___________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Doa pagi dan sore

Ya Allah......, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari bingung dan sedih. Aku berlindung kepada Engkau dari lemah dan malas. Aku berlindung kepada Engkau dari pengecut dan kikir. Dan aku berlindung kepada Engkau dari tekanan hutang, pajak, pembuat UU pajak dan kesewenang-wenangan manusia.

Ya Allah......ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim dan para penarik pajak serta pembuat UU pajak selain kebinasaan".

Amiiiiin
_______________________________________________________________________________________________________________________________________________

Thursday, June 28, 2018

Menghadapi Krisis (bagian II): Mengukur Ketahanan Indonesia

Penampakan Krisis Semakin Jelas
Beberapa minggu lalu EOWI mengangkat topik Menghadapi Krisis liquiditas, moneter yang potensial pemicunya adalah kenaikan suku bunga effektif the Fed (dan juga bank-bank sentral dunia) serta pengetatan moneter yang dilakukan mereka. Dampak yang paling jelas adalah adanya proses flattening yield curve yang pada artikel lalu diperkirakan pada akhir tahun 2018 yield curve menjadi flat. Dan dari sejarah, krisis bisa terjadi dalam 12 bulan setelah yield curve menjadi flat.

Pada saat tulisan ini dibuat, trend tersebut masih berlaku (Chart-1) dan perbedaan antara 10 year treasury bond yield dengan 2 year yield tidak lebih dari 0.4%, dibandingkan dengan bulan lalu yang masih di atas 0.5%.

Chart-1

Dampak dari tindakan the Fed sudah menampakkan hasilnya terutama ke mata uang negara-negara berkembang, emerging market. Beberapa diantaranya sudah mulai goyah. Rupiah sudah enggan turun ke bawah Rp14,000 per USD. Dari bulan Februari 2018 sampai saat ini mata uang Turki tercukur 16%, Brazil terbabat 15%, Thailand 6%, Afrika Selatan kena 14% Malaysia dan Indonesia kurang dari 4%.  Argentina lebih parah lagi karena harus menaikkan suku bunganya sampai 40% untuk mempertahankan peso.

Chart-2

Trend ini akan berlanjut terus, dan menurut sejarah, sampai terjadi resesi atau hal yang buruk di US. Dari komentar the Fed pada meeting lalu, pengamat banyak yang memperhatikan bahwa beberapa kata yang biasanya digunakan the Fed, di meeting itu tidak lagi digunakan. Ini seakan menjadi pertanda bahwa the Fed sudah memutuskan untuk bersikap hawkish dan terus melakukan quantitative tightening (QT) sampai ada yang berantakan di US. Dari dua kasus sebelumnya, the Fed tidak terlalu perduli dengan negara lain. Seperti tahun 1997 – 1999 ketika krisis moneter Asia, krisis hutang Russia dan krisis LTCM, the Fed tetap mempertahankan suku bunganya sampai bubble  tech meletus tahun 2000, baru the Fed menurunkan suku bunganya dan melakukan pengendoran moneter. Hal yang sama bisa diharapkan untuk masa yang akan datang.

Seberapa Effektif QE yang Akan Datang
Pertanyaan itu bisa didahului dengan, seberapa jauh the Fed bisa menaikkan suku bunganya sebelum the shit hits the fan. Dari Chart 3, kita lihat bahwa suku bunga maksimum yang bisa dinaikkan the Fed sebelum the shit hits the fan semakin lama rendah. Kali ini mungkin the shit hits the fan pada level suku bunga the Fed 2.5% - 3.0% seperti yang ditunjukkan oleh Chart-3.

Chart-3

Pada Chart-3 ini ada dua (2) trend. Yang pertama untuk cycle tahun 1950 – 1980, dimana trend the Fed rate maksimum untuk mengendalikan inflasi cenderung meningkat. Ini terjadi dimasa Kondratieff spring dan summer – periode ekspansi. Sedang pada periode 1980 – sekarang trend the Fed rate maksimum dimasa pelonggaran moneter cenderung turun. Ini adalah pada masa Kondratieff autumn dan winter – periode deflationary setidaknya disinflasi (inflasi cenderung turun). Periode ini belum habis. Hal itu terlihat bahwa level inflasi masih rendah. Pergantian periode baru akan terjadi ketika usia generasi echo-boomers mulai mendominasi roda ekonomi, yang saya perkirakan sekitar tahun 2025. Sebelum itu, kita harus puas dengan perngaruh generasi baby boomers yang menua.

Bagi the Fed krisis yang akan datang mungkin akan lebih sulit ditangani. Pada periode setelah 1980, dosis rate cut minimal 5%. Jika the shit hits the fan akhir tahun 2018 atau pertengahan 2019, the Fed mungkin hanya punya 3% - 4% saja. The Fed harus punya kiat-kiat yang lain. Entah apa.

