Ada seorang pembaca EOWI, sebut saja namanya Sinatrya,yang
mengirimkan email. EOWI tidak akan secara langsung menjawabnya, tetapi akan
memberi gambaran yang lebih jelas mengenai negara, agar email pencinta EOWI ini
terjawab dengan sendirinya. Isi email itu adalah sebagai berikut.
Pak imam semar saya seorang mahasiswa jurusan
ekonomi dan sedang mengambil mata kuliah pajak. saya terheran-heran dengan
sejarah perpajakan indonesia dimana pemerintah berkata bahwa negara membutuhkan
pajak karena ingin membangun kemandirian dengan tidak mengandalkan sektor migas
dan hutang luar negeri untuk membangun bangsa. yang jadi pertanyaan adalah
mengapa banyak negara di Timur Tengah sana yang hanya mengandalkan sektor migas
bisa menjadi negara makmur tanpa menarik pajak rakyatnya?
Semenjak indonesia menandatangani perjanjian
dengan IMF maka pemerintah tidak bisa secara langsung menambang dan memonopoli
migas di tanah sendiri (kok mau?) dan memperbolehkan swasta untuk ikut
menambang. tapi mengapa pemerintah kelihatan tidak bijaksana dalam mengambil
kebijakan seperti misalnya izin yang berbelit dan pajak yang harus dibayar di
muka padahal belum tentu ada minyak di daerah situ. bukankah dengan ini hanya
akan membuat rakyat dan investor menjadi sengsara?
Kemarin saya baru saja quiz mata kuliah pajak, dan
salah satu pertanyaanya adalah: “Apa alasan pemerintah melakukan reformasi
pajak?:
Saya menjawab "Untuk menciptakan bangsa yang
mandiri, memberikan keadilan serta meratakan kesejahteraan, dan memberikan
kepastian hukum bagi pembayar pajak."
Jawaban yang sesuai dengan isi buku yang diwajibkan untuk mahasiswa.
Pertanyaannya adalah kalau anda menjadi dosen saya
nilai berapa yang anda berikan untuk saya?, serta apakah alasan pemerintah ini
kenyataan atau merupakan cuci otak?
Ada suatu cerita mengenai anak saya ketika dia masih duduk di kelas 3 SD di
sebuah sekolah swasta yang cukup terkenal (karena mahalnya). Suatu hari saya
baru pulang dari kantor dan dia pulang dari main. Seperti biasanya saya
tanyakan mengenai sekolahnya:
“Gimana ulangannya tadi?”
“Bisa semua sih.....hhmmm.. ada beberapa jawaban yang benar, tapi disalahin bu guru.”
“Pertanyaannya apa?”
“Coba sebutkan perusahaan yang mengelola air minum Jakarta......, aku jawab
aqua.”
“Terus.....?”
“Disalahkan bu guru. Katanya jawaban yang benar itu PAM Jaya.”
“Kamu nggak protes?”
“Nggak sih, nggak ngaruh. Aku cuma tanya sama bu guru, dia minumnya air apa.
Dan dia jawab aqua. Terus aku bilangin bahwa teman-teman juga minum aqua, ibu dan papa ku juga minum air aqua. Satpam sekolah di luar itu juga
minum aqua. Nggak ada yang minum air
PAM Jaya. Tapi kata bu guru, aqua itu
salah, dan yang benar adalah PAM Jaya.”
Anak saya tersenyum-senyum saja. Lanjutnya: “Terus aku bilang.....Bu
guru......, jawaban yang benar itu aqua.
Tetapi jawaban yang tidak disalahin itu PAM Jaya. Harusnya bu guru kasih instruksi:
‘Berilah jawaban yang tidak disalahkan’
bukan: ‘Berilah jawaban yang benar’
di bagian atas lembar soal. Jawaban yang benar dan jawaban yang tidak disalahin, itu tidak sama.”
Kejadian seperti ini tidak hanya sekali terjadi pada anak saya. Ada
kejadian lain yang membuat saya selalu ingat. Seperti biasa saya menanyakan
tentang ulangannya. Kali ini tentang polisi.
“Pertanyaannya adalah: siapa yang menjaga keamanan Indonesia. Aku jawab
satpam. Dan itu disalahin bu guru. Katanya polisi.”
Saya tersenyum mendengar jawabannya yang spontan itu.
