___________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Doa pagi dan sore

Ya Allah......, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari bingung dan sedih. Aku berlindung kepada Engkau dari lemah dan malas. Aku berlindung kepada Engkau dari pengecut dan kikir. Dan aku berlindung kepada Engkau dari tekanan hutang, pajak, pembuat UU pajak dan kesewenang-wenangan manusia.

Ya Allah......ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim dan para penarik pajak serta pembuat UU pajak selain kebinasaan".

Amiiiiin
_______________________________________________________________________________________________________________________________________________

Monday, October 19, 2009

UANG KERTAS, UANG SEJATI, UANG ELEKTRONIK & KREDIT (HUTANG)

UANG KERTAS DAN UANG SEJATI
Uang….., apa itu uang? Uang, katanya, alat pembayaran yang syah. Itu definisi yang tertulis pada uang kertas resmi yang dikeluarkan sebuah negara yang berdaulat. Uang (kertas) dalam kenyataan menjadi alat pemajakan terselubung terhadap tabungan melalui inflasi alias pembanyakan (pencetakan) uang. Logisnya, kalau uang kertas diperbanyak jumlahnya maka nilainya turun. Akibat selanjutnya adalah nilai riil tabungan turun. Misalnya sejak rupiah dideklarasikan sebagai uang resmi republik Indonesia dengan dektrit no 19 tahun 1946 pada tanggal 25 Oktober 1946 sampai Oktober 2009, nilai riilnya tinggal 0.0000003% nya saja. Ketika diresmikan 1 gr emas harganya Rp 2. Dan 63 tahun kemudian harga emas Rp 330,000 per gram. Angka Rp 330,000 itu telah mengalami penyunatan nol disana sini sebanyak 3 kali. Kalau angka-angka itu dibiarkan, maka Rp 330,000 tidak lain adalah jelmaan dari Rp 6,600,000,000 uang tahun 1946.

Proses ini tidak perlu memakan waktu 1 abad, tetapi hanya 63 tahun saja. Artinya para pejuang kemerdekaan kalau ketika berjuang berumur 20 tahun, maka 63 tahun kemudian berumur 83 tahun, masih bisa melihat proses terjadinya menggerusan nilai riil rupiah. Entah apa yang terpikir dalam benak mereka kalau melihat hal seperti ini. Bagi orang waras uang semacam ini sama sekali tidak bisa ditabung karena tidak menyimpan nilai. Harga kambing selama 63 tahun ini sekitar 3 – 4 gram emas. Artinya emas tidak mengalami peningkatan nilai. Oleh sebab itu uang kertas tidak disebut uang sejati. Uang sejati adalah uang yang tidak bisa dicetak, diperbanyak, diturunkan nilai riilnya oleh para politikus dan penguasa. Emas sering disebut uang sejati, karena nilainya relatif tetap. Harga kambing, kerbau atau makanan dalam emas, kisarannya tetap sejak jaman nabi Muhammad, Jesus sampai sekarang. Seekor kambing harganya 3-4 gram emas. Anda bisa lihat dibuku hadist.


SULAPAN BARU

Politikus dan Pemerintah Menyukai Inflasi yang menyengsarakan Rakyat
Inflasi sangat disukai politikus. Kalau harga barang naik maka pajak juga naik. Nilai riil pajak juga naik. Misalnya pajak penjualan, pajak pertambahan nilai, pajak barang mewah, pajak bumi dan bangunan.

Contoh lain seandainya seseorang membeli rumah beserta tanahnya seharga 100 juta rupiah. Kalau dipecah nilainya, 50 juta rupiah untuk tanahnya dan 50 juta rupiah untuk bangunannya. Setelah 12 tahun, kalau mau membeli unit rumah yang sama, baru, harganya sudah naik menjadi Rp 480 juta karena inflasi sebesar 17% per tahun. Inflasi 17% per tahun untuk Indonesia adalah biasa di era reformasi. Angka 17% itu adalah ekspansi M2, bukan angka resmi inflasi yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yang biasanya jauh lebih kecil. Seperti kata Mark Twain yang populer: “Ada penipuan kecil, ada penipuan besar dan ada statistik”. Kembali pada harga rumah yang sudah naik 480% itu, atau lebih tepatnya nilai uang sudah turun 79%. Karena tidak dirawat, rumahnya hancur dan kalau dijual harga bangunanya praktis nol. Jadi harganya (setelah 12 tahun) adalah 240 juta rupiah. Masih ada kenaikan harga nominal. Kalau tanah ini dijual maka akan kena pajak karena ada keuntungan pemindahan aset. Kenaikan nominal dari 100 juta rupiah menjadi 240 juta rupiah dianggap sebagai keuntungan yang bisa dipajaki. Padahal secara riil ada kerugian sebesar 50% atau 240 di saat menjual karena adanya depresiasi. Daya beli Rp 240 juta di saat menjual kembali rumah yang sudah hampir roboh dan tanahnya hanya 50% dari daya beli Rp 100 juta 12 tahun sebelumnya. Kalau uang yang Rp 240 juta itu dibelikan kambing atau sapi atau beras, hanya akan memperoleh separo dari apa yang bisa dibeli dengan Rp 100 juta pada 12 tahun sebelumnya.

