___________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Doa pagi dan sore

Ya Allah......, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari bingung dan sedih. Aku berlindung kepada Engkau dari lemah dan malas. Aku berlindung kepada Engkau dari pengecut dan kikir. Dan aku berlindung kepada Engkau dari tekanan hutang, pajak, pembuat UU pajak dan kesewenang-wenangan manusia.

Ya Allah......ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim dan para penarik pajak serta pembuat UU pajak selain kebinasaan".

Amiiiiin
_______________________________________________________________________________________________________________________________________________

Sunday, March 9, 2014

Membangkitkan Ekonomi Dunia Yang Lesu: Cina yang OD, Keracunan, Melesu dan Perlu Detox (Bagian I)



Sabtu pagi minggu lalu saya, seperti biasanya olah raga pagi di Senayan. Entah kenapa, teman saya Zul (sebut saja begitu namanya) pelatih nasional Kempo, mampir dan kongkow-kongkow bersama rekan-rekan alumni ITB. Dia sedikit mengolok-olokkan saya yang kebetulan agak lesu dan tidak bergairah karena sudah beberapa minggu pengeboran minyak yang saya kerjakan banyak masalah. Dia bilang saya perlu K2. Kemudian dia membandingkan badannya dengan otot-otot yang masih keras pada berumur 58 tahun. Ketika saya tanyakan apa itu K2, maka serentak dia dan teman-temannya yang berasal dari ITB Sipil, tertawa. Tadinya saya kira K2 adalah istilah teknik sipil, ternyata setelah saya google search, adalah ganja sintetis yang mulai dipopulerkan tahun 2008. Sebenarnya ganja sintetis, K2, kurang tepat untuk menaikkan gairah. Speed dan crack, atau cocain dan amphetamine lebih cocok untuk menaikkan gairah dan stamina, bukan ganja. Tetapi tak apalah. Karena bukan itu yang mau EOWI sampaikan. Bukan jenis upper seperti speed & crack yang meningkatkan detak jantung dan tekanan darah, tetapi jenis all-arounders yang sifatnya membuat persepsi pemakainya terhadap realita menjadi terditorsi. Ganja, LSD, jamur halusinogen,  dan K2 termasuk ke dalam kategori ini. Yang menarik adalah adanya pertanyaan, apakah ini sekedar kebetulan, antara K2 dan Quantitative Easing (QE) punya banyak persamaan, bukan sekedar tahun kelahirannya saja, tetapi effek dan akibatnya terhadap pemakainya – yaitu distorsi terhadap realita.

Semenjak terjadinya krisis Subprime 2007 yang menjalar kemana-mana, sentral bank di semua negara yang terkena dampaknya, Eropa, Cina dan US memompakan liquiditas ke ekonomi dengan harapan bisa memulihkan ekonomi, mencegah pengempisan bubble lebih lanjut, mencegah terjadinya deflasi – momok yang paling ditakuti oleh bank-bank sentral. Pemompaan liquiditas dikenal dengan Quantitative Easing (QE). Sejak saat itu selama 7 tahun perlahan-lahan ekonomi diberitakan membaik (rasanya demikian).

Memang pemompaan liquiditas bisa memberikan rasa nyaman di beberapa negara/sektor. Tetapi dalam hal lowongan kerja di US dan di negara-negara Eropa, QE tidak menciptakan rasa nyaman. Bagi negara-negara yang berekonomi berbasis komoditi keras, bahan tambang, seperti Australia, Canada dan Indonesia, serta beberapa emerging market,  memang QE, seperti K2, bisa memberikan rasa nyaman dan hidup berjalan lebih menyenangkan. Paling tidak rasanya seperti itu. Dosis QE - K2 yang dipakai oleh Cina mempunyai dampak yang nampaknya agak berbeda pada pemakai lainnya, US dan Eropa. K2 Cina juga mempengaruhi negara-negara dan ekonomi yang spesifik, yaitu ekonomi yang berbasis komoditi. K2-QE, membuat aliran dana ke Cina cukup deras, masuk investasi terutama sektor properti dan infrastruktur. Sektor ini selanjutnya menyedot bahan baku yang membuat bubble di negara-negara berbasis ekonomi bahan tambang, seperti Australia, Canada, Indonesia dan lainnya.

