___________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Doa pagi dan sore

Ya Allah......, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari bingung dan sedih. Aku berlindung kepada Engkau dari lemah dan malas. Aku berlindung kepada Engkau dari pengecut dan kikir. Dan aku berlindung kepada Engkau dari tekanan hutang, pajak, pembuat UU pajak dan kesewenang-wenangan manusia.

Ya Allah......ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim dan para penarik pajak serta pembuat UU pajak selain kebinasaan".

Amiiiiin
_______________________________________________________________________________________________________________________________________________

Saturday, April 19, 2008

BAGAIMANA?

Menuju Negara yang Makmur (Bagian I)

Janji mudah diucapkan, kalau tidak ada pertanyaan yang cerdas. Salah satu pertanyaan cerdas dimulai dengan kata “Bagaimana”. Pertanyaan ini menguji dan meminta kejelasan mekanisme proses. Di dalam politik, pertanyaan ini jarang keluar, mungkin karena insan politik kurang cerdas. Andaikata pertanyaan ini keluar, jawaban yang tidak tuntaspun sudah cukup memuaskan.

Pemenang Pilkada Kabupaten Nganjuk dituntut (oleh mahasiswa) untuk merealisasikan janjinya, yaitu layanan kesehatan dan pendidikan gratis. Walaupun namanya mahasiswa, maha = besar, siswa = murid, pelajar yang telah mencapai tingkat yang tinggi, tetapi nampaknya mereka tidak cerdas. Mungkin ada persoalan yang mendasar dengan pendidikan mereka. Mungkin juga mereka ini adalah mahasiswa jurusan sosial & politik yang tingkat kecerdasannya berada di level yang paling rendah. Para mahasiswa ini gagal bertanya kepada calon bupati itu ketika kampanye dengan pertanyaan: “Bagaimana pak calon bupati membuat layanan kesehatan dan pendidikan gratis?”.

Tingkat kecerdasan seseorang bisa diukur dengan kepuasan terhadap jawaban pertanyaan yang diajukannya. Semakin tinggi tingkat kecerdasan seseorang, semakin menuntut jawaban yang bermutu. Kalau kurang bermutu, maka ia akan bertanya lagi.

Untuk menguji intelektual anda, berikut ini ada imaginer wawancara antara reporter EOWI dengan calon pemimpin, tidak terlalu penting apa itu calon presiden, gubernur, bupati, anggota DPR. Sebut saja Capim. Sampai seberapa jauh anda puas dengan jawaban Capim itu. Kalau anda nanti berhadapan dengan para politikus yang berkampanye untuk pilkada atau pemilu 2009, anda sudah nampak cerdas. Bukannya ingin menghina, tetapi blog ini adalah tempat kita semua mencerdaskan intelektual kita. Kita mulai saja wawancara imajiner kita.

EOWI: Kami dengar bapak akan memberikan program layanan kesehatan dan pendidikan gratis dan juga program pangan murah. Apakah tujuan janji ini untuk mencari popularitas dalam rangka memenangkan pemilihan ini atau bapak mau menwujudkan kemakmuran dan pengentasan kemiskinan di Indonesia?

Capim: Tentu saja untuk mewujudkan kemakmuran di Indonesia.

EOWI: Kami tidak percaya hal itu. Nanti akan kami buktikan. Tetapi untuk sementara kita lupakan saja. Kita lanutkan saja dengan topik semula. Bagaimana bapak melakukannya, memberikan program layanan kesehatan dan pendidikan gratis dan juga program pangan murah?

Capim: Nanti kami akan membuat peraturannya dan kemudian akan diimplementasikan.

EOWI: Maksud kami, dari mana dananya. Bukankah guru, dokter perlu gaji dan pangan perlu dibeli. Apakah anggota partai bapak mau memberikan pelayanan kesehatan dan pendidikan gratis, merawat rumah sakit gratis? Lalu menanam padi dan bahan pangan lain dan membagikannya kepada rakyat dengan gratis?

