Tanggapan Atas: Bubble dan Pendidikan Tinggi
Artikel Bubble dan Pendidikan Tinggi sempat beredar di milis salah satu alumni ITB. Tentu saja mendapat tanggapan. Salah satu tanggapan itu berasal dari seorang professor dari UnHas. Namanya, sebut saja Rhiza Sajad. Beliau ini ketika masuk ITB termasuk 10% terpandai. Jadi tidak salah kalau sebagai seorang nerd akhirnya berkarir di bidang pendidikan. Dari teman-temannya yang 10% terpandai ini banyak yang berkarir di bidang pendidikan. Mungkin nerds pandai karena menyukai buku. Tidak seperti Imam Semar yang skeptis, nyinyir dan sontoloyo, berkarir sebagai tukang test sumur minyak.
Email-email prof. Rhiza ini saya gabung-gabung, edit dan akhirnya menjadi sebuah artikel yang senafas dengan karakter skeptis EOWI. Apakah nada tulisan prof. Rhiza ini skeptis atau optimis, atau .... apakah tulisan hasil penyuntingan ini sesuai dengan opini beliau yang sebenarnya? Masalah dan pertanyaan ini tidak usah diperdulikan karena tulisan ini diterbitkan tanpa ijin pak professor dan tanpa persetujuan beliau serta mungkin tidak lagi sesuai dengan pemikiran awal beliau. Yang penting nada tulisan ini sesuai dengan nada EOWI. Hal-hal seperti ini yang membuat EOWI unik.
Beginilah ceritanya:
Tadi di UNHAS ada pertemuan ForTEI, yaitu "Forum (Pendidikan Tinggi) Teknik Elektro Indonesia", yang dihadiri oleh ketua-ketua dan dosen-dosen Jurusan Teknik Elektro se-Indonesia, negeri, swasta, poltek, sekolah tinggi, bahkan dari STMIK (Sekolah Tinggi Manajemen Ilmu Komputer)-pun banyak yang hadir, karena menyangka "TEI" dalam ForTEI itu singkatan "Teknik Elektro dan Informatika" seperti "TEI" dalam STEI di ITB.
Keluhan umum dari dosen-dosen Teknik Elektro di seluruh Indonesia, baik negeri mau pun swasta, adalah semakin menurunnya minat lulusan SMA/SMK untuk mendaftar ke jurusan Teknik Elektro, menurun baik secara kuantitas apalagi kualitas. Di Makassar saja, beberapa universitas swasta terancam tutup Jurusan Teknik Elektro-nya karena sepi peminat. Jurusan Teknik Elektro di UNHAS saja pernah kehilangan 25 % mahasiswa barunya karena diterima di STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara! Sekolah untuk keahlian "sontoloyo" menurut anda) dan STT (sekarang ITT) Telkom. Tepat yang anda bilang, orang tidak berminat masuk ke Teknik Elektro lagi karena sekolahnya susah, mahal, dan pekerjaannya belum tentu bagus....... paling-paling masih mengharap jadi pegawai PLN (yang banyak dipenjara akhirnya karena korup), atau Telkom dan anak-anak-nya, yang nantinya harus bersaing keras dengan lulusan ITB dan STT Telkom juga.
Kebanyakan universitas yang merasa "terancam" dengan berkurangnya minat masuk ke Jurusan Teknik Elektro mencoba mengatasi masalahnya dengan membuka jurusan Teknik Informatika, yang masih cukup laku .....entah sampai kapan.
Tapi satu hal yang saya belum sepenuhnya paham, adalah fenomena antri-nya orang mendaftar masuk program S2 dan S3 Teknik Elektro. Di ITS, jurusan Teknik Elektro-nya baru membuka Program S3 rasanya belum lima tahun lalu, tapi mahasiswanya langsung mbludak sampai lebih 100 orang ! Bayangkan, satu jurusan punya lebih dari 100 calon Ph.D!!! Teknik Elektro UNHAS punya program S2 sejak 1999, yang mendaftar dan diterima (jarang yang ditolak, hehehe) selalu lebih 50 orang setiap tahun, yang berhasil sampai lulus sekitar 35-40 orang. Insya Allah tahun depan kami akan buka program S3 juga, menunggu akreditasi program S1 dan S2. Belum dibuka, sudah puluhan yang antri, sebagian ditampung dulu di Teknik Sipil yang sudah duluan buka S3, tapi mayoritas mahasiswanya justru mahasiswa Elektro.
