___________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Doa pagi dan sore

Ya Allah......, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari bingung dan sedih. Aku berlindung kepada Engkau dari lemah dan malas. Aku berlindung kepada Engkau dari pengecut dan kikir. Dan aku berlindung kepada Engkau dari tekanan hutang, pajak, pembuat UU pajak dan kesewenang-wenangan manusia.

Ya Allah......ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim dan para penarik pajak serta pembuat UU pajak selain kebinasaan".

Amiiiiin
_______________________________________________________________________________________________________________________________________________

Monday, September 15, 2014

(No.50) - PENIPU, PENIPU ULUNG, POLITIKUS DAN CUT ZAHARA FONNA

Sejarah, dongeng satir, humor sardonik dan ulasan tentang konspirasi, uang, ekonomi, pasar, politik, serta kiat menyelamatkan diri dari depressi ekonomi global di awal abad 21. 

Dongeng ini didedikasikan bagi mereka: 

            •  yang kritis, skeptis, berpikir bebas dan mencintai kebenaran
            • dan yang suka menikmati sarkasme dan humor sardonik

(Terbit, insya Allah setiap hari Minggu atau Senen)


Masa Orde Baru – Jaman Pelita, Tinggal Landas dan Nyungsep

Secara sederhana jaman Orba bisa disebut jaman dimana ekonomi tinggal landas dan akhirnya nyungsep. Mulainya Orde Baru (Orba) ditandai dengan beberapa hal penting dibidang keuangan dan pembangunan. Di bidang moneter, uang Orla dihapuskan dan Rp 1000 (Orla) menjadi Rp 1 (Orba) pada bulan Desember 1965. Sebabnya (mungkin) untuk mempertahankan arti kata jutawan. Seorang jutawan seharusnya mempunyai status sosial/ekonomi yang tinggi di masyarakat. Tetapi pada saat itu mengalami penggerusan makna. Untuk menggambarkan situasinya, tahun 1964 uang Rp 1000 (Orla) bisa untuk hidup sekeluarga 1 hari. Tetapi tahun 1967 uang itu hanya bisa untuk beli sebungkus kwaci. Sulit bagi orang awam untuk menerima kenyataan yang sudah berubah dalam waktu yang demikian singkat. Seorang jutawan tadinya berarti kaya raya berubah maknanya menjadi pemilik 1000 bungkus kwaci. Hal ini hanya berlangsung dalam kurun waktu 3 tahun dari tahun 1964 sampai 1967, cepat sekali.

Pemotongan nilai nominal dari Rp 1.000 (Orla) ke Rp 1 (Orba) bisa juga dikarenakan gambar Sukarno pada design uang Orla itu sudah membosankan. Itu hanya rekaan saya saja yang diungkapkan dalam suatu sarkasme. Yang tahu pastinya hanya para pejabat di Bank Indonesia pada saat itu.

Awal dari Orba, politikus mahasiswa melakukan tuntutan yang dikenal dengan Tritura (tiga tuntutan rakyat) yaitu

§      Bubarkan PKI,
§      Bentuk kabinet baru dan
§      Turunkan harga

Untuk membubarkan PKI dan membentuk kabinet sangat mudah. Tetapi untuk menurunkan harga? Tidak pernah terjadi sampai Orba tumbang 3,5 dekade kemudian. Bahkan walaupun beberapa menteri yang duduk di kabinet Orba selama beberapa masa bakti dulunya adalah aktivis/politikus mahasiswa, seperti Akbar Tanjung (mantan ketua Umum HMI Jakarta), Cosmas Batubara (mantan Ketua Presidium KAMI Pusat), Abdul Gafur (Wakil Ketua Dewan Mahasiswa UI. 1963-1965, Ketua Presidium KAMI UI/Pembantu Umum KAMI Pusat, 1966) yang meneriakkan Tritura, harga-harga tidak pernah turun. Itu fakta. Kita tidak bisa tahu apakah mereka lupa atau tuntutan itu tidak penting bagi mereka karena sudah menempati posisi yang enak di pemerintahan menjadi menteri dan anggota DPR. Itulah politikus, apakah itu berasal dari mahasiswa, seperti Sukarno dan Mohammad Hatta, pola jalurnya sama. Pola sirkus dan rotinya sama.

