Tulisan (katanya dari) L.B. Panjahitan dan Komentar
EOWI (2)
Salah satu solusi dari melemahnya rupiah adalah
peningkatan kandungan minyak sawit di dalam biodiesel dari 10% menjadi 20% dan
ini disebut B20, mungkin singkatan dari Biodiesel 20%.
Kelihatannya ini adalah solusi yang bagus untuk
mengurangi impor, menghemat devisa dan secara pelestarian lingkungan juga bagus,
karena biodiesel adalah energi terbarukan (renewable) alias green energy. Begitu bukan?
Dalam tulisan ini, EOWI akan membuktikan bahwa penjelasan
dan alasan itu adalah omong kosong. Menggantikan sebagian diesel dengan biodiesel
yang berasal dari CPO (minyak sawit) akan menambah beban pada ekonomi, keuangan
pemerintah dan penggunaan uang pajak.
Ide biodiesel secara garis besarnya memang indah. Tetapi the devil is in the details. Artinya, jika sudah memasuki detailnya biodiesel adalah pepesan kosong yang akan merongrong keuangan negara.
Ide biodiesel secara garis besarnya memang indah. Tetapi the devil is in the details. Artinya, jika sudah memasuki detailnya biodiesel adalah pepesan kosong yang akan merongrong keuangan negara.
Sebenarnya dengan cara orang bodoh saja bisa dijelaskan
bahwa secara ekonomis, biodiesel itu tidak ekonomis. Cukup dengan pertanyaan
investigative: “Kalau biodiesel memang
bagus, kenapa kok tidak terlihat banyak yang berpindah ke biodiesel?”. Tidak
perlu lagi eksplorasi minyak yang resiko gagalnya tinggi. Tidak perlu lagi ada
enhanced oil recovery yang mahal. Tidak perlu lagi fracking yang mahal……. dan
seterusnya. Cukup menanam sawit di setiap halaman, di setiap tepi jalan, taman, pinggir kali dan memperoleh
bahan bakar. Setiap negara punya tanah-tanah yang bisa dimanfaatkan untuk sawit.
Tetapi kenapa hal ini tidak terjadi? Bahkan dulu pernah digembar-gemborkan bahwa
tanah-tanah tandus dan tidak subur bisa ditanami jatropha (jarak) untuk
bio-fuel, ternyata tidak pernah bisa terwujud. Kenapa?
Jawabnya sudah pasti: “Tidak menggiurkan, bahkan proyek itu akan merongrong kocek. Proyek
yang secara ekonomis akan rugi”. Dan itu yang kan EOWI buktikan.
Biodiesel Butuh Minyak Bumi
Entah dari mana datangnya ide biodiesel. Yang pasti
akan ditolak mentah-mentah oleh pelaku ekonomi yang sejati. Jadi kemungkinan ide
ini datangnya dari lembaga riset pemerintah atau LSM yang hidupnya jauh dari
ekonomi nyata. Saya tahu beberapa kenalan saya di ITB melakukan riset ini.
Untuk menghasilkan bio-fuel seperti minyak sawit, atau
minyak jarak (jatropha) perlu minyak bumi. Ini yang sering diabaikan. Untuk
menghasilkan biodiesel, perlu pupuk yang terbuat dari minyak bumi, perlu herbisida
dan insektisida yang juga terbuat dari minyak bumi. Untuk memproses buah sawit
dan mengambil minyaknya, perlu energi, dan sebagian dipasok oleh minyak bumi.
Untuk transportasi buah sawit ke kilang, tidak menggunakan keledai atau kuda,
melainkan dengan truk yang perlu minyak.
Sampai disini pembaca tentunya sudah bisa menebak,
dimana tempat persembunyian jin iprit
nya. Yaitu pada kenyataan bahwa untuk
menghasilkan bio-fuel diperlukan minyak.
Selanjutnya untuk memperjelas persembunyian si jin iprit, yang diperlukan adalah
menghitung effisiensi energinya dan cash-flownya
saja.
Heating
value (sebut saja kalor bakar,
energi yang dihasilkan oleh pembakaran) dari diesel adalah 45.5 MJoule/kg
diesel. Jika berat jenis diesel adalah 0.832 gr/cc, maka harga energi yang
dihasilkan diesel per kcal (kilo kalori) bisa dihitung. Konstanta konversi dari
MJoule ke kcal adalah 238.85 kcal/MJoule.