Sudah rugi dipajaki pula. Alangkah licinya pemerintah. Transaksi yang secara riil rugi masih dikenai pajak. Oleh sebab itu politikus punya kepentingan untuk membuat inflasi dan harga naik. Tanpa ada inflasi, pemerintah tidak bisa memajaki transaksi yang secara riil rugi.

Inflasi dengan Kredit di Ranah Uang Fiat
Mencetak uang dan menggunakan uang cetakan itu untuk pembiayaan pemerintah adalah cara yang kasar. Kiat seperti ini lama-lama ketahuan seperti di Zimbabwe pada dekade 2000 atau Indonesia tahun 1964 - 1967, sehingga rakyat berusaha menangkalnya dengan tidak lagi menabung dengan uang kertas. Oleh sebab itu penguasa dan bank punya kiat baru yaitu dengan hutang, kredit, virtual money, uang maya, uang elektronik. Cerdiknya, dengan virtual money, kredit, hutang, tidak pandang, apakah negara itu menganut uang dengan dukungan emas atau dengan tidak sama sekali. Berikut ini kita akan melihat bagaimana penciptaan uang virtual dikedua sistem. Paragraf pertama adalah penciptaan uang virtual dalam sistem uang fiat. Kemudian, dengan tulisan yang sama, kata kertas akan diganti dengan kata emas.

Sulap ini disebut fractional reserve banking (FRB). Misalnya di ekonomi secara fisik ada 100 juta dollar uang kertas. Tentu saja uang ini disimpandi bank. Oleh bank uang kertas ini dipinjamkan 90%nya (atau 90 juta dollar) ke pada pelaku ekonomi. Dan uang kertas ini di bank dititipkan juga. Secara fisik uang kertas ini tidak berpindah dari sistem perbankan. Bisa saja dari satu bank ke bank lainnya. Jadi kredit yang diciptakan sebesar 90 juta dollar sebenarnya hanya catatan elektronik saja.

Kemudian, uang yang 90 juta dollar itu, kemudian dipinjamkan lagi 90%nya (81 juta dollar). Seterusnya berlaku hal yang sama. Berikutnya 72.9 juta dollar diciptakan. Dan seterusnya, sehingga secara teoritis dari 100 juta dollar bisa menciptakan kredit setara dengan 800 juta dollar sehingga hutang dan uang kertas menjadi setara dengan 900 juta dollar.

Uang virtual yang berasal dari uang kertas ini oleh ‘pemiliknya’ dipakai untuk membeli barang, membeli saham, rumah, berspekulasi. Oleh sebab itu harga barang akan naik, karena jumlah uang, termasuk yang virtual, naik. Terjadi inflasi. Terhadap harga, effek pertumbuhan uang virtual alias hutang atau kredit ini (hampir) sama dengan uang kertas yang asli.

Inflasi dengan Kredit di Ranah Uang Berbasis Emas
Nah mengenai uang kertas sudah jelas. Sekarang dengan menggunakan 3 paragraf yang sama di atas, kita ganti kata kertas dengan emas dan dollar dengan gram.

Sulap ini disebut fractional reserve banking (FRB). Misalnya di ekonomi secara fisik ada 100 juta gram uang emas. Tentu saja uang ini disimpan di bank. Oleh bank uang emas ini dipinjamkan 90%nya (atau 90 juta gram) kepada pelaku ekonomi. Dan uang emas ini dititipkan di bank juga. Secara fisik uang emas ini tidak berpindah dari sistem perbankan. Bisa saja dari satu bank ke bank lainnya. Jadi kredit yang diciptakan sebesar 90 juta gram sebenarnya hanya catatan elektronik saja.

Kemudian, uang yang 90 juta gram itu, kemudian dipinjamkan lagi 90%nya (81 juta gram). Seterusnya berlaku hal yang sama. Berikutnya 72.9 juta gram diciptakan. Dan seterusnya, sehingga secara teoritis dari 100 juta gram bisa menciptakan kredit setara dengan 800 juta gram emas sehingga hutang dan uang emas menjadi setara dengan 900 juta gram.

Uang virtual yang berasal dari uang emas ini oleh ‘pemiliknya’ dipakai untuk membeli barang, membeli saham, rumah, berspekulasi. Oleh sebab itu harga barang akan naik, karena jumlah uang, termasuk yang virtual, naik. Terjadi inflasi. Terhadap harga, effek pertumbuhan uang virtual alias hutang atau kredit ini (hampir) sama dengan uang emas yang asli.

Sama bukan? Itu namanya sulap baru....., mungkin juga bukan, karena cara ini sudah dilakukan puluhan, bahkan ratusan tahun lalu. Sistem uang kertas dan uang berbasis emas hasilnya sama saja jika FRB berlaku.


