(Bagian I)
Menjelang tanggal 10 November lalu, anak saya yang duduk di kelas II sekolah dasar diberi tugas oleh gurunya untuk menanyai ayahnya tentang hari pahlawan, apa itu hari pahlawan. Hasilnya akan dijadikan cerita yang harus dikumpulkan.
Secara singkat saya ceritakan bahwa pada tanggal 10 November 1945, ada sekumpulan orang di Surabaya yang sudah kehilangan akal warasnya bertekad dengan menggunakan bambu yang diruncingkan untuk melawan Belanda yang menggunakan senjata karaben mitraliur. Saya jelaskan bahwa karaben mitraliur itu adalah senapan otomatis (
machine gun) yang bisa memuntahkan peluru 30 – 100 peluru per menit. Belum lagi metraliur 12.7 mm yang bisa menghancurkan badan manusia. Senapan otomatis lawan bambu runcing. Tentu saja di pihak yang pakai bambu runcing banyak yang mati.
Komentar anak saya: “
kok orang-orang itu nekad ya, apa nggak pakai pikiran?”.
Hidup manusia lebih sering tidak menggunakan akalnya. Kadang sudah seperti terprogram bagai sebuah siklus. Untuk saya, pagi hari bangun jam 05.00, mandi sholat, dan pergi ke kantor. Sampai di kantor jam 06.00 – 06.15 dan kerja. Jam 11.30, keluar untuk makan siang dan kembali kerja jam 13.00. Pulang kantor jam 16.30 dan sampai rumah jam 17.30. Setelah sholat magrib, mengajak jalan anjing selama 1 jam bersama anak. Kemudian mandi. Setelah itu baca-baca internet dan tidur jam 21.00. Siklusnya setiap hari demikian, kadang ada sedikit perubahan.
Istri saya lain lagi, dia bangun lebih awal untuk mempersiapkan makanan untuk anak. Dia belum mandi sebelum jam 11 pagi.
Selain siklus harian, kita punya siklus mingguan. Hari Sabtu dan Minggu adalah waktu jalan-jalan dengan keluarga. Kadang berenang, kadang hanya ke mall, atau ke luar kota.
Siklus bulanan, yang pasti setelah menerima gaji, istri akan mengajak belanja bulanan. Dan siklus tahunan ada lagi, puasa misalnya dimana dapat tunjangan lebaran dan beli barang-barang lebaran. Iedul Adha, lain lagi, harus cari sapi atau kambing untuk qurban. Atau cuti tahunan yang bisa dipakai untuk jalan-jalan ke Cina, Eropa, atau....., yang dekat saja seperti Singapur, Malaysia atau Thailand, Hong Kong........, kadang-kadang Bali atau Lombok.
Itu adalah siklus dalam kehidupan seseorang. Masyarakat juga punya siklus. Kita bisa melihat bagaimana petani menanam. Ada musim-musimnya. Nelayan juga punya musim. Bahkan, bagi orang Islam yang membaca riwayat hidup nabi Muhammad, tahu bahwa pada musim dingin (November – Februari) pedagang Arab dulu pergi ke Yaman. Dan pada musim panas, pergi ke Siria.
Mengamati sejarah Indonesia, apa lagi jika keluar dari pola pikir buku, pola-pola siklus bisa nampak. Seperti pada pembukaan tulisan ini. Pakem sejarah melihat kejadian 10 November 1945 sebagai kejadian yang patriotis, Ekonomi Orang Waras dan Investasi melihat sudut psikologisnya dan kewarasannya. Kalau keduanya dirangkum maka kejadian 10 November bisa dituliskan sebagai kejadian yang berkaitan dengan keirasionilan manusia, amuk irasional massa, yang kemudian dicatat oleh sejarah sebagai kejadian yang heroik. Heroisme itu sendiri oleh penulis sejarah yang notabene dibayar oleh pemerintah, merupakan alat pemlintiran pola pikir, sehingga heroisme menjadi kebutuhan suatu bangsa. Tentu saja harus dibayar mahal, apa lagi bagi orang yang ditinggal mati para “pahlawan”. Anak istri dan keluarga yang mati akan lebih menderita. Atau......, bagi korban yang tidak mati, akan menderita selama luka-lukanya belum sembuh.
