Bagian I: Masa Lalu, Periode Kondratieff Spring dan Commodity Bear Market
Ekonomi Bukan Sains
Walaupun mungkin kurang akurat, terkadang
untuk meramalkan masa depan ekonomi, moneter dan harga, kita harus melihat masa
lampau. Karena, ekonomi bukan sains. Untuk sains, cara memahaminya, mempelajarinya
dan mengertinya ada laboratorium yang bisa digunakan untuk melakukan
eksperimen. Eksperimen yang dilakukan dalam skala kecil dan dalam kondisi yang
terkontrol serta terbatas, jika ada
hasil yang tidak diinginkan serta tidak diantisipasi sebelumnya, maka dampaknya
terbatas dan kerusakannyapun terbatas.
Untuk ekonomi tidak ada yang
namanya laboratorium untuk menguji suatu hipotesa dan teori. Sering kali,
politikus di pemerintahan, melakukan eksperimen langsung ke masyarakat. Dampaknya
sering merupakan suatu penderitaan. Mungkin sejak awal para politikus ini
memang tidak punya niat baik, mungkin ada unsur keterpaksaan untuk memilih
antara buruk dan lebih buruk sebagai suatu necessary
evil. Bahkan, sekalipun diawali dengan niat yang baik, dampak buruk yang
tidak terpikirkan sebelumnya atau harmful
unintended conseqencies, sering
muncul dan menjadi penyebab penderitaan jutaan manusia.
Anda bisa membayangkan, seorang dokter yang
main coba-coba obat baru yang belum diuji secara klinis langsung ke masyarakat.
Masyarakat dijadikan sebagai uji klinisnya. Berapa banyak orang yang akan mati,
jika metode ini diterapkan. Mungkin jutaan. Disini terlihat bahwa uji coba di
laboratorium bisa mengurangi resiko yang bisa menimpa masyarakat. Pada uji
laboratorium, yang terkena pertama adalah hewan-hewan percobaan. Kemudian
secara bertahap ke manusia. Tahapan-tahapan ini membuat dampaknya terukur dan
terbatas.
Kali ini EOWI akan melihat
sejarah rupiah selama hampir satu (1) siklus manusia (siklus Kondratieff), yang
panjangnya antara 50 – 70 tahun. Berbarengan dengan itu, rupiah juga sudah
melewati hampir dua (2) siklus komoditi yang panjang siklusnya 30 tahun.
EOWI mempunyai hipotesa bahwa
rupiah punya terkaitan dengan kedua siklus ini. Siklus yang pertama (siklus
Kondratieff), ada kaitannya dengan pola konsumsi dan prilaku manusia ditinjau
dari perjalanan hidupnya. Setiap masa dalam hidup (umur)nya manusia punya pola
konsumsi yang berbeda.
Siklus yang kedua ada
kaitannya dengan sisi pemenuhan
kebutuhannya, yaitu bahan bakunya. Kebetulan basis ekonomi Indonesia adalah
bahan komoditi. Dengan mempelajari pola yang ada, diharapkan EOWI bisa
meramalkan bagaimana nasib rupiah dimasa 10 – 30 tahun mendatang.
Chart berikut ini adalah chart
perjalanan kurs dollar terhadap rupiah dari kelahiran rupiah sampai Juli 2015 dengan
siklus Kondratieff sebagai latar belakangnya.
Kurs US dollar terhadap rupiah (Orba) dan Siklus Kondratieff
Dikaitkan dengan siklus
Kondratieff, antara batas-batas siklus dengan kurs dollar terhadap rupiah tidak
nampak korelasi yang jelas. Pada masa Kondratieff spring sampai awal summer,
terjadi lonjakan nilai tukar dollar terhadap rupiah. Kemudian pada sebagian
besar masa Kondratieff summer yaitu
tahun 1970an, rupiah relatif stabil sampai menjelang fall (authum).
Rupiah memperoleh tekanan
kembali sampai 75% dari masa Kondrtieff fall
(authum) sampai 1998. Dan
kemudian kembali stabil sampai pertengahan Kondratief winter.