HUTANG BUKAN UANG DAN HARUS DIBAYAR ATAU DIKEMPLANG
Ada perbedaan antara uang fisik (apakah itu uang kertas atau emas) dengan kredit atau hutang. Hutang harus dilunasi dan kredit harus ada penyelesaiannya. Lagi pula menciptakan kredit juga bukan tidak terbatas seperti menciptakan uang kertas. Sistem bisa menciptakan kredit selama kreditur mau karena menganggap resiko debitur untuk ngemplang (gagal bayar) kecil. Calon debitur juga menganggap bahwa dia masih mau dan mampu membayar hutangnya. Artinya dalam suatu sistem ekonomi, pertumbuhan penghasilan (gaji) masih lebih besar dari pertumbuhan kredit. Kalau pertumbuhan gaji tidak naik secepat hutangnya, pada suatu titik, debitur akan mengalami kesulitan membayar hutangnya. Sayangnya menentukan titik ini tidaklah mudah, karena akibat ekspansi kredit, harga asset juga naik sehingga memberikan perasaan “bertambah kaya” dan beranggapan bahwa angunan bisa menutup hutangnya. Padahal sebenarnya harga agunan yang ada adalah harga bubble. Harga karena ekspansi kredit. Ekspansi kredit terus berlanjut dibawah restu pemerintah yang dengan senang hati memunguti pajak untuk menggemukkan kantong para politikus dan birokrat.

Persoalan baru timbul ketika bubble kredit pecah. Jangankan membuat hutang baru, lagi untuk membayar hutangnya sudah debitur tidak mampu. Di saat seperti ini lebih banyak kredit harus diselesaikan, dari pada kredit yang diciptakan. Terjadilah pengkerutan, penciutan, kontraksi kredit. Itu yang disebut deflasi. Pada periode deflasi, bank komersial enggan memberikan kredit karena takut resiko gagal bayar. Calon debitur juga tidak mau terbebani lagi. Karena uang virtual alias kredit berkurang, maka uang yang mengejar asset, jasa dan barang juga berkurang. Akibat permintaan yang menurun maka harga juga turun.

Deflasi tidak mungkin terjadi pada kondisi dimana kredit masih sedikit, seperti di Zimbabwe atau Indonesia tahun 1964 – 1967 dan sebelumnya. Untuk terjadinya deflasi diperlukan kondisi dimana kredit sudah besar. Dengan kata lain deflasi adalah fenomena yang sama dengan pecahnya bubble kredit.

Seperti biasanya pemerintah dan politikus akan berusaha untuk mencegah terjadinya deflasi. Padahal deflasi itu bagus untuk yang mempunyai tabungan, karena harga-harga turun. Tetapi tidak bagus bagi pemerintah karena pendapatannya akan turun. Dengan segala upaya pemerintah bersama dengan bank sentral akan berusaha untuk menangkal dan mencegah berlanjutnya deflasi. Seperti yang diresepkan oleh dokter-dokter Keynesian, pemerintah bisa menaikkan pengeluaran dimasa seperti ini. Tentu saja dananya dari hutang (untuk menutup defisit anggaran belanja). Usaha ini ada yang berhasil dan ada juga yang sulit untuk sukses. Tergantung pada besarnya bdget negara dibandingkan dengan kredit yang ada.

Pada krisis kredit yang dimulai tahun 2007 ini, di US total uang dan kredit adalah sekitar $ 55 triliun sedangkan budget belanja negara “hanya” $6.4 triliun. Artinya untuk 1% kontraksi kredit, diperlukan kenaikan belanja pemerintah sebesar 10% . Untuk 4% kontraksi kredit, diperlukan 40% defisit belanja negara! Silahkan pompa saja. Entah apa yang bisa dilakukan pemerintah (dalam hal ini pemerintah US) untuk mencegah deflasi.


HUTANG $100,000 TIDAK SAMA DENGAN $2 TRILIUN
The Fed selama krisis kredit ini telah menambah monetary base nya sebesar kurang lebih 100% atau $1 triliun dengan memberikan kredit kepada bank-bank komersial dan menerima asset-asset beracun sebagai agunannya. Sulit untuk mengatakan, sampai seberapa jauh the Fed masih mau menerima asset-asset busuk itu sebagai agunan, karena the Fed adalah kumpulan bank swasta. Swasta punya kepentingan cari untung. The Fed lebih suka menerima surat hutang pemerintah. Jadi bisa saja the Fed masih mau menerima surat hutang pemerintah. Bagaimana dengan surat-surat hutang pemerintah yang dipegang negara lain? Apakah mereka akan membuangnya?

Kalau pemerintah berhutang untuk menambal defisit anggarannya, ada orang yang berpendapat bahwa akan banyak yang tidak mau membeli surat hutang pemerintah, apa lagi kalau pemerintah sudah kebanyakan hutang. Persoalannya terletak pada sifat mausia. Kalau anda punya hutang $100,000 maka anda yang tidak bisa tidur ketika jatuh tempo dan belum punya dana untuk melunasinya. Tetapi kalau hutang itu sebesar $ 2 triliun, krediturnya, banknya yang tidak bisa tidur dan cemas kalau anda belum punya dana. Bahkan kalau perlu, kreditur adan bank akan memberi perpanjangan waktu atau kredit tambahan.

