Krisis global yang sifatnya deflationary yang di depan mata ini bagi Indonesia bukan apa-apa
dibandingkan dengan krisis yang bersiklus 3 dekade yang mempengaruhi Nusantara
yang akan terjadi antara 2025 – 2030. Kalau EOWI bercerita tentang
Pahlawan-Teroris, Chauvinisme dan topik-topik sejenis, sebenarnya EOWI akan
mengarahkan pembacanya kepada krisis besar atau kerusuhan besar Nusantara yang
EOWI perkirakan akan terjadi menjelang berakhirnya dekade 2020 untuk berganti ke dekade 2030. Sejarah menunjukkan bahwa pada siklus yang mempunyai rentang waktu 3 dekade ini, adanya perubahan wilayah kedaulatan adalah biasa. Setidaknya
itu dialami kerusuhan tahun 1998 yang berakhir dengan merdekanya provinsi Timor-Timur.
Itu juga dialami tahun 1945, dengan nyempalnya Hindia Belanda dari Imperium
Kerajaan Belanda. Atau tahun 1907 dimana Aceh dan Bali menjadi satu (digabung, dianeksasi) bagian dari Hindia
Belanda. Untuk semua kasus, termasuk kasus ini EOWI memposisikan diri di sudut
agnostik dengan kacamata yang objektif. Tidak ada perasaan chauvinis ketika memberikan penilaian.
Dari wangsit dan preliminary data, nampaknya kerusuhan
besar Nusantara 2025 - 2030 adalah nyata. Tetapi itu topik yang akan EOWI tulis nanti tahun
2023 atau 2025. Riset yang akan memakan dana yang tidak sedikit, harus
dilakukan. Apakah EOWI masih hidup dimasa itu? Atau gagal gara-gara dana? Kita
lihat 5 tahun lagi. Sekarang fokus kita adalah krisis global deflation yang ada
di depan mata (lihat laman Gejolak 2014 – 2020, EOWI). – Bantuan data atau apa
saja untuk projek riset Kerusuhan Besar Nusantara 2025 - 2030 selalu terbuka.
Don’t Fight the Fed (Dua Jurus the Fed)
The Fed punya beberapa jurus untuk mengobok-obok ekonomi.
Saat ini yang EOWI lihat adalah dengan menggembung/kempiskan assetnya dan
bermain dengan suku bunganya. Pada saat ia menggembungkan assetnya (baca:
membeli bond dengan uang yang dicetaknya) tanpa/dengan menurunkan suku
bunganya, artinya the Fed melakukan quantitative easing (QE). Kalau sebaliknya
artinya quantitative tightening (QT). Sejarah menunjukkan bahwa jika the Fed
merubah permainan jurusnya, akan merubah arah ekonomi dunia dan pasar.
Dampaknya adalah dunia, karena secara defakto US dollar adalah mata uang dunia.
Jurus Suku Bunga the Fed
Beberapa waktu lalu, kami membaca sebuah artikel dari
Crescat Capital yang kami pikir ada chart yang menarik untuk di tampilkan
kepada pembaca EOWI (lihat chart di bawah).
Intinya bahwa Don’t Fight the Fed - jangan melawan
ketidakbijaksanaan the Fed.
Ada fenomena yang menarik adalah setiap kali the Fed
melakukan pengetatan moneter, dengan menaikkan suku bunga effektifnya atau
lainnya, akan berakhir dengan suatu krisis dipasar saham dan/atau pasar uang
serta ekonomi, baik di US atau di tempat lain, di suatu belahan dunia nun jauh dari US disana.
Sejak tahun 1967 ada 7 pengetatan moneter yang dilakukan the Fed dan semuanya mungkin kebetulan diikuti dengan krisis-krisis keuangan.
Krisis-krisis ini terjadi antara 1 - 4 tahun setelah the Fed mulai menaikkan suku
bunganya.
Sekarang, the Fed mulai menaikkan target suku bunganya
sejak akhir tahun 2015. Jadi sudah 2.5 tahun. Kenaikkannya sangat lambat
dibanding sebelum-sebelumnya. Dari 0.5% ke 1.75% dalam kurun waktu 2.5 tahun. Walaupun
demikian pasar bond mulai “ketar-ketir”. Terjadi gejala yang disebut flattening yield curve, yaitu perbedaan
antara suku bunga (yield) bond jangka panjang (10 tahun misalnya) dengan suku
bunga bond jangka pendek (2 tahun misalnya) menciut. Walaupun suku bunga bond
jangka panjang bisa naik karena pengaruh kenaikkan suku bunga the Fed, tetapi
kenaikkan ini tidak secapat suku bunga bond jangka pendek. Dari ekstrapolasi,
diharapkan awal-awal tahun 2019 perbedaan suku bunga kedua bond ini sama (lihat
chart berikut). Ini disebut flat yield.
