___________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Doa pagi dan sore

Ya Allah......, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari bingung dan sedih. Aku berlindung kepada Engkau dari lemah dan malas. Aku berlindung kepada Engkau dari pengecut dan kikir. Dan aku berlindung kepada Engkau dari tekanan hutang, pajak, pembuat UU pajak dan kesewenang-wenangan manusia.

Ya Allah......ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim dan para penarik pajak serta pembuat UU pajak selain kebinasaan".

Amiiiiin
_______________________________________________________________________________________________________________________________________________

Saturday, January 31, 2015

Cicak versus Buaya Jilid II



Pada suatu hari sabtu pagi menjelang siang, saya mengendarai mobil Peugeot 504 tahun 1975 kesayangan saya di jalan Asia Afrika (Jakarta), dari arah Manggala Wanabakti. Di pertigaan yang sekarang tidak jauh dari pintu masuk hotel Mulia, pada masa itu ada larangan verboten untuk lurus ke arah Senayan Plaza, kecuali hari libur. Karena hari itu adalah hari sabtu, maka saya lurus saja. Dan di ujung pertigaan itu sudah menunggu seorang polisi dengan motor besar, yang kemudian menyetop saya.
“Bapak tahu, bahwa bapak telah melanggar larangan masuk?” kata polisi itu kepada saya.
“Larangan itu tidak berlaku di hari sabtu, pak” jawab saya.
“Hari sabtu bukan hari libur, tanggalannya tidak merah.” sanggah pak polisi.
Karena pak polisi mulai berdebat kusir maka saya keluarkan jurus-jurus debat yang bisa memukul telak. “Pak......, kita bisa ke kantor walikota di sana, terus ke departemen-departemen pemerintah. Pasti tutup  libur. Memang polisi dan rumah sakit tidak libur, karena orang sakit datangnya kapan saja. Dan penjahat juga tidak punya hari libur resmi.”
“Tapi pak...., hari ini tanggalannya tidak merah.” debat pak polisi lagi.
Tiba-tiba saya ingat bahwa saya punya kalender yang hari liburnya dicetak dengan huruf biru. Kalau tidak salah kalender itu ditebitkan oleh Schlumberger yang corporate colornya biru. Lalu saya katakan ke pak polisi: “pak......., kalender saya tidak ada tanggal yang berwarna merah. Adanya hitam dan biru.” Lalu saya ambil kalender itu dan saya tunjukkan ke pak polisi.  Dengan penuh kemenangan, tegas saya kemudian: ”pak....., kalau mau cetak kalender berwarna-warna juga tidak ada larangannya. Senen merah, selasa hitam, rabu biru, kamis hijau, jumat oranye,......... Itu suka-suka penerbitnya.”
Pak polisi tetap bersikukuh bahwa hari sabtu bukan hari libur. Oleh sebab itu saya minta surat tilang dan mau membela diri di pengadilan. SIM saya diambil.
Pada hari yang ditentukan, saya ke pengadilan Jakarta Selatan di jln. Ampera seperti yang diperintahkan. Ternyata berkas kasus saya tidak ada disana. Katanya belum dikirim. Saya curiga bahwa berkas saya memang tidak akan pernah dikirim ke pengadilan karena kemungkinan saya akan menang. Kejadian ini bukan yang pertama yang pernah saya alami.
Kejadian sebelumnya belangsung di ujung jalan Thamrin, di bundaran air mancur. Waktu itu lampu lalu-lintas yang berwarna merah mati (putus). Dan saya distop polisi atas tuduhan menerobos lampu merah.
“Pak...., saya tidak menerobos lampu merah. Tetapi menerobos lampu mati. Dan tidak ada larangan menerobos lampu mati. Jadi secara faktual yuridis formal, saya tidak menerobos larangan apa-apa.” debat saya.
“Tetapi bapak sebenarnya tahu bahwa lampu merahnya mati.” debat pak polisi itu lagi.
“Pak....., secara hukum saya tidak punya kewajiban untuk menterjemahkan bahwa lampu mati itu sama dengan lampu merah. Secara faktual dan teknis yang saya lewati adalah lampu mati. Dan tidak ada larangan untuk menerobos lampu mati.”