Sejauh pandangan mata, tidak ada lagi yang bisa diharapkan untuk menalangi pukulan krisis moneter yang akan datang. Eropa masih belum pulih, juga Jepang.

Kalau Jepang, semua orang juga tahu. Jepang mengalami sindroma demografi menua. Susah mengharapkan orang-orang tua untuk menghidupkan dan memarakkan ekonomi.

Untuk zona Europa, GDP negara-negara besarnya mengalami trend menurun sejak krisis 2008 (Chart-4). Apakah kondisi ini bisa berbalik dengan segera? Mimpi barangkali. Bahkan, zone Eropa termasuk salah satu yang berpotensi menjadi pemicu krisis yang akan datang.

Chart-4

Problem Eropa ada di anggotanya yang merupakan ekonomi terbesar dunia ke 8 dan eksportir dunia ke 9, yaitu Italia masih dalam kesulitan yang besar dalam kaitannya dengan hutang pemerintah yang besarnya ±130% dari GDPnya atau $2.3 triliun, pakai T. Dengan tingkat pengangguran 11% dan 30% anak mudanya yang dibawah 25 tahun menganggur Italia masih berkubang dalam deep shit. Tidak hanya itu, partai Five Star Movement (M5S), yang menjadi partai terbesar Italia, berjanji dan sedang mengusahakan universal basic income sebesar $1000 per bulan. Yang menganggur akan dapat $1000 per bulan dan yang penghasilannya kurang dari itu akan ditambahi pemerintah. Kalau situasinya seperti itu, bagaimana caranya untuk membayar hutangnya? Apalagi jika suku bunganya naik.

Kalau jaman pra-euro, secara budaya Italia akan mendevaluasi mata uang lira yang dimilikinya. Dan…, problemnya hilang. Dengan mengadopsi euro, bagi Italia sama saja dengan menyerahkan kedaulatannya untuk mengemplang hutangnya secara halus. Satu-satunya jalan adalah mengemplang secara gentleman, terang-terangan melakukan gagal bayar. Jika ini terjadi, maka bank-bank Eropa yang memegang banyak surat obligasi Italia akan terkena dampaknya. Mungkin tidak semua dari $2.3 trilliun. Tetapi cukup telak.

Entah jalur mana yang mau ditempuh Italia, apa keluar dari Uni Eropa – zona Eropa, kembali kepada budaya bangsanya yang mengemplang secara halus dengan melakukan devaluasi lira, atau tetap bersama euro dan mengemplang secara terang-terangan (default). Pilihan pertama menjamin solusi yang permanen bagi problem yang sama dan merupakan perebutan kembali kedaulatan moneternya. Sedang pilihan ke dua, adalah pilihan yang mengutamakan rasa kesetia-kawanan sesama bangsa Eropa dengan mengalahkan kepentingan bangsanya sendiri.

Jadi…, Eropa tidak bisa diharapkan untuk menambal krisis yang akan datang. Lalu bagaimana dengan Cina?

Cina menimbun problem di tahun 2014, ketika pemerintahnya membolehkan swastanya mencari dana ke luar. Banyak perusahaan yang mengeluarkan surat obligasi di tahun 2014 - 2017  yang jatuh temponya 3 tahun. Oleh sebab itu Cina harus berhati-hati antara tahun 2018 – 2020, walaupun masih dalam kategori aman.

Sektor swasta mereka punya beban untuk membayar dan melakukan roll-over  hutang-hutang mereka. Menurut Bloomberg, untuk 2 kwartal terakhir 2018, hutang yang jatuh tempo sekitar $37.9 milyar, tahun 2019 $88.0 milyar dan 2 kwartal tahun 2019 sebanyak $ 31.3 milyar. Memang jumlah ini tidak besar dibandingkan dengan cadangan devisa Cina yang besarnya sekitar $ 3.1 trilliun. Hanya 3% nya saja. Dan menurut data World Bank, short-term debtnya hanya 25% dari cadangan devisanya dan cadangan devisanya cukup untuk 13 bulan. Ini cukup aman walaupun harus berhati-hati.

Di samping itu Cina belum menjadi ekonomi yang berbasis konsumsi, melainkan masih berbasis ekspor. Pada saat US dilanda krisis, dampaknya adalah ekspor ke US turun dan selanjutnya akan memukul ekonomi Cina.

Dengan adanya faktor-faktor tersebut, yuan punya peluang untuk merosot pada saat krisis. Campur tangan pemerintahnya akan membuat yuan makin terpuruk.

Dimana Posisi Indonesia?
Kita akan membandingkan kekuatan Indonesia relatif terhadap kekuatan pra-krisis 1998 dan pra-krisis 2007, untuk memperkirakan seberapa babak-belurnya kondisi ekonomi Indonesia ketika menerima terpaan badai krisis yang akan datang.