Jadi peminat S1-nya menurun, tapi peminat S2 dan S3-nya naik terus......... kenapa begitu yah? Apakah makin banyak orang yang berminat untuk menjadi dosen dan peneliti, daripada pedagang dan industriawan? Dan kemungkinan dalam waktu dekat, hanya S3 yang diterima untuk jadi dosen, kaya'nya di ITB sudah begitu sekarang .... Sekarang ini hanya S2 yang bisa diterima jadi dosen.
Profilnya para peserta program S2 dan S3 kira-kira seperti ini: Sebagian besar peserta Program S2 Teknik Elektro saat ini ber-latar-belakang non-Elektro, yaitu kurang-lebih 50-60 % dari S1 Teknik Informatika, lulusan sekolah-sekolah swasta (umumnya STMIK) dari seluruh kawasan timur Indonesia. Ada yang bilang (tapi ndak tahu benar atau nggak), mereka mengambil S2 di UNHAS untuk "memutihkan" ijazah S1 mereka...... you know what I mean?
Nah, hanya sekitar kurang dari 5 % peserta berasal dari S1 non-Elektro, dan non-Informatika, ada dari Fisika, Pendidikan (d/h IKIP), Poltek, dan lain-lain ....... Sedangkan yang sementara mengambil S3 numpang di Teknik Sipil dan masih ngantri tunggu program S3 buka hampir 100 % latar-belakang S1 dan S2-nya Teknik Elektro. Belum kedengaran ada yang dari S1 dan S2 lain.
Jadi kondisi saat ini: S1 peminatnya terus anjlok, sementara S2 dan S3 peminatnya terus naik ....... Gimana tuh, yah, penjelesannya kira-kira?
Kalau peminat program S1 (teknik elektro) terus menurun, tentunya bisa menyulitkan. Tetapi menurut hemat saya, "hidup-mati"-nya suatu departemen atau program studi di universitas dan institut, yang negeri terutama, tidak boleh bergantung pada banyak atau sedikitnya peminat. Untung doeloe jurusan Astronomi ITB tidak ditutup ketika cuma tiga mahasiswa, Ninok dan Ida (ada satu lagi?) di tahun 1975 yang berminat masuk. Kalo' ditutup waktu itu, tidak akan pernah ada Prof. Thomas Djamaluddin yang giat mempersatukan hisab dan rukyat, dan tidak akan pernah ada penerus Prof. Bambang Hidayat. Sebab, universitas dan institut negeri, mustinya tetap harus menjalankan fungsi akademia sejak jaman Socrates, yaitu mem-PRESERVE ilmu pengetahuan. Jangan sampai generasi ummat manusia yang tinggal di muka bumi ini semakin lama semakin "jahil" dan bodoh .....
Kalau sedang mengajar di kelas, sering dalam hati kecilku ada yang bertanya-tanya, ....... ini aku sedang memberdayakan orang, atau malah memperdaya mereka? Demikianlah sekedar share dari saya, yang sehari-hari menggeluti dunia pendidikan tinggi......
Kasus jurusan elektro ini sangat menarik. Peminat S1 nya turun tetapi peminat program S2 dan S3 meningkat. Mungkin standard S1 pendidikan teknik elektro di Indonesia sudah melampaui otak rata-rata pemuda Indonesia. Tetapi mereka cukup cerdik masuk jurusan yang mudah seperti informatika, sekolah swasta pula yang tidak tercatat dimana-mana. Kemudian setelah memperoleh ijasah S1, maka diputihkan dengan S2 negrinya. Pemberian gelar S2 dan S3 di universitas-universitas Indonesia menurut, penilaian saya, adalah sangat longgar. Misalnya saja presiden SBY yang punya gelar doktor dari Institut Pertanian Bogor, ternyata bisa ditipu mentah-mentah dengan blue energy dan padi super toy. Padahal dengan pelajaran SMA saja, bisa dibuktikan blue energy adalah tipu. Dan lebih memalukan lagi bahwa seorang doktor dari institut pertanian yang terkemuka di Indonesia bisa tertipu di bidangnya – pertanian. Ini hanya mungkin jika kualitas doktor dari IPB tidak lebih tinggi dari lulusan SMA.