Akhirnya saya minta tilang untuk ke pengadilan untuk menyelesaikan kasus saya. Dan sudah bisa ditebak bahwa berkas saya tidak pernah dikirimkan ke pengadilan untuk diproses lebih lanjut. Untuk mengambil SIM saya yang disita oleh polisi, saya terpaksa menggunakan jasa koperasi di KOMDAK yang dikelola (dulu) oleh pak Panto, walaupun biayanya 5 kali lebih mahal dari pada nyogok di tempat.
Kedua cerita itu adalah kisah lama yang menorehkan kesan negatif yang dalam di benak saya. Bagi saya, polisi Indonesia adalah organisasi yang menyebalkan. Kalau bisa kita (saya) tidak berurusan dengan mereka. Inipun bukan berarti tanpa pengorbanan. Selama ada mereka, hal-hal yang menyebalkan pasti terjadi. Misalnya, untuk sekarang, dengan kantor di jln Sudirman di dekat fly-over Karet, mau pulang kerja menjadi serba salah. Setiap hari selalu ada polisi yang menghambat lalu-lintas yang akan keluar dari jalur lambat di depan rumah sakit Siloam. Akibatnya, perjalanan di jalur lambat jln. Sudirman dari bawah fly-over Karet ke segmen masuk jalur cepat Sudirman di depan RS Siloam bisa memakan waktu setidaknya 30-60 menit untuk jarak yang kurang dari 2 km. Kalau kita keluar kantor jam 4 sore bisa kena 3 in 1. Walaupun bisa ambil jalan alternatif lewat kolong Semanggi di depan Komdak, tetapi yang paling aman adalah tetap berusaha keluar ke jalur cepat Sudirman dari depan RS Siloam. Karena di bawan kolong Semanggi biasanya ada polisi yang akan menyetop mobil untuk mengechek jumlah penumpang.  Dengan kata lain, polisi sengaja membuat jalur lambat Sudirman sepanjang fly-over Karet sampai ke RS Siloam agar mobil bisa digiring ke kolong Semanggi dimana perangkap sudah disiapkan. Beberapa teman saya sudah menjadi langganan jebakan polisi ini. Pilihannya cuma pakai joki atau bayar sogokan Rp 100 ribu (tahun 2014 – 2015).
Banyak yang mengatakan bahwa polisi dimana-mana menyebalkan. Kesimpulan ini bisa diterima, kalau dilihat pada kasus di Ferguson, US, beberapa bulan lalu, dimana polisi dengan semena-mena menembak mati seorang remaja dan kasus ini berekor protes besar-besaran yang dibalas oleh polisi dengan tindak repressi terhadap demonstran.
Menyusul kasus Ferguson, ada lagi kasus baru di US yaitu kasus Eric Garner, yang mati karena dipiting oleh polisi. Ini lebih sakit dari pada ditembak. Mati dipiting tentunya lebih sakit. Kejadian semacam ini membuat kita bertanya, untuk apakah polisi itu. Sebagai aparat keamanan, perlengkapan polisi saat ini sudah mendekati militer – aparat pertahanan (dari serangan musuh dari negara lain). Kendaraan lapis baja, senjata yang kuat (powerful gun) seperti M16 itu bukan untuk melumpuhkan tetapi untuk mematikan.
 Itu memang di US, tetapi di Indonesia juga terjadi militerisasi polisi. Tetapi dalam bidang ini, Indonesia kelihatannya lebih banyak latahnya. Hal lebih pokok lagi pada polisi Indonesia adalah masalah tradisi korup, termasuk membuat jebakan-jebakan lalu-lintas. Kita tidak perlu kemana-mana, cukup sektor lalu-lintas saja. Sebagai pengemudi, pengalaman buruk hanya saya jumpai di Indonesia. Padahal saya pernah tinggal di Inggris, Canada, Singapore, Malaysia, dan Saudi Arabia. Hanya 2 negara saja saya pernah berhadapan dengan tilang, Indonesia dan Malaysia. Untuk Malaysia hanya 1 jenis kasus yang saya langgar, yaitu mengendarai dengan kecepatan yang melebihi ketetapan. Saya kena tilang yang disebut saman-ekor, kurang lebih 5 kali, di tempat yang sama dengan waktu yang berbeda.
Di jalan raya Karak (lebuh raya Karak), di wilayah Janda Baik ada bagian yang lurus dan menurun sepanjang 10 – 15 km dengan sudut ketajaman sekitar 30 – 40 derajad. Dan kecepatan maksimal disitu 90 km/jam. Disana ada kamera yang siap mengabadikan siapa-siapa yang ngebut melebihi 90 km/jam.
