Seorang pembaca EOWI mengatakan sudah tahu kalau
kelakuan politikus itu brengsek dan
ingin membaca yang lain dari EOWI, yaitu mengenai ekonomi. Persoalan utama dari
masalah ekonomi adalah bahwa pembuat masalahnya adalah politikus. Pertama
mereka yang membuat pengekangan-pengekangan. Misalnya untuk memulai bisnis di
Indonesia secara legal (supaya tidak diganggu yang berwenang) diperlukan waktu 48 hari. Sebelum itu, jangankan
mendirikan pabrik, membuka kantor atau mengurus surat-surat lainpun tidak bisa.
Kalau mau berdagang drugs, lain soal.
Misal lain, 30% dari penghasilan kita (orang yang relatif sukses dalam
pekerjaan) diambil pemerintah. Kalau tidak diambil, tentunya bisa kita
belanjakan dan membuat ekonomi bergarak, bukan? Pemerintah yang sok kuasa dan
berpikir mereka bisa mengontrol ekonomi, justru membuat berantakan karena the
unintended consequences (akibat yang tak terpikirkan sebelumnya) dari
peraturan-peraturannya. Terlepas dari itu semua, EOWI memang ingin menurunkan
suatu seri tulisan mengenai prahara ekonomi 2014 – 2020. Dan itu kita mulai
dari sini.
Sudah sejak lama, di EOWI, kami tidak pernah
percaya kepada calon presiden atau/dan presiden. Ketika pemilihan presiden 2014
yang dimenangkan oleh Jokowi, EOWI tidak ikut memilih. Alasannya sudah jelas,
kami tidak percaya. Walaupun orang percaya bahwa Jokowi akan pro-rakyat dan
anti kompromi yang dicerminkan dengan seringnya ia blusukan. Katanya kabinetnya akan ramping. Ternyata sekarang, rencana
susunan kabinetnya berkata lain. Kompromi politik sudah nampak. Jumlah
kementriannya tidak berbeda dengan pendahulunya (SBY). Tidak hanya itu, beberapa
programnya nanti akan lebih membebani rakyat. Porsi pendapatan negara yang
notabene dari pajak untuk subsidi BBM ini akan dialihkan ke “pembangunan” yang
belum tentu bisa dinikmati rakyat. Dengan dikuranginya subsidi BBM, artinya
rakyat harus menanggungnya harga minyak secara keseluruhan termasuk kenaikan harga bahan pokok akibat naiknya biaya transportasi. Memang pajak tidak dinaikkan, tetapi jatah/porsi
yang kembali ke rakyat dikurangi.
Disadari atau tidak, Jokowi sejak awal dari
pemerintahannya akan berhadapan dengan prahara ekonomi. Kalau sekedar problem opposisi dari
koalisi Merah-Putih di DPR, maka hal itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan prahara
ekonomi 2014-2020 ini. Dalam kaitannya dengan prahara ekonomi ini EOWI tidak
perduli dengan Jokowi. Karena EOWI tidak punya misi untuk memuluskan atau
mengganggu jalannya pemerintahan. EOWI cuma tidak perduli. Misi EOWI hanya
memperingatkan dan mengedukasi pembacanya agar selamat ketika keluar dari
prahara ekonomi ini.
Suatu pertanyaan yang mendasar dalam kaitannya
penyelamatan diri (survival) dari
prahara ekonomi 2014 – 2020 ini adalah seberapa besar ketahanan ekonomi
Indonesia saat ini? Bagaimana neraca keuangan Indonesia? Informasi itulah yang
lebih penting bagi pembaca EOWI yang setia dari pada masalah Jokowi. Dan hal itu yang akan kita bahas dalam
tulisan ini.
Apa yang membuat rupiah kuat atau lemah? Itu
adalah pertanyaan yang menjadi dasar diskusi pada tulisan ini. Anggap saja
rupiah seperti barang. Jika ada ketidak-seimbangan antara permintaan dan
pasokan maka akan terjadi penyesuaian harga. Harga akan naik jika ada
kelangkaan yang tidak bisa memenuhi permintaan. Hal ini bisa terjadi karena
tiga sebab, yaitu barangnya tidak ada atau permintaannya meningkat drastis atau
kedua-duanya secara bersamaan. Dalam masalah mata uang, yang disebut dengan
pasokan sifatnya relatif. Misalnya, jika dikatakan bahwa permintaan rupiah
meningkat, maksudnya adalah relatif terhadap pasokan dollar.
Sepanjang dekade 2000 – 2010, nilai tukar rupiah relatif
kuat dalam arti tidak turun sepanjang dekade ini. Hal ini paralel dengan:
- Pertumbuhan
ekonomi Indonesia yang cukup bagus. Ini lebih banyak sebagai penyebab
penguatan rupiah
- Rasio hutang
total (pemerintah dan swasta) terhadap GDP di Indonesia menurun dari 63% pra-krismon
1997 (atau 158% di tahun 1998 setelah krismon) menjadi 37% di tahun 2014.
