merugikan pembayar pajak (rakyat). Yang pasti porsi pajak yang kembali ke pembayar pajak sebagai fasilitas umum menjadi berkurang. Dalam kasus Megawati, berkurangnya setara 200 kg emas. Dalam kasus tunjangan komunikasi adalah beberapa ratus milyar.
Dalam hal legal dan tidak legal, EOWI menemukan sebuah artikel di KEPRITODAY.COM (http://kepritoday.com/content/view/13000/34/). Artikel ini meliput seminar Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia (ADEKS) yang membahas masalah hukum dari Tunjangan Komunikasi dan rapelannya. Tulisan lengkapnya akan kami salin saja bersama dengan komentar EOWI. Aslinya berhuruf miring sedang komentar EOWI berhuruf tegak. Kata-kata dengan huruf tebal adalah penekanan yang diberikan oleh penulis.
Sampai Kiamat DPR Tolak Kembalikan Tunjangan Komunikasi
Kamis, 28 Agustus 2008 10:02:34
BATAM - Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia (Adeksi) menggelar seminar nasional bertema memahami dasar hukum mengadili kebijakan publik dan relevansinya terhadap pelaksanaan dan pertanggung jawaban PP Nomor 37 Tahun 2006 juncto PP Nomor 21 Tahun 2007 di Hotel Novotel, Rabu (27/8) kemarin.
Dalam seminar itu, mengemuka keinginan dari anggota DPRD untuk tak mengembalikan rapelan tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional pimpinan sebagaimana yang diwajibkan PP Nomor 21 Tahun 2007. Seminar itu menghadirkan pengacara senior OC Kaligis dan pakar hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta Chairul Huda. Pesertanya seratusan anggota DPRD kota dan kabupaten se-Indonesia.
Baik OC Kaligis maupun Chairul Huda sama-sama berpendapat, anggota DPRD tak perlu mengembalikan rapelan dana tunjangan komunikasi dan operasional pimpinan itu. Alasannya, asas hukum menganut asas retroaktif yang menyatakan suatu peraturan perundang-undangan tak berlaku surut.
OC Kaligis juga berpendapat pejabat publik seharusnya dilindungi dari gugatan baik perdata maupun pidana saat melaksanakan kebijakan publik. Dalam kasus anggota DPRD menerima dana tunjangan komunikasi yang diatur dalam PP Nomor 37 Tahun 2006, itu juga dalam rangka melaksanakan kebijakan publik. ”Jangan dikembalikan, Pak,” kata OC Kaligis.
Komentar EOWI: Pertanyaan untuk OC Kaligis, kebijakan publik yang mana yang dilakukan anggota DPRD dalam konteks PP Nomor 37 Tahun 2006 dan/atau PP Nomor 21 Tahun 2007? Yang ada adalah kebijakan kantong sendiri. Mengantongi rapel tunjangan komunikasi bukan kebijakan publik, melainkan kebijakan rekening bank sendiri.
1. “Democracy is a government by the people, of the people, to fool the people”. (Demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk mengecoh rakyat).
2. “Ada penipu kecil, penipu ulung, politikus dan Cut Zahara Fonna”
Kalau anggota DPR dan pejabat pemerintah melakukan korupsi (definisi korupsi ialah memperkaya diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dan merugikan negara) adalah orang goblog. Karena untuk memperkaya diri sendiri, anak, keluarga dengan merugikan negara tidak perlu melanggar hukum. Maksudnya, kalau pejabat negara memperkaya diri sendiri, anak, keluarga dengan merugikan negara tetapi tidak melanggar hukum maka tidak bisa disebut korupsi dan hal itu bisa dilakukan karena memang pintunya terbuka lebar.