Di penggalan jalan raya Karak ini, kelihatannya polisi juga tahu kesulitan bagi pengendara untuk mentaati aturan lalu-lintas tersebut. Persoalan utamanya adalah sulit untuk mempertahankan laju kendaraan di bawah 90 km/jam di jalan dengan kondisi seperti itu. Rem yang terus-menerus akan mudah panas. Sedangkan dengan pengereman mesin di gigi 3 akan membuat mesin mengerang-erang keras. Jadi serba salah. Biasanya mobil akan saya lepas di gigi 4, tanpa menginjak pedal gas atau rem. Hasilnya adalah 110 – 125 km/jam. Dan......, kalau dalam minggu itu saya tidak menerima surat tilang, artinya saya bisa lolos dari jepretan kamera.
Biasanya kita bisa lolos dengan memposisikan kendaraan di belakang mobil besar. Jadi yang akan kena tembakan kamera adalah mobil di depan saya. Tetapi keberuntungan tersebut tidak selalu ada. Karena jalan tersebut harus saya lewati  2 kali setiap minggunya maka wajarlah kalau saya selama 2 tahun di Malaysia kena jepret 5 kali.
Berurusan dengan polisi lalu-lintas di Malaysia seringnya tidak berhadapan langsung, seperti di Indonesia. Surat tilang (saman ekor) datang dengan pos seminggu kemudian dan saya bayar di KLCC atau tempat-tempat yang ditentukan. Tidak ada pelanggaran lampu mati atau larangan masuk kecuali tanggalan merah. Jadi kalau institusi polisi di Indonesia menjengkelkan (dibandingkan dengan di Malaysia atau Canada, Inggris, Singapore), bisa dibuktikan sendiri.
 Walaupun nampaknya ada perbedaan antara polisi di satu negara dengan polisi di negara lain, tetapi mereka punya persamaan dalam suatu kultur. Mau menang sendiri. Dalam kasus Michael Brown dan Eric Garner di Amerika, polisi tidak pernah mengakui kesalahannya. Di film-film TV, juga bisa dilihat bahwa polisi tidak pernah salah dan tidak pernah mengaku salah serta tidak mau kalah. Kasus tilang saya melanggar lampu mati dan larangan masuk kecuali pada hari bertanggal merah, yang tidak pernah sampai ke pengadilan, juga cermin dari sikap polisi yang tidak mau kalah.
Banyak peraturan-peraturan yang secara langsung berhadapan dengan kepentingan kita dan punya loop-hole. Misalnya Peraturan Daerah (Perda) mengenai 3-in-1, yang melarang mobil berpenumpang kurang dari 3 orang untuk masuk ke jalan Sudirman dan Gatot Subroto pada jam-jam tertentu. Saya melihat setidaknya 2 loop-hole. Pertama, peraturan tersebut adalah Perda, dan jalan Sudirman/Thamrin serta Gatot Subroto adalah jalan negara yang perawatannya diatur dan dibiayai oleh pemerintah pusat, bukan DKI.  Perda tidak berlaku di wilayah pusat. Untuk jalan, wilayah juridiksi pemerintah daerah DKI adalah jalan provinsi bukan jalan negara. Kalau pemerintah daerah memasang rambu-rambu lalu-lintas di jalan negara, adalah tidak konstitusional. Apalagi menerapkan perda di jalan negara.
Loop-hole kedua, bunyi perdanya adalah ..... berpenumpang kurang dari 3 orang.... Disitu ada kata orang secara spesifik disebutkan di perda nya. Andaikata di perda nya tidak ada kata orang, dengan kata lain, bunyi: “berpenumpang 3 atau lebih” kama kita bisa bawa 2 kecoa bersama kita, sehingga penumpang yang ada di mobil ada 3, yaitu 1 manusia dan 2 kecoa. Karena kata orang disebutkan secara spesifik maka perda tersebut harus diakali dengan cara lain.
Untuk mengakali perda 3-in-1 itu saya sebenarnya bisa membawa anjing saya yang bernama Hanibal-Orang di dalam mobil ketika memasuki kawasan 3-in-1. Jadi di dalam mobil ada 3 penumpangnya, yaitu 2 orang yang bernama Imam Semar dan Hasan (supir saya), serta seekor anjing yang bernama Orang (perhatikan huruf O besar yang menunjukkan bahwa kata Orang disini adalah nama). Di dalam perda 3-in-1 itu tidak dijelaskan bahwa kata orang itu harus berarti manusia, homo sapiens, bukan hewan species lain, pet yang bernama Orang.