“Aku sih nggak protes. Aku cuma tanya lagi, siapa yang ada dan jaga keamanan di sekolah? Bu guru jawab satpam. Siapa
yang ada dan jaga keamanan di gedung-gedung dan di mall-mall? Bu guru
juga jawab satpam. Siapa yang patroli
dan jaga keamanan di lingkungan perumahan? Jawabnya juga satpam. Siapa yang
jaga rumahku dan membuka pintu gerbang? Jawabnya juga satpam. Dimana polisi? Di
jalan raya ngatur lalu-lintas bukan
jaga keamanan.”
“Bu guru.......” kata anak saya. “Polisi baru mau datang kalau ada laporan
kejadian kejahatan. Itu bukan untuk menjaga keamanan. Karena polisi membiarkan
tidak aman dulu sebelum bertindak.”.
Begitu cerita anak saya beberapa tahun lalu tentang pelajaran sekolah.
Intinya, bahwa yang diajarkan disekolah adalah hal-hal yang tidak disalahin, bukan hal-hal yang benar secara hakekat.
Ada 5 bidang yang pemerintah merasa wajib menguasai. Penguasaan kelima
bidang itu sangat essensial untuk mengontrol rakyat banyak sehingga akan
menjamin kelanggengan kekuasaan pemerintah. Kelima bidang itu adalah:
- bidang persekolahan
- bidang penguasaan persenjataan
- bidang hukum dan penegakannya
- bidang informasi
- bidang pencetakan uang
Kita akan bahas satu-persatu dengan alasan dan penjelasannya.
Persekolahan/Pusat
Indoktrinasi
Kita akan membahas bagian ini agak panjang-lebar, karena menyangkut
pengertian dan hakekat-hakekat di dalam hidup.
Sekolah adalah sarana indoktrinasi, sarana untuk menanamkan:
- nilai-nilai yang dikehendaki penguasa, terutama untuk menciptakan citra agar semua perbuatan pemerintah, terutama perbuatan dosa, menjadi terlihat halal.
- peran-peran imaginer dari pemerintah
- siapa the good guy dan siapa the bad guy
Salah satu citra yang berhasil diciptakan dan tertanam dibenak setiap orang
adalah bahwa pemerintah adalah tuhan yang menyediakan pangan, kebutuhan hidup
dan kemakmuran, membangun negara. Kalau perlu jalan, waduk, air bersih, layanan
kesehatan, jaminan hari tua, perlindungan, keadilan, hiburan, kebutuhan
sehari-hari, pemerintah akan menyediakannya, maka mintalah kepada pemerintah.
Entah karena sudah disadari, atau secara alamiah, pemerintah yang notabene
adalah tuhan (dengan “t” kecil) perlu setan, apalagi jika Tuhan yang sebenarnya
sedang tidak sejalan dengan tuhan. Maka diperlukan setan jahat untuk dijadikan
kambing hitam, tempat melemparkan kesalahan.
Citra kaum swasta harus dibikin buruk, setan jahat, karena pikirannya cuma
cari untung. Dan cari untung itu jelek. Maka dari kecil anak-anak sudah
dicekoki konsep bahwa tengkulak dan spekulan itu jahat. Apalagi tukang timbun
barang kebutuhan sehari-hari. Walaupun 95% penduduk Indonesia beragama Islam
dan Kristen, yang notabene pernah mendengar kisah nabi Yusuf, tetapi hikmah
dari kisah nabi Yusuf tidak berbekas sama sekali. Menurut Quran dan Bible Nabi
Yusuf adalah spekulan, penimbun terbesar sepanjang jaman (seandainya bukan
sepanjang jaman, setidaknya pada jaman kuno juga boleh). Dia menimbun
banyak bahan makanan dimasa subur dan harga pangan murah. Dan menjualnya di
musim paceklik dengan keuntungan yang lumayan. Kalau kita menyebut nabi Yusuf
adalah seorang penimbun, maka akan ada yang marah. Karena, di dalam agama, nabi
Yusuf dicitrakan sebagai orang yang baik, tetapi karena perbuatannya menimbun
bahan pangan ia disebut penimbun akan dianggap sebagai penghinaan. Kata
“penimbun” adalah jelek. Jadi walaupun nabi Yusuf melakukan penimbunan pangan,
dia tidak boleh disebut penimbun. Titik!
Penimbun bukanlah penjahat seperti dicitrakan oleh sistem pendidikan.