Untuk minyak sawit CPO, kalor bakarnya 39.6 MJoule/kg.
Inipun bisa dihitung harga energinya dalam US$/kcal.
Berikut ini adalah kurva harga CPO di spot market
Malaysia dan diesel di spot market New York. Semuanya dalam satuan US$ per juta
kcal. Kita lihat pada chart ini bahwa harga diesel tidak jarang sekali berada
di atas harga minyak sawit/CPO. Hal itu tidak mengherankan, karena untuk
membuat minyak sawit diperlukan minyak bumi. Bisakah harga minyak sawit lebih
rendah dari diesel secara langgeng, bukan sementara saja? Mungkin….. bisa. Kalau
ada teknologi yang membuat yield
produksi sawit tinggi sekali.
Chart-1
Untuk lebih memperjelas, bentuk kurvanya diubah
sedikit. Yaitu perbedaan harga CPO dengan harga diesel. Dan area yang diarsir
merah adalah periode dimana harga diesel lebih tinggi dari harga CPO. Kondisi
yang demikian terjadi hanya sesaat, yaitu tahun 2005 – 2006, akhir tahun 2008,
dan beberapa kali di tahun 2013 dan 20014.
Chart-2
Dari CPO ke Biodiesel FAME
Biodiesel tidak sama dengan CPO atau minyak sawit.
Minyak sawit atau CPO cenderung untuk terurai menjadi asam lemak dan gliserin. Walaupun
asam lemak bukanlah asam yang kuat, tetapi dalam jangka panjang akan membuat
korosi pada peralatan. Oleh sebab itu perlu diubah menjadi senyawa lain yang
lebih stabil, yaitu Fatty Acid Methyl
Ester disingkat FAME. Disini CPO harus direaksikan dengan methanol. Tentu
saja ini akan ada biaya tambahan. Dengan berpegang pada dalil bahwa semakin
panjang rantai proses, harga produk semakin mahal maka Harga FAME selalu lebih
tinggi dari CPO.
Chart berikut ini (Chart-3) menunjukkan harga FAME di
spot market. Dalam 3 tahun terakhir, harga rata-ratanya sekitar $900 per ton.
Sedangkan CPO sedikit di bawah $700 per ton, atau 25% lebih rendah dari FAME.
Chart-3
Heating
value FAME sedikit lebih
rendah dari CPO, yaitu sekitar 38 MJoule. Atau sekitar 4% lebih rendah dari
CPO. Jadi dalam satuan kcal, kilo kalori, harga FAME sekitar 30% lebih mahal
dari diesel. Jadi kalau Chart-2 yang diplot adalah perbedaan harga kalor bakar
antara FAME dan diesel, maka bagian yang diarisir merah akan hilang. Artinya sepanjang
sejarah (jika ada data harga FAME dimasa lalu) diesel tidak pernah lebih rendah harga kalorinya dibanding dengan
biodiesel. EOWI memplot harga CPO dgn diesel karena CPO punya histori harga
yang cukup panjang. Jadi CPO dijadikan proxy untuk FAME.
Variable Yang Hilang Dalam Persamaan
Di atas sudah ditunjukkan bahwa harga biodiesel per
energi yang dihasilkannya mahal. Lalu kenapa dipaksakan? Bukankah itu proyek
rugi dilihat dari segi aggregat ekonomi Indonesia.
Seseorang akan berargumen bahwa untuk menekan
keluarnya devisa dari impor, perlu biaya. Dan harga bahan bakar yang mahal itu
adalah harus dibayar demi menyelamatkan rupiah.
Benarkah demikian?
EOWI tidak mudah percaya.
Pertama. Salah satu bahan baku untuk membuat FAME
adalah methanol. Dan methanol harus diimpor. Produksi dalam negri terlalu kecil
untuk menutupi keperluan untuk membuat FAME. Tetapi ini mungkin hanya faktor
yang kecil, karena methanol yang dibutuhkan sekitar 15% dari biodiesel saja dan
harganyapun hanya sekitar 70% dari CPO.