Tetapi jangan gembira dulu, sebab secara nominal hutang total Indonesia
meningkat dari $150 milyar pra-krismon 1998 menjadi dua kali lipat $ 335
milyar di tahun 2014.
- Rasio
hutang pemerintah terhadap GDP menurun dari 150% di tahun 1998, sampai
hanya 24% saja di tahun 2014.
- Cadangan
devisa Indonesia meningkat mencapai titik tertingginya pada $ 124 milyar.
- Nilai
tukar rupiah terhadap US dollar secara bertahap mengalami penguatan dan
titik tertingginya dicapai pada tahun 2011, yaitu Rp 8,500 per US dollar.
Ekonomi bukan sains, melainkan hanya sekumpulan
opini. Tidak ada rumus-rumus yang berdasarkan observasi, melainkan hanya
berdasarkan opini. Di dalam pembahasan kali ini akan digunakan perbandingan
saja untuk memperoleh kesahihan secara keilmuan. Dan perbandingan itu adakalanya akan
merujuk pada krismon 1998 yang merupakan prahara moneter yang besar (tetapi
bukan yang terbesar) yang pernah terjadi di Indonesia. Kenapa krisis moneter
1998 diambil sebagai rujukan karena Prahara
2014 – 2020 menurut perkiraan EOWI adalah prahara moneter/ekonomi dunia yang
terbesar yang akan anda lihat sepanjang hidup anda. Tidak ada krisis global
yang lebih parah yang akan anda lihat selama hidup anda selain prahara yang
akan datang di kurun 2014 – 2020.
Kita akan melihat perbedaan kondisi internal dan
eksternal Indonesia antara sekarang dengan 1998. Hal ini perlu diperhitungkan
karena pada akhirnya, kedua kondisi inilah yang akan menentukan berat atau
ringannya pukulan terhadap rupiah serta kondisi moneter Indonesia.
Krisis Global Terbesar Sepanjang Hidup, bukan Krisis Regional
Pada tahun 1998, ketika krismon melanda Indonesia,
negara-negara ekonomi besar di dunia, seperti US, Eropa, Cina (yang pada waktu
itu belum terlalu besar) sedang dalam fase ekspansi. Sejak runtuhnya Uni Soviet
di tahun 1991, perang nyaris tidak ada, perang dinginpun usai. Hal ini
memungkinkan ekonomi melakukan ekspansi ke arah yang lebih produktif bukan dan tidak lagi
terfokus pada penciptaan peralatan perang. Tetapi proses ini kemudian kebablasan,
yaitu dilanjutkan dengan aksi spekulasi (saham teknologi di bursa Nasdaq) di
akhir dekade 1990, yang selanjutnya meletus di tahun 2000. Memang ada beberapa bubble dan krisis moneter yang terjadi
hampir bersamaan di beberapa bagian dunia ini, seperti krisis LTCM (1998), krisis
moneter Russia (1998), krisis moneter Argentina (1999 – 2002), atau jauh
sebelum tahun 1998 yaitu krisis tequila Mexico (1994). Tetapi sifatnya hanya
regional dan yang terkena bukan adalah negara-negara yang secara ekonomi
mendominasi perekonomian dunia. Dengan kata lain skala krisis 1998, tidak
global sifatnya. Dan negara-negara berekonomi besar masih bisa membantu melalui badan-badan
perekonomian dunia seperti IMF. Indonesia dibantu oleh IMF, Paris Club, dan
lainnya.
Prahara moneter 2014 – 2020 yang akan datang ini
sifatnya global. Yang terkena termasuk negara-negara dengan ekonomi besar.
Seperti Amerika Serikat, Jerman dan Uni Eropa, Jepang, dan juga Cina. Yang
pasti, Uni Eropa saat ini belum pulih. US juga demikian. Jepang masih loyo
sejak krisis deflationary yang
melandanya di tahun 1990 (sudah 25 tahun lamanya).
Eropa (baca: Jerman) dan US punya latar belakang
penyebab yang sama dan ini dijelaskan secara panjang lebar di laman EOWI Gejolak2014 – 2020.
Intinya ada 3 poin:
- Motor
penggerak ekonomi – baby boomer,
memasuki masa pensiun artinya,
- Puncak
konsumsinya sudah lewat
- Hutang
(pemerintah dan swasta/konsumen) yang dulunya membengkak, sekarang swasta/konsumen
sedang menurunkan level hutangnya (deflasi).
- Bubble di sektor saham US siap meletus
- Pelaku
ekonomi menumpuk dollar dan mementahkan usaha penggelontoran likwiditas
the Fed dan bank-bank sentral
Krisis di Jepang sejak 25 tahun lalu punya
penyebab yang sama. Hanya saja hal itu terjadi 25 tahun lalu dan sampai
sekarang tidak ada generasi yang baru yang punya kekuatan berkonsumsi seperti
bapak-bapak mereka karena faktor besarnya jumlah populasinya. Sedangkan di pihak lain roda ekonomi digerakkan oleh konsumsi dan
produksi. Tanpa pertumbuhan konsumsi ekonomi juga tidak akan tumbuh.