Demikian juga Cina dan Jepang yang punya banyak surat hutang pemerintah US. Mereka tidak mau kalau US gagal bayar dan ngemplang. Jangankan gagal bayar, Cina dan Jepang juga tidak ingin melihat nilai hutangnya turun. Jadi mereka punya kepentingan untuk menjaga nilai dollar stabil dan kuat.
Disamping itu Cina masih memerlukan konsumen US untuk membeli produk-produk mereka. Supaya kompetitif, negara-negara yang berbasis ekonomi eksport akan melakukan devaluasi kompetitif dengan menurunkan nilai mata uangnya terhadap dollar atau mata uang konsumennya.

APA YANG TERJADI KALAU KREDIT BERKONTRAKSI?
Bayangkan kredit semakin langka. Barang langka dan diperlukan akan mahal. Apalagi kalau jumlahnya semakin berkurang. Semakin cepat kontraksinya, semakin cepat pula nilainya bertambah. Apalagi kalau ditambah dengan persepsi dan emosi. Lukisan Sapto Hudoyo naik berkali-kali lipat ketika beliau meninggal, karena dengan meninggalnya sang pelukis, maka tidak ada lagi penciptaan lukisan Sapto Hudoyo. Sama juga dengan US dollar. Dimasa deflasi akan mengalami appresiasi nilai, terhadap mata uang yang berekspansi atau mata uang yang kontraksinya lebih lambat.

Tentu saja pemerintah tidak bisa terus-menerus berhutang untuk menutupi defisit anggarannya. Hutang pemerintah harus dibayar. Dan dana ini berasal dari pajak. Pada akhirnya pemerintah harus dihadapkan pada pilihan berhutang terus dan bermuara pada menggagal bayarkan hutangnya. Atau menstop semua usaha-usaha mencegah deflasi dan kembali kepada anggaran yang berimbang, tanpa defisit.

Sekian dulu......, itulah tesis saya untuk mendukung opini saya, kenapa US dollar harus menguat. Lain kali kita akan bahas tentang resiko (hiper)-inflasi setelah masa deflasi. Sampai nanti.............


Disclaimer: Ekonomi (dan investasi) bukan sains dan tidak pernah dibuktikan secara eksperimen; tulisan ini dimaksudkan sebagai hiburan dan bukan sebagai anjuran berinvestasi oleh sebab itu penulis tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang diakibatkan karena mengikuti informasi dari tulisan ini. Akan tetapi jika anda beruntung karena penggunaan informasi di tulisan ini, EOWI dengan suka hati kalau anda mentraktir EOWI makan-makan.

22 comments:

maintenis said...

@IS

Menurut anda deflasi itu bagus bagi yang punya tabungan. Memang, asalkan kita tidak hidup di sistem interest bearing debt-based money.
Sekitar 90% suplai uang berbentuk hutang + bunga. Hutang diciptakan, tapi bunganya tidak.
Andaikan hutang = P dan bunga = I
Jumlah yang harus dibayar ke bank adalah P+I. Di era deflasi, P-nya saja menciut, bagaimana bisa membayar P+I?

Apakah deflasi bagus? Anda harus lihat pada tahun 1929-1934 di A.S. Pengurangan suplai uang sebesar 30% saja sudah menyebabkan depresi ekonomi yang parah & harus menggunakan perang sebagai alat pemulih ekonomi.

pensiun kaya said...

mas imam, kapan ya bisa ngerti hal seperti ini? apakah emas bisa melawan inflasi?

Imam Semar said...

@Main Tenis,

Bagaimana dgn I nya? Akhirnya default. Cerita saya belum selesai kok. Pada masa deflasi adalah masa perhitungan dosa. Para pendosa (orang yang terlibat dalam riba kredit)akhirnya dihukum.

Tentang perang sebagai solusi US untuk depresi deflasionari thn 1929-1940 adalah keputusan para politikus. Politikus Jepang tidak mengambil jalan perang untuk krisis deflasinya thn 1990-sekarang.

maintenis said...

Bagaimana dengan I? Buat apa dipertanyakan karena memang tidak ada. I selalu ada pada masa inflasi karena selalu ada hutang baru yang menggantikan hutang lama. Di masa deflasi, cenderung tidak ada hutang baru untuk menggantikan hutang lama. Sehingga semua orang yang berhutang akan kesulitan membayar P apalagi I karena suplai uang (kredit FRB) semakin langka. Deflasi bisa berdampak fatal bagi siapapun yang berhutang, baik orang biasa maupun perusahaan multinasional bisa fatal. Efeknya, silakan baca sejarah A.S tahun 1929-1934. Mungkin anda lupa.

Masalahnya orang-orang yang anda sebut pendosa tidak semua tahu tentang fractional reserve banking, atau mereka terpaksa terlibat di penipuan FRB ini, karena tidak ada jalan lain untuk mendapatkan uang kecuali ikut terlibat di FRB ini kan. Kenapa mereka juga harus diadili? Kenapa jemaah iblis yang sebenarnya yaitu bankir tidak dihukum mati saja?