Awal langkah politik pemerintahan Suharto adalah purging (melenyapkan) elemen-elemen yang pro Sukarno. Elemen-elemen ini disingkirkan dari posisi-posisi penting di pemerintahan bahkan ada yang ditahan, diadili secara militer oleh mahmilub (mahmilub = mahkamah militer luar biasa) dan dihukum mati atau dipenjarakan untuk waktu yang lama sekali. Periode pemerintahan Sukarno disebut secara resmi dalam sejarah sebagai Orde Lama (yang berkonotasi negatif) dan dikontraskan dengan nama pemerintahan yang baru yaitu Orde Baru. Kota Sukarnopura diganti menjadi Jayapura. Puncak Sukarno di Irian Barat, diganti menjadi puncak Jayawijaya. Seperti yang disebutkan di atas, uang yang bergambar Sukarno ditarik dari peredaran. Sukarno sendiri meninggal dalam tahanan rumah dan dikebumikan di Blitar, bukan Taman Makam Pahlawan. Adapun sebabnya ia tidak dikebumikan di Taman Makam Pahlawan, mungkin karena Sukarno pada saat itu bukan pahlawan. Ia menjadi pahlawan 18 tahun kemudian, setelah ada beberapa lembar kertas yang disebut keputusan presiden yang menyatakan bahwa Sukarno adalah pahlawan. Tanpa kertas itu, Sukarno bukan pahlawan.

GDP nominal pada awal Orde Baru (katakanlah tahun 1967) adalah $ 54,70 per kapita. Pada saat Orde Baru digantikan Orde Reformasi (tahun 1997) GDP Indonesia menjadi $ 448,56 per kapita. Jadi selama 30 tahun naik 8,2 kali lipat!!! Hebat?? (dengan tanda tanya). Saya pertanyakan pujian untuk Orde Baru karena selama 30 tahun itu keluarga saya, tetangga saya, handai taulan tidak bertambah kemakmurannya sebanyak 8,2 kali lipat. Tiga kali lipat pun tidak. Bagaimana mungkin lebih makmur kalau pada awal Orba tarif bus dalam kota di Jakarta adalah Rp 15 dan pada akhir Orba Rp 1.000, naik 7500%!! Selama 30 tahun nominal GDP dalam US dollar tumbuh rata-rata 13% per tahun. Sedangkan GDP-Purchasing Power Parity tumbuh rata-rata 4,33% per tahun. Kalau dilihat antara kenaikan GDP dan kenaikan tarif bus kota, kurang lebih sama. Secara keseluruhan, data-data ini menimbulkan pertanyaannya, apakah kenaikan GDP ini hanya bohong-bohongan saja?

Pada awalnya pembangunan di jaman Orba direncanakan melalui tahapan 5 tahun yang dikenal dengan Pembangunan Lima Tahun atau Pelita. Rejim Suharto memulai  pemerintahannya dengan membuka ekonomi bagi kapitalis-kapitalis yang dulunya dimusuhi Sukarno. Investasi dan modal asing masuk. Pabrik-pabrik dan industri perakitan bermunculan. Pertumbuhan ekonomi cukup bagus karena dibantu dengan boom di sektor bahan komoditi (awal 1970 sampai awal dekade 1980) seperti bahan tambang, minyak, kayu dan lain-lainnya. Indonesia bisa menjadi negara pengekspor minyak dan komoditi lainnya karena masuknya investor asing. Pendapatan pemerintah dari minyak dan bahan komoditi lainnya seharusnya relatif besar. Walaupun demikian, pemerintah masih tidak bisa membuat budgetnya berimbang. Secara resmi memang budget pemerintah selalu berimbang. Tetapi kalau ditelusuri lebih jauh, ada yang namanya pengeluaran pemerintah yang non-budgeter. Nama lain dari defisit. Jadi jangan heran bahwa inflasi pada saat itu cukup tinggi. Rupiah beberapa kali mengalami devaluasi terhadap dollar Amerika. Yaitu pada bulan April 1970 dari Rp 378 ke Rp 415 per dollar, pada bulan November 1978 dari Rp 416 ke Rp 625 dan Maret 1983 dari Rp 615 ke Rp 970 per dollar. Padahal pada periode yang sama US dollar mengalami kemerosotan nilai karena inflasi yang tinggi. Masa itu (dekade 1970an) di US disebut masa stagflation, ekonominya mandeg dan inflasinya tinggi. Dengan kata lain kemerosotan nilai riil rupiah sangatlah parah.