Misalnya Megawati. Dia naik tahta dari wakil presiden menjadi presiden karena Gus Dur digulingkan oleh MPR. Megawati menjabat menjadi presiden tidak 5 tahun penuh, tetapi hanya 3 tahun lebih. Megawati cerdik, dia membuat Keppres No 81 tahun 2004, yang diteken sendiri pada Senin (28/9/2004) intinya ialah presiden memutuskan untuk memberi dirinya sendiri Rp 20 milyar ketika dia turun tahta. Catatan: Rp 20 milyar tahun 2004 itu setara dengan kira-kira 200 kg emas. Kalau dibandingkan dengan emas yang ada di atas tugu Monas (32 kg) maka jumlahnya 6.25 kali. Tugu Monas akan terlihat megah sekali kalau api emas di atasnya tambah menjadi 7.25 kali yang sekarang.
Apakah tindakan Megawati legal? Tentu saja 100% legal. Apakah tindakan Megawati ini merugikan negara? Tentu saja, karena uang yang seharga 200 kg emas ini ditarik dari pembayar pajak. Ini uang negara, maksudnya uang pembayar pajak yang seharusnya kembali ke pembayar pajak. Persoalannya ialah ketika Megawati (atau calon presiden lainnya) tidak pernah membuat kontrak dengan pembayar gaji dan tunjangannya (yaitu pembayar pajak) tentang berapa gaji dan tunjangannya sebelum presiden mulai bekerja dan memegang jabatannya. Ketika dia hampir selesai masa jabatannya, sebagai presiden dia menyodorkan kwitansi (baca: Keppres 81 Tahun 2004) sebesar 200 kg emas sebagai tunjangan purna bakti. (Catatan: Keppres terakhir yang ditandatangi Megawati adalah Keppres No 108 Tahun 2004 tertanggal 18 Oktober 2004. Sedang kwitansi tunjangan purna bakti ditanda-tangani tgl 28 September 2004). Lumayan kerja 3 tahun (23 Juli 2001 - 20 Oktober 2004) dan bisa memperoleh bonus setara 200 kg emas. Jumlah ini tidak dibagi dengan Gus Dur, karena menurut Keppres 81 Tahun 2004 itu seorang presiden yang dicopot (dengan tidak hormat) tidak akan memperoleh bonus setara 200 kg emas itu. Dan juga Keppres 81 Tahun 2004 itu tidak berlaku retroaktif.
Cara-cara ini diluar norma-norma transaksi dan membuka jalan ke arah “mischieving”, atau akal-akalan. Norma yang umum adalah: kalau kita bekerja atau melakukan transaksi jasa/barang, pertama-tama yang harus dilakukan adalah masing-masing pihak setuju kewajiban dan hak. Apakah hal itu melalui tender atau melalui negosiasi, yang penting kedua belah pihak setuju.
Sekarang anda bayangkan, saya bekerja di suatu perusahaan. Kemudian pada akhir bulan saya menyodorkan tagihan dengan jumlah seenak saya. Itulah yang dilakukan oleh Megawati pada bulan September 2004 dimana bulan November 2004 dia tidak lagi jadi presiden.
Ini sebagai contoh bagaimana cara memperkaya diri sendiri secara legal di dalam sistem demokrasi. Pintu terbuka lebar. Dan cara seperti ini dimanfaatkan/ditiru oleh DPR dan DPRD dengan bantuan pemerintah. Dalam hal ini anggota parlemen harus bekerja sama dengan pemerintah. Kong-kali-kong istilahnya. Nampaknya saat ini anggota parlemen masih harus kong-kali-kong. Kecuali nanti kalau sistem menjadi lebih demokratis lagi dan DPR(D) berhak menentukan tujangan dan gajinya sendiri.
Sebagai contoh adalah kasus Tunjangan Komunikasi untuk anggota DPRD. Ceritanya kembali pada tahun 2006, anggota DPRD memperoleh Tunjangan Komunikasi yang dirapel dari awal 2006 sesuai dengan PP Nomor 37 Tahun 2006. Tetapi karena kekurangan dana dalam anggaran pemerintah dan ramainya kritik dari masyarakat maka dikeluarkanlah PP Nomor 21 Tahun 2007 yang isinya agar rapelan itu dikembalikan.