Mengenai politikus Jepang, saya tidak tahu. Mungkin mereka tidak butuh perang. Lagipula tahun 1990 siapa yang mau diperangi?. Tapi yang pasti, ekonomi A.S baru pulih dari krisis 1929 setelah PD II

Imam Semar said...

@Maintenis,

Quote:
Masalahnya orang-orang yang anda sebut pendosa tidak semua tahu tentang fractional reserve banking, atau mereka terpaksa terlibat di penipuan FRB ini, karena tidak ada jalan lain untuk mendapatkan uang kecuali ikut terlibat di FRB ini kan. Kenapa mereka juga harus diadili? Kenapa jemaah iblis yang sebenarnya yaitu bankir tidak dihukum mati saja?
Unquote:

Kedua-duanya bersalah. Iblis bersalah karena menggoda, pendosa juga bersalah karena ketamakannya, termakan godaan, termasuk juga karena keawamannya terhadap FRB.

Quote:
Mengenai politikus Jepang, saya tidak tahu. Mungkin mereka tidak butuh perang. Lagipula tahun 1990 siapa yang mau diperangi?. Tapi yang pasti, ekonomi A.S baru pulih dari krisis 1929 setelah PD II
Unquote

Semua perang adalah buah dari keputusan yang bodoh. Pahlawan gerakan anti perbudakan Abraham Lincoln, melenyapkan 2% dari penduduknya untuk penghapusan perbudakan. Padahal di negara-negara Amerika Latin, perbudakan lenyap dengan sendirinya, tanpa perang.

Perang kemerdekaan RI, juga sama. Malaysia, Singapore, Brunei, Suriname, merdeka tanpa perang.

US tidak perlu melibatkan diri di PD II atau PD I di Eropa. Ancaman Hitler tidak bisa sampai ke US. Mereka seharusnya bisa terfokus di Pasifik saja.

Perang selalu bisa dihindari, tetapi politikus perlu roti dan sirkus.

Mahendra said...

@IS : menurut Mas IS, apakah penyebab melemahnya dollar saat ini ?

Apabila dollar harus menguat karena alasan yg sudah dijelaskan dalam tulisan, apakah USA juga tidak tinggal diam untuk melemahkan dollarnya lagi ?

Bisa jadi nanti akan ada 'perang' saling melemahkan. Sehingga lama2 uang kertas hilang nilainya alias cuma setumpukan kertas saja :)

Imam Semar said...

@Mahendra
Penguatan US$ sekarang ini disebabkan US$ carry trade, dan juga teknikal.

Bisakah US$ menjadi tidak berharga kalau ada perang?

Sangat mungkin, karena pembiayaan perang besar dan hanya bisa dari hutang. Jangankan perang, dalam kondisi biasa saja, arah uang kertas/fiat adalah menuju NOL. Hanya masalah kecepatannya saja. Dollar sudah kehilangan 98% dari nilainya sejak the Fed didirikan thn 1913.

isantoso said...

@maintenis:
Kalau memang perang bagus utk ekonomi kenapa ekonomi US jeblok setelah perang di Afghanistan & Iraq?

@IS: Kalau inflasi menyengsarakan rakyat & deflasi membabat pertumbuhan ekonomi (yang mana rakyat juga sengsara), lantas bagaimana rakyat bisa enggak sengsara?

Saya setuju bahwa inflasi adalah 'pajak' yang dibebankan pemerintah (yang defisit, kalau surplus pemerintah itu juga kena) kepada rakyat. Tapi bukankah ini lebih adil daripada income / corporate tax? Income tax hanya berlaku pada income yang sangat jelas. Misalkan artis / politisi sering dapat fasilitas (tiket pesawat business, hotel berbintang, dll). Dengan inflasi semua kena. Begitu pula inflasi mendorong orang2 utk lebih inovatif mempertahankan nilai kekayaannya.

PD II: Amerika terlibat adalah konsekwensi logis dari politik ekspansionisme Jerman. Kalau Jerman menguasai Eropa & Afrika maka Amerika & Australia tinggal tunggu waktu (Asia sudah dikuasai Jepang). Kalau diibaratkan, rumah tetangga sedang terbakar, apakah ikut memadamkan atau menunggu api sampai di halaman rumah sendiri?

Juga ada perbedaan secara ideologis, masyarakat amerika tidak suka akan adanya penguasa mutlak (Hitler, Stalin, dsb). Terbukti dengan perang dingin setelah PD II.

Mahendra said...

@isantoso = menurut saya apabila masyarakat ingin terhindar dari kesengsaraan, maka ada 4 hal yg harus dilakukan :

1. Menghindari sekuat mungkin berhubungan dengan Bank. Dengan menghindari berhubungan dengan Bank maka FRB bisa diredam semaksimal mungkin.

2. Sekali lagi menghindari berurusan dengan Bank. Hal ini akan mengurangi semaksimal mungkin tumbuhnya bunga bank alias riba

3. Menggunakan mata uang sejati (baca : emas/perak) ketimbang kertas. Dengan demikian pemerintah tidak bisa menurunkan semau-maunya nilai uang kertas (devaluasi, sanering)

4. Menciptakan sebanyak mungkin pasar2 terbuka sehingga seluruh bagian masyarakat bisa berpartisipasi.

Imam Semar said...