Penimbun adalah pedagang, orang yang membeli sesuatu, mengolahnya (menyimpan
termasuk dalam pengertian mengolah) untuk memperoleh nilai tambah. Pangan akan mempunyai
nilai tambah jika pasokannya berkurang. Penimbun yang baik akan
mempertimbangkan resiko busuk, harganya turun lagi karena pasokan lain dengan
nilai tambah untuk menahan terus dagangannya. Artinya dia akan melakukan
managemen stoknya, mengamati pasar dan menyalurkan dagangannya secara strategis
agar penggunaannya optimum. Menimbun
juga perlu modal, seperti gudang dan juga menanggung resiko busuk atau
tiba-tiba pasar kebanjiran pasokan lagi. Wajar kalau dia memperoleh untung,
karena banyak resiko yang harus diambil.
Bagi pemerintah yang merasa dirinya tuhan, pamornya akan hilang jika ada
kelangkaan barang kebutuhan rakyat. Pada hakekatnya pemerintah memang bukan
tuhan penyedia kesejahteraan rakyatnya. Pada saat paceklik dan kekurangan
pasokan itulah setan diperlukan untuk tempat pelemparan kesalahan. Dan setan
itu adalah pengusaha, pedagang dan petani jika mereka kaya.
Kurikulum sekolah yang digunakan untuk menciptakan citra bahwa pemerintah
sebagai tuhan pemberi rizki. Pemberi hajat hidup rakyatnya dirasakan tidak
cukup tanpa entiti yang secara langsung menangani bidang-bidang yang berkaitan
dengan hajat hidup rakyat. PLN, PAM, Telkom (dulu, sekarang sudah swasta), PJKA
(kereta Api), departemen pekerjaan umum, departemen perumahan rakyat (beserta Perumnas
nya), Garuda dan Merpati Airlines serta BUMN-BUMN lainnya adalah entiti yang
melengkapi citra pemerintah sebagai tuhan penyedia hajat hidup rakyat. Jaman
dulu badan-badan seperti ini lebih banyak lagi, dan satu persatu hilang karena
kalah populer dengan swasta.
Sejak kecil, sekolah dasar, melalui pelajaran Pengetahuan Umum, anak sudah
dicekoki banyak ide, seperti penyedia air minum adalah PAM bukan Aqua, ....,
penyedia jasa jalan raya adalah Jasa Marga dan departemen PU, bukan Citra Marga;
pabrik kertas adalah pabrik kertas Padalarang dan Leces, bukan Indah Kiat dan
Tjiwi Kimia; pabrik petrokimia adalah pabrik petrokimia Gresik, bukan Chandra
Asri; perusahaan tambang Nikel adalah Aneka Tambang, bukan Inco; pabrik semen
adalah pabrik semen Gresik, bukan Holcim; perusahaan tambang emas adalah Aneka
Tambang, bukan Freeport, dan lain sebagainya. Oh saya lupa, lembaga yang
membuat film di Indonesia adalah PFN (Perusahaan Film Negara), bukan MD
Entertainment Punjabi......, ha ha ha....., kemana tuh PFN sekarang. Atau.....,
perusahaan penerbangan domestik adalah Merpati Nusantara Airlines, bukan
Sriwijaya Air atau Express Air, atau Susi Air........, kemana tuh Merpati.
Sudah jadi burung emprit kali.
Bersama-sama dengan penguasaan di bidang informasi, citra pemerintah
sebagai tuhan penyedia kebutuhan hajat hidup dengan perangkat-perangkatnya
sebagai the good guy, menjadi
lengkap. Kita tidak pernah mendengar pabrik pupuk PUSRI menyebabkan ikan-ikan
di sungai Musi mati ketika PUSRI membuang blow-down liquidnya ke sungai Musi.
Kita juga tidak pernah mendengar pabrik Petrokimia Gresik mencemari
lingkungannya. Atau Antam atau PT Timah bermasalah dengan lingkungannya. Yang
kita dengar, perusahaan-perusahaan swasta seperti Freeport,
Newmont,......bermasalah dengan lingkungannya. Swasta is bad! Goverment is good. PAM Jaya is good, not Aqua.