Pemerintahan Suharto memperkenalkan konsep dwi-fungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Ini adalah jalan untuk menempatkan perwira-perwira ABRI di sektor-sektor bisnis. Banyak (kalau tidak mau dikatakan hampir semua) direktur dan beberapa posisi atas di BUMN ditempati oleh ABRI. Konsesi-konsesi hutan juga banyak diberikan kepada anggota-anggota ABRI. Demikian juga posisi penting di pemerintahan daerah, seperti gubernur, bupati dipegang oleh ABRI. Bahkan sampai ke desa-desa, Babinsa (badan pembina desa, bintara pembina desa), biasanya dimotori oleh militer berpangkat bintara. Profesi ABRI menjadi idaman bagi banyak sarjana. Mereka tergiur untuk masuk ABRI dengan pangkat letnan dua setelah lulus universitas. Karena karier swasta/BUMN dan pemerintahan lebih mudah dititi dari jalur ABRI, bukan dari jalur bisnis riil.

Dalam hal sirkus, kalau Sukarno caranya persuasif melalui kharismanya, Suharto tidak mempunyai kharisma yang bisa memukau orang banyak, maka tangan besi menjadi andalannya. Kalau Sukarno bak penjual yang mampu meyakinkan orang Eskimo membeli kulkas, Suharto bak raja dijaman dulu, lebih banyak menggunakan kekuasaannya, penekanan-penekanan dan pembatasan-pembatasan. Pada sampai pertengahan dekade 1980an, untuk mendaftar sekolah, bekerja, membuat pasport, SIM (surat ijin mengemudi) memerlukan surat berkelakuan baik dari polisi, surat bebas G30S dan untuk mengurusnya harus melewati birokrasi yang panjang. Demikian juga kalau sekolah ke luar negri, diharuskan untuk memperoleh surat keterangan dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, sekalipun biaya sekolah itu dari saku pribadi.

Rejim Suharto mempercayai teori ekonom keblinger dari Inggris Thomas Robert Malthus. Robert Malthus mengatakan dalam karangannya An Essay on the Principle of Population yang diterbitkan tahun 1798-1826 bahwa populasi manusia bertambah bagai deret ukur dan makanan yang bisa diproduksi oleh bumi hanya naik bagai deret hitung. Dalam bahasa awamnya: kemampuan manusia beranak-pinak jauh melebihi dari pada kemampuan bumi ini dalam menyediakan makanan. Dan suatu saat pandemi kelaparan Kiamat Malthus akan terjadi, dimana manusia di dunia ini akan kekurangan pangan, pertumbuhan populasi akan terhenti. Robert Malthus, walaupun dia seorang rohaniawan gereja Anglikan, tetapi dia seakan percaya bahwa Tuhan adalah keledai. Dia pasti akan berkelit licin sekali mengenai keimanannya, kalau dia dihadapkan pada ayat-ayat kitab sucinya seperti:

Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranak-cuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi." Berfirmanlah Allah: "Lihatlah, Aku memberikan kepadamu segala tumbuh-tumbuhan yang berbiji di seluruh bumi dan segala pohon-pohonan yang buahnya berbiji; itulah akan menjadi makananmu. Tetapi kepada segala binatang di bumi dan segala burung di udara dan segala yang merayap di bumi, yang bernyawa, Kuberikan segala tumbuh-tumbuhan hijau menjadi makanannya." Dan jadilah demikian. (Perjanjian Lama, Genesis 1: 38-30).

Dalam kepercayaan Robert Malthus tersirat bahwa Tuhan tidak becus dalam menciptakan alam semesta dan manusia, sehingga suatu saat manusia akan kekurangan pangan.

Para ekonom, perencana pembangunan, kyai dan rohaniawan dalam rejim Suharto memuja dewa yang sudah lama mati yang bernama Robert Maltus ini. Para kyainya juga. Mereka percaya bahwa Tuhan lupa menyiapkan sumber makanan bagi manusia ketika menciptakan alam ini. Bahkan kalau ditanya tentang ayat ini:

Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar. (Quran 17:31)

maka dikatakannya bahwa ayat itu sudah tidak relevan pada jaman ini. Sehingga pada masalah seks dan perkawinan, pemerintahan Suharto punya pendapat mengenai berapa jumlah anak yang ideal dalam keluarga. Keluarga menurut rejim Suharto adalah pasangan monogami dengan anak maksimum dua.  Mungkin tujuannya untuk menghambat pertumbuhan penduduk sehingga persoalan kekurangan pangan bisa ditanggulangi.