Kalau kita lihat banyak ketidak warasan dalam semua kejadian ini. Pertama, mengenai rapel. Kalau tunjangan komunikasi ini dimaksudkan untuk membiayai pengeluaran komunikasi anggota DPRD, maka dari awal 2006 sampai dikeluarkannya rapelan ini, semua biaya komunikasi dikeluarkan sudah dibayar. Artinya, tanpa ada tunjangan ini, dana operasi yang diberikan ke anggota DPRD sudah cukup. Jadi kalau diberi tunjangan tambahan larinya akan ke kantong pribadi alias tindakan pemerintah memperkaya sejawat di parlemen. Apakah ini legal? Tentu saja, bukankah ada Peraturan Pemerintahnya? Pemerintah dan parlemen bisa melakukan persekongkolan legal yang merugikan rakyat, secara legal memperkaya diri mereka sendiri dengan merugikan pembayar pajak (rakyat). Yang pasti porsi pajak yang kembali ke pembayar pajak sebagai fasilitas umum menjadi berkurang. Dalam kasus Megawati, berkurangnya setara 200 kg emas. Dalam kasus tunjangan komunikasi adalah beberapa ratus milyar.
Dalam hal legal dan tidak legal, EOWI menemukan sebuah artikel di KEPRITODAY.COM (http://kepritoday.com/content/view/13000/34/). Artikel ini meliput seminar Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia (ADEKS) yang membahas masalah hukum dari Tunjangan Komunikasi dan rapelannya. Tulisan lengkapnya akan kami salin saja bersama dengan komentar EOWI. Aslinya berhuruf miring sedang komentar EOWI berhuruf tegak. Kata-kata dengan huruf tebal adalah penekanan yang diberikan oleh penulis.
Sampai Kiamat DPR Tolak Kembalikan Tunjangan Komunikasi
Kamis, 28 Agustus 2008 10:02:34
BATAM - Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia (Adeksi) menggelar seminar nasional bertema memahami dasar hukum mengadili kebijakan publik dan relevansinya terhadap pelaksanaan dan pertanggung jawaban PP Nomor 37 Tahun 2006 juncto PP Nomor 21 Tahun 2007 di Hotel Novotel, Rabu (27/8) kemarin.
Dalam seminar itu, mengemuka keinginan dari anggota DPRD untuk tak mengembalikan rapelan tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional pimpinan sebagaimana yang diwajibkan PP Nomor 21 Tahun 2007. Seminar itu menghadirkan pengacara senior OC Kaligis dan pakar hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta Chairul Huda. Pesertanya seratusan anggota DPRD kota dan kabupaten se-Indonesia.
Baik OC Kaligis maupun Chairul Huda sama-sama berpendapat, anggota DPRD tak perlu mengembalikan rapelan dana tunjangan komunikasi dan operasional pimpinan itu. Alasannya, asas hukum menganut asas retroaktif yang menyatakan suatu peraturan perundang-undangan tak berlaku surut.
OC Kaligis juga berpendapat pejabat publik seharusnya dilindungi dari gugatan baik perdata maupun pidana saat melaksanakan kebijakan publik. Dalam kasus anggota DPRD menerima dana tunjangan komunikasi yang diatur dalam PP Nomor 37 Tahun 2006, itu juga dalam rangka melaksanakan kebijakan publik. ”Jangan dikembalikan, Pak,” kata OC Kaligis.
Komentar EOWI: Pertanyaan untuk OC Kaligis, kebijakan publik yang mana yang dilakukan anggota DPRD dalam konteks PP Nomor 37 Tahun 2006 dan/atau PP Nomor 21 Tahun 2007? Yang ada adalah kebijakan kantong sendiri. Mengantongi rapel tunjangan komunikasi bukan kebijakan publik, melainkan kebijakan rekening bank sendiri.
Senada dengan Kaligis, Chairul Huda juga mengatakan anggota DPRD tak perlu mengembalikan dana itu. Perintah pengembalian dana tunjangan komunikasi, lanjutnya, merupakan tindakan kesewenang-wenangan pemerintah pusat yang harus dilawan. ”Bahkan, jika ada yang belum menerima harus ditagih,” katanya.