Contoh lain dari pencintraan the good
guy dan the bad guy adalah pada
pelajaran sejarah G30S. Pembaca EOWI yang setia yang berprofesi sebagai
profesor di Universitas Hasanuddin, menunjukkan bahwa terjadi pemutar-balikkan
citra pada sejarah G30S. PKI (Partai Komunis Indonesia) tidak pernah melakukan
kudeta dan perebutan kekuasaan RI. Yang terjadi adalah konflik internal
Angkatan Darat antara kelompok yang afiliasi dengan komunis dan yang tidak.
Komunis tidak pernah melakukan usaha untuk menggulingkan presiden Sukarno dan
merebut kekuasaan presiden. Yang mereka lakukan adalah membunuh 7 orang perwira
angkatan darat (6 jenderal dan 1 kapten), bukan kudeta. Yang melakukan
kudeta/perebutan kekuasaan sejatinya adalah Suharto, Menteri Panglima Angkatan
Darat, melalui episode 11 Maret. Pada waktu itu letjen Suharto, bersama dengan brigjen
Amir Machmud, brigjen Basuki Rachmat dan brigjen M. Jusuf pergi menemui
presiden Sukarno di istana Bogor dan menodong agar Sukarno menandatangani surat
penyerahan kekuasaan kepada letjen Suharto. Surat tersebut dikenal sebagai
surat perintah 11 Maret 1966 adalah penggulingan kekuasaan presiden Sukarno
oleh letjen Suharto tanpa pertumpahan darah. Tindakan kudeta oleh Suharto
menjadi lebih jelas, ketika tidak lama kemudian presiden Sukarno dikenakan
tahanan rumah. Untuk apa presiden dikenakan tahanan rumah kalau bukan ada
tujuan penggulingan kekuasaan. Jadi yang melakukan kudeta adalah Suharto, bukan
PKI. Fakta sangat berlawanan dengan kesimpulan/retorik untuk mencitrakan
pemerintahan Suharto sebagai the good guy.
Dan disamping PKI, juga Sukarno dijadikan the
bad guy sampai tahun 1986. Perubahan Sukarno dari the bad guy menjadi setengah
good guy ini melalui Keppres RI No
081/TK/Tahun 1986. Sekarang Sukarno, di sekolah-sekolah sudah dicitrakan
sebagai a good guy, dan semua anak
yang sekolah dimasa sekarang percaya akan hal itu.
Memang terkadang pemegang pemerintahan yang lama bisa dijadikan the bad guy untuk membentuk citra diri
yang baik berdasarkan prinsip “saya baik
kalau orang lain jelek”, “pemerintahan Suharto – Orde Baru, baik, jika ada
pembandingnya yang jelek, yaitu Orde Lama”. Konsep “Belanda adalah penjajah dan
penindas” diperlukan agar NKRI dianggap the
good guy. Apakah penjajah Belanda lebih menindas dari pada Orde Baru atau
Orde Lama, atau Pemerintahan Reformasi? Bukti-bukti mengatakan sebaliknya.
Kemampuan pemerintah dalam membuat ukiran yang dalam pada benak rakyatnya
terlihat pada pernyataan pembaca EOWI, Sinatrya, di
atas: “ ......tapi mengapa pemerintah kelihatan tidak bijaksana dalam mengambil kebijakan...... ”
Adakah kebijakan yang tidak bijaksana?
Akibat indoktrinasi, logika menjadi tidak bekerja.
Selanjutnya: ".......’Untuk
menciptakan bangsa yang mandiri, memberikan keadilan serta meratakan
kesejahteraan, dan memberikan kepastian hukum bagi pembayar pajak.’ Jawaban
yang sesuai dengan isi buku yang diwajibkan untuk mahasiswa.”
Ada 4 poin penting dalam kalimat ini yang bisa kami lihat sebagai
pengelabuhan dan rancu:
- bangsa yang mandiri
- memberikan keadilan
- memeratakan kesejahteraan
- memberikan kepastian hukum bagi pembayar pajak
Pertama, kata bangsa yang
mandiri. Kata ini (bangsa) digunakan
sebagai bujukan atau pengelabuhan. Pada saat dikatakan bangsa, maka kamu (orang
yang diajak bicara oleh pemerintah) juga termasuk disitu. Dengan kata lain,
kata pemerintah (atau buku pelajaran itu): “Dengan saya ambil uangmu, maka kamu
akan jadi mandiri, makmur.....” .