Kampanye dan program “dua anak saja cukup” diluncurkan dengan nama “keluarga berencana” (KB). Walaupun jiwa pelaksanaan keluarga berencana ini adalah persuasif, aparat pemerintah di lapangan seperti lurah dan camat di daerah yang terlalu bersemangat sering memaksakan penggunaan alat-alat kontrasepsi kepada masyarakatnya, bahkan prosedur tubektomi. Demi suksesnya KB, kebohonganpun dihalalkan. IUD yang sering disebut spiral, dikatakan sebagai penghalang bertemunya sperma dengan telur. Padahal, menurut teori kedokteran moderen, cara kerja IUD (spiral) adalah menghalangi nidasi (konsepsi dan implatasi) yaitu membuat kondisi rahim yang tidak ramah terhadap sperma dan siap menolak blastula (embryo yang sudah tumbuh menjadi kurang lebih 128 sel). Informasi ini dapat ditemukan di banyak buku-buku kedokteran. Seandainya anda malas pergi ke perpustakaan, informasi ini bisa dicari di internet[1]. Jadi sebenarnya cara kerja spiral bisa disebut aborsi, kalau janin yang berumur sampai 14 hari bisa disebut janin. Kalau hal ini diterangkan kepada ulama dan pemuka agama yang lurus keimanannya, kemungkinan mereka mengharamkan penggunaan spiral.

Robert Malthus punya waktu yang cukup lama untuk membuktikan kebenaran teorinya yang secara implisit menganggap Tuhan sebagai keledai yang tidak becus atas kreasinya. Sejak dari dicetuskannya teori pertambahan penduduk dan pertambahan produksi pangannya sampai buku ini ditulis, sudah 210 tahun (terbilang: dua ratus sepuluh tahun).  Waktu yang cukup lama. Rupanya yang menang adalah Tuhan. Dan ternyata yang berotak keledai bukan Tuhan, melainkan sang dewa Robert Maltus dan pengikutnya. Dua abad berlalu, dari tahun 1800 ketika Malthus mencetuskan idenya sampai 210 tahun kemudian, yaitu tahun 2010, teori Robert Malthus dan Kiamat Malthus tidak pernah menjadi kenyataan. Populasi dunia berlipat 7 kali dari 1 milyar jiwa menjadi 6,9 milyar jiwa. Kekurangan pangan pandemi dunia tidak pernah terjadi, penyakit karena kekurangan pangan tidak pernah menjadi pandemi. Bahkan yang terjadi 210 tahun kemudian adalah sebaliknya. Banyak yang menderita kegemukan, kebanyakan makan, obesse!!

Robert Malthus tidak sendirian. Beberapa industrialis dan professor keblinger bergabung dalam suatu perkumpulan bak perkumpulan keagamaan yang disebut Klub Roma yang mempercayai akan terjadinya Kiamat Malthus. Salah satu dari professor keblinger itu bernama Paul Ehrlich dari Universitas Stanford, USA, meramalkan bahwa tahun 70an dan 80an ratusan juta orang akan mati kelaparan sekalipun dilakukan usaha-usaha yang keras. Bukunya berjudul The Population Bomb, best seller tahun 1968. 

Empat puluh dua (42) tahun sejak Paul Ehrlich mengeluarkan ramalannya dan 210 tahun setelah Robert Malthus mengeluarkan ramalannya, dunia tidak pernah mengalami pandemi kekurangan pangan. Paul Ehrlich melihat sendiri bahwa Kiamat Mathus yang memakan korban ratusan juta orang mati kelaparan tidak pernah terjadi. Tidak hanya itu, manusia malah dihadapkan oleh persoalan kesehatan yang diakibatkan karena kelebihan pangan seperti obesitas, jantung koroner, darah tinggi dan kolesterol. Tuhan mengajarkan manusia untuk menciptakan Revolusi Hijau dan ilmu kedokteran yang lebih maju sehingga membuat Robert Maltus, Paul Ehrlich berserta para pemujanya nampak seperti keledai. Ternyata bumi ini tidak pernah kekurangan pangan seperti janji Quran dan Bible. Kelaparan secara endemi (bukan pandemi) hanya untuk mereka yang suka perang, saling bertengkar dan membunuh serta mengesampingkan usaha-usaha untuk menghasilkan pangan seperti yang terjadi di Afrika dan muka bumi lainnya. Tidak sulit untuk mengatakan siapa yang keledai. Robert Malthus dan Paul Ehrlich lah yang keledai. Juga para pengikutnya yang ada di kementerian wanita dan yang berurusan dengan masalah keluarga berencana. Sekarang keledai-keledai yang sama sejak tahun 2000an mulai mencemaskan demografi-demografi yang menua akibat kurangnya produksi anak dimasa lampau dan panjangnya umur manusia karena perbaikan gizi dan kemajuan dibidang kesehatan. Dulu keledai-keledai ini takut terhadap bahaya kelaparan karena ledakan penduduk, sekarang mereka takut kekurangan penduduk untuk menunjang generasi tua. Tuhan bukan keledai dan Dia sudah menyiapkan rezki bagi orang-orang tua di masyarakat yang berdemografi menua.