Kedua. Suatu pertanyaan yang menggelitik di otak EOWI:
“Apakah Indonesia punya pabrik FAME?.” Setidaknya akan perlu tambahan
kapasitas. Untuk meningkatkan kapasitas ini tentu perlu pabrik baru. Itu adalah
impor barang modal. Kalau tidak mau membuat di dalam negri, maka harus impor. Dan
ini justru akan membuat defisit perdagangan melebar. Karena setiap persen
diesel akan diganti oleh FAME dengan jumlah yang sama, tetapi harganya lebih
mahal. Dengan kata lain, mengurangi impor diesel dan menggantikannya dengan
FAME yang lebih mahal akan melebarkan defisit perdagangan.
Jadi setidaknya ada dua (2) faktor yang masih tersisa
untuk melengkapi gambaran yang menyeluruh tentang biodiesel sebagai solusi
untuk mengurangi impor dan menghemat devisa. Jawabannya mungkin tidak ada
devisa yang dihemat, bahkan defisit bisa melebar. Dan EOWI tidak tahu (karena
tidak punya datanya).
Siapa yang Diuntungkan?
Di atas sudah ditunjukkan bahwa harga biodiesel per
energi yang dihasilkannya mahal. Itu harus dibayar, entah oleh konsumen (untuk
diesel non-subsidi) atau dibayar oleh rakyat lewat pajak dan hutang. Harus
diingat bahwa pemerintah bukan institusi
yang menghasilkan uang dan kemakmuran, tetapi badan yang merampok secara legal
(disebut pajak) orang-orang yang berhasil dalam menciptakan kemakmuran dan
mendistribusikannya kepada kaum yang miskin untuk memperoleh vote dan kepada
kroni-kroninya.
Biodiesel di negara-negara maju seperti Eropa barat
adalah untuk pencitraan. Biodiesel diassosiasikan dengan green energy. Walaupun harganya lebih mahal, demi pencitraan harus
ditelan juga. Apakah rakyat Indonesia juga harus menelan tambahan biaya yang
tidak perlu ini? Dalam jangka panjang, biodiesel ini akan ditinggalkan orang,
seperti gema global warming. Tahukah
anda bahwa istilah global warming
sedang mengalami penenggelaman, dan perlaha-lahan diganti dengan climate change. Karena global warming itu tidak ada. Yang ada dan
nyata adalah global cooling. Saya
tidak terlalu heran jika dalam beberapa abad mendatang, ice age akan muncul. Lain kali kita bahas hal ini untuk pengetahuan
saja.
Secara ringkas bisa dikatakan bahwa konsumen, rakyat,
seperti saya ini tidak diuntungkan, malah dirugikan. Devisa (mungkin) tidak
dihemat. Dari sudut pelestarian alam pun perkebunan sawit bukan bisnis yang ramah
lingkungan. Untuk membuka kebun sawit, telah terjadi pembabatan hutan, penggusuran
satwa liar langka seperti harimau, gajah dan orang utan. Dan juga pembakaran
hutan sebagai cara yang murah untuk membuka lahan. Belum lagi, bahwa sawit
sangat menuntut banyak pupuk.
Lalu untuk apa? Pasti harus ada kelompok yang diuntungkan.
Kalau dilihat mata rantainya, yang diuntungkan adalah:
- Produsen CPO
- Produsen dan/atau importir FAME
- Produsen dan/atau importir methanol
- Periset yang dapat research grants dan LSM penggiat green energy
Itu yang bisa saya lihat. Semua aliran uang dari kocek
konsumen/pembayar pajak ke kocek produsen CPO dan produsen/importir FAME legal dan syah sesuai
dengan undang-undang.
Sekian dulu, jaga kesehatan dan tabungan anda baik-baik.
Kalau tulisan ini mau diviralkan silahkan, semoga bisa dibaca oleh teman-teman
di badan-badan riset sehingga mereka bisa berpikir waras dan cerdas, bukan seperti oxymoron.
Jakarta 20 September 2018.
Disclaimer: Ekonomi (dan investasi) bukan sains dan tidak pernah dibuktikan secara eksperimen; tulisan ini dimaksudkan sebagai hiburan dan bukan sebagai anjuran berinvestasi oleh sebab itu penulis tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang diakibatkan karena mengikuti informasi dari tulisan ini. Akan tetapi jika anda beruntung karena penggunaan informasi di tulisan ini, EOWI dengan suka hati kalau anda mentraktir EOWI makan-makan.