Korelasi kurs dollar terhadap
rupiah dengan siklus komoditi nampak lebih jelas dibandingkan dengan siklus
Kondratieff. Bisa dilihat bahwa selama setiap commodity secular bear market,
rupiah selalu tertekan, walaupun tingkat tekanannya berbeda. Sedangkan selama
periode commodity secular bull market,
rupiah relatif stabil.
Kurs US dollar terhadap rupiah (Orba) dan Siklus komoditi
Saat ini sampai 10 – 15 tahun
mendatang, kita berada dalam periode commodity
secular bear market. Secara deduksi analogi, peluangnya rupiah akan
tertekan terus untuk jangka waktu yang lama yaitu selama 10 – 15 tahun
mendatang. Pertanyaannya adalah, apakah pergerakan kurs dollar tajam akan
seperti beruang grizzly tahun 1950 – 1970 atau beruangnya hanyalah beruang madu
Asia tahun 1980 – 2000? Mungkin jawabannya ada di prilaku manusia dikaitkan dengan
siklus Kondratieff.
Dengan melihat perjalanan
rupiah ini dan dalam rangka menyongsong masa 10 – 30 tahun kedepan, diharapkan
pembaca dan kami sendiri di EOWI bisa menjadikan analisa ini sebagai guiding star (petunjuk) untuk menyusuri
hidup ini lebih baik. Setidaknya untuk bisa lebih baik dari pendahulu-pendahulu
kita. Bagi para baby boomer yang
mulai pensiun, semoga bisa mempertahankan nilai tabungan hari tuanya lebih baik
sampai ajal menjemput. Dan bagi mereka yang masih muda-muda agar bisa menjalani
karir serta mengumpulkan harta lebih banyak. Hedonis dan materialistis sekali
kedengarannya. Kami di EOWI sangat hedonis dan materialistis. Kami bukan
penganut spiritualisme yang tidak jelas. Hedonis dan materialistis adalah
baik!!
Kata hedon, punya konotasi
yang buruk. Tetapi Quran dalam salah satu ayatnya, menganjurkan perilaku hedon,
yaitu: hidup bukan sekedar memenuhi
kebutuhan dasar, tetapi lebih dari sekedar dasar.
[Q 2:219] Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah:
"Pada keduanya terdapat keburukan yang besar dan beberapa manfa'at bagi
manusia, tetapi mudharat keduanya lebih besar dari manfa'atnya". Dan
mereka bertanya kepadamu apa yang mereka belanjakan. Katakanlah: " Yang lebih dari keperluan."
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.
Umat Islam disuruh membelanjakan
uangnya lebih dari sekedar untuk keperluan dasar, selama bukan hal-hal yang
buruk dan merugikan. Kalau mampu, belilah mobil BMW atau Mercedes dan pekerjakan
supir bukan sekedar beli Toyota Kijang. Pergilah
untuk manicure dan pedicure. Bukan sekadar beli pemotong kuku. Nikmatilah hidup
yang lebih dari keperluan (dasar). Tentu saja harus dibarengi dengan mengejar
rejeki yang banyak dan halal. Itulah Islam. Hedon, mencintai kenikmatan. Sorgapun
penuh dengan kenikmatan. Carilah sorga di dunia dan sorga di akhirat.
Itulah sedikit pesan moral
dari EOWI.
EOWI bermaksud untuk
memasukkan sebagian dari tulisan ini akan menjadi bagian dari laman Paska Krisis 2014 – 2020, karena relevansinya.
Ekonomi Masa Pra-Rupiah (Nasib Indonesia Sejak Dulu)
Indonesia, atau Hindia Belanda
pada jaman dulu, adalah wilayah yang ekonominya berbasis komoditi. Walaupun
komoditi bukanlah tujuan awal dari orang-orang Eropa datang ke wilayah
nusantara ini, tetapi dalam perjalanan waktu, peran komoditi menjadi penyebab
yang besar untuk tetap bercokol di wilayah ini.
Di abad 19, Hindia Belanda sudah
menjadi wilayah yang berbasis komoditi. Walaupun cultuurstesel (buku-buku sejarah menyebutnya sebagai Tanam Paksa
walaupun seandainya paksaan itu ada, paksaannya jauh lebih lunak dari pada
paksaan membayar pajak di masa NKRI paska Orde Baru dan memberi kemakmuran pada
masa jayanya) yang dicanangkan oleh gubernur Jenderal van den Bosch pada tahun
1830. Untuk mereka yang berkacamata myop akan mengambilnya sebagai tonggak awal
komoditi sebagai basis ekonomi wilayah Hindia Belanda. Padahal sebelumnya,
wilayah nusantara didatangi oleh pedagang-pedagang asing, Arab, Cina dan India
untuk mencari bahan komoditi pertanian.