Tambahan buat Mahendra:

5. Pemerintahan yang kecil dan effisien (tidak perlu banyak departemen, wakil presiden, wakil gubernur, MPR, DPA, DPRD).

6. Pajak penghasilan yang kecil 2.5% - 10% saja. Tidak ada bea masuk, PPN, PBB....

7. Kalau ada pajak penjualan seperti mobil, maka uangnya harus diallokasikan untuk penambahan jalan.

8. Kalau ada pajak hasil bumi, maka uangnya harus dipakai untuk pembuatan irigasi. Dan seterusnya.

Imam Semar said...

@ISantoso,
Kalau inflasi menyengsarakan rakyat & deflasi membabat pertumbuhan ekonomi (yang mana rakyat juga sengsara), lantas bagaimana rakyat bisa enggak sengsara?

Sudah dijawab oleh Mahendra. Yang penting, kerja keras dan effektif (orang Islam menyebutnya sabar & saleh) dan jangan mau dieksploitir oleh banker dan politikus.

Begitu pula inflasi mendorong orang2 utk lebih inovatif mempertahankan nilai kekayaannya.


Bukankah pikiran dan usaha akan lebih baik difokuskan ke kerja yang produktif dari pada dibebani oleh problem menghindari turunnya nilai tabungan karena inflasi?

PD II: Amerika terlibat adalah konsekwensi logis dari politik ekspansionisme Jerman. Kalau Jerman menguasai Eropa & Afrika maka Amerika & Australia tinggal tunggu waktu (Asia sudah dikuasai Jepang). Kalau diibaratkan, rumah tetangga sedang terbakar, apakah ikut memadamkan atau menunggu api sampai di halaman rumah sendiri?

Uni Soviet hancur karena perang Afganistan yang menghancurkan perekonomiannya, bukan karena perang dengan US.

Sama juga dengan Jerman Hitler, akan hancur karena ekspansinya. Sejarah menunjukkan semua empire yang ekspansif akan runtuh. US tidak perlu terlibat di PD II atau
di Vietnam.

Juga ada perbedaan secara ideologis, masyarakat amerika tidak suka akan adanya penguasa mutlak (Hitler, Stalin, dsb). Terbukti dengan perang dingin setelah PD II.

Semua juga tidak suka penguasa mutlak. Hitler bukan penguasa mutlak, dia dipilih secara demokratis!!!! Sama seperti Bush yang mengobarkan perang Irak. Atau pemenang Nobel Perdamaian Obama, yang mau menghentikan perang Irak dan memulai lagi perang Afganistan.... Itu demokrasi.

:D

isantoso said...

Bukankah pikiran dan usaha akan lebih baik difokuskan ke kerja yang produktif dari pada dibebani oleh problem menghindari turunnya nilai tabungan karena inflasi?


Sebelumnya saya mohon maaf, tapi bukankah anda sendiri mengalihkan portfolio dari emas ke USD? (yang mana saya juga mengikuti langkah anda karena saya merasa argumen2 anda cukup meyakinkan.) Tujuannya apa kalau bukan menghindarkan penyusutan / mencari profit? Sekali lagi mohon maaf se besar2nya.

Semua juga tidak suka penguasa mutlak. Hitler bukan penguasa mutlak, dia dipilih secara demokratis!!!!


...yang mana kemudian Hitler membunuh semua lawan politiknya. Seorang penguasa dinilai sebagai diktator bukan dengan cara bagaimana cara dia memperoleh kekuasaan tersebut, melainkan bagaimana cara dia mempertahankan kekuasaannya. Kalau dengan cara menghabisi lawan politik, itu diktator atau bukan?

Mahendra said...

@IS : thx atas tambahanan informasi. Lengkap semua tuh :) Untuk nomer 6 baiknya cukup 2,5% saja :)

@Isantoso : berdoa aja Pak ..hehehe .. Sekarang negara2 di eropa sudah mulai jerit2 karena nilai mata uangnya meningkat ketimbang US. Sedangkan US sendiri berkepentingan melemahkan mata uangnya untuk keperluan export dan menyehatkan ekonominya.

Jadi kita lihat saja nanti di pertemuan G20 bulan November, apakah ada langkah yang lebih kongkrit atau nanti akan ada 'perang' mata uang :)

Saran saya buat ISantoso, kalo anda punya uang baiknya diputar ke dalam perdagangang yang riel dan apabila hanya ingin 'menabung', tabunglah dalam bentuk harta yg sejati yaitu emas dan perak.

maintenis said...

@isantoso
Ekonomi US sekarang hancur bukan karena perang, tapi karena financial derivatif.

@imam semar
Lalu kenapa si iblis itu malah di bailout dengan menggunakan uang pembayar pajak, dan tidak dihukum sebagaimana mestinya?