Seperti mendapatkan dukungan dari pakar hukum dan pengacara, banyak anggota DPRD yang menceritakan bagaimana aparat hukum menyikapi kasus tunjangan komunikasi di daerahnya masing-masing.
Komentar EOWI: Kalau mau dapat uang lebih banyak, anda harus berbaikan dengan pemerintah, bekerja sama. Atau, anda usahakan agar kekuasaan pemerintah dikurangi sehingga DPR(D) bisa membuat peraturan penggajian diri sendiri yang lebih bebas.
Ada yang khawatir, ada juga yang tak mau mengembalikan dana tunjangan komunikasi itu. Kemarin, juga muncul aksi anggota DPRD memberikan kuasa kepada kantor pengacara OC Kaligis & Associates untuk melakukan uji materi atas PP tersebut. Bahkan, anggota DPRD Batam Kholik Widiarto mengaku tak akan mengembalikan tunjangan itu, karena merasa kewajiban itu merupakan bentuk inkonsistensi pemerintah pusat yang sebelumnya mengesahkan pemberian tunjangan komunikasi tersebut. ”Sampai kiamatpun, saya tak akan mengembalikan,” katanya sengit.
Komentar EOWI: Goblog kalau mau main keras. Tipu-menipu lebih baik hasilnya. Bukankah demokrasi itu bagus. Bagus karena memberi jalan untuk secara legal memperkaya diri sendiri dan teman-teman dari uang pembayar pajak. Antara politikus (penipu) jangan saling mendahului.
Ketua Adeksi Soerya Respationo mengatakan, seminar tersebut merupakan upaya dari Adeksi menyikapi persoalan PP 37 Tahun 2006 juncto PP 21 Tahun 2007 agar anggota DPRD tak terjerat hukum seperti saat sejumlah anggota DPRD di sejumlah daerah ditahan karena dianggap melanggar PP Nomor 110 Tahun 2000.
Bagaimana dengan suara-suara dari anggota Adeksi yang tak ingin mengembalikan tunjangan komunikasi? ”Kita kan tak berpatokan pada keinginan tapi pada aspek hukumnya. Makanya, kami undang pengacara senior, pakar hukum dan lainnya sebagai masukan ke Adeksi,” kata Ketua DPRD Batam, itu.
Komentar EOWI: Politikus hanya berbicara mengenai aspek legal. Sedangkan aspek kewarasan dikubur saja.
Adeksi, kata Soerya, akan membahas masalah pengembalian tunjangan komunikasi itu dalam rapat pengurus Adeksi, mendatang. ”Setelah semua masukan kami kumpulkan, kami rapat dan menyikapi ini. Sikap resmi Adeksi akan kami tentukan nanti,” tukasnya.
Berdasarkan PP Nomor 37 tahun 2006 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD, anggota DPRD Batam menerima rapelan tunjangan komunikasi sebesar Rp 64,26 juta per orang. Kemudian, selain itu Ketua DPRD Batam mendapatkan rapelan dana operasional Rp128,52 juta dan Wakil Ketua DPRD Rp 68,544 juta.
Kemudian, karena banyak dikecam dan didemo, pemerintah mengeluarkan PP Nomor 21 Tahun 2007 yang salah satu pasalnya mewajibkan anggota DPRD yang sudah menerima rapelan dana komunikasi tersebut mengembalikannya paling lama sebulan sebelum masa jabatan mereka berakhir.