Walaupun saya tahu perda 3-in-1 ada loopholenya, tetapi saya yakin bahwa polisi akan mau menang sendiri. Akal-akalan saya tidak akan digubris. Dan kejadian beberapa belas tahun lalu, dimana berkas tilang saya tidak pernah diproses, akan terulang lagi jika saya melakukan uji coba jurus mengalahkan loop-hole ini ke dalam praktek. Kalau kejadian tersebut terulang, maka belum tentu pak Panto masih ada untuk mencarikan polisi yang menahan SIM saya. Oleh sebab itu saya lebih suka ditemani oleh sebuah boneka besar untuk mengecoh polisi. Boneka tersebut akan nampak seperti penumpang ke 3. Cara ini punya peluang lolos dari pada berdebat dengan polisi tentang loophole dari perda 3-in-1.
Polisi tidak dididik untuk mengetahui mana yang benar dan mana yang salah. Mereka dididik untuk tidak mau kalah. Ketika Budi Gunawan sebagai calon kapolri dinyatakan tidak bersih oleh KPK, polri (Budi Gunawan) pasti tidak akan mau kalah. Polisi kemudian menangkap Bambang Widjojanto dan Adnan Pandu Praja dua wakil ketua KPK sebagai balasannya. Ini seperti halnya polisi yang menilang saya karena kasus melanggar lampu mati dan larangan masuk kecuali di hari bertanggal merah. Cuma bedanya sekarang dua wakil ketua KPK ditangkap. Pesan polri: “Kalau kau ganggu kami, maka kami juga bisa ganggu kamu.” Seperti halnya polisi yang menilang saya, cara polisi menghadapi KPK juga kasar. Tidak elegan sama sekali.
Saya tidak tahu apakah KPK bersih atau tidak, karena saya tidak pernah berurusan dengan KPK. Tetapi, untuk polisi, saya pernah bersentuhan langsung dengan polisi sehingga bisa memberi pendapat. Saya juga termasuk orang yang meragukan kultur yang bersih di lingkungan polri. Saya juga tidak heran kalau banyak orang sependapat dengan saya. Kata fit & proper dengan polri seperti air dan minyak. Kalau DPR melakukan test fit & proper terhadap calon kapolri, itu tidak lain cuma lelucon saja. Bisa juga diartikan sebagai sekedar memberi legitimasi status quo.
Bagi orang yang berpikir dan jujur (naif) keberadaan institusi kepolisian perlu dipertanyakan. Pertama, sebagai petugas keamanan, sudah banyak digeser oleh satpam. Di sektor penangkal kriminalitas juga banyak tanda tanyanya. Kalau kita kecurian barang, apakah akan kembali jika kita lapor polisi? Sebagai pengatur lalu-lintas, sudah banyak digeser oleh pak ogah. Kedua, perkara kebersihan polisi sangat diragukan. Apakah ada polisi yang bersih? Polisi tidur saja juga kotor oleh lumpur dan tinja kuda. Patung polisi juga kotor oleh debu. Makna fit & proper sebenarnya adalah fit & proper untuk status quo dalam arti DPR masih seperti itu, kabinet juga seperti itu, presiden juga seperti itu (silahkan terjemahkan sendiri kata itu). Tidak perlu heran jika Budi Gunawan yang dicurigai KPK dan masuk daftar hitam KPK bisa lolos fit & proper nya DPR. Karena DPR dengan polri punya musuh yang sama yaitu KPK. (Catatan: berapa banyak anggota DPR yang sudah diseret oleh KPK ke pengadilan). Dan tidak perlu heran yang merekomendasikan Budi Gunawan juga ketua partainya wong cilik yang membuat Keppres no 81 tahun 2004 dan isinya adalah memberikan uang tunjangan perumahan purnabakti sebesar Rp 20 milyar (setara dengan 20 kg emas) kepada mantan presiden yang notabene nantinya adalah dirinya sendiri. Dan keputusan ini dikeluarkan pada hari Senin tanggal 28 September 2004 hanya 3 bulan sebelum masa tugasnya berakhir tanggal 20 Oktober 2004.
Ada yang mengatakan bahwa kultur korup di kalangan polisi sudah sedemikian parahnya. Kalau dibaratkan computer, maka hardisknya sudah terinfeksi banyak virus dan kalau mau diperbaiki sudah terlalu banyak files yang terkorupsi sehingga banyak program yang tidak berfungsi secara benar. Jalan satu-satunya adalah format ulang., kemudian diisi dengan program dari sumber yang bersih. Artinya polisi diberhentikan semua, dan diganti dengan orang-orang yang baru. Persoalan akan timbul ketika orang yang melakukan isi ulang dari hardisk tersebut patut dicurigai karena punya kepentingan dengan penggunaan komputer tersebut. Keadaan tidak akan berubah jika sang penyusun ulang polisi kotor atau punya kepentingan yang berkaitan dengan polisi. Oleh sebab itu, EOWI akan mundur ke dasarnya dengan mempertanyakan, untuk apa badan kepolisian itu diadakan? Kapan badan kepolisian pertama dibentuk. Karena semua badan kepolisian di dunia ini hanyalah copy-an saja.