Kalau sampai negatif disebut inverted
yield. Sebabnya banyak investor bond masih berkutat mempertahankan bond
jangka panjangnya karena mengantisipasi krisis.
Pada umumnya krisis terjadi pada saat kurva yield
dalam proses flattening atau sudah flat
(suku bunga jangka panjang sama dengan suku bunga jangka pendek) seperti
terlihat pada chart di bawah (arsir merah menunjukkan saat krisis). Ada
kekecualian untuk krisis di tahun 1980 dan 2007, setelah yield menjadi flat, perlu waktu/jeda 1-2 tahun sampai
terjadinya krisis. Kedua masa ini agak berbeda. Yang pertama adalah
dikonversikannya dari sistem berbasis emas ke sistem fiat. Masa yang sangat inflationary. The Fed mulai
menaikkan suku bunganya tahun 1977, baru flat
setahun kemudian. Dan krisis hutang dan moneter Amerika Latin terjadi di awal
tahun 1980. Pada saat itu banyak negara-negara Amerika Latin tidak bisa
membayar hutangnya.
Yang kedua, adalah kasus memicu krisis subprime. The Fed mulai menaikkan suku bunganya tahun 2004, yield curve menjadi flat tahun 2006 dan tahun 2007 terjadi krisis subprime. Apa yang menjadi penyebab adanya jeda waktu antara flat yield dengan krisis, jawabannya EOWI tidak
tahu dan tidak mau berspekulasi untuk memuaskan pembaca.
Dari ekstrapolasi, yield baru akan flat di awal tahun
2019 (lihat chart di bawah). Yield dari 10 yr-TB bisa mencapai 5%. Naik dari
harga terendahnya 1.5%. Ini akan menyeret suku bunga pinjaman dan suku bunga
hipotek naik ke atas. Tidak hanya itu. Negara lain, terutama negara yang sedang
berkembang punya pilihan, mata uangnya akan mengalami devaluasi terhadap US
dollar atau suku bunga dinaikkan. Silahkan pilih. Masing-masing punya
konsekwensi sama. Yaitu mencekik bisnis dan ekonomi negara-negara ini.
Kalau kita mengambil hikmah sejarah, krisis mungkin bisa mulai
terjadi antara kuartal ini sampai 3 tahun lagi (tahun 2021).
Jurus Kesimbangan Neraca Asset
Jurus ini yaitu memberikan liquiditas ke dalam ekonomi
(QE) dan menyusutkan liquiditas (QT) dengan cara menggembungkan dan meyusutkan
asset the Fed, menurut pengetahuan saya, adalah jurus yang baru sekali ini digunakan
dengan kekuatan luar biasa, yaitu antara tahun 2009 – 2015 pada saat
quantitative easing (QE). Cukup lama. Bagaimana dampaknya terhadap ekonomi dan
pasar? Yang ada datanya adalah ketika fasa QE. Sedangkan untuk fasa QT belum.
Jurus QE yang dimainkan dari tahun 2009 – 2015,
membuat bubble dimana-mana, mulai pasar saham, bond, property...., sebut saja
apa lagi. Untuk jurus QT, sampai bulan Februari 2018 lalu, baru kembangannya saja kalau mengacu istilah silat, atau embu istilah kempo atau kata istilah karate, yang dimainkan the Fed. Tidak akan bikin benjol atau patah tangan.
Antara tahun 2015 – 2017, asset the Fed turun hanya 1%. Permainan yang agak serius baru dimainkan sejak diawal tahun 2018 sekitar bulan Februari. Dalam waktu 4 bulan, asset the Fed sudah diturunkan 2.7%. Memang tidak banyak. Hanya USD 117 milyar dalam masa 3 bulan dibanding seluruh assetnya pada bilangan USD 4.46 triliun di awal tahun 2017. Tetapi dampaknya terhadap rupiah terasa cukup telak. Nilai tukarnya turun dari Rp 13,300/USD ke Rp14,200/USD. Ini juga terjadi pada mata uang negara lainnya.
Antara tahun 2015 – 2017, asset the Fed turun hanya 1%. Permainan yang agak serius baru dimainkan sejak diawal tahun 2018 sekitar bulan Februari. Dalam waktu 4 bulan, asset the Fed sudah diturunkan 2.7%. Memang tidak banyak. Hanya USD 117 milyar dalam masa 3 bulan dibanding seluruh assetnya pada bilangan USD 4.46 triliun di awal tahun 2017. Tetapi dampaknya terhadap rupiah terasa cukup telak. Nilai tukarnya turun dari Rp 13,300/USD ke Rp14,200/USD. Ini juga terjadi pada mata uang negara lainnya.