Baca lagi sejarah US, dulu FDR berusaha untuk memompa uang ke masyarakat US pada masa krisis deflasi dengan proyek-proyek infrastruktur besar-besaran, tapi hal itu tidak ada gunanya. Saat perang, pemerintah US mencetak uang secara besar-besaran untuk memenangkan perang dan mengakibatkan "uang" yang "hilang" semasa krisis deflasi tergantikan dari perang tersebut.

Menurut saya, kalau Jepang berperang dengan negara X (X= yang mana saja), krisis Jepang tidak akan selama ini.

Lagipula inflasi dan deflasi tidak lain dan tidak bukan hanyalah penggelembungan dan penciutan suplai uang.

Imam Semar said...

@Isantoso,
Seorang penguasa dinilai sebagai diktator bukan dengan cara bagaimana cara dia memperoleh kekuasaan tersebut, melainkan bagaimana cara dia mempertahankan kekuasaannya. Kalau dengan cara menghabisi lawan politik, itu diktator atau bukan?.

Walaupun Hitler menyingkirkan lawan politiknya, tetapi dia tetap mendapat dukungan rakyat. Diajak perang dengan Soviet mau yang menyebabkan puluhan ribuan rakyat Jerman mati. Bukankah itu intinya...., mendapat dukungan rakyat?

Bagaimana dengan Lincoln, 2% penduduk US mati, untuk perang yang bisa dihindari? Atau FDR.

Bagi saya...., kampanyekan dan memberikan pendidikan kepada umum tentang bagusnya minimum intervention dan pemerintahan yang ramping, laissez faire.

Saat perang, pemerintah US mencetak uang secara besar-besaran untuk memenangkan perang dan mengakibatkan "uang" yang "hilang" semasa krisis deflasi tergantikan dari perang tersebut.

Pada PD II, US memasok persenjataan, bahan bakar dan logistik ke kedua belah pihak sebelum akhirnya turut dipihak sekutu. Pada waktu itu US punya sumber alam, mineral, minyak dan teknologi serta mesin produksi. Di situ US memperoleh keuntungan. Hutang Inggris kepada US baru lunas 3 tahun lalu!!!

maintenis said...

Pada PD II, US memasok persenjataan, bahan bakar dan logistik ke kedua belah pihak sebelum akhirnya turut dipihak sekutu. Pada waktu itu US punya sumber alam, mineral, minyak dan teknologi serta mesin produksi. Di situ US memperoleh keuntungan. Hutang Inggris kepada US baru lunas 3 tahun lalu!!!

Lalu yang mengubah sumber daya alam sebagainya menjadi senjata dan lain-lain kan rakyat US. Rakyat US dibayar dengan dolar karena mereka menyediakan tenaga kerja untuk memproduksi. Dolar-dolar ini kemudian menggantikan "kredit" yang hilang selama masa deflasi. Karena dolar kembali melimpah maka rakyat US bisa kembali saling bertukar barang dan jasa dan ekonomi bisa bergerak kembali. Itu maksud saya. Rakyat US bisa "selamat" dari krisis 1929-1934 menurut saya karena dolar yang saya ceritakan diatas diambil dari hutang pemerintah. Hutang pemerintah lebih lama waktu jatuh temponya daripada hutang individual dan agunannya cuma pajak. Sehingga uang-uang ini bisa bertahan lebih lama di ekonomi. Keadaannya akan berbeda jika pemerintah diam saja dan menyerahkan masalah ini ke individual atau korporasi, saat itu mereka sudah tidak mampu berhutang dan korporasi sudah banyak yang bangkrut. Tidak akan ada uang di ekonomi dalam waktu yang lama dan rakyat US tidak akan bisa saling bertukar barang dan jasa walaupun mereka itu produktif.

Imam Semar said...

@maintenis,

Ekonomi US selama/setelah PD II bisa bergerak. Banyak orang bisa kerja (untuk membunuh, bukan untuk kemakmuran), inflasi meningkat. Tetapi kemakmuran tidak meningkat. Dalam arti PD II membuat rakyat US sibuk untuk membunuh bukan untuk kemakmuran. Apakah ini lebih baik dari pada duduk berdiam diri menganggur?

Dari segi income riil juga tidak bertambah.

Jeleknya PD II, Eropa yang juga kena depressi, makin hancur.

Sejarah yang dibuat politikus telah meromantisir perang (PD II). Penuh plintiran seakan PD II telah menyelamatkan US dari depressi. Sejarahwan tidak menulis bagaimana perang merubah depressi menjadi kesengsaraan yang jauh lebih buruk di Eropa.

maintenis said...

Saya tidak berbicara tentang Eropa, saya berbicara tentang US, dan saya tidak ingin membahas perang itu merugikan siapa dan menguntungkan siapa, karena itu sudah pasti!!

Anda suka atau tidak, perang adalah generator hutang terbesar. Karena hutang diperlakukan sebagai uang, maka hutang dari pemerintah AS untuk membiayai perang juga menjadikan PD II sebagai generator uang terbesar.
Meskipun warga US kekurangan uang pada masa deflasi, pada masa PD II tiba-tiba tidak ada kekurangan uang dan pekerjaan, bahkan pabrik-pabrik senjata yang mencari-cari pekerja, bukan sebaliknya.

