Sejarah, dongeng satir, humor sardonik
dan ulasan tentang konspirasi, uang, ekonomi, pasar, politik,
serta kiat menyelamatkan diri dari depressi ekonomi global di awal
abad 21
(Terbit, insya Allah setiap hari Minggu atau Senen)
Inflasi Jaman Romawi
Inflasi bukanlah penemuan baru.
Sejak jaman dulu, katakanlah jaman Romawi kuno, politikus, birokrat pemerintah
sudah menemukan inflasi sebagai pajak terselubung untuk membiayai aktivitasnya.
Kehidupan di pusat pemerintahan Romawi bisa dikatakan mewah untuk ukuran masa
itu. Kemewahan ini dinikmati oleh para politikus dan birokrat. Pada jaman
Romawi, ideologi sosialisme belum muncul sebagai sebuah ideologi politik.
Sehingga para politikus Romawi tidak perlu berpura-pura hidup sederhana. Mereka
membangun kolosium, arena aduan antar gladiator, gladiator melawan binatang
buas, dan juga arena pacuan kereta. Mereka membangun aqueduct, saluran-saluran air untuk mengisi pemandian-pemandian
mereka yang disebut thermae. Upacara
mandinya dimulai dengan air yang agak hangat, panas, hangat-beruap, kemudian
yang terakhir dingin. Kakus umum dengan flush
pun ada.
Untuk membiayai kemewahan ini,
sistem pajak yang effektif diterapkan. Ekspansi teritorial pada waktu itu sudah
menjadi budaya imperium Romawi. Tujuan adalah untuk mencari wilayah baru untuk
bisa dipajaki di samping untuk membangun keagungan imperium. Untuk keperluan
pajak, catatan sensus pendudukpun sudah bagus, sehingga usaha-usaha ekspansi
teritorial tidak sia-sia. Sebagai konsekwesinya birokrasipun membesar.
Hukum ekonomi ternyata berlaku
juga bagi ekspansi teritorial. Ekpansi teritorial yang effektif ada batasnya. The law of deminishing return, membuat
perkembangan wilayah imperium Romawi bukan lagi menguntungkan, malah menjadi
beban setelah mencapai titik tertentu. Pergolakan di wilayah pinggir imperium
memerlukan keberadaan tentara secara permanen di wilayah itu. Gaji tentara
perlu dibayar. Perbekalannya juga perlu dibayar. Penarikan pajak di wilayah
bergolak juga sulit. Sehingga beban keuangan yang harus ditanggung Romawi
semakin lama semakin berat dengan berkembangnya wilayah yang tidak
menguntungkan. Pemasukan pajak menjadi tidak mencukupi lagi. Lalu, bagaimana
kiatnya?
Untuk imperium modern, seperti
Amerika Serikat (atau bisa juga Uni Soviet dimasukkan ke dalam kategori ini),
masalah pembiayaan, sampai batas-batas tertentu tidak ada masalah. Pencetakan
uang dimungkinkan, karena sistem uang fiat bisa diterima secara global.
Situasinya sangat berbeda dengan jaman Romawi. Mereka menggunakan koin perak
yang disebut dinarius. Tetapi tidak berarti imperium Romawi tidak punya kiat.
Mereka punya kiat yang sama dengan negara-negara moderen. Yaitu menurunkan
nilai riil koin dengan menurunkan kadar perak yang terkandung di dalam koin.
Cara ini disebut debasement of money
melalui inflasi.
Etimologi kata debasement sangat menarik. Karena banyak
orang berargumen bahwa sistem uang emas/perak (uang sejati) adalah lebih unggul
dari pada sistem uang fiat. Persoalannya adalah bahwa politikus lebih licin dan
jahat dari pada yang dikira orang. Bangsa Romawi juga menggunakan perak sebagai
mata uang mereka. Tetapi para politikusnya lebih licin lagi. Semula memang 90%
atau 100% perak. Tetapi kemudian mereka menyelipkan (menambahkan) sedikit base-metal atau bahasa Indonesianya logam dasar seperti
besi, tembaga atau timah ke dalam koin peraknya. Mereka secara bertahap,
sedikit-demi-sedikit mecampurkan base-metal
ini kedalam koinnya, akhirnya dalam beberapa ratus tahun, kandungan perak di
dalam mata uang Romawi itu praktis menjadi 0%. Itulah asal kata debasement.
Marc Faber dalam bukunya Tomorrow’s Gold[1]
dan Joseph Tainter dalam The Collapse of
Complex Societies[2], menyajikan
data perjalanan debasement dari
dinarius. Koin dinarius semula mengandung 94% perak, secara bertahap kadar
peraknya dikurangi. Dan 200 tahun kemudian, perak yang tersisa hanya 2%. Imperium
Romawi, dari masa ke masa melebur dinariusnya dan mencetak koin yang baru yang
lebih banyak secara nominal tetapi dengan kadar perak yang lebih rendah. Dengan
demikian imperium memperoleh uang untuk membiayai pola hidup yang mewah para
politikusnya, membayar gaji tentaranya dan mempertahankan wilayah-wilayah
jajahannya, yang secara ekonomis merugikan.
Kami melakukan riset literatur di
internet. Ternyata kami menemukan data[3]
yang lebih detail dari data Marc Faber, sehingga perjalanan debasement
dari mata uang Romawi bisa dibuat grafik (Grafik VI - 5). Angkanya lebih detail
tetapi tidak sama persis, tetapi kurang lebih sama dengan data Marc Faber.