Bagaimana hal ini bisa terjadi. Kalau pemerintah mengambil uang saya, maka
saya kurang makmur dan konsumsi saya harus ditekan (disesuaikan). Misalnya,
saya berpenghasilan Rp 3 milyar setahun. Kemudian oleh pemerintah diambil Rp 1
milyar. Dengan uang Rp 1 milyar itu sebenarnya saya bisa punya mobil 1 BMW X-1 lagi
dan menggaji supir. Atau menggaji orang untuk entah apa, misalnya menceboki,
menggaruk punggung saya, atau hal-hal yang membuat saya senang dan merasa
makmur, mandiri (bayangkan saya tidak bisa cebok atau menggaruk punggung
sendiri). Kalau saya tidak bisa mandiri, artinya bangsa ini tidak mandiri,
setidaknya ada 1 orang dari bangsa ini yang tidak mandiri.
Poin kedua adalah memberikan keadilan.
Adil yang bagaimana? Adil per definisi adalah keseimbangan
antara perbuatan dan hasilnya/ganjarannya. Ketika seseorang sukses dan
memperoleh penghasilan tinggi karena usahanya yang smart dan keras, seharusnya memperoleh ganjaran (hadiah,
appresiasi, penghargaan) yang lebih besar. Filosofi pajak adalah sebaliknya. Pajak
adalah hukuman bagi yang berhasil, mandiri dan sukses. Apalagi pajak
progressive, semakin berhasil seseorang maka semakin besar hukumannya. Apakah adil jika seseorang berbuat baik, sukses
(dalam istilah Qurannya salleh)
memperoleh hukuman?
Poin ketiga, memeratakan kesejahteraan. Pemerataan
kesejahteraan adalah retorik untuk menarik simpati massa yang pada dasarnya
iri dan dengki (bahasa Arabnya khasad),
sifat membenci kesuksesan orang lain. Surat 113 Quran, berbicara masalah bahaya
sifat khasad. Retorik
pemerintah/politikus mengenai pemerataan
kesejahteraan tidak lain adalah meniup-niup bara khasad, iri, dengki supaya menyala-nyala. Orang yang sukses (secara
finansial) harus dihajar, diambil hartanya, dan dibagikan ratakan kepada setiap
orang. Tentu saja hal ini bertentangan dengan prinsip keadilan (ganjaran sebanding dengan usaha). Retorik inilah
yang digunakan oleh polikus agar terpilih. Kebanyakan orang akan suka
memperoleh sesuatu (hasil jarahan pemerintah), dan berlagak tidak tahu dari
mana asal uang tersebut.
Poin ke empat, memberikan kepastian hukum bagi pembayar pajak. Mungkin
maksudnya adalah sarana pengancaman dan penyandraan. Undang-undang pajak tidak
lah sederhana, panjang dan tidak semua orang membacanya. Ambil 50 orang rekan
sekerja, atau teman anda yang sudah dewasa. Dan tanyakan apakan mereka pernah
membaca UU perpajakan. Hitung berapa yang pernah membaca UU perpajakan secara
keseluruhan. Ada yang tidak pernah baca sama sekali. Bahkan nayak dari mereka
yang diakuntansi hanya baca sebagian saja, tidak keseluruhan. UU pajak memastikan anda selalu
bersalah. Camkan pernyataan saya. Mari
kita lihat salah satu pasal dari UU No. 16 Tahun 2000, Pasal 38.
Setiap
orang yang karena kealpaannya:
a.
tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;
atau
b. menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi
isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan
keterangan yang isinya tidak benar,sehingga dapat menimbulkan kerugian pada
pendapatan negara, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun
dan atau denda paling tinggi 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau
kurang dibayar
Undang-undang ini menjamin sebagian besar warga Indonesia diancam penjara,
karena tidak memasukkan surat isian pajak, isinya tidak benar dan/atau tidak
lengkap. Banyak warga Indonesia yang tidak terjamah pajak dan mereka bisa
dituntut kalau pemerintah mau. Poin berikutnya, kata tidak benar dan tidak lengkap,
adalah persyaratan karet yang bisa molor panjang sampai menjerat.
Pajak adalah bentuk penindasan dan penuh ancaman seperti perampokan/pemerasan.
Hanya saja pajak dilegalkan. Kalau tidak percaya, bisa dilihat di KUHP delik
perampokan/pemerasan, pasal 368:
(1) Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
Jika kata melawan hukum
dihilangkan maka penarikan pajak memenuhi syarat dari KUHP pasal 368. Penarikan
pajak adalah perbuatan pemaksaan (UUD45 amandemen, pasal 23A) dan penuh
dengan ancaman-ancaman yang dituangkan pada UU No. 16 Tahun 2000.