Melihat demikian tangguhnya Cina dibandingkan negara-negara dengan ekonomi besar lainnya, orang mengatakan bahwa Cina akan menyaingi ekonomi US dan menjadi negara yang ekonominya terbesar di dunia dan akan mendominasi dunia. Opini ini mungkin benar......, tetapi EOWI, dengan sangat menyesal, harus tidak sepakat. Pendapat EOWI adalah bahwa Cina sedang dalam fasa puncak ekonominya yang akan menurun dalam jangka waktu yang panjang. Situasi Cina sekarang ini hampir sama dengan situasi Jepang di tahun 1980an. Pertumbuhan ekonominya sangat tinggi dan terlalu dipuja-puja. Cina mungkin masih ada waktu sampai tahun 2030 sebelum pertumbuhan ekonominya menjadi marginal seperti Jepang. Tetapi inipun harus diselingi dengan masa-masa krisis ekonomi sebagai pembukaannya. Dengan kata lain, Cina bukan tempat investasi dengan horizon waktu yang cukup lama (dalam hitungan dekade). Kita akan lihat nanti.

Hukum alam berlaku universal, sama untuk semua, apakah itu Cina, US, Indonesia atau Australia. Bahwa Cina tumbuh demikian cepatnya selama 3 dekade terakhir ini, bukan suatu mukjizat. Jepang dan Korea pernah mengalaminya beberapa waktu yang masih segar dalam ingatan banyak orang. Kalau anda hidup di Jakarta dan masih melihat kendaraan yang benama bemo, itulah produk Jepang diawal dari kebangkitannya, antara tahun 1960 – 1990. Bemo yang merknya Daihatsu, masih jelek, tidak bisa dibandingkan dengan mobil-mobil Jepang kelas atas saat ini, seperti Lexus, Toyota Camry atau Honda Accord. Pertumbuhan ekonomi Cina yang dimotori oleh eksport. Ini bisa dilihat dari besarnya ekspor Cina terhadap GDPnya yang meningkat sejak Deng Xioping membuka Cina (Chart - 1).




Tahun 2000 kontribusi perdagangan internasional Cina terhadap pertumbuhan ekonominya semakin meningkat. Hal ini dipicu oleh peningkatan konsumsi US. Menjelang krisis subprime di US, peran perdagangan internasional Cina mencapai puncaknya. Dengan kata lain ekspor produk-produk konsumen ke US (ekonomi terbesar di dunia), bisa bertahan sampai pesta konsumsi di US mereda di tahun 2007. Berhentinya pesta konsumsi di US seiring dengan meredanya kredit konsumsi di US.

Kalau orang mengatakan bahwa US banyak berhutang kepada Cina, pernyataan tersebut ada benarnya, tetapi jika intonasinya ditekankan seakan US menjadi pengemis, adalah salah. US dan Cina mempunyai kepentingan bersama. US ingin bersenang-senang dengan kartu kreditnya (ungkapan saja), dan Cina ingin punya pekerjaan, dan pemerintahnya ingin agar rakyatnya sibuk.

Karena perdagangan dunia dilakukan dalam mata uang UD dollar, surplus perdagangan Cina membuat US dollar di Cina membanjir. Memang US merupakan partner dagang yang utama, tetapi asal dollar yang dipegang Cina adalah dari mana-mana. Membanjirnya US dollar dikalangan eksportir Cina pada akhirnya harus ditukarkan dengan Yuan, karena US dollar tidak digunakan sehari-hari untuk belanja, bayar gaji, beli barang-barang di Cina. Oleh sentral bank Cina akan dibersihkan/diserap dan ditukarkan dengan surat obligasi US. Jumlah surat obligasi US (US treasury) yang dipegang Cina meningkat terus sampai tahun 2010 - 2011. Setelah itu bergerak sideways disekitar 1 – 1.3 trilliun US$ (lihat Chart - 2). Pergerakan sideways dari kepemilikan US treasury oleh bank central Cina bisa dikatakan bahwa akumulasi US treasury berhenti. Lalulintas US dollar keluar-masuk menjadi seimbang, sehingga sentral bank Cina tidak perlu lagi melakukan membersihan pasar. Keseimbangan itu bisa dari neraca perdagangan yang seimbang, atau investasi atau campuran dari semua itu. Apapun yang menyebabkan menumpukan US treasury stagnan, yang pasti tahun 2014 seakan menjadi tonggak terjadinya perubahan arah ekonomi global. Ini akan kita lihat nanti.