Menjelang akhir abad 19,
tepatnya tahun 1885 ditemukan minyak bumi di Telaga Said, Langkat.
Penemuan-penemuan lapangan minyak berikutnya di Cepu dan di tempat-tempat lain
membuat wilayah Hindia Belanda ini tidak lagi hanya bergantung pada komoditi
pertanian, seperti karet, gula, tembakau, tetapi juga komoditi tambang. Tidak
hanya minyak, tetapi juga timah (Bangka), bauksit dan batubara mengalami
perkembangan yang pesat karena adanya mesin-mesin (uap) yang bisa dipakai untuk
eksploitasi besar-besaran. Maka lengkaplah wilayah Hindia Belanda sebagai
wilayah yang berbasis komoditi. Dan lengkaplah pula-lah nasib wilayah yang dulu
bernama Hindia Belanda ini mempunyai ekonomi yang naik turunnya mengikuti
siklus komoditi 30 tahunan. Tidak bisa disangkal lagi, pasang-surutnya rupiah
Indoensia sangat dipengaruhi oleh siklus komoditi 30 tahunan ini.
Itulah nasib wilayah ini,
sangat bergantung pada komoditi. Dan nampaknya tidak akan berubah sampai sejauh
mata bisa memandang. Inilah yang akan dijadikan asumsi EOWI dalam menganalisa
rupiah.
Kelahiran Rupiah Indonesia
Mohammad Hatta sering dianggap
sebagai pahlawan tanpa cacat oleh kalangan sejarahwan. Bagi EOWI, Mohammad
Hatta, mungkin adalah orang yang paling berdosa dalam menyengsarakan bangsa
Indonesia. Dan dosanya termasuk jenis amal
dosa jariah (amal = perbuatan). Yaitu perbuatan dosa yang seperti mata air
yang besar, selalu mengeluarkan evil/keburukan/kemudharatan
sampai akhir jaman dan menimpa orang banyak. Dibandingkan dengan Orde Barunya
Suharto yang melakukan purging
orang-orang yang dianggap PKI, Hatta lebih kejam. Purging yang meliputi dari pembunuhan, penahanan dan pengabaian
hak-hak hidup keluarga anggota PKI, dilakukan Suharto hanya berlangsung sampai
15 tahun. Sedangkan apa yang diperbuat Hatta dengan memperkenalkan rupiah
kepada bangsa Indonesia, penyengsaraan rakyat Indonesia melalui inflasi dimulai
sejak awal penggunaan rupiah, dan masih berlangsung terus sampai sekarang serta
masa yang akan datang. Suharto hanya terbatas pada eks-PKI dan keluarganya,
sedangkan Hatta seluruh rakyat Indonesia yang punya uang. Dan semua rakyat
Indonesia punya uang rupiah kecuali rakyat di pedalaman, kaum Badui di Banten,
suku Kubu dan suku-suku sejenisnya.
Cerita rupiah dimulai pada
tanggal 29 Oktober 1946. Melalui Radio Republik Indonesia (RRI), Mohammad Hatta
mengumumkan pemberlakuan uang rupiah. Teks pidato Bung Hatta adalah sebagai
berikut:
Besok
tanggal 30 Oktober 1946 adalah satu hari yang mengandung sejarah bagi tanah air
kita. Rakyat kita menghadap penghidupan baru.
Besok
mulai beredar Uang Republik Indonesia sebagai satu-satunya alat pembayaran yang
syah. Mulai pukul 12 tengah malam nanti, uang Jepang yang selama ini beredar
sebagai uang yang syah, tidak laku lagi. Beserta dengan uang Jepang ikut pula
tidak berlaku Uang De Javasche Bank.
Dengan
ini tutuplah masa dalam sejarah keuangan Republik Indonesia. Masa yang penuh
dengan penderitaan dan kesukaran bagi rakyat kita.