Pemerintahan Suharto tidak hanya tertarik pada masalah kamar tidur rakyatnya dan berapa jumlah anak yang mereka punyai, tetapi juga masalah teologi/agama yang dianut rakyatnya. Pancasila menjadi asas tunggal negara. Posisi Pancasila menjadi di atas agama. Penafsiran agama yang bertentangan dengan Pancasila akan dilibas. Bagi muslim yang menjadi mayoritas rakyat Indonesia hal ini terasa berat. Sebagian kalangan menganggap asas tunggal merupakan penghinaan bagi umat Islam. Hal ini menyulut sentimen anti pemerintah. Beberapa peristiwa berdarah, seperti Tragedi Tanjung Priok (September 1984), yang memakan korban beberapa ratus orang meninggal, dilatar belakangi oleh protes terhadap asas tunggal yang dipimpin oleh ustadz Amir Biki. Kontrol pemerintah terhadap khotbah dan ceramah juga ketat. Imaduddin Abdurrahim, pengajar ITB (Institut Teknologi Bandung) dilarang memberikan ceramah, diboikot dan akhirnya dibuang ke luar negri untuk memperoleh gelar sarjana lanjutan. AM Fatwa, seorang da’i, juga pernah dipenjara dimasa pemerintahan Suharto. Bagi seorang muslim, seharusnya sikap permusuhan dengan agama (paham) lain tidak ada karena:

“Tidak ada paksaan dalam beragama; sesungguhnya kebenaran itu sangat jelas (berbeda) dibandingkan dengan  sesatan........” (Quran 2:256)

Tetapi jangan salahkan sikap memberontak dan melawan mereka (sebagian umat Islam) jika mereka diganggu dan dipaksa untuk menganut ajaran lain. Siapa sih yang suka dipaksa? Ada yang menunjukkan sikap memberontak secara terang-terangan. Banyak pula yang disimpan di dalam hati yang dalam, menunggu kesempatan yang baik untuk melampiaskannya.

Penekanan-penekanan oleh pemerintahan Orde Baru pada kaum muslimin yang bertahan terhadap asas tunggal Pancasila terus berlangsung selama dekade 1980an sampai menjelang dekade 1990an. Pemberian label Komando Jihad merupakan ciri yang umum terjadi, seperti halnya pemberian label “PKI” pada awal-awal Orde Baru (dekade 1970an) untuk mengirim orang ke rumah tahanan.

Program cuci otak dan indoktrinasi pada jaman Orde Baru dikenal dengan nama Penataran P4 (Pedoman Pengamalan Penghayatan Pancasila) bagi pegawai negri sipil, pegawai BUMN, pegawai kontraktor pertambangan dan pegawai perusahaan yang ada kaitannya dengan pemerintah. Bagi mahasiswa, diharuskan mengambil mata pelajaran Kewiraan yang isinya tentang Pancasila. Saya sendiri diwajibkan mengambil mata pelajaran yang berbau Pancasila dari mulai SMP sampai mahasiswa, lalu penataran P4 ketika bekerja, semuanya lulus karena hapalan mutlak, dan sekarang sudah lupa. Tidak seperti subjek matematik, deret Taylor, Runga Kutta, hukum Hess, bermacam-macam reaksi kimia yang sampai sekarang saya masih ingat, pelajaran Pancasila sudah tidak ada yang ingat lagi. Tidak ada logika yang mendasari doktrin-doktrin Pancasila, sehingga sulit diingat.