Cina punya bubble
di sektor properti (dan kredit) yang sangat besar dan siap meletus. Dan
negara-negara yang berbasis komoditi seperti Australia, Canada dan Indonesia
punya banyak persamaan dengan Cina. Setidaknya, bubble properti di Cina adalah penyebabnya. Bubble di negara-negara berbasis komoditi punya akar yang sama,
yaitu investment bubble di Cina yang
memerlukan banyak bahan komoditi. Dengan kata lain bubble di Australia, Canada, Indonesia, Afrika Selatan adalah anak
yang dilahirkan oleh investment bubble
di Cina.
Krisis
moneter 1998 tidak bisa disamakan dengan prahara 2014 – 2020. Krisis pada
periode 2014 – 2020 negara-negara ekonomi besar terkena badai, sehingga tidak
bisa membantu apa-apa. Setidaknya permintaan barang dari negara-negara ini
masih bertahan. Pada periode 2014 – 2020 hal seperti ini tidak lagi bisa
diharapkan. Demikian juga dengan badan-badan moneter internasional seperti IMF,
akan klabakan, dan tidak mampu
membantu. Prahara ini terlalu besar dan luas cakupannya untuk badan seperti IMF,
world bank dan juga badan-badan kerja sama bilateral dan regional lainnya.
Seperti misalnya negara-negara BRICS (Brazil, India, China, South Africa)
baru-baru ini mendirikan the New Development Bank (NDB) dengan modal awal $50 milyar
dan Contingent Reserve Arrangement (CRA) yang bermodal $100 milyar, yang salah
satu tujuannya untuk membantu anggotanya jika ditimpa kesulitan ekonomi/moneter.
Indonesia sendiri juga sudah menandatangani perjanjian bilateral dengan Cina 3
tahun currency swap sebesar 100 milyar
yuan atau 175 trilliun rupiah ($15 milyar). Disamping dengan Cina, Indonesia
juga punya kerja sama dengan Asean. Apakah semua ini akan membantu? Kuncinya
ada pada jawaban pertanyaan ini: “Kalau Cina atau negara manapun yang menanda-tangani
perjanjian dengan Indonesia, secara bersamaan dilanda prahara ekonomi/moneter,
apakah mereka juga tidak butuh bantuan? Kalau demikian, alih-alih membantu,
bukankah mereka juga butuh bantuan?”. Akan berada dimana nantinya Paris Club
yang membantu Indonesia pada masa krisis 1998? Silahkan jawab sendiri.
Krisis Deflationary, bukan Inflationary Pelaku Pasar Menumpuk US
Dollar
Seperti dikatakan sebelumnya bahwa krisis kali ini
berbeda dengan krisis sebelumnya yang pernah anda lihat dalam hidup anda.
Biasanya yang anda lihat adalah krisis di masa inflationary. Krisis kali ini adalah deflationary. Biasanya hanya terjadi sekali dalam hidup anda. Apa
itu krisis deflationary? Intinya,
krisis dimana para pelaku ekonomi melakukan deleveraging.
Konsumen yang biasanya menggunakan fasilitas kredit sebagai leverage, di masa ini dikurangi.
Leverage disini maksudnya adalah kemudahan dalam arti, jika menggunakan
kemampuan saat itu, pembelian tidak bisa dilakukan, tetapi dengan berhutang,
kemampuan membeli menjadi ada. Sama juga dengan perusahaan, tanpa berhutang,
kemampuan berekspansi terbatas. Tetapi dengan hutang kemampuan ekspansi
diciptakan. Deleveraging artinya mengurangi penggunaan hutang, selanjutnya
berdampak pada ekspansi bisnis.
Deflasi adalah fenomena psikologi. Dan pada
periode Kondratieff winter, penyakit
psikologis ini melanda konsumen, produsen dan juga banker-banker komersial. Sehingga
kredit murah dari bank sentral pun tidak digubris. Bank sentral, seperti the Fed, walaupun telah
mencetak uang dan membanjiri ekonomi dengan dengan uang, tetapi respons yang
diharapkan dari pelaku ekonomi (konsumen dan produsen) tidak kunjung datang.
Yang ada dari dari spekulan. Banker-banker komersial enggan mengucurkan kredit
dan pelaku ekonomi juga enggan mengambil kredit. Walaupun seandainya bank-bank
sentral mengambil alih peran bank komersial dalam hal menyalurkan kredit, belum
tentu pelaku ekonomi (bisnis dan konsumen) mau mengambil kredit Kredit sulit
diperoleh, roll-over sudah selayaknya juga
akan sulit. Dan juga peminat kredit juga susut jumlahnya. Menumpuk cash menjadi tema yang populer di masa deflationary. Uang yang dicetak the Fed
dan bank-bank sentral lainnya menjadi mandeg, tidak mengalir, tidak digunakan
secara berulang-ulang. Ini terlihat pada velocity
of money yang terus menurun. Tanda dari pelaku ekonomi yang menumpuk cash.