Ketika pesta berhenti, yang tertinggal adalah sisa-sisanya. Yaitu mesin produksi dengan kapasitas berlebih. Koreksi dan penyeimbangan ulang serta creative destruction, adalah proses alamiah yang pasti terjadi pada hal-hal yang berlebih dan melampaui batas. Pemerintah Cina berusaha untuk menghentikan hal ini dengan memompakan liquiditas lebih banyak lagi. Yang terjadi adalah bubble yang semakin membengkak di sektor realestate dan perumahan. Disamping itu, pemerintah Cina membuat ke-tidak-bijaksanaan agar ekonomi Cina berubah dari ekonomi berbasis ekspor ke ekonomi berbasis konsumsi dalam negri. Ini didasari pada pemikiran agar kelebihan kapasitas produksi bisa dimanfaatkan oleh konsumsi dalam negrinya. Mungkin konsumsi Cina bisa ditingkatkan (persentagenya terhadap GDP) dengan pemaksaan. Pada kenyataannya, porsi konsumsi Cina terhadap GDP yang menurun selama masa boom ekonomi 2000 – 2007 (selama 7 tahun) dari 45% sampai 35%, kemudian setelah krisis subprime 2007 hanya mendatar di level sekitar 35% (lihat Chart - 3). Selama 6 - 7 tahun, dari 2007 – 2014, yang seharusnya ada koreksi, pertumbuhan Cina masih mengandalkan ekspor, bukan konsumsi dalam negri. Porsi konsumsi pada GDP masih sama. Dengan kata lain, usaha-usaha pemerintah Cina untuk memarakkan ekonomi melalui konsumsi belum berhasil. Mengubah kebiasaan perlu waktu. Dan masyarakat pelaku ekonomi secara alami akan melakukannya tanpa campur tangan pemerintah.




Kalau konsumsi rumah tangga Cina tidak meningkat (porsinya terhadap GDP) pada saat penggelontoran liquiditas, mana buktinya bahwa ada penggelontoran liquiditas, dan kemana larinya? Pengucuran kran liquiditas nampak pada peningkatan kredit swasta di Cina. Pertumbuhan kredit mencapai 35% di tahun 2009 – 2010, saat fase terakhir dari krisis subprime (lihat Chart - 4). Memang setelah itu (tahun 2010) pertumbuhan kredit agak mereda, tetapi masih cukup tinggi, di atas 15%. Jauh di atas pertumbuhan GDPnya yang berkisar disekitar 7.5%. Pernyataan “menciptakan pertumbuhan GDP 7.5% (US$ 617 milyar) dengan pengucuran kredit 15% (US$ 646 milyar) ” artinya setiap $1 kredit hanya bisa menciptakan pertumbuhan sebesar $0.96. Itu adalah kondisi yang sangat tidak effisien. Pada kondisi yang effisien, $1 kredit bisa menciptakan pertumbuhan $4. Pertumbuhan semacam ini biasanya pertumbuhan bubble. Untuk menggambarkan cepatnya pertumbuhan bubble kredit di Cina, hanya dalam kurun waktu kurang 4 tahun antara tahun 2010 - 2014, kredit di Cina naik dari 6 trilliun yuan ke 13 trilliun yuan. Atau 3 kali lipat jika dihitung sejak dimulainya pengucuran kredit secara besar-besaran tahun 2009. Padahal pertumbuhan GDP Cina tidak secepat itu. Artinya stimulasi yang banyak sekali dan tidak effektif. 