Sejak
mulai besok, kita akan berbelanja dengan uang kita sendiri, uang yang
dikeluarkan oleh Republik kita.
Uang
Republik keluar dengan membawa perubahan nasib rakyat, istimewa pegawai negeri,
yang sekian lama menderita karena inflasi uang Jepang rupiah republik yang
harganya di Jawa lima puluh kali harga rupiah Jepang. Di Sumatra seratus kali,
menimbulkan sekaligus tenaga pembeli kepada rakyat yang bergaji tetap yang
selama ini hidup daripada menjual pakaian dan perabot rumah, dan juga kepada
rakyat yang menghasilkan, yang penghargaan tukar penghasilannya jadi tambah
besar.
Apakah memang penderitaan
rakyat Indonesia hilang karena penggunaan rupiah seperti kata bung Hatta? EOWI
harus mengatakan “tidak”. Pembaca EOWI juga tahu. Banyak orang merasakan
kebalikan dari apa yang Hatta katakan, tetapi tidak tahu kenapa.
Semua cerita di atas itu adalah
sejarah, yang dijadikan latar belakang dari kisah perjalanan rupiah.
Rupiah Masa Kondratieff Spring (1950 – 1966) dan Commodity Bear Market
Tujuan pembahasan nilai rupiah
pada tulisan ini adalah untuk melihat nasib rupiah di masa Kondratieff spring 2020 – 2035(?) dengan melihat
periode Kondratieff spring dan summer di masa lalu. Oleh sebab itu EOWI
akan mengutip kejadian-kejadian, kondisi saat ini pada saat membahas Kondratieff spring 1950 – 1965 untuk membandingkan
keduanya.
Kondratieff spring dimulai sekitar 1944 – 1945,
setelah perang dunia II selesai. Serdadu-serdadu yang pulang kampung setelah
perang usai kemudian melaksanakan perkawinan tertunda dengan pujaan hatinya.
Kemudian mereka beranak-pinak, cepat sekali, melahirkan baby boom, gelombang kelahiran antara tahun 1945 – 1964. Generasi baby boomers ini nantinya yang menjadi
penentu arah ekonomi, budaya, pola konsumsi dan teknologi pada 4 dekade
berikutnya.
Disebut (Kondratieff) spring karena pada masa itu secara
siklus manusia memang bak awal dari suatu kehidupan yang baru bangun dari tidur.
Pada masa ini suku bunga masih rendah, harga bahan komoditi juga masih rendah
(akibat periode depressi di masa sebelumnya) dan tingkat hutang juga rendah.
Faktor-faktor ini menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi.
Sejalan dengan peningkatan
aktivitas ekonomi, perlahan-lahan money
velocity meningkat. Inflasi juga merangkak naik tetapi masih pada level
yang nyaman. Suku bunga juga mulai merangkak naik dari level terendahnya di
masa Kondratieff winter, tetapi masih
pada level yang nyaman. Akumulasi kapital baik berupa modal tabungan atau
alat-alat produksi juga beranjak naik. Tingkat pengangguran menurun.
Tetapi hal yang disebutkan di
atas terjadi di US dan Eropa. Di Indonesia sendiri, yang pada masa itu
(tahun 1950) baru merdeka. Sektor ekonomi andalannya yaitu komoditi masih dalam
masa secular bear market. Sehingga
kebangkitan di US dan Eropa tidak memberikan keuntungan apa-apa. Bahkan
terhadap rupiah kondisi seperti ini malah menjadi tekanan. Pertama modal akan
tersedot ke arah negara-negara industri dimana akumulasi kapital sedang
berlangsung. Kedua sumber pemasukan pendapatan, yaitu bahan komoditi, harganya
masih rendah. Untuk membiayai jalannya pemerintahan, NKRI yang belum mempunyai
sistem perpajakan yang baik, mencetak rupiah dengan gila-gilaan yang berlanjut
pada inflasi yang tinggi.
Pada awalnya banyak sumber
daya disalurkan untuk hal-hal yang positif seperti pembangunan perumahan dan
wilayah dengan penataan yang baik. Di Jakarta, seperti Kebayoran, dibangun
tahun 1949. Tebet, Grogol, adalah wilayah-wilayah yang dibangun penataannya di
masa awal-awal sampai pertengahan Kondrateff spring 1950 – 1965.