Di DPRD Batam sendiri, baru anggota DPRD dari PKS yang mengembalikan dan mencicilnya. Yang lain, belum mengembalikan karena ada yang menolak ada juga yang menunggu hingga akhir masa jabatan. (med)
Yang menarik ialah untuk menunjang PP 21 Tahun 2007 tentang pengembalian rapel Tunjangan Komunikasi itu dikeluarkan Surat Edaran (SE) No 700/08/SJ yang isinya ‘mengancam’ anggota DPRD yang tidak mengembalikan dana tunjangan akan dibawa ke jalur hukum. Namun, sebaliknya, akan diberikan reward bagi yang mengembalikannya. Bagus juga untuk pembayar pajak. Tetapi sayangnya di lapangan keputusan Mendagri ini tumpul. Sesama politikus jangan saling mendahului. Akhirnya Mendagri mengeluarkan SE No 555/3032/SJ, yang isinya membatalkan SE No 700/08/SJ, artinya..... kalau ada wakil rakyat, yang masih mau mengantongi uang rapel Tunjangan Komunikasi sudah dibuat legal. Sebentar lagi harus dibuat PP yang membatalkan PP 21 Tahun 2007 supaya lengkap legalitas memperkaya konco-konco dengan uang dari pembayar pajak.
Asyik bukan?
RENUNGAN
Pelantikan anggota DPR tahun 2009 ini akan memakan biaya Rp 46 milyar atau setara dengan 144 kg emas. Atau kira-kira 4.5 kali jumlah emas yang ada di atas tugu Monas. Dalam emas, memang masih kalah dibandingkan tujangan rumah purna bakti Megawati yang kerja sebagai presiden hanya 3 tahun lebih. Tetapi jumlah itu tetap banyak, 144 kg emas!! Apalagi jumlah anggota DPR itu hanya 560 orang. Jadi seorang menelan biaya 260 gram emas. Atau kalau diukur dengan kambing, maka biaya per orangnya setara dengan 80 ekor kambing. Banyak juga. Ini baru biaya pelantikan. Nanti ada lagi tunjangan, gaji, uang saku kalau pergi study banding keluar negri.
Saya membaca di koran nada yang sumbang mengenai DPR yang mengawali tugasnya dengan pengeluaran 144 kg emas atau 80 ekor kambing per orang. Berita di TV menunjukkan adanya protes mahasiswa. Entah apa yang diprotes. Yang pasti ditujukan kepada anggota DPR. Mahasiswa ini goblog. Untuk apa demonstrasi. Lebih baik mereka berkampanye untuk memboikot pemilu. Tunjukkan apa itu sistem yang bernama demokrasi. Hitler, Mussolini, Truman, L.B Johnson, Abraham Lincoln adalah produk demokrasi modern. Hitler menghantarkan 7 juta (9%) etnis Jerman ke alam baka. Yang hidup menjadi sengsara. Mussolini 400 ribu (1%), Truman 400 ribu. Johnson dengan perang Vietnamnya mengirim 58 ribu ke alam baka dan 153 ribu luka-luka pemilihnya. Dan untuk pahlawan US yang paling disanjung, Abraham Lincoln mengirim 620 ribu (2% dari penduduk US) ke alam baka. Tragis. Mereka ini dipilih untuk dijadikan ‘pemimpin’ bersama 'wakil rakyat' . Kemudian sang ‘pemimpin’ ini mengirim mereka ke alam baka, dan untuk pengiriman ini para ‘pemimpin’ dan 'wakil rakyat' ini menodong pembiayaannya kepada yang tinggal. Demikian banyak penderitaan untuk yang namanya demokrasi. Yang mati, yang sengsara dan yang diperas.
Pemimpin Indonesia lebih baik, karena mereka tidak mengirimkan rakyatnya ke alam baka...., kecuali untuk kasus Aceh, Timor-Timur, Dwikora, Trikora, .......dan perang kemerdekaan. Kenapa perang kemerdekaan dimasukkan? Mmmmm......, Malaysia, Singapore, Brunei dan Suriname tidak perlu perang kemerdekaan untuk merdeka. Untuk apa menempuh jalan yang perlu pengorbanan? Banyak yang mati dan cacat untuk hal-hal yang seharusnya tidak perlu ada pengorbanan. Tetapi karena keahlian politikus memberi semangat, menggiring sapi-sapi yang mau disembelih dan diperas, mereka (sapi-sapi ini) bisa dijadikan tumbal dan diperas.