Jalur pemutihan ijasan seperti yang diuraikan di atas ini lebih mudah dari pada jalur langsung. Karena program paska sarjana universitas negri masih baru dan memerlukan murid. Dan lulusnya juga lebih gampang, segampang meluluskan orang yang bisa tertipu oleh padi super toy dan blue energy. Keponakan saya juga ada yang menempuh jalur yang mirip untuk jurusan akutansi. Pertama-tama dia masuk D3 jurusan akutansi UI (Universitas Indonesia) yang saingannya tidak banyak dan sekolahnya mudah. Kemudian dilanjutkan ke sarjana kuliah sore, yang juga lebih ringan dibandingkan dengan kuliah siang. Kemudian dilanjutkan lagi ke S2. Cerdik bukan? Hasilnya sama-sama ijasah S2 dari IU. Bedanya, yang satu harus kerja keras dan yang lain cuma kerja cerdik.
Milyuner Drop-Out dan Milyuner Non-Sarjana
Banyak orang saya kenal menjadi sarjana pengangguran, termasuk mereka yang lulusan fakultas teknik. Terkadang ijasah sarjana dan pengalaman kerja menjadi perangkap dan penjara bagi orang yang memilikinya. Seperti Steve Jobs, Mark Zuckerberg, Bill Gates adalah drop-out. Henry Ford sekolah sampai umur 15 tahun akhirnya menjadi kaya-raya dengan industri mobilnya. Mengenai orang-orang ini seorang rekan petinggi Kalbe Farma mengelak dan beropini:
Memang sih pada akhirnya saat kita bekerja ijazah disimpan dilaci, dan yang penting adalah efektivitas komunikasi kita ditempat kerja. Tapi ijazah memfasilitasi penetrasi dan inisiasi ...
Aku penggemar berat Steve Jobs ... Tapi secara statistik yang DO dan sukses spt Steve Jobs kecil sekali ..... Mungkin dalam diri Steve Jobs ada karakter2 lain yang membuat dia sukses walau dia ga punya ijazah, juga faktor2 lingkungan lain yg mungkin ga ada ... Bagiku suksesnya Steve Jobs bukanlah karena dia DO atau tidak DO, tapi karena dia bisa melengkapi aspek fungsional dari teknologi dengan aspek emosional dari calon penggunanya ...
Pernyataan pertama adalah benar. Sedang pernyataan kedua adalah salah. Jumlah milyuner Amerika yang tidak pernah punya ijasah sarjana adalah 20%. Secara statistik jumlah milyuner Amerika yang tidak punya ijasah sarjana tidak kecil. Angka 20% bukan probability yang kecil. Cara menyatakan lainnya adalah 1 dari 5 milyuner Amerika tidak pernah kuliah. Bahkan menurut Wikipedia, kekayaan rata-rata milyuner-drop out adalah $ 9,4 milyar hampir 3 kali milyuner-PhD yang hanya $3,2 milyar. Dan juga sekitar 3 kali milyuner sarjana yang hanya $2,9 milyar. Dengan kata lain bahwa kuliah hanya memberikan peluang 5 kali lebih tinggi untuk menjadi milyuner. Sedangkan ijasah sarjana hanya meningkatkan peluang yang lebih kecil lagi. Sebab orang seperti Steve Jobs, Bill Gates, Mark Zuckerberg pernah kuliah tetapi drop-out.