  
Chart - 4


Seperti di Indonesia, masyarakat Cina sangat mencintai rumah sebagai bentuk investasi. Harga rumah tidak akan pernah turun, menurut mereka. Bahkan saat ini, seorang pemuda akan mengalami kesulitan mencari jodoh kalau tidak punya rumah atau apartemen. Secara demografis, ada 10% dari pria Cina yang tidak akan pernah bisa menemukan pasangannya, karena jumlah pria melebihi populasi wanita. Harga rumah di Cina yang sudah tinggi sebelum krisis subprime di US, mengalami percepatan pelambungan sejak dikucurkannya stimulasi paska subprime. Bubble rumah di Cina meraksasa mencapai rekor. Harga rumah bisa mencapai 30 kali pendapatan (per tahun). Seperti di Beijing angka itu mencapai 30, Shanghai dan Guangzhou mencapai 28. Dibandingkan dengan London yang katanya mahal, hanya mencapai 15, Hongkong 17, Sydney dan Vancouver (Canada) hanya 11. Artinya, di Beijing, untuk membeli rumah, orang harus bekerja selama 30 tahun, membayarkan gajinya, tidak makan dan pergi ke kantor dengan jalan kaki. Ini belum termasuk membayar bunga cicilannya. Pertanyaannya adalah: “sanggupkah mereka membayar?”. Silahkan jawab sendiri.

Saya berkunjung ke Ordo di Inner Mongolia tahun 2007, menjelang krisis subprime di US. Pada saat itu Ordo merupakan kota yang megah dengan gedung-gedung apartemen yang tinggi dan kosong, sudah nampak membubble. Setelah pengucuran stimulasi ekonomi, bisa diduga akan lebih parah. Kota yang dibangun untuk populasi 1 juta orang, tetapi penduduknya hanya 70 ribu orang. Artinya 93% apartemen-apartemen itu kosong!!

Ditahun 2011, sebanyak 19 juta rumah/apartemen di bangun. Padahal hanya ada 5.8 juta pasangan yang membentuk rumah tangga baru. Andaikata pasangan semua pasangan yang 5.8 juta itu pindah dari rumah orang tuanya ke rumah sendiri, maka ada kelebihan 13.2 juta rumah (70%) yang tidak ditempati. Sebelum krisis subprime di US, sektor properti Cina sudah membubble. Antara tahun 2005 – 2008, sekitar 5 juta rumah/tempat tinggal dibangun per tahunnya. Padahal jumlah pasangan yang membentuk rumah tangga hanya 2.6 juta, separohnya. Dari catatan penggunaan listrik tahun 2012, ada 64 juta apartemen yang penggunaan listriknya NOL, artinya tidak ditempati dan tidak ditengok sama sekali. Ini adalah angka yang paling konservatif untuk mengukur kelebihan apartemen. Kalau masih ditengoki dan ditempati 1-2 hari per bulan, maka masih ada penggunaan listriknya! Rumah/apartemen yang bejumlah 64 juta unit ini tidak menghasilkan uang sewa. Yang ada hanya ongkos perawatan, depresiasi, bayar bunga dan bayar cicilan pokok.

Banyaknya apartemen kosong tidak lepas dari prilaku masyarakat Cina. Memang, lebih dari 50% dari rumah/tempat tinggal/properti yang dibeli masyarakat/pelaku bisnis di Cina adalah untuk investasi (baca: spekulasi dengan leverage kredit). Untuk orang waras, sulit dimengerti. Karena kenaikan harga rumah harus lebih tinggi dari bunga pinjaman bank dan depresiasi. Apalagi dengan jumlah 64 juta unit ini dan 2.5 juta pembentukan keluarga per tahunnya, maka perlu waktu 26 tahun untuk menghabiskan stok yang ada ini. Mereka tidak perlu membangun unit baru, cukup menghabiskan unit yang ada, dengan catatan bahwa semua pasangan keluarga tidak mau lagi mendiami/mewarisi rumah orang tua mereka.