Uang itu bagaikan darah bagi industri dan perdagangan. Tanpa uang, orang-orang tidak akan bisa melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi seperti tukang bangunan tidak bisa membangun rumah karena kehabisan meteran.

Perang menurut saya adalah solusi terakhir untuk memasukkan uang ke ekonomi secara masif untuk memulihkan ekonomi ketika cara-cara sebelumnya sudah tidak efektif/tidak cukup untuk memasukkan uang kembali ke ekonomi selama sistem debt-based money dan fractional reserve banking belum diubah.

art said...

To maintenis

perang adalah hal yang seharusnya dihindari, cara terbaik untuk menciptakan uang adalah dengan mengambil sesuatu dari alam yang dapat diperbaharui dengan cepat, diantaranya adalah dengan farming, anda mengambil sesuatu yang akan diperbaharui kembali oleh alam, berapa banyak pun yang anda ambil if u give time, nature will give u back

yang penting jangan keterlaluan kaya di indo nebang pohon gak kira2 sampai hutan babak belur, so invest in renewable resources

selain itu juga dengan memberikan nilai tambah, research, teknologi, make our life easier and more productive

itu yang seharusnya dibuat oleh semua orang dan semua negara, bukan hal yang tidak produktif seperti perang

siapa yang ingin perang ??? jawabannya jelas penjual senjata, if nobody wants to have war, they go bankrupt

there's many other way to have a more productive economy than spur it through some insanity crazy politician that want some shortcut by using war

maintenis said...

@art
Masalahnya orang-orang sudah ketagihan dengan uang. Tanpa uang, kegiatan ekonomi tidak akan berjalan. Apa anda mau kembali ke sistem barter?

Percuma saja jika di sekeliling kita ada resource melimpah tapi tidak ada uang. Seperti yang saya bilang sebelumnya, orang akan berhenti membangun rumah jika kehabisan meteran. Seperti orang-orang yang produktif pada masa boom ekonomi tapi ketika masa krisis ekonomi, langsung tidak bisa bekerja. Jadi, menurut saya penyebab krisis adalah pengurangan uang di ekonomi rill, bukan karena tidak produktifnya masyarakat.

Meskipun begitu, uang diciptakan sebagai hutang. Tanpa hutang berarti tidak akan ada uang di ekonomi. Kalau orang-orang sebelumnya sudah capek/tidak bisa berhutang. Maka hutang harus diciptakan dengan berbagai cara. Termasuk memberikan kredit kepada orang yang tidak punya kemampuan untuk mengembalikannya, bailout untuk bank yang insolvent, dan menyatakan perang ke negara lain yang bukan demi mempertahankan tanah air dan konstitusi.

Imam Semar said...

@maintenis,

quote:Jadi, menurut saya penyebab krisis adalah pengurangan uang di ekonomi rill, bukan karena tidak produktifnya masyarakat.

Kalau begitu Zimbabwe akan menjadi negara yang ekonominya terbaik. Beitukah maksudnya?

quote:
Meskipun begitu, uang diciptakan sebagai hutang. Tanpa hutang berarti tidak akan ada uang di ekonomi. Kalau orang-orang sebelumnya sudah capek/tidak bisa berhutang. Maka hutang harus diciptakan dengan berbagai cara. Termasuk memberikan kredit kepada orang yang tidak punya kemampuan untuk mengembalikannya, bailout untuk bank yang insolvent, dan menyatakan perang ke negara lain yang bukan demi mempertahankan tanah air dan konstitusi.

Kalau begitu Uni Soviet (thn 1980an), atau Argentina jaman Peron, atau Indonesia tahun 1997 - 1999seharusnya menjadi negara yang bebas dari krisis ekonomi. Hutangnya banyak sekali......

He he he he he.....

maintenis said...

Kalau begitu Zimbabwe akan menjadi negara yang ekonominya terbaik. Beitukah maksudnya?

Yang terjadi di Zimbabwe adalah kelebihan uang, bukan kekurangan uang. Tapi kelebihan uang ini tidak diimbangi dengan banyaknya barang dan jasa. Tapi apa mungkin pertumbuhan barang dan jasa mengimbangi pertumbuhan uang yang besarnya 7600% per tahun?

http://capetownnews.co.za/2007/09/22/zimbabwe-faq-why-the-hyperinflation-how-do-they-fix-it/

Kalau begitu Uni Soviet (thn 1980an), atau Argentina jaman Peron, atau Indonesia tahun 1997 - 1999seharusnya menjadi negara yang bebas dari krisis ekonomi. Hutangnya banyak sekali......

He he he he he.....


Hutang Amerika paling banyak di bumi, seharusnya mereka adalah negara paling kebal krisis.

Hehehehehehehehehehehehehe......

Anda sudah tau kan yang namanya hutang harus dibayar. Di masa-masa tertentu ada pengurangan uang di ekonomi yang diakibatkan pembayaran hutang lama. Kalau pembayaran hutang lama tidak diimbangi dengan penciptaan hutang baru, maka yang terjadi adalah deflasi.