Manusia tidak bisa belajar dari sejarah. Sejarah dan ilmu politik sudah ada di peradaban manusia lebih lama dari pada hukum thermodinamika, siklus Carnot atau siklus Diesel. Tetapi ilmu politik tidak bisa membawa manusia kepada kemakmuran. Thermodinamika siklus Carnot, membuat anda bisa naik mobil dan melakukan perjalanan jauh dengan mudah. Bagaimana dengan ilmu politik? Demokrasi tetap saja sebagai produk yang gagal dan berguna bagi politikus saja, selebihnya hanya sapi yang layak disembelih dan diperas.
Einstein pernah mengatakan: Insanity is doing the same thing over and over again and expecting different. Ratusan tahun sistem demokrasi digunakan, dan setiap kali mengharapkan hasil yang berbeda. Apakah manusia ini sudah gila (insane)? Atau hanyalah hubungan eksploitasi antara politikus dengan sapi-sapinya. Sapi-sapi yang terlalu bebal untuk belajar dari pengalaman (sejarah) walaupun ratusan tahun lamanya.
Seperti mendapatkan dukungan dari pakar hukum dan pengacara, banyak anggota DPRD yang menceritakan bagaimana aparat hukum menyikapi kasus tunjangan komunikasi di daerahnya masing-masing.
Komentar EOWI: Kalau mau dapat uang lebih banyak, anda harus berbaikan dengan pemerintah, bekerja sama. Atau, anda usahakan agar kekuasaan pemerintah dikurangi sehingga DPR(D) bisa membuat peraturan penggajian diri sendiri yang lebih bebas.
Ada yang khawatir, ada juga yang tak mau mengembalikan dana tunjangan komunikasi itu. Kemarin, juga muncul aksi anggota DPRD memberikan kuasa kepada kantor pengacara OC Kaligis & Associates untuk melakukan uji materi atas PP tersebut. Bahkan, anggota DPRD Batam Kholik Widiarto mengaku tak akan mengembalikan tunjangan itu, karena merasa kewajiban itu merupakan bentuk inkonsistensi pemerintah pusat yang sebelumnya mengesahkan pemberian tunjangan komunikasi tersebut. ”Sampai kiamatpun, saya tak akan mengembalikan,” katanya sengit.
Komentar EOWI: Goblog kalau mau main keras. Tipu-menipu lebih baik hasilnya. Bukankah demokrasi itu bagus. Bagus karena memberi jalan untuk secara legal memperkaya diri sendiri dan teman-teman dari uang pembayar pajak. Antara politikus (penipu) jangan saling mendahului.
Ketua Adeksi Soerya Respationo mengatakan, seminar tersebut merupakan upaya dari Adeksi menyikapi persoalan PP 37 Tahun 2006 juncto PP 21 Tahun 2007 agar anggota DPRD tak terjerat hukum seperti saat sejumlah anggota DPRD di sejumlah daerah ditahan karena dianggap melanggar PP Nomor 110 Tahun 2000.
Bagaimana dengan suara-suara dari anggota Adeksi yang tak ingin mengembalikan tunjangan komunikasi? ”Kita kan tak berpatokan pada keinginan tapi pada aspek hukumnya. Makanya, kami undang pengacara senior, pakar hukum dan lainnya sebagai masukan ke Adeksi,” kata Ketua DPRD Batam, itu.
Komentar EOWI: Politikus hanya berbicara mengenai aspek legal. Sedangkan aspek kewarasan dikubur saja.
Adeksi, kata Soerya, akan membahas masalah pengembalian tunjangan komunikasi itu dalam rapat pengurus Adeksi, mendatang. ”Setelah semua masukan kami kumpulkan, kami rapat dan menyikapi ini. Sikap resmi Adeksi akan kami tentukan nanti,” tukasnya.
Berdasarkan PP Nomor 37 tahun 2006 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD, anggota DPRD Batam menerima rapelan tunjangan komunikasi sebesar Rp 64,26 juta per orang. Kemudian, selain itu Ketua DPRD Batam mendapatkan rapelan dana operasional Rp128,52 juta dan Wakil Ketua DPRD Rp 68,544 juta.