Chart – 1 Velocity of Money yang turun terus
Hutang Jangka Pendek dan Cadangan Devisa
Pada saat Indonesia harus berdiri sendiri, titik ketahanan
Rupiah yang bisa memicu kejatuhannya adalah besarnya hutang jangka pendek
dibandingkan dengan cadangan devisa. Jika cadangan devisa tidak cukup untuk
membayar hutang yang jatuh tempo, maka tamatlah riwayat rupiah. Catatan: pada
masa deflationary, roll-over hutang
mungkin akan lebih sulit dibandingkan pada masa normal. Pernyataan-pernyataan ini cukup masuk akal bukan?
Sebenarnya bukan hutang jangka pendek saja yang
menjadi titik lemah/kuat dari rupiah. Secara umum adalah perbedaan antara
cadangan devisa dan keperluan untuk pembayaran, apakah itu pembayaran hutang yang
jatuh tempo atau menutup defisit perdagangan atau menutup modal asing yeng
keluar.
Indonesia selama 11 tahun masa comodity bull market (2000 – 2011),
memperoleh dana asing dari surplus perdagangan bahan-bahan tambang. Disamping
itu juga dana dollar masuk dari investasi langsung di sektor pertambangan atau
yang tidak langsung dipengaruhi oleh booming
di sektor pertambangan. Oleh sebab itu cadangan devisanya melonjak naik secara
parabolik. Nilai ini naik dari $16.6 milyar di tahun 1997 saat krismon, ke $
108.8 milyar di saat comodity bull market
berakhir tahun 2012. Kemudian turun menjadi $ 96.3 setahun setelah puncak dari comodity bull market (2013). Di awal comodity bull market cadangan devisa
Indonesia hanya $ 28.5 milyar saja. Ini kenaikan yang cukup tinggi. Memang
setelah krismon Asia 1998 ada
kecenderungan bagi negara-negara berkembang (merging markets) yang terkena
krismon untuk menumpuk cadangan devisa untuk mencegah krismon-krismon dimasa
datang. Jadi kenaikan yang drastis ini tidak perlu diherani.
Chart – 2 Cadangan Devisa Indonesia, turun tahun 2011 di
akhir booming komoditi
Setahun setelah comodity bull market berakhir (2013) cadangan devisa Indonesia
melorot dari $ 108.8 milyar ke $ 96.3 milyar. Ini menunjukkan kebergantungan
Indonesia pada penjualan bahan-bahan tambang (bahan mentah). Ketika harga
barang andalannya jatuh, dan (pemerintah dan rakyatnya) enggan mengencangkan
ikat pinggang, mengurangi belanjanya maka akan terjadi defisit ganda dan
cadangan devisa pun ikut melorot. Kejatuhan
harga bahan tambang berikutnya patut diduga akan menarik cadangan devisa
ke level yang lebih rendah lagi. Dan konsekwensinya nilai rupiah akan melorot lebih dalam lagi.
Walaupun secara nominal hutang Indonesia meningkat
selama periode 2000 – 2012, tetapi rasio hutang jangka pendek dengan cadangan
devisa menurun dari 73.9% di tahun 2000 ke 39.7 % pada tahun 2012. Akan tetapi
secara nominal bertambah dari $ 21.1 milyar di tahun 2000 ke $ 43.2 milyar di
tahun 2012, atau meningkat 2 kali lipat. Jadi jangan terpukau oleh angka 39.7%
yang sering didengung-dengungkan para analis. Di bagian akhir nanti akan
ditunjukkan bahwa neraca transaksi berjalan (current account) Indonesia sudah berdarah-darah sejak tahun 2012,
yaitu sejak commodity bull masuk kandang.
Chart – 3 Rasio hutang jangka pendek Indonesia terhadap cadangan devisa
Dibandingkan dengan sesama negara berkembang dan
negara yang berbasis komoditi seperti Malaysia, Thailand (negara berkembang)
dan Brazil (berbasis komoditi) seharusnya Indonesia bisa lebih banyak
menurunkan tingkat hutangnya. Seperti Brazil misalnya, bisa menurunkan rasio
hutang jangka pendeknya terhadap cadangan devisanya dari 91% di tahun 2000
menjadi 10% saja di tahun 2012. Dengan kata lain, krisis yang akan datang ini
akan memukul rupiah lebih parah dari pada real Brazil, ringgit Malaysia atau bath
Thailand. Sekali lagi, jangan terpukau
dengan opini analis yang mengatakan bahwa hutang eksternal jangka pendek
Indonesia kecil (dibandingkan dengan cadangan devisanya).
Sistem moneter Indonesia akan terluka parah, seandainya
para kreditur hutang Indonesia tidak mau me-roll-over hutang jangka pendek
Indonesia yang jatuh tempo. Artinya maka 40% dari cadangan devisanya akan
menguap untuk membayar hutang yang jatuh tempo dalam waktu dekat ini.