Capim: Tentu saja tidak. Kami akan ambilkan dari APBN.

EOWI: Bagaimana mungkin. Sekarang saja APBN sudah selalu defisit dan ditutup dengan hutang?

Sampai disini Capim kelas rendahan akan terpojok dan knock down. Untuk yang type die-hard, masih bertahan dengan argumen konyolnya. Walaupun banyak skenario yang bisa terjadi, kita akan melihat dua (2) skenario saja. Skenario pertama adalah:

Skenario A.
Capim: Dana tambahan akan dapat diperoleh dari peningkatan pendapatan pajak.

EOWI: Maksud bapak, pajak akan dinaikkan?

Capim: Ya.

EOWI: Artinya bapak akan membebani rakyat dengan pajak. Kami harus bayar pajak, sebagian pajak itu dipakai untuk membayar tambahan pegawai pajak, pengawas pajak, pengejar pajak, hakim dan jaksa untuk mengadili penggelap pajak dan sisanya untuk program sekolah, layanan kesehatan gratis dan pangan murah. Kalau caranya demikian, rakyat akan lebih makmur tanpa program yang bapak ajukan. Tanpa program bapak, jumlah uang yang seyogyanya akan bapak tarik itu bisa dipakai langsung untuk membayar sekolah, layanan kesehatan dan beli pangan, tanpa dikurang dengan biaya birokrasi.

Capim: Pajak itu akan ditarik dari orang-orang yang mampu. Subsudi silang.

EOWI: Tetap saja, pak. Andaikata uang itu harus masuk ke pajak dulu baru disalurkan ke program pengentasan kemiskinan, maka tidak 100% larinya ke rakyat. Sebagian ke birokrasi. Sebenarnya dengan uang itu, orang-orang kaya bisa membeli jasa rakyat kecil, sebagai tukang cuci mobil, pedagang gorengan, pembantu rumah tangga, tukang kebun, pelatih anjing piaraah dan lain-lain. Bukankah lebih baik kalau 100% masuk ke masyarakat tanpa lewat birokrasi dan pemerintah? Bukankah masyarakat menjadi berguna dengan bekerja?

Capim: Kalau memang hal itu memberatkan dan buka ide yang bagus, kita bisa menaikkan pajak perusahaan.

EOWI: Bagaimana mungkin hal itu bisa mewujudkan pengentasan kemiskinan. Perusahaan akan menekan biaya produksinya dan gaji karyawannya ditekan rendah.

Capim: Untuk itu upah minimum regional akan selalu di evaluasi. Kalau perlu dinaikkan.

EOWI: Bagaimana kalau perusahaannya rugi, bangkrut atau hengkang dari Indonesia. Banyak perusahaan asing yang sudah hengkang dari Indonesia ke Vietnam.

Capim: Hak-hak buruh akan dilindungi, uang pesangon harus diberikan.

EOWI memberikan pukulan pamungkasnya: Pak...., itu tidak menjawab persoalan buruh yang kehilangan penghasilan. Dari pada bapak memajaki, memaksa-maksa perusahaan, yang akhirnya membuat perusahaan tutup dan investasi lari, lebih baik kalau pajak perusahaan dihapuskan, sehingga mereka bisa menggaji buruh lebih tinggi. Rakyat tidak perlu dilindungi seperti itu. Sebab cara bapak sama dengan membunuh pekerja melalui cara-cara yang berkedok perlindungan. Sebaiknya kurangi birokrasi dan anggota-anggota partai bapak disuruh jadi tenaga suka rela sebagai guru, dokter dan petani. Bapak tidak mau bukan? ....... terbukti ketidak percayaan kami.

Skenario B.
Capim: Kita bisa mencari pinjaman, untuk menutupi defisit APBN. Ini sifatnya sementara. Nanti kalau ekonomi sudah membaik, kita bisa bayar hutang itu dengan surplus APBN.

EOWI: Bagaimana skenario itu bisa terjadi?