Irasional massa, psikologi massa, mood masyarakat, sering menjadi sumber dan motor berjalannya sebuah sejarah. Dan naik-turunnya mood masyarakat ini bergerak bagaikan siklus. Dimulai dengan
optimisme, kemudian secara perlahan berganti menjadi
ragu. Ragu menjadi
tidak percaya,
kehilangan kepercayaan,
bosan dengan yang ada, kemudian disusul dengan
amarah, untuk mengganti yang lama dengan yang baru. Ketika berhasil, maka timbul optimisme baru. Begitulah seterusnya berulang-ulang. Dan untuk manusia Indonesia, pengulangan ini berlangsung kurang lebih selama 10 tahun.
DEKADE 40Dimulai saja dengan dekade 40an. Menjelang pertengahan dekade, mood masyarakat sudah dipenuhi dengan atmosfir ketidak percayaan, kebosanan dengan sistem yang ada. Selama beberapa tahun kwalitas hidup menurun, janji ‘saudara tua’ (Jepang), untuk memperbaiki taraf hidup tidak terwujud. Sementara itu politisi lokal, yang sejak lama mengidamkan posisi yang lebih bagus di pemerintahan (Belanda dulu) melihat hal ini sebagai kesempatan untuk membuat struktur baru dimana mereka bisa menempati posisi yang mereka idamkan. Dengan mood masyarakat yang sudah jenuh dan irasionil, akan mudah mengobarkan semangat kerusuhan, pemberontakan. Jangan heran tidak sedikit yang mau maju ke medan perang dengan bersenjatakan bambu runcing. Ada kiai dari Parakan-Temanggung dan Ponorogo yang khusus memberikan bambu runcing berjampi-jampi agar pemegangnya kebal peluru. Ribuan orang datang ke Parakan-Temanggung dan untuk memperoleh bambu runcing berkhasiat kebal peluru yang membuat kereta api Yogya Semarang penuh. Walaupun kedua tempat ini, Ponorogo dan Parakan adalah sumber ‘kaderisasi’ pasukan bambu runcing yang paling populer, tetapi di tempat-tempat lain tentunya juga banyak. Temasuk di Jawa Timur di sekitar Surabaya.
Tentu saja pasukan bambu runcing ini bukan lawan pasukan Belanda ber-karaben (senjata ringan) atau mitraliur (senapan mesin). Jadi jangan heran lebih banyak korban yang mati, jika kalau mereka ini lebih rasionil. Operasi pasukan Belanda yang dalam sejarah disebut agresi I dan II dengan mudah menguasai ibu kota Jakarta, kemudian Yogyakarta dan memaksa republik untuk melakukan perjanjian Linggardjati, kemudian Renville.
Penjuang dengan bambu runcing melawan bedil.
Pejuang 45 yang masih waras menggunakan bedil.
Sasaran empuk bedil Belanda
Pada akhirnya Belanda angkat kaki dari Hindia-Belanda dan membiarkan bagian imperium ini merdeka, karena Belanda secara ekonomi sudah hancur akibat perang dunia II dan sudah tidak ada tenaga dan selera lagi untuk perang.
Masa euphoria dan optimisme melanda republik yang baru. Satu hal yang menarik pada siklus yang melibatkan perubahan rejim dan struktur yaitu adanya “purging” atau pembersihan unsur-unsur struktur lama dan menggatikannya dengan yang baru. Ini juga terlihat pada siklus Orde Baru dari Orde Lama. Semua yang berbau Belanda menghilang. Para loyalist (yang pro Belanda) banyak akhirnya hijrah ke Belanda. Di sana mereka membawa kultur dari Hindia-Belanda. Berikut ini adalah link video youtube dari Anneke Gronloh, Sandra Reemer & Andres Houlten yang merupakan kultur loyalist Hindia-Belanda yang masih tersisa di Belanda. Andres Houlten lahir di Tjimahi, Sandra lahir di Bandung dan Anneke lahir di Tondano.