Chart – 4 Rasio hutang jangka pendek beberapa negara terhadap
cadangan devisa
Rasio hutang eksternal jangka pendek dan cadangan devisa, bisa dijadikan patokan akan ketahanan suatu mata uang. Tetapi bukan satu-satunya faktor. Yang paling penting adalah faktor kemauan kreditur untuk memperpanjang hutang, atau kepercayaan kreditur untuk memberi hutangan baru untuk menutup hutang yang lama. Misalnya kasus Argentina bulan Januari 2014 lalu. Walaupun posisi hutang Argentina lebih baik dari Indonesia, tetapi Argentina mengalami gagal bayar atau setidaknya mengalami kesulitan untuk membayar bond pemerintah yang berdenominasi US dollar, akibatnya peso Argentina anjlok dari ARS 5.85 per US dollar ke ARS 8. Memang bukan kejatuhan 50% atau 80%, tetapi tetap saja kejatuhan. Tetapi...... (ada tetapinya lagi)., itu yang resmi. Harga ARS resminya memang ARS 8 per US dollar, tetapi di pasar (yang tidak resmi) dimana ada transaksi harga US dollar sekitar ARS 15. Jadi secara resmi tabungan rakyat Argentina menguap 27%, tetapi tidak resminya (yang riil) menguap 61%. Lebih dari separo dari nilai tahungan menguap!!!. Satu hal lagi, dalam krisis di bulan Januari 2014 itu, tidak ada badan moneter internasional atau negara besar lain yang membantu.
Hutang Swasta, Hutang Pemerintah
Baik Pemerintah atau swasta menambah hutangnya
sejak krismon 1998. Total hutang Indonesia mencapai 2 kali lipat dari pada saat
pra-krismon 1998. Hal ini bisa bagus dan bisa buruk,
tergantung jenis hutangnya. Ada 2 jenis hutang, yang self liquidating debt, atau hutang-hutang yang dipakai untuk
hal-hal yang produktif, menghasilkan income
dan hasil incomenya dipakai untuk
membayar pokok serta bunganya. Atau non-self
liquidating debt, hutang yang tidak produktif dan untuk membayarnya harus
diambil dari pos lain. Hutang untuk konsumsi masuk ke dalam kategori ini.
Hutang pemerintah untuk membiayai jalannya pemerintahan, termasuk kategori ini.
Dan hutang yang jenis ini terus bertambah.
Yang menarik dari perjalanan hutang
total di Indonesia adalah relatif
konstan sepanjang kurang lebih 10 tahun sesudah krismon 1998 di level
$130 - $150 milyar. Nampaknya setelah kasus subprime
di akhir 2007, hutang Indonesia
meningkat secara parabolik. EOWI tidak percaya pada kebetulan. Sehingga patut
diduga dana QE (Quantitative Easing)
tidak tersalurkan ke arah pemulihan ekonomi US, melainkan ke arah spekulasi di emerging market. Jadi di samping hutang
pemerintah yang tidak produktif, juga hutang untuk berspekulasi, seperti
hutangnya Imam Semar untuk menge-short
rupiah, yang notabene juga tidak produktif, ikut menanjak.
Chart – 5 Total hutang Indonesia
Peningkatan hutang setelah krisis subprime bukanlah hal bagus. Pertama
karena kasus subprime merambat menjadi krisis global yang sampai saat ini Eropa
dan US masih belum pulih. Beberapa negara memang belum terkena dampaknya secara
nyata. Seperti Indonesia, Malaysia, Australia, Canada, Cina dan sederet lagi
seakan tidak pernah terjadi krisis. Tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa
perekonomian global pincang dengan sakitnya perekonomian Eropa dan US. Cina
memang berusaha untuk mempertahankan pertumbuhan ekonominya dengan memfokuskan
pada pertumbuhan investasi. Tetapi hal ini tidak akan bisa bertahan lama. Siapa
yang akan menjadi konsumennya?
Ada yang menarik dari perkembangan hutang
pemerintah di Indonesia. Sejak krismon 1998, hutang pemerintah tidak lagi melulu
dalam denominasi mata uang asing. Tetapi juga mata uang rupiah. Perbandingannya
mendekati sekitar 50%-50%. Ini mungkin dimaksudkan untuk mencegah terulangnya
kembali krisis 1998.
Chart – 3 Hutang pemerintah Indonesia, % GDP dari tahun 1990
sampai 2003
Mungkin idenya bahwa kalau surat hutangnya dalam
rupiah maka yang beli adalah investor lokal dan pemerintah bisa membayarnya
dengan mencetak saja dari kertas-kertas kosong. Sebab kalau dalam denominasi
dollar, maka pemerintah harus menyediakan dollar yang harus dibelinya.