Adanya perang Korea, 1950 –
1953, membantu pertumbuhan ekonomi Indonesia karena perang Korea membutuhkan
minyak dan karet Indonesia. Walaupun harga bahan komoditi masih tertekan,
setidaknya pemasukan devisa melalui volume penjualan yang meningkat. Hal ini
berlanjut terus sekalipun perang Korea telah usai.
Kalau tahun 2015 pengontrolan
kapital dilakukan pemerintah melalui pembatasan penjualan/pembelian mata uang
asing maksimium $100 ribu dan larangan transaksi selain dengan rupiah, pada
tahun 1950an pemerintah menerapkan pembatasan-pembatasan, atau pengontrolan
terhadap kapital berupa kurs ganda. Pada tahun-tahun sekitar 1950an, pemerintah
menerapkan sistem kurs ganda terhadap mata uang US dollar. Ketidak-bijaksanaan
ini dimulai seminggu setelah Gunting Sjafruddin diberlakukan. Pada
ketidak-bijaksanaan kurs ganda ini ada kurs resmi yaitu Rp 3,80 per US dollar
ada harga kurs effektif untuk eksportir yaitu Rp 7,60 dan ada harga kurs
effektif untuk importir yaitu Rp 11,40 per dollar.
Pada dasarnya bagi importir
yang memerlukan mata uang asing dan harus membeli dollar akan dikenakan kurs
effektif Rp 11,40 per US dollar. Bagi ekspotir yang memperoleh mata uang asing
dikenakan kurs effektif Rp 7,60 ketika menukarkannya dengan rupiah. Dari
perbedaan kurs effektif ini, pemerintah memperoleh keuntungan untuk menutup
defisit anggaran negara.
Tentu saja dalam prakteknya
tidak semudah itu. Dengan mekanisme seperti ini, eksportir bak dikenai pajak
ekspor sebesar 66,70%. Siapa sih yang suka dikenai pajak. Kalau ada celah,
kenapa tidak menghindar? Eksportir (juga berlaku bagi semua yang berpenghasilan
dollar) akan cenderung menghindari dari pada menjual dollarnya secara resmi.
Oleh sebab itu perlu peraturan pemaksan, harus ada instrumen pemaksa bagi
pelaku bisnis untuk tunduk dengan kemauan pemerintah. Aliran devisa dikontrol
ketat melalui BLLD (Biro Lalu Lintas Devisa). Penukaran resmi uang asing dapat
dilakukan di bank-bank devisa yang memperoleh ijin dari Lembaga Alat-Alat
Pembayaran Luar Negri (LAAPLN). Disinilah pasar resmi mata uang asing.
Apapun namanya, .....pajak,
cukai, kurs ganda, kalau sudah 66,70%, walaupun untuk pemerintah, banyak orang
tidak rela. Angka 66,70% itu lebih kejam dari beban Taman Paksa yang hanya 20%.
Memang bentuknya berupa pengotrolan devisa bukan seperti pajak, yang secara
terang-terangan ditarik ke wajib pajak. Pengontrolan dan pengkebirian mekanisme
pasar yang berlebihan seperti ini menyebabkan distorsi pasar yang besar. Orang
akan selalu mencari jalan keluar. Muncullah kurs saingan sehingga kurs dollar
ada dua, yaitu kurs resmi dan kurs Pasar Baru. Kurs resmi adalah kurs yang
didasari oleh paksaan (coercion) dan
kurs Pasar Baru (atau pasar gelap lainnya) adalah kurs yang adil yang muncul
dari pasar bebas. Pasar gelap tempat pertukaran mata uang asing berlangsung
terus sampai tahun 1967, dimana pengontrolan devisa melonggar.
Saya sebut kurs yang tidak
resmi ini sebagai kurs Pasar Baru karena kalau pada masa itu anda jalan-jalan
ke Pasar Baru Jakarta, sering ada orang mendekat dan berkata pelan-pelan:
“dollar pak...., dollar ibu”. Mereka mengajak bertransaksi dollar. Kadang pasar
uang di Pasar Baru di masa itu disebut pasar gelap. Kata pasar gelap ini
digunakan pemerintah pada hakekatnya untuk memberikan konotasi buruk. Padahal
sebenarnya adalah pasar bebas dan dilakukan di siang hari yang terang.