Indonesia I love you:
http://www.youtube.com/watch?v=CJYo0irevE8Terang Bulan:
http://www.youtube.com/watch?v=bbrcdpUGGEI&feature=relatedWaarom Huil Je Toch Nona Manis:
http://www.youtube.com/watch?v=dx8tCcK-_W0&feature=related
Nona Jaman Sekarang:
http://www.youtube.com/watch?v=WlDeG8GmOA8&feature=player_embedded
Indonesia:
http://www.youtube.com/watch?v=5hOhQJUb6TU&feature=related
Mungkin anda tidak tahu lagi siapa mereka dan kultur apa yang mereka miliki. Tetapi mereka ada. Mereka adalah sisa-sisa Belanda dari Hindia-Belanda.
DEKADE 50Setelah optimisme kemerdekaan memudar, timbul ketidak percayaan, ketidak puasan dan pertentangan. Wakil presiden Mohammad Hatta turun dari jabatannya tahun 1956, karena tidak punya peran yang berarti. Ketika presiden masih segar bugar, apa yang mau diharapkan dari jabatan ‘pengganti presiden’ (wakil presiden versi UUD 45), paling-paling berdoa agar presiden cepat mati. Kemudian tahun 1958 terjadi pembrontakan PRRI & Permesta. Untuk dekade 50an, momen inilah yang paling berdarah.
Untuk dekade 50an, klimaksnya belum mencapai puncaknya. Memang sudah banyak yang mulai muak dan tidak percaya pada pemerintahan Sukarno, tetapi paling tidak, porsi massa yang masih suka kepada pemerintah (Sukarno) masih cukup banyak. Sirkus yang dimainkan Sukarno, berupa pidato-pidatonya yang membakar semangat dengan retorik revolusi belum selesai, manipol usdek, dan lain sebagainya. Disamping itu, jarak antara tahun 1945 dan 1950an masih sangat dekat, sehingga ketidak percayaan terhadap pemerintahan Sukarno, belum mencapai klimaksnya. Sehingga Sukarno masih bisa bertahan. Struktur tidak ambruk.
Walaupun bisa dibilang bahwa puncak siklu di tahun 50an bukan yang major, tetapi tetap cukup berarti. Puncak siklus pada dekade 50an secara politik nampaknya besar, yaitu pemberontakan PRRI dan Permesta, korban manusianya pun dalam bilangan puluhan ribu nyawa, ini masih kecil dibandingkan dengan yang terjadi pada dekade 60an. Tidak ada amuk massa di Jawa dan ibukota seperti yang terjadi pada siklus dekade 40an (1945-), siklus dekade 60an (1965-) atau siklus dekade 90an (1998-). “Purging” memang dilakukan setelah meletusnya PRRI dan Permesta, seperti Sutan Syahrir, Mohammad Natsir, Burhanudin Harahap, HAMKA, Mohammad Roem dan politikus lain dijebloskan ke penjara dari awal dekade 60an sampai tumbangnya Sukarno.
DEKADE 60Seperti emperial Romawi, para politikus Indonesia menganut metode yang sama, bermain antara
bread & circus – roti dan sirkus. Kalau tidak ada roti, berilah rakyat sirkus supaya lupa rotinya. Sirkus merupakan pengalihan perhatian dari persoalan perut (ekonomi). Sayangnya sirkus membuat sumber daya teralihkan dari sektor produktif ke sektor yang tidak produktif. Persoalan perut untuk sementara bisa dilupakan ketika melihat sirkus. Tetapi ketika sirkus berhenti, perut tetap lapar.