Fungsi polisi mungkin sudah berubah dengan perjalanan waktu. Ini bisa dilihat dari sudut pandang etimuloginya (asal-usul kata). Polisi atau police (bahasa Inggris) berasal dari kata Yunani politeia,  yang artinya negara, pemerintahan. Kata ini punya akar yang sama dengan kata politik, politikus, policy (keputusan pemerintah). Juga ada kaitannya dengan penggalan kata polis di kata metropolis (yang ke bahasa Indonesia menjadi metropolitan). Jadi kata polisi ada kaitannya dengan mengatur masyarakat. Dalam perkembangannya terjadi perubahan, seperti pada kisah Robin Hood, ada sheriff Notingham yang menjadi musuh bebuyutan Robin Hood. Sheriff (kata lain untuk polisi, seperti juga marshal) Notingham punya tugas lain untuk memaksa rakyat membayar pajak yang menekan dan menghukum mereka yang mencoba lari dari pajak. Disamping itu juga, sheriff Notingham juga bertugas menjaga harta milik pemerintah, termasuk kijang-kijang liar yang diklaim sebagai milik raja.
Dari beberapa kamus online disebutkan bahwa kata police mungkin resmi dipakai di Prancis tahun 1580an yaitu kata Middle French policer yang artinya  "to keep order in" – mengatur dan menegakan hukum yang nota bene kemauan pemerintah. Mungkin pengertian inilah yang sampai sekarang berlaku. Kalau pemerintah mengeluarkan ke-tidak-bijaksanaan ini dan itu, maka polisi akan memaksakan penerapannya di dalam masyarakat, terlepas apakah keputusan tersebut konyol dan tidak disukai oleh masyarakat. Seperti halnya ke-tidak-bijaksanaan 3-in-1, disebut ke-tidak-bijaksanaan karena melarang orang menikmati kemakmuran yang diperolehnya yaitu naik mobil pribadi (bisa beli mobil = kemakmuran). Karena larangan ini konyol sifatnya, maka banyak yang berusaha membangkang terbukti dengan banyaknya joki 3-in-1. Ketidak bijakan ini polisi harus menegakkannya. Ini juga berlaku untuk peraturan larangan motor di jalan Thamrin Jakarta.
Salah satu peraturan yang harus ditegakkan, walaupu konyol adalah penggunaan mata uang rupiah sebagai alat pembayaran resmi. Kita tahu mata uang rupiah, keberadaannya adalah karena coercion, paksaan. Wujudnya berupa kertas yang tidak ada manfaatnya, misalnya jika dibandingkan kambing. Kambing adalah sumber protein dan bisa dimakan (enak rasanya). Ada sate kambing, ada tongseng kambing, gulai kambing dan lamb chop. Dan tidak ada sate lembaran 100 ribu rupiah, atau gulai kertas rupiah, atau rupiah chop.  Untuk yang terakhir ini (rupiah chop) jika anda melakukannya dengan terbuka maka polisi akan datang dan mencokok anda. Rupiah berguna karena coercion (paksaan) dan jika anda berusaha menggantikannya secara tindakan, misalnya dengan membawa 100 ekor kambing ke kantor pajak untuk membayar pajak penghasilan anda, niscaya polisi dengan senjatanya akan menjenguk dan mencokok anda. Ini bukan jamannya Robin Hood lagi. Bayar dengan rupiah, cash atau transfer. Anda bisa berargumen bahwa dibandingkan dengan rupiah, maka kambing nilainya stabil sepanjang masa, kambing punya nilai gizi, kambing punya sejuta manfaat, tetapi polisi tidak akan pernah perduli.
Kalau polisi tugasnya menegakkan hukum, mencari pelanggar hukum, kenapa ada KPK yang juga tugasnya menegakkan hukum anti korupsi. Mungkin untuk budaya korupsi, polisi sudah terlalu kotor. Sapu kotor tidak akan pernah bisa effektif untuk dipakai bersih-bersih. Ini bukan jamannya jenderal Hugeng, atau brigjen Swasono Abdulhamid. Istilah rekening gendut polisi adalah cermin kultur kotor. KPK dilahirkan apakah untuk hal yang serius, atau sekedar sandiwara. Yang pasti sampai saat ini belum pernah terdengar ada polisi dengan rekening gendut dimeja hijaukan, alih-alih dihukum mati karena korupsi.