Capim: Program pengentasan kemiskinan ini adalah bagian dari stimulasi ekonomi. Diharapkan ekonomi akan membaik dengan stimulasi ini.

EOWI: Bukankah layanan kesehatan dan pangan murah adalah konsumsi? Maksud kami, program ini bukan untuk menambah barang modal untuk menggerakkan ekonomi. Bagaimana stimulasi yang sifatnya konsumsi ini bisa berjalan dan menghasilkan perbaikan ekonomi? Kalau konsumsi atau makan bisa memperbaiki ekonomi,ayoo kita makan yag banyak, berlibur, berpesta!!! Begitu kah??

Capim: Pertanyaan itu terlalu detail. Pemerintah hanya berurusan dengan hal makro, strategy dan policy.

EOWI memberikan komentar pamungkasnya: Pak, yang kami tanyakan adalah persoalan mendasar. Kami tidak bisa melihat bagaimana rencana bapak bisa menghasilkan kemakmuran.

Tetapi EOWI masih ingin mempermainkan bapak Capim lebih lanjut: Baiklah, katakanlah program bapak bisa berhasil, yang sebenarnya bapak masih belum bisa menjelaskan mekanisme kerjanya. Bapak dalam hal ini kami biarkan lolos. Pertanyaan berikutnya. Kalau bapak berencana mendanai projek ini dari pinjaman, bukankah nantinya harus dibayar?

Capim: Iya, betul. Pada saat kita kuat nanti, kita akan membayar hutang itu. Kalau ekonomi membaik pendapatan pajak akan naik.

EOWI: Bagaimana bapak begitu yakin bahwa kita akan mampu membayar hutang berserta bunganya dikemudian hari.

Capim: Kita harus optimis. Dengan rencana yang baik dan program yang baik, insya Allah kita akan berhasil.

EOWI: Allah mafi insya (Tuhan tidak akan lupa). Bapak tidak menjawab pertanyaan saya, melainkan berdoa. Allah bisa mengabulkan doa bapak, dan juga bisa menolak. Saya akan jelaskan pertanyaan saya lagi. Mungkin bapak bisa memberi contoh, kapan dalam sejarah Indonesia bebas hutang?

Capim: Wah saya tidak ingat.

EOWI: Tidak ingat atau pada kenyataannya Indonesia tidak pernah bebas hutang?

Kelihatannya Capim sudah KO.

EOWI: Baiklah,..... kalau bapak tidak bisa menjawab, tidak apa-apa. Kita lanjutkan saja dengan pertanyaan berikutnya.
Kalau program layanan kesehatan dan sekolah gratis itu nantinya harus dibebankan kepada pembayar pajak, yaitu rakyat juga, berarti bukan gratis dong. Dimana unsur gratisnya. Akhirnya kita harus bayar juga.

Sampai disini Capim betul-betul KO dan ingin menginggalkan mimbar.

EOWI: Pak, saya anjurkan supaya bapak mengundurkan diri, karena program bapak tidak akan berhasil dan sebenarnya rakyat sudah bosan dan tahu bahwa janji itu tidak akan terpenuhi. Pemilihan gubernur Jakarta, Jawa Barat, Maluku Utara, Sulawesi Selatan dimenangkan oleh kursi kosong. Bahkan untuk Jawa Barat Kursi Kosong menang mutlak 58% dari pemilih terdaftar........

Pembaca yang waras sekalian, ternyata rakyat Indonesia masih banyak yang waras. Mereka sebenarnya tidak menginginkan gubernur, bupati atau politikus. Buktinya beberapa PILKADA dimenangkan oleh Kursi Kosong, seperti yang tertera di tabel dibawah ini. PILKADA Sumatra Utara kemungkinan hasilnya adalah kemenangan Kursi Kosong yang lebih telak dari pada PILKADA Jawa Barat.


Hidup Kursi Kosong. Anda mau pajak hanya 2.5% - 10%? Jangan pilih politikus yang membuat birokrasi meraksasa. Mahal!!! Beri tahu kepada teman-teman anda.