Kita akan lanjutkan kisah para milyuner drop-out dan milyuner tanpa gelar sarjana. Kisahnya hanya sekilas saja karena bukan dimaksudkan untuk mempelajari kunci-kunci yang menyebabkan keberhasilan mereka, melainkan sekedar untuk memperkenalkan kepada pembaca EOWI, sehingga kalau mau menelusuri lebih lanjut kunci-kunci keberhasilan milyuner tanpa gelas sarjana ini, maka sudah ada referensinya, biografi siapa saja yang harus dicari.
Bill Gates
Bill Gates adalah co-founder dari Microsoft. Dia drop-out dari Harvard. Pada saat tech-bubble, ia menjadi pemecah rekor kekayaan yang menembus angka $100 milyar. Ia drop-out dari kuliahnya tahun 1975 untuk memulai perusahaannya yang dikemudian hari bernama Microsoft. Usianya baru 19 tahun pada waktu itu. Keberuntungannya terbuka ketika IBM menggunakan operating system dari Microsoft untuk “personal computer” yang diproduksi IBM. Penjualan personal computer IBM meledak dan menguasai pasar. Munculnya “IBM compatible” atau IBM clones membuat Microsoft semakin menanjak karena operating systemnya menggunakan MS-DOS, buatan Microsoft.
Pada masa itu muncul banyak software-software untuk applikasi “desk-top”, dari mulai spread sheet Lotus 1-2-3, Freelance, word processor WordStar dan banyak lagi. Kemudian satu-persatu dibunuh oleh Microsoft dengan produk-produknya seperti MS Excel, MS Word, MS Power Point dan lain-lain. Bahkan Internet Explorer diberikan secara gratis kabarnya karena digunakan untuk menyingkirkan Netscape. Cara-cara Gates menguasai dunia bisnis komputer dan membesarkan perusahaannya termasuk licin dan licik. Terkadang sifatnya predatory.
Paul Allen
Paul Allen adalah partner Bill Gates dalam pendirian Microsoft. Menurut ceritanya Paul Allen sering menyelinap masuk ke laboratorium komputer University of Washington bersama Bill Gates. Mereka sempat tertangkap tetapi kemudian diijinkan dengan syarat mereka memberi bantuan kepada mahasiswa mengenai masalah komputer. Pada dasarnya mereka ini sudah menguasai komputer lebih baik dibandingkan mahasiswa di masa itu.
Paul Allen kemudian masuk Washington State University dan drop-out di tahun ke 2 untuk bekerja pada Honeywell di Boston sebagai programer. Pada saat yang sama Bill Gates masih mahasiswa di Harvard, sampai akhirnya Paul bisa meyakinkan Bill Gates untuk keluar dan mendirikan Microsoft.
Michael Dell
Michael Dell juga milyuner drop-out dari universitas yang beruntung di bidang komputer. Pada umur 15 tahun, menurut ceritanya, ia membongkar personal komputer Apple II yang masih baru dan merangkainya kembali. Itu dilakukannya untuk menguji apakah dirinya mampu melakukannya. Tindakan ini sangat nekad, karena Apple bukan komputer murah. Harga yang sangat mahal ini membuat Apple tidak bisa menembus pasar secara dalam dan menyebar. Apple kalah dengan IBM PC dan clones nya.
Apa yang dilakukannya inilah yang mengantarnya menjadi milyuner dengan membuat komputer.
Lulus SMA dengan nilai yang buruk, ia masuk University of Texas di Austin. Selama di Universitas ia membuat/merakit komputer untuk dijual. Karena kesuksesannya dalam bisnis komputernya, ia meninggalkan sekolahnya di umur 19 tahun.
Henry Ford
Cerita kita masih berkisar pada milyuner karena keterampilan mereka dalam merakit dan membuat suatu barang konsumsi. Henry Ford bisa menjadi kaya karena keterampilannya sebagai mekanik dan bisa membuat mobil.
Ford lahir dan besar di daerah pertanian di wilayah Michigan. Ketidak-sukaannya terhadap sekolah membuat ia menjadi murid yang payah dengan kemampuan membaca dan menulis yang buruk. Menurut cerita, ia hanya bisa menulis kalimat-kalimat yang sederhana saja. Ia juga tidak suka kehidupan petani. Ia hanya tertarik pada mesin-mesin dan cara kerjanya. Jam adalah salah satu barang yang membuatnya tertarik. Ia menjadi tukang reparasi jam pada umur 13 tahun.