Orde Baru juga mempunyai ambisi teritorial dengan menganeksasi Timor Timur bulan Oktober 1974. Terlepas apakah alasannya karena undangan rakyat Timor Timur, rakyat Timor-Timur ingin bersatu dengan Indonesia atau alasan lainnya, langkah ini terbukti harus dibayar mahal oleh nyawa, penderitaan tentara dan materi. Langkah menganeksasi Timor-Timur ini sulit dimengerti. Karena Timor-Timur tidak punya nilai ekonomis dan hanya akan menjadi beban untuk Indonesia (akhirnya terbukti). Untuk menarik simpati rakyat Timor-Timur, pemerintah Orde Baru membangun Timor-Timur. Dengan lebih 90% anggaran belanja daerah (APBD) dipasok dari pusat, Timor-Timur membangun. Untuk tahun 1993 misalnya, pendapatan asli daerah hanya Rp 3 milyar sedangkan anggaran belanja daerah adalah Rp 46,70 milyar. Hal seperti ini berlangsung selama berpuluh tahun, menjadi beban yang dipikul pembayar pajak. Dan uang itu untuk membangun sekolah-sekolah, rumah sakit, puskesmas, jalan raya dan infrastruktur lainnya yang tidak dinikmati pembayar pajak di wilayah Indonesia lainnya.

Imperium Orde Baru punya banyak tugas untuk memadamkan api-api kecil di pinggiran imperiumnya. Di Aceh, bara Gerakan Aceh Merdeka (GAM), di Irian OPM (Organisasi Papua Merdeka dan di Fretilin di Timor Timur. Sedangkan di Jawa bara-bara sakit hati masih menyala dari kalangan yang hidupnya, agamanya diusik, seperti yang juluki Komando Jihad (yang mungkin bukan suatu organisasi yang mapan); Kelompok Petisi-50; mahasiswa yang tidak suka ditekan-tekan dengan program Normalisasi Kampus dan lainnya. 

Untuk dekade 1990, awalnya keadaan relatif  baik, karena boom ekonomi dunia yang didukung oleh ekspansi kredit. Alan Greenspan menduduki tahta ketua the Federal Reserves Bank di Amerika Serikat tahun 1987, memberlakukan ketidak-bijaksanaan ekspansi kredit. Yang latar belakangnya adalah market crash Oktober 1987, dimana indeks bursa saham Amerika, Dow Industrial jatuh 31% dalam seminggu.

Alan Greenspan mungkin bersumpah bahwa hal seperti ini tidak boleh terjadi lagi. Oleh sebab itu dia selalu siap sedia untuk mengucurkan likwiditas, bila ada gejala yang dianggapnya tidak baik. Kalau kredit melimpah, manusia makin sibuk dengan aktivitas jual dan beli. Karena memperoleh untung, orang merasa kaya, kemudian konsumsi meningkat, permintaan meningkat dan memicu investasi. Semua orang gembira.

Beberapa negara Asia, seperti Asia Tenggara, Korea Selatan dan Taiwan, mengalami boom ekonomi dengan pertumbuhan 7%-12, dikenal sebagai keajaiban ekonomi (economic miracle). Modal asingpun masuk ke negara-negara ini, tertarik oleh potensi keuntungan yang menjanjikan.

Indonesia yang dikenal sebagai salah satu calon Macan Asia mengembangkan sektor industri manufakturing dan mencanangkan Era Lepas Landas. Mungkin maksudnya lepas dari ketergantungan ekonomi ekstraksi sumber alam (pertambangan, kehutanan dan pertanian) yang memang harganya sedang jatuh sejak dekade 1980an.

Dalam rangka Era Lepas Landas, pemerintah juga ingin mengembangkan industri pesawat terbang, buatan putra-putri Indonesia. Membuat pesawat terbang itu lebih mudah dari pada memasarkannya serta mencari pembeli. Tahun 1995 IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara) berhasil membuat pesawat turbo-prop, fly by wire N-250 dari hasil rancangannya sendiri. Sayangnya pesawat yang canggih ini tidak laku dijual, jadi terpaksa barter dengan beras ketan. Jeleknya sampai tahun 2010 PT Dirgantara Indonesia (nama baru IPTN) masih hidup tetapi dikategorikan sebagai 8 BUMN yang sakit.

Pada sektor pangan, di dekade 1990, Orde Baru mencanangkan swasembada pangan melalui pembukaan sawah sejuta hektar.