Salam Waras, sampai nanti.....
Jakarta 19 April 2008.

9 comments:

Anonymous said...

saran saya agar golput jelas terukur dan bukan karena pemilih kesiangan bangunnya atau lagi mau ada acara kondangan, maka sebaiknya kalau memang pemilih itu sadar politik, ya tetep saja datang ke TPS-TPS dan coblosilah semua tanda gambar. Nah, itu baru golput yang sebenarnya. nanti pas penghitungan kan kita tonton bareng-bareng tuh sambil bersorak setiap kali kartu suaranya hangus. kalau tidak, jangan-jangan angka 57% jabar, 39% dki, 33% sulsel sebagian besar "golput" karena alasan-alasan di atas tadi. repot dong!

Imam Semar said...

Ada pemilih "hard-core"/fanatik yang datang ke TPS mengikuti penghitungan suara, ada yang nyoblos terus pulang.....,

Secara logika:
Orang yang tidak merasa perlu adanya gubernur/bupati/presiden, juga merasa tidak perlu datang ke TPS untuk memilih.

Orang yang mau memperbesar golput (hard-core golput), akan berkampanye saja untuk golput.

Datang ke TPS untuk menyaksikan perhitungan suara, tidak perlu karena golput tidak akan dicurangi. Dan bersorak-sorak ketika ada suara yang hangus adalah sikap yang emosionil. Golput seharusnya orang yang rasionil. Jadi jangan diharapkan ada yang datang untuk bersorak-sorang ketika ada suara hangus.

Salam waras,

Anonymous said...

tapi itu kan logika dan perasaan kita saja, bung semar.

melanjutkan pertanyaan "bagaimana"-nya yang biasanya susah dijawab, seharusnya golput juga harus jelas ukurannya dan "bagaimana" cara mengetahuinya adalah dengan datang ke TPS dan hanguskan surat suara.

tidak sesuai logika mencari jawaban yang empiris (untuk menjelaskan "bagaimana") kalau kemudian kita kelompok-kelompokkan saja ada yang namanya hard core, soft core, mediocre golput.

Imam Semar said...

Anonymous: tapi itu kan logika dan perasaan kita saja, bung semar.

IS: Adakah cara lain?

Anonymous: seharusnya golput juga harus jelas ukurannya

IS: Sudah jelas, yaitu suara yang tidak memilih. Argumen "pemilih kesiangan bangunnya atau lagi mau ada acara kondangan" bukan alasan tetapi dalih. Dalam ilmu logika dibedakan antara dalih (excuse) dan alasan (reason).

Anonymous: dan "bagaimana" cara mengetahuinya adalah dengan datang ke TPS dan hanguskan surat suara.

IS: Terima kasih atas sarannya. Tetapi cara ini tidak effisien. Sama saja dengan membunuh orang mati. Kalau tidak datang ke TPS sudah cukup,kenapa harus datang dan membuat vote yang hangus. Ini yang disebut over-done, berlebihan.

Anonymous said...

Caranya untuk membiayai janji sih gampang pak. Rahasianya jangan pakai teori ekonomi kuno Inggris, dimana uang harus dipinjam dari bankir dengan bunga tertentu. Cetak saja uang sendiri, tapi jangan dibacking dengan emas, namun dengan pekerjaan dan barang yang nilainya setara. Dengan begitu uang yang akan menjadi pelayan manusia, bukan sebaliknya.

Imam Semar said...

Mandrivalover,

Harus diingat bahwa pemerintah bukan badan usaha yang punya asset dalam arti sebenarnya. Misalnya kekayaan alam milik negara tidak bisa dimanfaatkan kalau tidak ada swasta. Berapa nilai minyak yang dikandung di bumi Indonesia yang belum di eksplorasi? Untuk ini anda harus menilainya dengan expected monetary value dengan memasukkan risk factors. Dengan kata lain, valuasinya susah. Belum lagi pertanyaan "kalau ada swasta yang mau mengambilnya"

Kalau mau di back up dengan services, susah juga. Pemerintah bukan badan usaha penyedia services.