Yang pertama adalah cadangan devisa.

Secara nominal, cadangan devisa Indonesia memang sudah meningkat banyak. Akan tetapi rasio cadangan devisa terhadap GDP ternyata tidak banyak berubah. Sedikit lebih tinggi dari pra-krisis 1998 dan hampir sama dengan pra-krisis 2008. Yaitu sekitar 10% dari GDP. Jadi kekuatan bank Indonesia untuk mempertahankan nilai rupiah dari capital out-flow, tidak banyak berubah dibandingkan masa-masa sebelumnya. Ini sangat berbeda dengan Malaysia dan Thailand yang mengalami peningkatan rasio cadangan devisa terhadap GDP.

Chart-5

Berikutnya adalah neraca perdagangan.

Indonesia mengalami kesulitan untuk mempertahankan surplus neraca perdagangannya. Antara tahun 1999 dan 2008, neraca perdagangan Indonesia selalu surplus berkat harga komoditi yang sedang booming. Setelah itu mengalami defisit dan surplus silih berganti seiring dengan harga komoditi. Dan saat ini mengalami defisit yang lumayan, $ 2 milyar (per bulan).

Chart-6

Memang $ 2 milyar itu tidak banyak jika dibandingkan dengan cadangan devisa yang besarnya $ 130 milyar. Tetapi kalau dilihat volume impor, cadangan devisa Indonesia cukup untuk 7 bulan saja. Memang lebih baik dari pra-krisis 1998 (3 bulan), tetapi tidak jauh berbeda dengan pra-krisis 2008 (5 bulan).

Berikutnya adalah neraca berjalan.

Dibandingkan dengan GDPnya, neraca berjalan Indonesia boleh dikata sama dengan pada saat pra-krisis 1998. Ini tentunya bukan pertanda yang baik, walaupun tidak separah pra-krisis 1998. Karena pra-krisis 1998 Indonesia telah mengalami defisit neraca berjalan kronis  selama 17 tahun, yaitu sejak tahun 1981. Saat ini baru 7 tahun defisit kronisnya.


Chart-7

Hutang luar negri Indonesia yang jatuh tempo dalam waktu dekat ini sekitar $ 45 milyar. Dibandingkan dengan besarnya cadangan devisa, kira-kira sekitar 40%nya saja. Dibandingkan dengan pra-krisis 1998 yang 183% dari cadangan devisa, saat ini untuk menghasilkan krisis seperti tahun 1998, masih jauh. Artinya, berharap rupiah jatuh nilainya sampai 85% seperti tahun 1998. Tetapi berharap kejatuhan 30% - 50% masih wajar, karena pada krisis subprime 2008, gejolak rupiah sampai sejauh itu (dari Rp9,000 ke Rp 12,000). Bedanya adalah jangan berharap rupiah akan kembali ke level yang sekarang atau Rp 13,000, setelah krisis ini berakhir seperti halnya tahun 2008 yang akhirnya kembali ke level pra-krisis Rp 8,500 per USD. Kali ini tidak akan kembali ke level Rp 9,000 – Rp 13,000 lagi. Karena pada tahun 2008 – 2012 harga komoditi masih tinggi sehingga perdagangan masih surplus dan neraca berjalan masih positif. Pada krisis yang akan datang, tidak demikian lagi situasinya. Jadi mengharapkan swing sampai Rp 25,000 – Rp 30,000 per USD masih dalam kerangka harapan yang waras, walaupun akhirnya nanti akan stabil di sekitar Rp 20,000 per USD.

Chart-8


Chart-9

Apa Ada Yang Lebih Buruk?
Cadangan devisa dan kondisi makro ekonomi Indonesia, boleh dikata masih okey, dengan catatan bahwa tidak ada panik. Persoalan menjadi lain ketika investor portfolio panik. Dari asset yang sangat fluid adalah surat obligasi dan saham yang scripless.

Di pasar surat obligasi, kepemilikan asing $ 60 milyar dari $175 milyar total. Dan kapitalisasi pasar modal Jakarta yang scripless saat ini masing-masing sekitar $ 264 milyar dimana $ 128 milyar adalah kepemilikan asing (data bulan April 2018). Jika semua saham dimasukkan maka kapitalisasi pasar mencapai $500 milyar.

Ada perbedaan yang mendasar antara krisis 1998 dengan yang akan datang. Dahulu, investor portfolio asing relatif kecil. Booming di sektor komoditi membuat pasar modal Indonesia menarik. Skenario yang lebih buruk, jika asing cabut dari portfolionya di Indonesia. Mereka melakukan redemsi portfolionya dan mendollarkan hasilnya untuk cabut dari Indonesia. Cadangan devisa Indonesia yang hanya $ 125 milyar tidak akan cukup. Kecuali rupiah dijeblokkan sehingga ketika investor melakukan konversi ke US dollar memperoleh nilai tukar yang jelek.