Sirkus yang dimainkan Sukarno, seperti Dwikora, Trikora, Nasakom, Manipol Usdek, memang cukup memukau. Kultur perjuangan dan revolusi berkembang. Lagu-lagu berirama mars dan bersemangat menjadi trend saat itu. Tidak lupa juga lagi pujian terhadap Paduka Jang Mulia, Mandataris MPRS, Pangti ABRI Sukarno. Kalau pembaca berminat mendengarkan beberapa lagu sebelum titik kulminasi di siklus 60an bisa ikuti link ini:
http://www.youtube.com/watch?v=n-tsvXXBVgM&feature=relatedhttp://www.youtube.com/watch?v=9mX7kKVLwlQ&feature=related http://www.youtube.com/watch?v=BXNYBGHLMOYhttp://www.youtube.com/watch?v=EC3L6xMPMkcLagu-lagu ini yang bisa saya temui. Sayangnya lagu-lagu marsnya tidak di internet untuk didownload.
Salah satu politik Sukarno yang menonjol sejak tahun 60an adalah Nasakom. Pada dasarnya Sukarno ingin merangkul semua aliran politik (yang tidak mengoposisinya). Nasionalis, Agama dan Komunis diajak bersatu dan masing-masing diberi porsi dalam pemerintahan. Tentu saja aliran agama yang diajak bukan Masyumi, atau aliran sosialis yang diajak bukan PSI (Partai Sosialis Indonesia), karena keduanya termasuk yang tidak bisa berkolaborasi dengan Sukarno. Pembengkakan pemerintahan juga karena penambahan pasukan sipil alias sukarelawan yang dipersiapkan untuk Dwikora dan Trikora. Walaupun mereka bukan pegawai negri, tetapi mereka dibayar. Sukarelawan bukan berarti tentara gratis.
Banyak wanita, istri-istri pegawai negri diajari menembak dan perang. Ibu saya termasuk salah satu yang mahir menggunakan senjata mauser dan Lee & Field (penembak jitu).
Birokrasipun membengkak. Jumlah menteri dinaikkan menjadi 104 orang. Ada jabatan wakil perdana menteri sampai 5. Entah apa yang mereka kerjakan.
Terlalu banyak sumber daya yang dialihkan ke sirkus sehingga sumber roti (pangan) berkurang. Kelaparan melanda. Ketidak puasan. Inflasi. Inflasi kali ini juga menandingi inflasi semasa perang kemerdekaan. Uang Rp 2000 pada tahun 1964 bisa digunakan untuk makan sekeluarga selama 2 hari, pada tahun 1967 hanya bisa membeli sebungkus kwaci. Mesin cetak uang pemerintah berputar dengan kecepatan tinggi setiap hari, 24 jam penuh.
Kekurangan pangan tahun menjelang tahun 1965 sampai tahun 1968, bisa disebut yang terburuk setelah jaman Jepang. Busung lapar karena kurang pangan dimana-mana. Sukarno memperkenalkan beras TEKAD yang terbuat dari keTela-Katjang-Djagung dan ‘bulgur’. ‘Bulgur’ adalah sejenis gandum berasal dari Turki, dan Uni Soviet yang dipakai untuk makanan kuda. Hanya saja dalam keadaan darurat, bulgur bisa dimakan manusia. Kandungan gizinya tergolong bagus walaupun rasanya tidak enak. Bulgur ini entah sumbangan dari Uni Soviet atau import. Entahlah. Keparahan ekonomi memaksa penjatahan bahan pokok. Untuk beli beras, minyak dan lainnya dijatah. Antri beras, minyak tanah, antri minyak goreng dan bahan pokok lainnya.