Ordo bukan satu-satunya kota hantu, masih ada lagi Tianduncheng yang merupakan gado-gado antara Paris dan Ndiwek. Dari satu sudut Tianduncheng nampak seperti Paris yang kosong (lihat foto di bawah). Dari sudut yang lain seperti Paris ditengah-tengah Ndiwek (kampungnya para anggota Srimulat). 
 

  Paris yang kosong? Bukan......, ini Tianduncheng



Tianduncheng,  seperti Paris di tengah ladang labu. Ndiwek masih lebih rame.


Kalau Tianduncheng adalah Paris di tengah-tengah ladang labu, EOWI pernah memuat foto-foto Disneyland Cina di tengah-tengah ladang jagung. Atau New South China Mall, mall raksasa di Dongguan (terbesar ke-2 di Asia pada waktu itu) yang lengkap dengan taman hiburan berserta kanal-kanalnya seperti Venesia, tetapi........kosong. Ada lagi yang belum parnah EOWI tampilkan, yaitu Chengdu’s New Century Global Center. Dibangun oleh milyader Deng Hong, Chengdu’s New Century Global Center, merupakan gedung yang mempunyai luas lantai terbesar di dunia saat ini. Global Center ini merupakan shopping mall. Disamping shopping mall, tersedia juga perkantoran, ruang konferensi, universitas, pusat komersial, beberapa hotel, “perkampungan”, tempat skating dan perahu bajak laut. Mau ke pantai? New Century Global Center punya pantai buatan lengkap dengan LED-TV yang sangat besaaaar (besat sekali), untuk memberikan illusi pemandangan laut seakan anda berada di pantai yang sebenarnya. Saya belum pernah ke sana. Tetapi begitulah ceritanya.

Kisah New Century Global Center sangat tragis dan cermin dari landasan pertumbuhan ekonomi kuat dan korup. Sebagian dari New Century Global Center dibuka di awal 2013 (shopping mall nya). Tidak lama berselang, disana diadakan konferensi Global Fortune 500 pada bulan Maret 2013. Konferensi ini kemudian dipindahkan je hotel Shangri-La, setelah pendirinya, yaitu Deng Hong ditangkap yang berwajib dan menyusul kemudian sekitar 50 pejabat lokal dengan tuduhan korupsi. Sedianya New Century Global Center ini dibuka pada bulan Agustus 2013, tetapi kemudian diundur, karena penyelidikan korupsi ini.

Pembangunan-pembangunan yang pesat di China diwarnai dan dimotori oleh korupsi, pejabat pemerintahan (daerah) yang berkolusi dengan swasta. Kombinasi ini merupakan kombinasi yang melahirkan produk-produk dan struktur ekonomi yang rapuh. Latar belakang pembangunan suatu barang produksi bukan didasari oleh pertimbangan ekonomi, melainkan pertimbangan bagaimana seorang pejabat bisa mengutil dan mengkorupsi sebagian dari dana dan kapital yang ada. Oleh sebab itu apapun yang diadakan/dibangun akan menjadi barang yang mubazir dan akan merugi. Ini sama saja dengan menebar bibit bencana ekonomi.

EOWI menganjurkan pembaca untuk browsing topik-topik yang dibahas di atas: Ordo, South China Mall, New Century Global Center, Disneyland China, Tianduncheng untuk lebih menyakinkan lagi.

Bersambung.
 

 
Disclaimer: Ekonomi (dan investasi) bukan sains dan tidak pernah dibuktikan secara eksperimen; tulisan ini dimaksudkan sebagai hiburan dan bukan sebagai anjuran berinvestasi oleh sebab itu penulis tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang diakibatkan karena mengikuti informasi dari tulisan ini. Akan tetapi jika anda beruntung karena penggunaan informasi di tulisan ini, EOWI dengan suka hati kalau anda mentraktir EOWI makan-makan.

3 comments:

Anonymous said...

beberapa indikator yang anda gunakan sederhana tapi masuk akal.

Terima kasih telah konsisten menuliskan pemikiran anda.

Semoga proyek anda segera sukses.

Anonymous said...

Bung IS, apakah bisa menjelaskan pengaruh krisis Ukraina thd ekonomi global, termasuk Indonesia?

Trims.

bety said...

mantap