Yang menjadi pertanyaan adalah, jika pengetatan ini
lebih aggressif, bukan USD 40 milyar per bulan tetapi USD100 milyar atau USD
200 milyar. Apa lagi kalau targetnya untuk kembali ke posisi sebelum krisis subprime yang hanya sekitar USD 900
milyar. Untuk mencapai level asset USD 900 milyar dari USD 4.34 triliun itu pemotongan yang tidak sedikit. Kalau Jerome Powell, ketua the Fed, masih mempertahankan kecepatan tingkat
menyeimbangan neraca asset the Fed seperti yang sekarang $ 40 milyar per bulan, perlu waktu sekitar 7
tahun. Kalau yang diinginkan kurang dari 2 tahun, maka ia perlu menarik USD 150
milyar perbulan. EOWI tidak tahu apa yang ada di kepala-kepala the Fed. Oleh sebab itu kita lihat saja perkembangannya.
The Fed Dalam Dilema?
Itu pertanyaan yang mudah dijawab.
Ucapan John Connally, menteri Keuangan US dan arsitek
utama pada ketidak-bijaksaan Nixon Shock di tahun 1971, dalam pertemuan G-10 di
Roma di akhir tahun 1971 dan membuat peserta pertemuan mengkerutkan dahi adalah:
"The dollar is our currency, but
it's your problem,"
(dollar adalah mata uang kami, tapi it problem kamu)
Kalau itu ucapan the Fed maka bunyinya:
“Dollar itu mata uang kami dan kami yang
mengeluarkan, tetapi itu problem kamu.”
Kamu disini mungkin termasuk presidennya sendiri,
rakyat Amerika dan pelaku bisnisnya; di samping orang-orang negara lain. Jadi the Fed tidak punya dilema. Yang punya orang lain.
Jerome Powell yang diangkat menjadi ketua the Fed pada
4 Februari 2018, nampaknya berbeda dengan Jenet Yellen. Tidak lama setelah
pengangkatan Powell menjadi ketua the Fed, tidakannya bisa dilihat pada asset
the Fed yang turun relatif lebih cepat dibandingkan ketika jaman Yellen. Dalam
kasus ini Powell lebih aggressif dibanding Yellen. Saya tidak terlalu heran
kalau the Fed akan menaikkan suku bunganya 3x lagi sampai Desember nanti
sehingga membuat target suku bunga the Fed 2.25% - 2.50%.
The Fed yang selama ini menjadi pembeli utama treasury bond, tidak lagi membeli surat obligasi yang
dikeluarkan pemerintah US. Yang ada dibiarkan jatuh tempo dan ada yang dijual. Konsekwensinya, pemerintah
US akan lebih sulit mengeluarkan surat hutang kecuali dengan imbalan (yield)
yang lebih tinggi. Ini akan mendorong suku bunga di US untuk naik. Ini bisa
dilihat bahwa saat ini yield 10-yr US treasury bond menyusul yield 10-yr bond
Australia, sama-sama bond dari negara maju. Sebelumnya ini pernah terjadi tahun
1984, 3.5 dekade lalu dimana kedua bond yields saling mendekat. Apakah
kedepannya yield dari Aussie bond akan naik (Bond akan turun) karena mekanisme pasar? Mungkin sekali
terjadi, untuk menciptakan kesimbangan pasar. Dan apakah ini akan menyeret jatuhnya
nilai tukar Aussie dollar terhadap US dollar? Mungkin saja terjadi untuk menciptakan
keseimbangan baru. Setidaknya bank sentral Australia harus melakukan tindakan
untuk mencegahnya kalau hal ini tidak diinginkan mereka. Menaikkan suku
bunganya? Hmm… suku bunga hipotek juga naik 'kan dan akan memecahkan property bubble?
Kalau hal seperti ini terjadi pada Australia,
bagaimana dengan negara-negara lain? Sri Mulyani dan Agus Martowardojo….....apakah
kalian siap?
“Dollar
itu mata uang kami (the Fed) dan kami yang mengeluarkan, tetapi itu problem kamu.”
Sekian dulu, sampai bagian selanjutnya.
Jakarta 27 May 2018
Disclaimer: Ekonomi (dan investasi) bukan sains dan tidak pernah dibuktikan secara eksperimen; tulisan ini dimaksudkan sebagai hiburan dan bukan sebagai anjuran berinvestasi oleh sebab itu penulis tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang diakibatkan karena mengikuti informasi dari tulisan ini. Akan tetapi jika anda beruntung karena penggunaan informasi di tulisan ini, EOWI dengan suka hati kalau anda mentraktir EOWI makan-makan.