Mood masyarakat berubah, saling mencurigai, tidak percaya. Terbunuhnya 6 jendral angkatan darat dan 1 perwira menengah angkatan darat yang kemudian dikenal sebagai pahlawan revolusi, hanyalah pemicu rentetan amuk massa berikutnya. (Catatan: entah kenapa ke 7 perwira angkatan darat itu disebut pahlawan revolusi. Padahal periode 1965 tidak ada revolusi sama sekali. Nama itu sama sekali tidak relevan.)
Dalam fasa irasional tahun 60an ini sekitar 0.5 – 3 juta orang mati terbantai. Struktur pemerintahan yang disebut Orde Lama tumbang. ‘Purging’ dilakukan oleh rezim yang baru. Seperti Sukarno dikenai tahanan rumah, orang-orang yang pro-Sukarno dipenjarakan, melalui mahkamah militer. Subandrio (eks mentri luar negri, wakil perdana mentri I – Waperdam I), Umar Dhani (Panglima Angkatan Udara), Chairul Saleh (Waperdam III), Yusuf Muda Dalam (gubernur bank sentral), dan menteri-menteri lain seperti Setiadi Reksoprodjo, Sumardjo, Oei Tjoe Tat, Armunanto, Surachman, Sutomo, Andjarwinata, Achmadi, Sjafei, JK Tumakaka, Achadi, and Soemarno Sosroatmojo, masuk penjara. Banyak yang tersangkut PKI dibunuh baik melalui pengadilan atau tidak, seperti Njoto, Njono, Aidit, Untung.
DEKADE 70
Masa Orde Baru dimulai dengan ekonomi yang terbuka terhadap investasi asing. Investor, terutama Jepang, banyak masuk membangun pabrik-pabrik baru. Pabrik-pabrik textil, pabrik perakitan mobil, elektronik, dan lain sebagainya.
Ketidak-sukaan, kecurigaan terhadap pemerintahan sudah mulai muncul menjelang pertengahan dekade tahun 70an. Titik kulminasinya terjadi pada tahun 1974, dimana terjadi peristiwa yang disebut Malari, Malapetaka Lima-Belas Januari, 1974. Dalam kejadian itu Pasar Senen dibakar massa. Mobil-mobil Jepang juga jadi sasaran. Pemicunya adalah kunjungan perdana menteri Japang Tanaka Kakuei ke Indonesia.
Kalau dipikir-pikir, kenapa kedatangan perdana menteri Jepang bisa menjadi sebab kerusuhan sosial? Memang, bukan perdana menteri itu yang menyebabkan kerusuhan sosial, tetapi karena ketidak sukaan, kebosanan terhadap pemerintah, mood masyarakat yang negatif yang umumnya memuncak setelah sekitar 10 tahun.
Pasar Senen setelah di bakar dalam peristiwa Malari.
Suasana Malari, Pembakaran Pasar Senen.
Disamping Malari 1974, dalam dekade 70an, mood kekerasan masih menyala terus sampai 1976. Kali ini datangnya dari pemerintah, dengan penyerbuan Timor-Timur dan menganeksasinya menjadi provinsi ke 27.
Letupan kekecewaan untuk dekade 70 tidak menimbulkan keruntuhan struktur pemerintahan. Memang jarak antara keruntuhan rezim sebelumnya di tahun 1967, dengan kulminasi kekecewan berikutnya tahun 1974 masi terlalu dekat sehingga belum menyimpan daya ledak yang cukup besar untuk meruntuhkan sebuah pemerintahan. Korban yang mati juga tidak banyak. Hanya kerugian material saja yang besar.
(Bersambung)
Disclaimer: Ekonomi (dan investasi) bukan sains dan tidak pernah dibuktikan secara eksperimen; tulisan ini dimaksudkan sebagai hiburan dan bukan sebagai anjuran berinvestasi oleh sebab itu penulis tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang diakibatkan karena mengikuti informasi dari tulisan ini. Akan tetapi jika anda beruntung karena penggunaan informasi di tulisan ini, EOWI dengan suka hati kalau anda mentraktir EOWI makan-makan.