Persoalannya ialah, booming yang disebabkan oleh ekspansi kredit tidaklah stabil. Meningkatnya permintaan barang dan jasa adalah semu. Peningkatan kapasitas produksi yang didasari oleh permintaan konsumsi yang semu adalah spekulatif. Modalnya pun bersumber dari luar negri. Rasio hutang luar negri dengan GDP di negara-negara Asean mencapai 100% – 160%. Hal ini menjadi beban dan mempunyai resiko terhadap gejolak kurs mata uang asing. Karena umumnya mata uang di negara-negara Asean dipatok terhadap US dollar, maka penguatan US dollar akan membuat produk-produk negara ini kurang kompetitif di pasar global. Itulah yang terjadi. Alan Greenspan melakukan pengetatan likwiditas US dollar yang berakibat penguatan US dollar. Ini menyebabkan memburuknya defisit berjalan di negara-negara Asean. Kemudian terjadi serangan spekulan terhadap mata uang bath Thailand yang mengakibatkan mata uang bath jatuh. Kejatuhan mata uang bath Thailand menjadi titik awal dari effek domino yang menghantam negara-negara Asean dan macan Asia lainnya. Investor asing menjadi ketakutan dan uang panas keluar yang menyebabkan anjloknya nilai mata uang negara-negara ini karena pemerintah tidak sanggup mempertahankan patokan kursnya. Rupiah yang sebelum krisis mempunyai nilai tukar Rp 2.500 per US dollar, anjlok sampai Rp 15.000. Diantara semua negara yang terkena krisis Asia ini, Indonesia adalah yang terparah. GDPnya anjlok 13.5%.

Para ekonom birokrat Indonesia pada waktu itu menganut sistem kroni-kapitalisme di saat booming dan sosialisme hutang di saat krisis. Artinya, pada saat boom ekonomi, para pengusaha-kesayangan memperoleh segala kelonggaran dan kemudahan. Salah satu praktek yang paling umum terjadi di Indonesia adalah bank-bank besar yang mempunyai induk yang sama dengan industri. Terjadi kolusi pada penyaluran kredit dari bank ke industri yang mempunyai induk sama. Hal ini dibiarkan saja oleh otoritas moneter. Dan ketika terjadi krisis hutang para kapitalis-kesayangan disosialisasikan ke masyarakat pembayar pajak dan penabung alias dibebankan kepada masyarakat. Bantuan Likwiditas Bank Indonesia (BLBI) dikucurkan yang tidak lain adalah perampokan tabungan rakyat untuk diberikan kepada konglomerat yang terbelit hutang. Dengan cepat 70%-80% dari nilai riil tabungan masyarakat menguap bersama banjir likwiditas. Itu namanya sistem kroni-kapitalisme (yang tidak ada kaitannya dengan kapitalisme).

Rakyat marah, karena pemerintah Orde Baru terlalu kasar menyita tabungan mereka. Inflasinya terlalu cepat. Dan akhirnya kemarahan ini meledak dalam bentuk kerusuhan, yang dikenal sebagai kerusuhan Mei 1998, yang kemudian menyeret Suharto untuk lengser keprabon.

Prestasi Orde Baru yang nampaknya cukup menyakin mengejar Era Lepas Landas, ternyata kemudian nyungsep karena keberatan beban. GDP per kapita Indonesia tahun 1967 ketika Sukarno benar-benar jatuh adalah $54,70. Dan 31 tahun kemudian, ketika Suharto lengser keprabon, menandai berakhirnya era Orde Baru, GDP (nominal) Indonesia ini menjadi $ 473,49. Jadi naik 866%. Wow, hebat sekali. Selama 31 tahun itu saya, keluarga saya, tetangga saya, kenalan saya, tidak merasa menjadi 9 kali lebih kaya. Apa yang salah?

Bagaimana kalau diukur dengan uang sejati alias emas. Tahun 1967 GDP per kapita Indonesia adalah 48.52 gram emas. Dan untuk tahun 1998 adalah 49.88 gram emas. Tidak banyak beda. Artinya, tidak salah kalau jaman Orba disebut juga jaman Tinggal Landas dan Nyungsep. Karena akhirnya GDP Indonesia kembali ke titik awal ketika Orba mulai berkuasa. Dari 48,52 gram emas ke 49,88 gram emas. Lalu bagaimana dengan pertumbuhan yang katanya super selama 30 tahun itu? Itulah statistik, bentuk tipuan yang canggih, seperti kata Mark Twain.

Lalu bagaimana dengan prestasi pemerintah Orde Baru dalam menghancurkan rupiah? Harga emas di awal Orde Baru adalah Rp 187 per gram dan pada tahun lengser keprabonnya Suharto, harganya menjadi Rp 90.100 per gram. Artinya 99.79% nilai rupiah telah menguap selama 31 tahun Suharto berkuasa. Jangan heran kalau ongkos naik bus kota pun naik dari Rp 15 menjadi Rp 1000. Dalam hal rupiah ini Suharto sedikit lebih baik dari Sukarno yang menguapkan 99.97% dari nilai riil rupiah selama masa pemerintahan Order Lama. Tetapi keduanya sama saja, nilai riil rupiah dibuat nyaris hampir nol, semasa pemerintahan keduanya.