Ketidak-bijaksanaan kurs ganda
ternyata membuat kekacauan dan umurnya hanya kurang dari 2 tahun. Pada bulan
Januari 1952, diberlakukan satu (1) kurs resmi yaitu Rp 3,80 per US dollar.
Ternyata itupun hanya berlaku sekitar 1 bulan. Karena pada bulan Februari 1952,
rupiah didevaluasi menjadi Rp 11,40 per dollar. Nilai rupiah menguap 67% hanya
dengan sebuah peraturan. Beruntunglah orang-orang yang menyimpan asset
non-rupiah. Nilainya tidak tergerus oleh peraturan pemerintah.
Reaksi orang terhadap
pemaksaan (coercion) pajak (pajak yang
terang-terangan atau terselubung) bermacam-macam. Ada menentang secara
terang-terangan lewat kekerasan, ada yang hanya menghindar, membuat jalan
keluar yang baru. Biasanya kekerasan adalah jalan terakhir. Hal ini nampak pada
NKRI di masa akhir Kondratieff spring.
Politik kekerasan bermunculan seperti pembrotakan Permesta 1957, PRRI 1958,
yang sedikitnya dilatar-belakangi oleh ekonomi.
Merasa kekerasan yang sudah ada
masih kurang, Sukarno, yang menjadi presiden saat itu memberi sirkus sebagai
pengganti roti yang diminta rakyat. Lahirlah Ganyang Malaysia, Dwikora 1962 dan Bebaskan Irian Barat, Trikora 1961. Keduanya adalah sirkus yang
harus dibayar mahal, baik dengan nyawa dan materi. Dan keduanya itu bukan politik
kekerasan yang terakhir. Konflik terakhir terjadi, melainkan G30S, suatu konflik internal
angkatan darat yang kemudian terbawa ke wilayah sipil. Antara 500 ribu – 3 juta
jiwa melayang. Dan konflik terakhir ini membawa ibu pertiwi ke neraka hiper-inflasi
rupiah yang terbesar dari semua yang pernah meletus sebelumnya. Hiper-inflasi
ini terjadi di awal Kondratieff summer
1966 – 1967. Negara (rakyat dan pemerintah) sudah kehabisan dana akibat
pengeluaran yang besar dan pendapatannya pun mengalami terkanan commodity secular bear market. Commodity secular bear market yang
dimulai dari tahun 1950, membuat pendapatan merosot terus selama 17 tahun dan
ini bersama-sama prilaku tidak produktif menguras dana yang ada.
Itulah kisah perjalanan rupiah
selama periode Kondratieff spring 1950
– 1966 dan commodity secular bear market.
Mari kita ringkas saja agar supaya memudahkan pembahasan berikutnya nanti.
Secara ringkas, ada beberapa
poin penting pada masa Kondratieff spring
di Indonesia:
- Dengan murahnya harga bahan komoditi yang menjadi andalan Indonesia, membuat pemerintah mengalami kesulitan untuk membiayai jalannya roda pemerintahan.
- Selanjutnya pemerintah melakukan kontrol devisa (kontrol kapital) dan penyunatan tabungan rakyat sebagai pajak terselubung untuk membiayai pemerintahan.
- Inflasi rata-rata di atas 100% per tahun.
- Nilai dollar (dan emas dalam rupiah) meningkat.
- Perang dan pertikaian (PRRI/Permesta, kampanye Ganyang Malaysia dan Bebaskan Irian Barat, serta “pembrontakan” G30S) menjelang Kondratieff summer memperburuk fiskal, selanjutnya merambat ke ekonomi dan rupiah mengalami hiper-inflasi.
Sekian
dulu, akan bersambung secepatnya.
Disclaimer: Ekonomi (dan investasi) bukan sains dan tidak pernah dibuktikan secara eksperimen; tulisan ini dimaksudkan sebagai hiburan dan bukan sebagai anjuran berinvestasi oleh sebab itu penulis tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang diakibatkan karena mengikuti informasi dari tulisan ini. Akan tetapi jika anda beruntung karena penggunaan informasi di tulisan ini, EOWI dengan suka hati kalau anda mentraktir EOWI makan-makan.