Pada umur 16 ia pergi dari ke Detroit, Michigan untuk magang di sebuah bengkel. Di malam hari ia menggunakan waktunya untuk mereparasi jam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kemudian ia bekerja di Detroit Drydock Company. Ia kembali ke tanah pertaniannya karena ayahnya memberinya 40 acre tanah untuk digarap. Harapan ayahnya agar Henry meninggalkan obsesinya terhadap mesin. Harapan ayahnya terbang, karena Henry kemudian mendirikan bengkel di tanah itu.
Obsesinya terhadap mesin membuatnya tidak betah hidup di tanah pertanian. Ia kemudian kembali bekerja di bidang yang disukainya di Edison Illuminating Company – milik Thomas Alfa Edison. Ketika ia punya cukup uang, ia kembali menekuni hobbinya membuat eksperimen dengan mesin-mesin bensin.
Kisah sukses Ford sangat panjang. Kunci suksesnya adalah ketika ia berhasil membuat mobil murah model T. Sistem pengerjaannya dengan ban berjalan.
Saya tidak tahu apakah Ford bisa dikatakan bahwa ia milyuner tanpa gelar sarjana atau tidak. Katanya ia pernah masuk Goldsmith, Bryant & Stratton Business College di Detroit untuk belajar mengenai pembukuan. Itu menurut Wikipedia. Tetapi kalau Yahoo Answer tidak. Ada kontroversi.
Ralph Lauren
Ralph Lauren terlahir dengan nama Ralph Lifschitz di Bronx, New York. Pada umur 16 tahun ia mengganti namanya menjadi Ralph Lauren. Nama ini kedengarannya lebih bisa dikomersialkan dari pada Liftschitz yang kedengarannya seperti lift-shit (mengangkat tinja). Sejak muda ia sudah suka pakaian-pakaian yang mentereng dan trendy. Untuk memenuhi hobby nya itu ia harus kerja setelah pulang sekolah.
Raph juga masuk sekolah City College of New York untuk belajar business, tetapi drop-out pada tahun ke II. Setelah wajib militer, ia bekerja pada Brooks Brothers sebagai salesman sampai tahun 1967 dimana ia membuka toko dasi dengan bantuan modal dari Norman Hilton. Di toko itu Raph juga menjual dasi hasil design dirinya sendiri di bawah nama Polo. Label Polo dikemudian hari dibelinya dari Norman Hilton.
Raph Lauren tidak pernah belajar di sekolah fashion atau sejenisnya. Tetapi toh ia bisa sukses.
Li Ka-Shing
Li Ka-Shing mungkin orang Cina yang terkaya di dunia sampai saat ini. Ia berasal dari Cina Mainland yang lari dibawa orang tuanya ke Hong Kong ketika Cina diserbu Jepang. Ia masih berumur 12 tahun. Ketika berumur 15 tahun ia terpaksa drop-out sekolah menengahnya karena ayahnya meninggal dan ia harus membantu menghidupi keluarganya.
Li seorang pekerja yang keras. Ia menjadi penjual jam di toko pamannya. Di malam hari ia bekerja di pabrik.
Ketika berumur 21 tahun, Li membuka pabrik barang-barang plastik dan barang andalannya adalah bunga-bunga plastik yang dijualnya dengan harga murah. Secara tidak sengaja ia terjun ke sektor properti, ketika tahan yang disewanya tidak bisa diperpanjang masa sewanya. Ia terpaksa membeli properti dan membangunnya sendiri. Selanjutnya Li melakukan diversifikasi ke sektor-sektor elektronik, komunikasi, retail dan juga pembangkit listrik.