Hebatnya sistem sekolahan adalah mampu membuat orang meninggalkan
ajaran-ajaran agamanya. Kalau anda tanyakan kepada orang yang makan sekolahan
yang 80% beragama Islam – atau kepada kyai, apakah pajak 15% itu wajar. Niscaya
jawaban terbanyaknya adalah “wajar”. Padahal Islam (nabi Muhammad) tidak
merestui pajak. Beliau mengatakan bahwa menarik pajak 10% atau lebih adalah
perbuatan yang lebih buruk dari zina yang pensuciannya adalah rajam (dilempari
batu sampai mati). Dan menurut beliau, Allah tidak akan mengabulkan permohonan
penarik pajak. Untuk lebih detailnya, bisa dibaca pada link ini.
Kita lihat bahwa sekolah mampu membolak-balikkan kesimpulan. Suharto yang
jelas-jelas melakukan kudeta, tetapi PKI yang dicap sebagai pemberontak pelaku
usaha penggulingan kekuasaan (kudeta). Aqua (air minum kemasan) adalah air yang
diminum masyarakat Jakarta, tetapi PAM Jaya yang disebut sebagai pengada air
minum, dst. Pajak yang tidak sesuai dengan norma-norma agama Islam terlihat halal. Bahkan hampir tidak ada yang pernah mengungkit soal bahwa menurut nabi Muhammad pajak 10% ke atas adalah zalim dan penghapusan dosanya adalah rajam (dilempari batu sampai mati). Oleh sebab
itu, sektor sekolah sebagai sarana indoktrinasi akan menjadi wilayah yang
selalu diinginkan pemerintah untuk dikuasai. Pemerintah memang tidak perlu
memonopoli sekolahan, swasta juga diperbolehkan untuk turut serta, tetapi kontrol
pemerintah tetap ada melalui kurikulum dan orientasi idiologi pengajarnya yang
dibentuk semasa pendidikan guru. Menguasai sistem persekolahan berarti
menguasai pembentukan pola pikir masyarakat.
Sekian dulu, sampai nanti...., kita akan lanjutkan lagi tentang penguasaan
persenjataan, hukum dan penegakannya, bidang informasi dan bidang pencetakan
uang.
Wamena, 16 April 2014
Disclaimer: Ekonomi (dan investasi) bukan sains dan tidak pernah dibuktikan secara eksperimen; tulisan ini dimaksudkan sebagai hiburan dan bukan sebagai anjuran berinvestasi oleh sebab itu penulis tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang diakibatkan karena mengikuti informasi dari tulisan ini. Akan tetapi jika anda beruntung karena penggunaan informasi di tulisan ini, EOWI dengan suka hati kalau anda mentraktir EOWI makan-makan.
7 comments:
gimana dengan sepak terjang ahok menurut IS?
lagi di tangguh mas IS?
@April 23, 2014 at 2:15 PM
Ahok sepak terjangnya tidak jauh dari Jokowi. Cuma peluangnya untuk jadi presiden kecil. Kalau dia bisa mencalonkan jadi presiden, mungkin dia ikut.
@Smid,
Bukan di tangguh, sekitar 3 jam naik kapal, terus dilanjutkan naik mobil dgn jalan tanah, masuk hutan. Saya tidak bekerja untuk BP kok.
senang rasanya Mas IS hadir kembali.
terima kasih untuk tulisannya, membuat saya tetap terjaga dalam kewarasan.
Pak, bisa bahas mengenai pemblokiran internet situs2 broker luar negeri dan apakah ini langkah monopoli broker lokal untuk ambil semua uang investor lokal?
melalui "kedok" program internet sehat, ini apakah judi di negara sendiri dianggap legal dan kalo judi di negara luar justru ilegal?
langkah apa yang bisa kita lakukan untuk memerangi ulah broker lokal ini?
terima kasih
Situs broker yang mana saja......
Situs broker besar contohnya : Interactivebrokers pak. Situs yang paling banyak diblokir adalah situs broker forex luar.
Situs broker besar yang dijamin malah dianggap situs judi (claim dari isp saya + internet sehat).
Cara kita komplain dan proses ini menurut pak Is gimana baiknya ya? Salam dari teman2 trading. Semoga pak Is tetap kritis nulis blog.
Post a Comment