Persoalannya ialah jika pembelinya adalah investor
asing, maka pada saat membeli mereka harus menukarkan dollar mereka ke dalam
rupiah dahulu. Ini akan menyebabkan rupiah terappresiasi. Dan sebaliknya,
ketika mereka keluar dari pasar, maka rupiah yang hasil penjualan bond yang
mereka punyai akan dikonversikan ke mata uang asing, US dollar. Akibatnya
rupiah akan terdepresiasi. Sederhana bukan.
Sejak krisis subprime 2008, di samping hutang
Indonesia meningkat, rupiah juga menguat dari Rp 13,000 ke Rp 8,500. Sebabnya
ada aliran dana dari luar masuk ke Indonesia. Harga saham Indonesia naik
sekitar 400%. Surat hutang Indonesia berdenominasi rupiah juga menarik bagi
spekulan asing karena bunganya tinggi dibandingkan dengan bunga di US. Jangankan surat hutang Indonesia, junk
bond saja disabet para investor
(spekulan). Ini adalah dampak ketidak-bijakan QE, easy money yang dikeluarkan
the Fed dan bank-bank sentral lainnya. Dengan mengambil surat hutang
berdenominasi rupiah, investor (spekulan) memperoleh dua keuntungan, yaitu
bunga yang tinggi dan appresiasi rupiah.
Persoalan bagi Indonesia adalah spekulan-spekulan
asing ini sering berbaju lokal dan ketika mereka ini keluar secara hampir
serentak. Pemerintah harus punya dollar banyak. Jadi apakah itu hutang
eksternal atau internal sulit dibedakan, atau hutang jangka panjang atau jangka
pendek dan dampaknya sama saja. Akan menarik jika memang spekulan asing banyak
bermain di sektor bond lokal. Sebab ketika mereka keluar, pasar bond yang
relatif tidak likwid ini akan mengalami kemacetan, sesak, pintunya kurang
besar. Bond yield akan meroket. Untuk menunjukkan betapa sempitnya pintu
keluar, ketika krisis subprime tahun 2008 harga bond pemerintah Indonesia dalam
denominasi dollar jatuh dan bottomnya mencapai 60 sen untuk $1. Ini adalah bond
yang masih jauh jatuh temponya. Dengan kata lain, hutang jangka panjang atau
yang sudah hampir jatuh tempo punya dampak yang sama.
Akhir Bubble Properti Cina,
Canada, Australia, Indonesia
Bubble di sektor properti di Cina, Indonesia dan
negara-negara berbasis komoditi seperti Canada, Australia, Brazil nampaknya
sudah sampai pada akhirnya. Yang terjadi berikutnya apakah hanya pendinginan,
atau pengempisan secara perlahan-lahan atau meletus. Bubble biasanya meletus, berakhir dengan tidak mengenakkan.
Pemain/pekerja di sektor properti sudah merasakan adanya penurunan omzet. Pasar
sepi dan sulit bertransaksi. Banyak di antara pemain sudah keluar. Misalnya
agen yang beberapa tahun lalu membantu mencarikan rumah yang saya tempati
sekarang ini sudah keluar karena sepi order dan akhirnya bertukar profesi. Beberapa developer bahkan
menawarkan down-payment yang bisa
dicicil. Padahal arti kata down-payment
adalah bagian dari pembayaran yang tidak dicicil. Dengan kata lain, pembelian
rumah seperti itu adalah tanpa down-payment.
Ini adalah usaha-usaha yang sudah putus asa.
Dengan berakhirnya bubble di sektor properti di Cina dan negara-negara berbasis
komoditi, apakah krisis global yang berkonsekwensi appresiasi US dollar akan
berlanjut? Kita lihat saja.
Akselerasi Pengempesan Bubble
Komoditi Tambang
Sudah sekitar setahun, pengempesan bubble komoditi terhenti untuk mengambil
nafas. Dari data yang hampir sepanjang 200 tahun, commodity bear market
tidak akan merhenti sampai disini. Sikusnya adalah sekitar 30 tahun. Kalau bull marketnya dimulai tahun 2000, maka
bull market berikutnya baru dimulai tahun 2030. Setidaknya tahun 2025. Sampai
10 – 15 tahun mendatang, harap bahan-bahan komoditi akan menjadi primadona
lagi. Konsekwensinya adalah, pendapatan pemerintah NKRI akan turun. Penerimaan
US dollar juga akan menyusut. Pemasukan devisa juga turun. Selanjutnya rupiah
akan sakit. Dalam beberapa tahun mendatang, pengempesan bubble di sektor komoditi akan mengalami akserasi, sejalan dengan
melambatnya ekonomi Cina, meletusnya bubble
properti Cina. Itu adalah konsekwensi logis saja.
Yang lebih penting lagi, karena sampai 10 – 15
tahun ke depan di sektor komoditi mengalami perlambatan tidak banyak memerlukan
investasi, FDI (Foreign Direct Investment)
menurun dan uang hasil eksport komoditi akan ada kecenderungan untuk diparkir
di luar negri. Dengan menurunnya FDI yang cukup besar di sektor bahan tambang,
pemasukan dollar ikut melambat (kalau tidak mau dibilang terhenti). Dan semua
ini bisa terlihat pada defisit neraca transaksi berjalan NKRI yang
berdarah-darah selama 2 tahun terakhir ini.