Ingvar Kamprad
Multi-milyuner pendiri IKEA ini terkenal karena pelit dan hematnya. Setidaknya, ia sangat perhitungan dan fokus pada untung-rugi. Menurut cerita ia mengantongi garam dan merica (yang dibungkus dalam kantong kertas) ketika makan di restoran/hotel. Ia juga menggunakan tea-bag berulang-ulang, naik pesawat kelas ekonomi. Ia juga sering makan di kantin murah IKEA. Ia juga dikenal suka membeli hadiah natal dan kertas pembungkusnya setelah obral-natal dan tahun baru, dimana harganya bisa lebih murah lagi. Ada pernyataannya yang menarik:
"It is not only for cost reasons that we avoid the luxury hotels. We don't need flashy cars, impressive titles, uniforms or other status symbols. We rely on our strength and our will!"
“Kami menghindari hotel yang lux bukan sekedar karena menghemat. Kami tidak perlu mobil yang mentereng, gelar yang membuat orang berdecak, seragam yang membuat orang gagah atau simbol-simbol status lainnya. Kami percaya pada kekuatan kami sendiri dan kemauan yang keras.”
"I am stingy and I'm proud of the reputation."
“Saya pelit dan saya bangga dengan reputasi itu”
Ingvar adalah orang Swedia keturunan Jerman yang lahir di PjƤtteryd, Swedia. Bakat dagangnya dipupuknya ketika masih belia, dimana ia menjual secara eceran korek api yang dibelinya dalam jumlah besar. Barang yang dijualnya secara eceran masih lebih murah dari penjual-penjual lainnya. Dari korek api, ia mengembangkan usahanya dengan menjual ikan, pernak-pernik hiasan natal, ballpoint, dan pensil.
Ingvar keluar dari sekolah ketika ia berumur 17 tahun 1943 untuk mendirikan IKEA dengan uang hadiah dari ayahnya untuk keberhasilannya di sekolah. Sangat ironis. Meninggalkan sekolah karena memperoleh nilai yang baik. Semula IKEA hanya menjual barang-barang yang Ingvar pikir diperlukan orang dan bisa dijual dengan harga murah. Kemudian perabotan tumah tangga.
Show room pertama Ingvar, dibuka ketika ia berumur 27 tahun (1953). Kemajuannya sampai tahap ini masih bisa dicapai banyak orang. Punya showroom di umur 27 tahun, masih wajar. Dan diperlukan waktu 20 tahun untuk bisa maju dari pasar domestik ke pasar internasional. Pada umurnya yang ke 47 tahun Ingvar mengembangkan bisnisnya ke luar negri dengan dibukanya cabang di Switzerland. Ekspansi bisnisnya di pasar internasional berkembang pesat dengan dibukanya beberapa cabang di Jerman, yang merupakan pasar terbesar IKEA. Kemudian Kanada dan Belanda.
Cabang di USA baru dibuka ketika ia sudah berumur 59 tahun, sudah cukup tua. Tahun 1993 – 50 tahun sejak usahanya dimulai, IKEA punya lebih dari 100 cabang di lebih dari 25 negara. Perjalanan yang sangat panjang. Kisah sukses panjang Ingvar bukan terjadi dalam sekejap, melainkan setahap demi setahap penuh dengan ketekunan dan hemat (pelit). Ingvar mempunyai yayasan sosial Stichting INGKA Foundation yang merupakan yayasan terkaya di dunia yang sering memberi sumbangan, tetapi jangan kira bahwa Ingvar dermawan. Banyak hal-hal yang dilakukannya, seperti memiliki yayasan, untuk menghidari pajak perusahaan, seperti halnya banyak milyuner lainnya. Ingvar mengakui hal ini secara terbuka.
Steve Jobs
Banyak orang mengasosiasikan Steve Jobs dengan Apple, perusahaan komputer yang didirikannya. Saya lebih suka mengasosiasikannya dengan sistem interface komputer dan pernik-pernik elektronik. Bentuk “Windows” dengan “drag-drop”, “click-drop”, “ikon”, mouse, dan lain sebagainya, adalah dipioniri oleh Apple di bawah pimpinan Steve Job. Dulu..... sistem operasi PC (personal computer) dan juga mainframe masih harus menggunakan command yang harus diketik, apakah itu MS-DOS atau mainframe operating system. Ada kekecualian untuk komputer-komputer Apple yang sudah menggunakan design windows yang dikemudian hari diadaptasi oleh Microsoft dan operating system lainnya. Design windows (yang nama ini sekarang menjadi merek dagang Mirosoft), memudahkan orang menggunakan komputer. Bayangkan jika anda harus mengetik “dir” untuk melihat list file, kemudian “del” untuk menghapus file, atau “copy”. Belum lagi “dir/p/n/...”, wah report.