Sekian dulu…….sampai nanti,


Disclaimer: Ekonomi (dan investasi) bukan sains dan tidak pernah dibuktikan secara eksperimen; tulisan ini dimaksudkan sebagai hiburan dan bukan sebagai anjuran berinvestasi oleh sebab itu penulis tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang diakibatkan karena mengikuti informasi dari tulisan ini. Akan tetapi jika anda beruntung karena penggunaan informasi di tulisan ini, EOWI dengan suka hati kalau anda mentraktir EOWI makan-makan.

9 comments:

Reader said...

Saya ragu sih kalau KPK itu orang2nya bersih.

Besar kemungkinan sama2 parahnya dengan polisi.

Anonymous said...

@reader,setuju..!,badut bodoh memuakkan semuanya..!

Anonymous said...

Lebih tepatnya buaya kecil vs buaya tua...bener gk?,hehehe

Anonymous said...

yang meragukan KPK tidak bersih berarti belum pernah ditilang polisi atau berurusan lapor ke kantor polisi

Anonymous said...

sekedar sharing,saya baca artikel belakangan ini Petugas Pajak menyandera penunggak pajak,pemerintah jokowi ini gila atau apa,subsidi bbm di cabut,pajak di genjot padahal lagi resesi begini,limpahan dana sebanyak itu (dan keringat rakyat) malah di hamburkan untuk pengeluaran birokrasi,yang terbaru jokowi mau menyuntik dana ke BUMN puluhan triliyun,sudah jadi rahasia umum kalau BUMN itu sarang KKN
ckckckck....Oh My God....

Alamanda said...

Waalahualam bishawab ya gan, yang tau kebenaran dari segala kebenaran ya cuma Allah. Thanks gan infonya ^^

Anonymous said...

Saya apa petugas pajak berani menyandera penunggak pajak yang punya koneksi dengan partai yang berkuasa

Ayuning Rianti said...

saya mau komentar tentang bonekanya Pak Imam Semar,
berapa tahun pak berhasil lolos 3in1 pakai trik boneka...

menarik sekali ceritanya

Imam Semar said...

Ayuning,

Saya memang selalu ditemani oleh Aisya...., dummy yang diberi pakaian & jilbab...., cantik deh. Sekarang sudah 6 bulan lebih dan ketahuan 1 kali....he he he he. Itu karena salah menempatkannya (terlalu tersembunyi) sehingga pak polisi minta jendela mobil dibuka. Polisinya cuma nyengir....waktu melihat Aisya. :-D