Kemudian, karena banyak dikecam dan didemo, pemerintah mengeluarkan PP Nomor 21 Tahun 2007 yang salah satu pasalnya mewajibkan anggota DPRD yang sudah menerima rapelan dana komunikasi tersebut mengembalikannya paling lama sebulan sebelum masa jabatan mereka berakhir.
Di DPRD Batam sendiri, baru anggota DPRD dari PKS yang mengembalikan dan mencicilnya. Yang lain, belum mengembalikan karena ada yang menolak ada juga yang menunggu hingga akhir masa jabatan. (med)
Yang menarik ialah untuk menunjang PP 21 Tahun 2007 tentang pengembalian rapel Tunjangan Komunikasi itu dikeluarkan Surat Edaran (SE) No 700/08/SJ yang isinya ‘mengancam’ anggota DPRD yang tidak mengembalikan dana tunjangan akan dibawa ke jalur hukum. Namun, sebaliknya, akan diberikan reward bagi yang mengembalikannya. Bagus juga untuk pembayar pajak. Tetapi sayangnya di lapangan keputusan Mendagri ini tumpul. Sesama politikus jangan saling mendahului. Akhirnya Mendagri mengeluarkan SE No 555/3032/SJ, yang isinya membatalkan SE No 700/08/SJ, artinya..... kalau ada wakil rakyat, yang masih mau mengantongi uang rapel Tunjangan Komunikasi sudah dibuat legal. Sebentar lagi harus dibuat PP yang membatalkan PP 21 Tahun 2007 supaya lengkap legalitas memperkaya konco-konco dengan uang dari pembayar pajak.
Asyik bukan?
RENUNGAN
Pelantikan anggota DPR tahun 2009 ini akan memakan biaya Rp 46 milyar atau setara dengan 144 kg emas. Atau kira-kira 4.5 kali jumlah emas yang ada di atas tugu Monas. Dalam emas, memang masih kalah dibandingkan tujangan rumah purna bakti Megawati yang kerja sebagai presiden hanya 3 tahun lebih. Tetapi jumlah itu tetap banyak, 144 kg emas!! Apalagi jumlah anggota DPR itu hanya 560 orang. Jadi seorang menelan biaya 260 gram emas. Atau kalau diukur dengan kambing, maka biaya per orangnya setara dengan 80 ekor kambing. Banyak juga. Ini baru biaya pelantikan. Nanti ada lagi tunjangan, gaji, uang saku kalau pergi study banding keluar negri.
Saya membaca di koran nada yang sumbang mengenai DPR yang mengawali tugasnya dengan pengeluaran 144 kg emas atau 80 ekor kambing per orang. Berita di TV menunjukkan adanya protes mahasiswa. Entah apa yang diprotes. Yang pasti ditujukan kepada anggota DPR. Mahasiswa ini goblog. Untuk apa demonstrasi. Lebih baik mereka berkampanye untuk memboikot pemilu. Tunjukkan apa itu sistem yang bernama demokrasi. Hitler, Mussolini, Truman, L.B Johnson, Abraham Lincoln adalah produk demokrasi modern. Hitler menghantarkan 7 juta (9%) etnis Jerman ke alam baka. Yang hidup menjadi sengsara. Mussolini 400 ribu (1%), Truman 400 ribu. Johnson dengan perang Vietnamnya mengirim 58 ribu ke alam baka dan 153 ribu luka-luka pemilihnya. Dan untuk pahlawan US yang paling disanjung, Abraham Lincoln mengirim 620 ribu (2% dari penduduk US) ke alam baka. Tragis. Mereka ini dipilih untuk dijadikan ‘pemimpin’ bersama 'wakil rakyat' . Kemudian sang ‘pemimpin’ ini mengirim mereka ke alam baka, dan untuk pengiriman ini para ‘pemimpin’ dan 'wakil rakyat' ini menodong pembiayaannya kepada yang tinggal. Demikian banyak penderitaan untuk yang namanya demokrasi. Yang mati, yang sengsara dan yang diperas.