Jadi....., kalau mau nyetak duit, back up nya hanya dengan janji kosong.

Anonymous said...

Terus BUMN itu artinya apa donk, badan usaha milik negara kan singkatannya? :). Bapak pernah dengar Labor Treasury Certificate? Ini adalah sejenis Greenback versi Jerman. Setelah perang dunia I, Jerman mulai mengerjakan proyek-proyek pekerjaan umum, dan nilai proyek ini ditentukan 1 milyar unit mata uang baru.Saya lupa proyeknya apa saja tapi yang jelas paling banyak pada pembangunan dan perbaikan infrastruktur. Jutaan orang dipekerjakan untuk membangun proyek-proyek ini. Mereka dibayar dalam bentuk sertifikat ini. Sertifikat ini tidak dibacking dengan emas ataupun hutang, namun dengan sesuatu yang memiliki nilai yaitu tenaga kerja dan atau material yang diberikan kepada pemerintah. Kemudian oleh para pekerja tersebut sertifikat ini bisa digunakan untuk membeli berbagai barang dan jasa.
Dengan kata lain tidak harus dibacking dengan kekayaan alam Indonesia toh? Pada post saya sebelumnya saya sama sekali nggak menyinggung tentang itu lho.
Negara ini jadi lebih indah kan bila para pekerja dibayar senilai dengan yang mereka kerjakan, bukan dengan uang yang dijamin dengan emas atau sekuritas lainnya yang berada dibalik pintu besi bank?

Imam Semar said...

Thanks untuk pertanyaannya. Hal ini sudah saya rencanakan untuk dijadikan topik pada seri berikutnya. Tatapi tidak ada salahnya saya jawab.

Pertama tentang kupon/sertifikat hasil kerja. Pada dasarnya kupon seperti ini sama saja dengan uang kertas, surat hutang, dsb. Struktur seperti yang anda ajukan adalah pola intervensionisme, yang biasanya akan berakhir pada sosialisme, komunisme dan akhirnya kehancuran-pelan tapi pasti.
Anda katakan:

"para pekerja dibayar senilai dengan yang mereka kerjakan"

Siapa yang menentukan "harga pekerjaan anda?". "Pasar kah yang artinya marked to market atau politikus yang artinya marked to fantasy. Kalau saya lihat proposal anda maka pilihannya adalah marked to fantasy. Kalau begini maka akan sarat dengan kolusi dan nepotisme.

Bagaimana alur aliran kupon-jasa-barang ini. Dari projek2 infrastruktur yang dikerjakan diciptakan kupon. Apakah projek ini akan bisa menarik barang dan jasa sehingga ada pekerja yang ingin mengkonversikan kuponnya ke uang/jasa di pengelola infrastruktur ini bisa dilakukan? Kalau tidak, maka nasib kupon ini akan sama dengan kupon makannya mbak Tutut dulu, nggak laku. Apapun bentuknya intervensionisme akan berakibat buruk.

Tentang BUMN, hanya namanya badan usaha "milik" negara. Negara itu sendiri bukan badan usaha. BUMN adalah wahana intervensionisme. Pertamina untuk monopoli/tataniaga minyak, PLN untuk listrik, PTP untuk perkebunan, TVRI (dulu) untuk siaran tv.....

Akhirnya banyak yang perlu anda tanyakan: dari mana modal BUMN, bagaimana kinerjanya, bagaimana outlook ke depan. Apakah lebih baik kalau dihapuskan. Kalau TVRI masih memonopoli arena TV, anda tidak bisa menikmati Discovery, National Geography, Movie Star, CNBC, dsb......... Kalau TVRI dihapuskan, anda tidak perlu bayar pajak TV (ada bagian pajak yang dialokasikan ke TVRI)....., buat apa service yang tidak menarik itu?