Kalau anda masih menganggap pasar obligasi agak kebal dan imun terhadap krisis, silahkan lihat apa yang terjadi tahun 2008. Nilainya anjlok 56%. Suatu pukulan yang telak.

Pertanyaannya pada krisis yang akan datang, apakah nilai/harga obligasi akan kembali pulih seperti pada kasus krisis 2008? Situasinya akan berbeda. Mungkin dunia sudah memasuki bond secular bear market di tahun 2023 - 2025.  Artinya suku bunga akan mempunyai trending yang naik (nilai bond turun) selama 20 - 30 tahun. Memasuki Kondratieff spring dan summer, ceritanya akan lain.

Chart-10

Dan skenario yang paling buruk adalah, ketika investor dalam negri ikut-ikutan. Itu akan menarik. Itu menjadi mimpi buruk bagi Jokowi, Sri Mulyani dan Agus Martowardoyo, serta orang yang tidak siap menghadapi krisis ini. Saya enggan membayangkan skenario ini. Silahkan pembaca mereka-reka sendiri. Mungkin bayangannya seperti nyungsep di kubangan tinja. Yuch!!!

Sekian dulu dari EOWI. Jaga kesehatan anda dan tabungan anda baik-baik


Jakarta 27 Juni 2018.

Disclaimer: Ekonomi (dan investasi) bukan sains dan tidak pernah dibuktikan secara eksperimen; tulisan ini dimaksudkan sebagai hiburan dan bukan sebagai anjuran berinvestasi oleh sebab itu penulis tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang diakibatkan karena mengikuti informasi dari tulisan ini. Akan tetapi jika anda beruntung karena penggunaan informasi di tulisan ini, EOWI dengan suka hati kalau anda mentraktir EOWI makan-makan.

9 comments:

Hidden Markov said...

Tulisan yang menarik Bung IS! Jadi kalau dari tulisan anda, indikator apa saja yang harus kita cermati sebagai "early warning system" krisis yang akan datang? Tentunya selain kenaikan suku bunga Feds.
Akhir-akhir ini anda sering menggunakan "kondratieff cycle" untuk mendukung argumen anda. Sepengetahuan anda apa ada model probabilistik berbasis "kondratieff cycle" yang bisa kita gunakan untuk memprediksi skenario ekonomi?
Terima kasih sebelumnya.

Imam Semar said...

Markov
Kondratieff cycle (yang dimodifikasi) punya dasar yang bagus yaitu demografi dan pola konsumsinya serta pola hidupnya sebagai mahluk ekonomi.

Kalau anda baca pelan-pelan di sini, anda akan mengerti maksud saya.

https://ekonomiorangwarasdaninvestasi.blogspot.com/p/blog-page_9.html

agak panjang ceritanya.

Anonymous said...

Mas, kalau Deutch Bank kolap, apa bisa merembet ke standard chartered, yg sama2 bank Eropa, soalnya saya deposit dolar di stanchart dengan bunga 2,5% per 9 bulan-tertinggi di Jakarta, LPS saja. 1,25% Jadi takut, sebaiknya taro di bank mana yg aman?

mukidi said...

BI udah naikin BI Rate 50 BPS lagi, kredit rumah dilonggarin, berujung subprime mortgage seperti di US kah Om IS? kok saya lihat BI di era Perry Warjiyo ini bakal lebih gaspol ya

boom said...

udh hopeless lihat indo beserta politikus politikusnya yang korup,tinggal tunggu nyungsep aja memang

Kutukuku said...

Hmm..
Klo dari elliot wave USDIDR sekarang ada di wave 1, artinya akan ada koreksi pada wave 2 yg artinya Rupiah akan menguat. Entah fundamentalnya apa yg membuat rupiah menguat.
Gw brani taroan $1 klo rupiah bakal balik ke 10000-13000 ditahun 2019-2020. Xixixixi..

atut said...

Kalau krisis seperti prediksi Imam Semar, sebaiknya uang kita switch ke mana dulu? Apakah ke emas atau silver?

Jablay Opung Doli said...

Mas/Mbak Atut,

Coba liat2 lagi ulasan Pak Imam Semar di artikel sebelumnya...budayakan membaca dan mencari tau sendiri jgn cuma mau disuapin

atut said...

Jablay, saya tidak bisa digest, terlalu dalam, simple nya bagaimana? Kita switch dulu ke emas atau silver atau bagaimana?

Pak Imam Semar sebelumnya pernah prediksi emas bakal ke bawah $1,000, masih belum terjadi, kayaknya sudah 3 tahun berlalu, apakah masih ada potensi turun ke bawah $1,000?

Kalau memang emas ke bawah $1,000 berarti dollar vs IDR akan ke 25.000. Benar?