[1] The Iud: Some Facts For An Informed Choice, Global Catholic Network, http://www.ewtn.com/library/MARRIAGE/CCLIUD.TXT
 


Disclaimer: 
Ekonomi (dan investasi) bukan sains dan tidak pernah dibuktikan secara eksperimen; tulisan ini dimaksudkan sebagai hiburan dan bukan sebagai anjuran berinvestasi oleh sebab itu penulis tidak 

bertanggung jawab atas segala kerugian yang diakibatkan karena mengikuti informasi dari tulisan ini. Akan tetapi jika anda beruntung karena penggunaan informasi di tulisan ini, EOWI dengan suka hati kalau anda mentraktir EOWI makan-makan.

10 comments:

Anonymous said...

Menunggu ulasan bung imam untuk rupiah di masa orde reformasi.

Anonymous said...

Bung IS,saya mau tanya,apa Umar Bin Khattab / Muhammad masuk dalam kategori PPPZF dengan ekspansi dan penaklukannya?

Imam Semar said...

Anonymous September 18, 2014 at 11:57 AM,

Menarik juga pernyataan anda.

Kita kembalikan lagi pada hukum empiris: "Politikus adalah penipu yang lebih ulung."

Apakah nabi Muhammad dan Umar bin Khattab adalah politikus?

Ada beberapa pertanyaan untuk menguji keaslian seorang politikus. Kalau ada pertanyaan yang dijawab "ya", maka dia adalah politikus:

a. Apakah mereka mencalonkan diri, berkampanye untuk jadi pemimpin

b. Apakah mereka setelah jadi pemimpin menariki pajak lebih dari 10%

c. Apakah kekayaannya meningkat karena mereka jadi pemimpin?

Tiga pertanyaan ini cukup...dulu.


Anonymous said...

Untuk kasus Muhammad menurut saya pertanyaan a jawabnya iya,krn perilaku politikus zaman dulu kebanyakan menyamakan dirinya dgn Tuhan/menyatakan dirinya sebagai utusan Tuhan dalam merebut kekuasaan
untuk jawaban b. Mnrt saya tidak
utk jawaban c.dari segi kekayaan mgkn tidak meningkat(tapi kt jg tdk bs membuktikannya secara pasti),namun berkaca pada soekarno,boleh2 saja dia claim kekayaan nya tdk meningkat,tp mgkn ada tujuan lain spt sex,poligami,harga diri?
Yg jelas saya sgt mempertanyakan kebijakan ekspansif penaklukkan dan peperangan yg dilakukan keduanya

Anonymous said...

Banyak juga politikus yang menyamakan dirnya dgn Tuhan/Utusan Tuhan dgn tujuan meredam konflik internal,pemberontakan serta meningkatkan wibawa sang Raja

Anonymous said...

Apakah bedanya Muhammad&Umar dgn Julius Caesar,Majapahit,qin shi huang,Firaun,xerxes,Soekarno?
saya melihat cara hidupnya mirip,cara memimpinnya mirip,cara meninggalnya juga mirip

joni said...

menunggu juga ulasan tentang konsep pemasaran dalam islam bung

Anonymous said...

mau tanya jg pak is, kalo manusia bisa membuat sistem kyak gni, trus tuhan ada dimana?

Imam Semar said...

Pro Anonymous September 24, 2014 at 8:38 AM,

Begini Bro.....,

Pertanyaan "Dimana" untuk Tuhan adalah tidak valid. Ambil contoh jawaban:

"Tuhan di Grogol"
"Tuhan di jl. Lombok Bandung"
"Tuhan di jl. Dipati Ukur Bandung"
"Tuhan di otherside of the moon"

Kalau anda cari ke sana tidak akan anda jumpai.

Bahkan kalau kita katakan bahwa "Tuhan di sorga", saya tidak yakin kita bisa temui disana.

Secara aksioma, bahwa Tuhan tidak berdimensi, tidak berupa materi atau energy. Jadi tidak menempati ruang dan waktu.

Orang yang bertanya: "Tuhan ada dimana" biasanya berlatar belakang sosial. Mereka ini perlu belajar banyak tentang logika.

Salam,

IS

Hendra MS said...

gan ane tertari saat agan menuliskan bahwa GDP secara uang meningkat 800% lebih,, tetapi ketika diukur secara emas malah menjadi menghilang 97 persen,,
apakah agan ada bahan bacaan yang membuat saya lebih mengerti mengenai proses pengukuran ini dan bagaimana cara mengukurnya?