Pemimpin Indonesia lebih baik, karena mereka tidak mengirimkan rakyatnya ke alam baka...., kecuali untuk kasus Aceh, Timor-Timur, Dwikora, Trikora, .......dan perang kemerdekaan. Kenapa perang kemerdekaan dimasukkan? Mmmmm......, Malaysia, Singapore, Brunei dan Suriname tidak perlu perang kemerdekaan untuk merdeka. Untuk apa menempuh jalan yang perlu pengorbanan? Banyak yang mati dan cacat untuk hal-hal yang seharusnya tidak perlu ada pengorbanan. Tetapi karena keahlian politikus memberi semangat, menggiring sapi-sapi yang mau disembelih dan diperas, mereka (sapi-sapi ini) bisa dijadikan tumbal dan diperas.
Manusia tidak bisa belajar dari sejarah. Sejarah dan ilmu politik sudah ada di peradaban manusia lebih lama dari pada hukum thermodinamika, siklus Carnot atau siklus Diesel. Tetapi ilmu politik tidak bisa membawa manusia kepada kemakmuran. Thermodinamika siklus Carnot, membuat anda bisa naik mobil dan melakukan perjalanan jauh dengan mudah. Bagaimana dengan ilmu politik? Demokrasi tetap saja sebagai produk yang gagal dan berguna bagi politikus saja, selebihnya hanya sapi yang layak disembelih dan diperas.
Einstein pernah mengatakan: Insanity is doing the same thing over and over again and expecting different. Ratusan tahun sistem demokrasi digunakan, dan setiap kali mengharapkan hasil yang berbeda. Apakah manusia ini sudah gila (insane)? Atau hanyalah hubungan eksploitasi antara politikus dengan sapi-sapinya. Sapi-sapi yang terlalu bebal untuk belajar dari pengalaman (sejarah) walaupun ratusan tahun lamanya.
Jakarta 1 Oktober 2009.
Disclaimer: Ekonomi (dan investasi) bukan sains dan tidak pernah dibuktikan secara eksperimen; tulisan ini dimaksudkan sebagai hiburan dan bukan sebagai anjuran berinvestasi oleh sebab itu penulis tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang diakibatkan karena mengikuti informasi dari tulisan ini. Akan tetapi jika anda beruntung karena penggunaan informasi di tulisan ini, EOWI dengan suka hati kalau anda mentraktir EOWI makan-makan.
7 comments:
Mohon ijin Pak IS
Mohon ijin copas Pak IS.
Silahkan....
Megawati membuat kekeliruan besar dengan menyebut angka Rp. 20 milyar. Seharusnya kepres menyatakan bayaran yang diterima oleh presiden pada masa akhir jabatannya setara dengan emas 200 kg. Kepres ini merugikan presiden-presiden berikutnya di tahun 2050, uang sebesar Rp. 20 milyar gak bisa untuk hidup enak.. SBY book smart, JK street smart and Megawati not so smart..
@ Blue :
Kalau menurut saya, Presiden-presiden berikutnya belum tentu dirugikan. Ingat, Indonesia adalah negara yang suka sekali melakukan sanering (gunting uang). Bayangkan jika uang Rp100,000 sekarang disanering menjadi 1 rupiah. Maka, harga emas menjadi hanya 3 rupiah. Jika 20 milyar rupiah dibagi 3 rupiah hasilnya jadi 6.6 juta kilo emas (Nyari dimana tuh emas segitu ???). Sungguh peraturan yang tidak waras.
Hahaha, suka gw kalo IS bicara ttg politik. Keep up the good works, bro.
Saya kira DPR memang Pantas dan Wajar mendapat perlakuan seperti itu...
Alasannya sbb.
Mereka adalah orang-orang yang terpilih (meskipun untuk menjadi terpilih harus menghalalkan berbagai cara)
Modal yang dikeluarkan juga besar.. (sama aja dengan investasi lah) dengan modal besar juga mengharapkan untung yang besar kan...?? kalau gagal terpilih... ya ada yang depresi, ada yang jadi gak waras dll.
Post a Comment