Dengan data yang saling menguatkan, secara umum bisa disimpulkan sebagai data
yang dapat dipercaya.
Grafik VI - 5 Perjalanan penurunan nilai koin Romawi sejalan dengan
berat dan kandungan perak di dalamnya
Dari Grafik VI - 5 terlihat bahwa
diperlukan waktu sekitar 200 tahun untuk mengikis nilai riil mata uang Romawi
ini. Dalam angka perjalanan mata uang Romawi ini bisa dilihat pada tabel
berikut ini. Dimulai dari jamannya kaisar Nero tahun 64 M, berat koin 3,18 gram
dan kandungan perak 93,5%, berarti nilai peraknya adalah 2,97 gram. Pada jaman
Claudius II, walaupun berat koinnya masih 2,60 gram, tetapi kandunagn berat
peraknya hanya 0,05 gram saja atau 2%. Selama 2 abad, hanya tersisa 1.68.% dari
nilai riilnya. Boleh dikatakan nyaris tidak tersisa. Tetapi nasib dinarius
masih lebih baik dari pada rupiah.
Tabel - 1 Debasement Mata Uang Imperium Romawi
Kaisar
|
Tahun
|
Berat Koin, gr
|
Kadar Perak, %
|
Berat Perak, gr
|
Nilai tersisa
|
Nero
|
64
|
3.18
|
93.5%
|
2.97
|
100%
|
Marcus
Aurelius
|
161
|
3.23
|
79.0%
|
2.55
|
86%
|
Hadrian
|
170
|
3.26
|
79.0%
|
2.58
|
87%
|
Didius Julianus
|
193
|
2.95
|
81.5%
|
2.40
|
81%
|
Septimius Severus
|
196
|
3.22
|
56.5%
|
1.82
|
61%
|
Caracalla
|
212
|
3.23
|
51.5%
|
1.66
|
56%
|
Elagabalus
|
219
|
3.05
|
46.5%
|
1.42
|
48%
|
Severus Alexander
|
222
|
3.00
|
43.0%
|
1.29
|
43%
|
Trebonianus Gallus
|
251
|
3.46
|
36.0%
|
1.25
|
42%
|
Valerian
|
255
|
3.07
|
19.0%
|
0.58
|
20%
|
Gallienus
|
267
|
2.69
|
6.0%
|
0.16
|
5%
|
Claudius II
|
269
|
2.60
|
2.0%
|
0.05
|
2%
|
Kalau mata uang Romawi memerlukan
200 tahunan untuk menggerus nilainya sampai tinggal 2%, pada bab yang akan
datang, akan ditunjukkan bahwa Sukarno hanya memerlukan 8 tahun untuk
menguapkan 99,97% nilai uang kertas
rupiah sehingga hanya tersisa 0.03%.
Itulah perbedaan yang bisa diambil pelajaran antara uang koin dan uang kertas.
Uang kertas lebih cepat tergerusnya dari pada uang logam. Semakin murah dan
mudah membuatnya, godaan untuk menginflasikan uang semakin besar. Bayangkan
dengan uang elektronik alias catatan kredit, hanya tinggal menekan
tombol-tombol komputer untuk menciptakannya. Betapa besar godaannya.
[1] Tomorrow’s Gold, Marc Faber, CLSA, 2002,
hal 298 - 301
[2] The Collapse of Complex
Societies, Joseph Tainter, Cambridge University Press, 1988, hal 133 - 138
[3] Roman Currency Of The Principate,
http://www.tulane.edu/~august/handouts/601cprin.htm.
Catatan dari EOWI:
Mulai hari ini, kami melanjutkan kisah/sejarah humor sadonik PENIPU, PENIPU ULUNG, POLITIKUS DAN CUT ZAHARA FONNA. Seri ini akan dilanjutkan sampai habis atau sampai kami bosan atau sampai ada sesuatu yang menghalangi kami untuk meng-update blog ini.
Sebelumnya kisah ini terbit setiap hari kamis dan minggu. Sekarang hari minggu saja, insya Allah.
Selamat membaca dan selamat berpuasa.......
Disclaimer:
Dongeng
ini tidak dimaksudkan sebagai anjuran untuk berinvestasi. Dan nada
cerita dongeng ini cenderung mengarah kepada inflasi, tetapi dalam
periode penerbitan dongeng ini, kami percaya yang sedang terjadi
adalah yang sebaliknya yaitu deflasi US dollar dan beberapa mata uang lainnya.
Ekonomi
(dan investasi) bukan sains dan tidak pernah dibuktikan secara
eksperimen; tulisan ini dimaksudkan sebagai hiburan dan bukan sebagai
anjuran berinvestasi oleh sebab itu penulis tidak bertanggung jawab
atas segala kerugian yang diakibatkan karena mengikuti informasi
dari tulisan ini. Akan tetapi jika anda beruntung karena penggunaan
informasi di tulisan ini, EOWI dengan suka hati kalau anda
mentraktir EOWI makan-makan.
4 comments:
Pak IS.
Sudah lama kita tunggu kelanjutan cerita ini. Thanks dan sukses selalu....
Salam
AY
ex NDSV/901
Pak IS.
Sudah lama saya tunggu kelanjutan cerita ini. Thanks dan sukses selalu
Salam
AY
ex NDSV/901
Menunggu dongeng pak IS selanjutnya..
Pak IS, saya rada terganggu dengan istilah "Politisi PRO Pasar", bolehkan bapak menjelaskan dari sudut "Penipu, Penipu Ulung, Politikus dan Cut Zahara Fona"?
Post a Comment