Tanda-Tanda Perdarahan di Neraca Transaksi Berjalan
Kejatuhan rupiah dari Rp 8,500 ke Rp 12,000 per
US$ nya selama 2 tahun ini, hanyalah pembukaan, prelude dari kejatuhan berikutnya yang lebih dalam. Itu bisa
dilihat dari kurva neraca transaksi berjalan NKRI (Chart-6). Selama 11 tahun
(2000 – 2011) commodity bull market,
Indonesia selalu mengalami surplus pada neraca transaksi berjalannya yang
membuat cadangan devisa NKRI menanjak hampir 4 kali lipat selama dekade 2000an
(Chart-2). Padahal kalau dilihat pada Chart-6, “goyangan” surplus pembayarannya
hanya di sekitar US$ 2 – US$ 4 milyar per kwartal saja. Ketika commodity bull market usai dan
digantikan dengan commodity bear market
(2011 – 2030?), terlihat “goyangan” defisit pembayaran mencapai kisaran minus
US$ 4 sampai minus US$ 10 milyar per kwartal. Berarti selama kejatuhan bahan
komoditi, pengurasan cadangan devisa NKRI adalah dua sampai 4 kali lebih
volatile dari pada penumpukannya di tahun 2000 – 2011.
Chart – 6 Neraca transaksi berjalan Indonesia, defisit sejak
akhir boom komoditi 2011
Perlu dicatat bahwa tahun 2012 dan 2013 sekitar
$24 - $30 milyar dari defisit neraca transaksi yang keluar pertahunnya tidak
banyak dari dana investasi portfolio. Pemerintah masih bisa menambal cadangan
devisanya dengan mengeluarkan surat hutang (obligasi) berdominasi dollar di
tahun 2014. Tidakan ini adalah mengulur waktu saja. Saat ini orang masih
berpikir surat hutang pemerintah dalam US dollar adalah lebih baik atau sama
dengan cash US dollar. Yang pasti
investor sudah tahun, surat obligasi berdenominasi rupiah tidak sama dengan yang
berdenominasi dollar walaupun kuponnya lebih tinggi. Nilai rupiah dalam 2 tahun
terakhir ini sudah jeblok 25% yang tentu saja
tidak bisa diimbangi dengan kupon. Pada saatnya investor akan tersadar bahwa
obligasi dollar NKRI tidak sama dengan US bond. Pasarnya terlalu kecil. Pada
saat krisis, pasar hutang Indonesia beku, ceritanya akan lain, mengulur waktu
tidak akan bisa lagi.
Pesan EOWI, bersiaplah menghadapi ombak gelombang
yang tinggi. Pelayaran tidak akan mulus.
Peraturan Untuk Membendung Rontoknya Rupiah
Mau dipercaya atau tidak, sebenarnya Bank
Indonesia (BI) tahu bahwa posisi rupiah cukup rapuh. Oleh sebab itu, BI merasa
perlu untuk membuat benteng pertahanan untuk menjaga rupiah. Beberapa waktu
lalu pemerintah NKRI memberlakukan peraturan baru, bahwa pembelian mata uang
asing lebih dari US$ 100,000 harus disertai bukti underlayingnya. Maksudnya, adalah bahwa setiap pembelian US$ diatas
US$100,000 harus ada alasan kepentingannya dan disertai dengan dokumen pendukungnya
(seperti invoice) sebagai bukti
adanya transaksi bisnis, bukan sekedar untuk investasi portfolio, hedging dan
spekulasi. Peraturan ini dimaksudkan untuk mencegah adanya volatility, yang diperkirakan akan membuat reaksi panik dari pelaku
pasar. Pemerintah menghendaki kontrol terhadap nilai rupiah. Kalau mau jatuh,
yang diinginkan adalah jatuh yang teratur.
Beberapa waktu lalu, pemerintah (BI) juga menghimbau pelaku bisnis untuk tidak memborong dollar untuk memenuhi kewajiban mereka pada bulan-bulan mendatang. Bisa beli nanti saja dan tidak usah khawatir harga US dollar naik. Kalau perlu lakukan saja lindung nilai. Kalau saya jadi pelaku bisnis, akan bertanya: "Siapa yang menjamin?". Dan hedging juga ada biayanya. Siapa yang mau bayar?
Ada pepatah yang mengatakan: “Jika pemerintah menginginkan kontrol, hasilnya adalah ketidak pastian.”
Adanya pembatasan-pembatasan membuat pelaku ekonomi dan investor menjadi
curiga. Setiap ada satu peraturan/pembatasan keluar, artinya ruang gerak
dibatasi. Kalau ruang gerak dan aturan main diubah-ubah, akan timbul pertanyaan
dari pelaku ekonomi dan investor: “Kapan peraturan yang merugikan saya akan
dimunculkan?” Ini yang disebut rasa ketidak pastian. Perubahan-perubahan yang
mengarah pada kerugian seseorang bisa dianggapnya sebagai resiko. Dengan kata
lain, perubahan level kontrol-kendali merupakan ketidak pastian bagi investor
dan pelaku ekonomi.