Steve sendiri awalnya kurang sukses dibandingkan rekan-rekan dijamannya seperti Bill Gates dan Paul Allan. Sebabnya sederhana saja. Komputer yang dijualnya sangat mahal. Sebuah Apple II bisa untuk membeli banyak IBM clones. Oleh sebab itu Apple tidak terlalu populer. Ini yang menjadi sebab didepaknya Steve Job dari Apple, perusahaan yang didirikannya.
Setelah didepak dari perusahaan yang didirikannya, Steve menghilang untuk beberapa lama. Namanya muncul kembali dengan membawa bendera Pixar, perusahaan film animasi. Film-film kartun animasi komputer (dan 3-D), meledak.
Steve Jobs akhirnya ditarik kembali ke Apple, disana ia mengembangkan i-pad, i-pod dan gadget-gadget elektronik.
Steve Jobs adalah salah satu dari milyuner yang tidak punya gelar sarjana. Ia hanya tahan 1 semester di Reed College, Portland, Oregon, US.
Banyak milyuner-milyuner yang bukan sarjana. Anda bisa melakukan google-search untuk menemukannya. Banyaknya milyuner non-sarjana yang sukses dibudang IT yang diceritakan EOWI bukan karena bidang ini menjanjikan, tetapi karena 4 dekade terakhir ini adalah milik IT. Bila kita kembali ke masa lampau, akan anda jumpai milyuner dari sektor lain. Seperti Howard Hughes, industrialis, adalah drop-out dari Rice University. Saya tidak yakin bahwa Rockeffeler, raja minyak dimasa lampau juga punya gelar sarjana.
Banyak milyuner yang tidak mempunyai gelar sarjana. Di Indonesia juga banyak, seperti Sudono Salim (Liem Swie Liong), Bob Hasan, Tan Ek Tjong (Eka Cipta Wijaya). Dan kekayaan (keluarga) mereka ini mugkin lebih tinggi dibandingkan dengan milyuner-sarjana di Indonesia. Tetapi, saya pribadi tidak menganjurkan anda untuk tidak sekolah universitas. Banyak milyuner non-sarjana sebenarnya lebih menguasai ilmu dibidang yang ditekuninya dibandingkan dengan seorang sarjana. Paul Allan dan Bill Gates sudah menjadi computer geeks, ketika mereka masih sekolah lanjutan (SMA). Demikian juga Michael Dell yang suka ngoprek, bongkar-pasang komputer pada usia remaja. Henry Ford juga seorang mekanik yang handal sejak belia. Li Ka-Shing dan Ingvar Kamprad juga seorang retailer yang tekun sejak belia. Mereka ini sukses salah satunya karena keterampilannya yang diasah dan dikembangkan sejak belia.
Sekolah bisa dijadikan untuk ajang mencari keterampilan. Bisa juga sebagai tempat untuk memperoleh ijasah yang mahal dan susah (kalau mau, beli saja – murah dan cepat). Itu terserah masing-masing individu dan apa yang hendak dicapainya dalam hidup.
Sekian dulu......, sampai nanti......
Disclaimer: Ekonomi (dan investasi) bukan sains dan tidak pernah dibuktikan secara eksperimen; tulisan ini dimaksudkan sebagai hiburan dan bukan sebagai anjuran berinvestasi oleh sebab itu penulis tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang diakibatkan karena mengikuti informasi dari tulisan ini. Akan tetapi jika anda beruntung karena penggunaan informasi di tulisan ini, EOWI dengan suka hati kalau anda mentraktir EOWI makan-makan.