Anonymous said...

1. Kalau saya pribadi malah intervensi dibidang ekonomi harus dilakukan, karena dengan itulah pemerintah bisa membuktikan dirinya ada (benar-benar mempunyai kekuasaan) Kalau pemerintah tidak bisa (salah satu contoh) tidak bisa membangun infrastruktur yang dibutuhkan untuk kepentingan rakyatnya hanya karena tidak ada uang apa bisa pemerintah disebut berkuasa? Yang jelas-jelas berkuasa disini adalah yang punya kekuasaan menciptakan modal. Siapapun presiden/pejabatnya. Kalau begini akan makin banyak orang seperti bapak yang mengampayekan kursi kosong. Memang logis untuk tidak memilih orang yang sebenarnya tidak punya kekuasaan sama sekali, tapi kerjanya cuma tidur saat rapat dan cuma memikirkan bagaimana uang pajak bisa digunakan sebaik-baiknya untuk kemakmuran sendiri. Walaupun anda bilang intervensi dari pemerintah akan berakibat buruk bagi ekonomi, Jerman waktu itu sudah mengatasi pengangguran hanya dalam waktu 2 tahun, dan kemudian kembali memulai perdagangan internasionalnya disaat negara-negara yang terlibat dalam perang dunia I rakyatnya masih hidup dari belas kasihan pemerintah mereka. Selain itu juga ekonomi Jerman tidak jatuh pelan-pelan namun memang sengaja dihancurkan oleh pihak-pihak yang tidak suka dengan cara Jerman yaitu mereka berani mencetak uangnya sendiri. Pihak-pihak tersebut adalah para bankir internasional yang tidak suka hak istimewa mereka dirampas.
2.Walaupun "harga dari pekerjaan" ini perlu pembahasan lebih lanjut. Bisa ditentukan diawal kan misalnya kuli pembangun jembatan = 10
Tukang aduk semen = 5
Pekerja lulusan teknik sipil yang kerjanya menghitung = 30.
dst.
Pada contoh sekarang yang saya ajukan memang masih marked to fantasy, karena ini memang baru dalam tahap contoh, namun untuk menuju marked to market memang perlu pembahasan lebih lanjut pada tim yang mengerjakan proyek itu tentunya, dan pada akhirnya setelah proyek-proyek tersebut selesai, di masyarakat akan ada uang dengan jumlah tetap. Yang artinya kita akan mempunyai mata uang yang kuat, stabil dan tanpa inflasi. Kalau kolusi dan nepotisme sih menurut saya itu sebab lain-lain. Tidak perlu dimasukkan dalam master plan proyek itu kan.
3. Tentu saja bisa. Yang mengerjakan proyek itu siapa kalau bukan "barang dan jasa". Orang dibayar karena dia menyediakan material yang dibutuhkan dan orang dibayar karena ia berjasa mengerjakan proyek tersebut.Lagi pula itu bukan kupon makan, namun mata uang baru yang dinomori, jadi ketahuan nilainya dan orang-orang harus setuju menggunakannya sebagai alat tukar. Kalau cuma kupon makan cuma bisa dipakai untuk makan, tidak bisa untuk yang lain-lain. Jadi jika ada material atau ada tenaga kerja yang setara baru pemerintah mencetak uangnya, dan uang ini akan digunakan rakyat untuk melakukan jual-beli.
4. Mengenai BUMN, BUMN memang diperlukan untuk mengelola sektor-sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak terutama yang menyangkut kekayaan alam. Apa jadinya kalau minyak kita seluruhnya dikuasai asing misalnya. Terserah dia kan minyak itu mau dibawa pulang ke negaranya atau dijual dengan harga yang .........(terserah dia) ke masyarakat kita.
5. Yang paling penting pada awalnya uang diciptakan untuk mempermudah kehidupan manusia, bukan sebaliknya. Sudah saatnya fungsi uang dikambalikan ke keadaan awal.