Investor juga cerdik dan banyak akalnya mencari
celah. Pemerintah tidak bisa mencegah keluarnya US dollar ketika pengelola dana
asing bisa menunjukkan adanya redemption di luar negri. Juga dengan pasar
derivative yang hampir tidak ada regulasinya. Pasar uang di Indonesia relatif
kecil. Transaksinya hanya sekitar $ 5 milyar saja perharinya kalau sedang ramai
dan hanya $ 3 - $ 4 milyar saja kalau sedang sepi. Ibaratnya pasar yang kecil
seperti ini pintu yang sempit. Jika semua orang mau keluar......, akan terjadi
gejolak. Mungkin secara kekuatan dan potensial, kondisi Indonesia masih bagus,
tetapi pintu keluarnya kecil yang bisa menimbulkan panik.
Okey, kita ringkas saja cerita yang panjang tadi. Ringkasnya:
Dibandingkan dengan kondisi tahun 1998, posisi
rupiah saat ini jauh lebih baik. Sayangnya prahara, tornado 2014 – 2020 tipenya
bukan 25 year storm tetapi adalah lifetime storm (badai yang terjadi seumur
hidup manusia) ukurannya besar. Jadi walaupun posisi rupiah lebih baik dari
pada tahun 1998, tetapi belum tentu kuat dan tegar menghadapi badai moneter 2014 – 2020.
Rupiah punya beberapa titik lemah. Pertama, selama
habisnya periode commodity bull market
tahun 2011, neraca transaksi berjalan NKRI sedang berdarah-darah. FDI di sektor
komoditi pertambangan sudah susut karena berakhirnya commodity bull market. Dan uang hasil penjualan bahan tambang
cenderung untuk diparkir di luar negri (diparkir di dalam negri untuk apa? Toh
tidak ada gunanya). Di samping itu juga karena defisit perdagangan. Ekspor
andalan NKRI harganya sedang jatuh.. Dan akan jatuh lagi dikemudian hari,
sampai 10 - 15 tahun ke depan.
Berikutnya, hutang eksternal jangka pendek NKRI
sekitar 40% dari cadangan devisa dan prosentase ini meningkat dengan
berjalannya waktu. Bayangkan kalau tidak bisa diroll-over, berapa sisa cadangan devisa NKRI untuk mempertahankan
rupiah? Kenyataannya money velocity
di US terus menurun, artinya ada kecenderungan pelaku busines lebih suka
menahan cash dari pada invest. Kedepannya cari hutangan baru
akan lebih sulit.
Berikutnya, pasar uang Indonesia kecil. Ketika
investor keluar, akan menimbulkan gejolak. Pemerintah tidak akan bisa meredam
gejolak ini. Ketika tahun 1998, US dollar melejit sampai Rp 15,000 dan jatuh
lagi ke Rp 6,000 yang kemudian stabil di kisaran Rp 9,000 per dollar. Itu overshoot sebesar 60%. Hal semacam ini
berpotensi terjadi lagi.
Selanjutnya, adanya perjanjian kerja sama (bilateral atau
regional), currency swap
atau sejenisnya tidak akan ada gunanya, karena semua anggotanya akan
membutuhkan dana pada saat krisis.
US dollar beberapa waktu lalu mengalami rally.
Indeks US dollar sempat menembus level 86, suatu level yang sudah lama tidak
pernah dicapai. Terhadap rupiah sempat mencapai Rp 12,250. Harga minyak Texas Intermediate
sempat ke level $ 80 per bbl. Jangan berpikir krisis sudah dimulai. EOWI
percaya bahwa rupiah akan menguat, harga minyak juga menguat dan US dollar
melemah dulu. Perjalanan tidak seperti jalan yang lurus dan monotone. Ada naik,
ada turun dan ada berbelok. Demikian juga dengan nasib rupiah. Tetapi saecara
fundamental akan bergerak turun.
Sekian dulu jaga kesehatan dan tabungan anda
baik-baik. Siapkan strategi investasi dan bisnis anda untuk lingkungan deflationary, bukan inflationary. Sampai lain cerita tentang bagaimana mengambil keuntungan dimasa
krisis. (Jakarta 20 Oktober 2014)
Disclaimer: Ekonomi (dan investasi) bukan sains dan tidak pernah dibuktikan secara eksperimen; tulisan ini dimaksudkan sebagai hiburan dan bukan sebagai anjuran berinvestasi oleh sebab itu penulis tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang diakibatkan karena mengikuti informasi dari tulisan ini. Akan tetapi jika anda beruntung karena penggunaan informasi di tulisan ini, EOWI dengan suka hati kalau anda mentraktir EOWI makan-makan.