Menjelang puasa Ramadhan, seperti biasa saya menerima beberapa email yang
topiknya perdebatan mengenai penentuan awal dan akhir Ramadhan. Saya sebenarnya
sangat sibuk dan pendapat saya hanya mengalami perubahan sedikit (sangat tidak
prinsipil) mengenai penentuan awal dan akhir Ramadhan, tetapi karena beberapa
bulan sebelumnya saya sudah mempunyai defeating
argument yang elegan bagi kubu yang bersebrangan, maka alangkah baiknya
kita bisa berbagi argumen pamungkas yang elegan ini. Saya tidak akan heran jika
akan banyak dari pembaca yang awalnya berbeda opini mengenai cara penentuan
awal/akhir Ramadhan akan segera melepas apa yang dianutnya selama ini. Bagi
seorang muslim (orang yang berserah
diri, dan bukan sekedar menjalankan 5 rukun Islam saja lho) dan orang yang takwa, segera berubah bila disampaikan
argumen yang benar secara elegan. Karena setiap hari ia bersumpah: “.......inna shalaatii wanusukii wamahyaaya
wamamaatii lillaahi rabbi al'aalamiina. laa syariika lahu wabidzaalika umirtu
wa-anaa awwalu almuslimiina.”
Sesungguhnya sembahyangku,
ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada
sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku
adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri".
Ungkapan “aku adalah orang yang
pertama-tama menyerahkan diri”, bukan berarti kita, atau nabi Muhammad
adalah orang muslim pertama, kita tahu bahwa Quran menyebutkan nabi Ibrahim
adalah muslim. Kalimat itu tidak lain berarti, kesediaan mengikuti yang benar,
saat itu juga, tanpa disuruh lagi, tanpa ada rasa keberatan sama sekali ketika
kebenaran itu dibeberkan secara jelas. Saya harap pembaca termasuk orang-orang
yang seperti itu.
Dalam cerita ini akan dimunculkan beberapa nama dan kelompok organisasi.
Alice Norin, Alfred Almendingen, Prof T.Djamaluddin, Muhammadiyah dan
al-Irsyad. Kita tahu, kalau untuk topik puasa, Prof T. Djamaluddin,
Muhammadiyah dan al-Irsyad pasti ada kaitanya. Tetapi apa kaitannya antara
bintang film Alice Norin dengan puasa, Prof T.Djamaluddin, Muhammadiyah dan
al-Irsyad? Kita lanjutkan saja ceritanya.
Namanya Alice Norin. Dia adalah bintang film pemeran Ayat-Ayat Cinta.
Nama Norin diberikan oleh kedua orang tuanya yang merupakan akronim dari
asal kedua orang tuanya yaitu Nor-way
dan In-donesia. Ayah dari Alice
Norin adalah teman baik saya, namanya Alfred Almendingen. Karena nama marganya
Almendingen, tidak berarti dia keturunan Arab. Dia sama sekali tidak ada darah
Arabnya. Almendingen adalah satu kata, bukan Al-Mendingen.
Penempatan Alice Norin dan Ayat-Ayat
Cinta untuk pembukaan tulisan ini, bukan karena kotroversi Lebaran/Awal
Ramadhan Dua Hari ada kaitannya dengan Ayat-Ayat
Cinta. Tetapi ada contoh yang menarik yang bisa dipergunakan untuk
menetapkan methode penentuan hari lebaran dan awal Ramadhan yang konsisten dan
berlaku universal.
Alfred (bapaknya Norin), berasal dari sebuah kota kecil di Norway yang
berpenduduk saat ini sekitar 9000 jiwa. Namanya Sandnessjøen dan sulit sekali
dicari di peta. Letaknya pada koordinat 66° 01′ N 12° 38′ E yang sangat dekat
dengan lingkaran kutub. Selama periode antara musim semi sampai musim gugur (Maret-September)
daerah ini memperoleh siang lebih dari 12 jam. Matahari bersinar lebih dari 12
jam. Puasa selama musim panas akan kelihatan berat, walaupun hal ini dibantah
oleh Alfred yang mengaku puasa selama Ramadhan.
Berat dan ringannya puasa selama bulan Ramadhan yang bertepatan dengan
musim panas bukanlah yang mau disampaikan oleh cerita ini, melainkan kasus
Ramadhan di musim panas di wilayah ujung utara bumi bisa meluruskan semua
pertentangan dan kontroversi 2 awal/akhir puasa yang sering terjadi. Intinya
sistem rukyat dan derivarifnya (seperti imkanur rukyah) itu gagal
diapplikasikan untuk wilayah utara atau selatam bumi ketika musim panas. Jadi sistem rukyat itu salah, untuk
hal-hal yang detail menjadi tidak akurat, sudah usang.
Itu kesimpulannya. Uraianya dan pembuktiannya adalah sebagai berikut.
DALIL-DALIL PUASA
Perintah puasa dan petunjuk kapan dimulainya dan diakhirinya puasa ada di
Quran. Petunjuk itu sangat jelas.
Dalil-1
[Q 2:185] bulan Ramadhan,
bulan yang di dalamnya diturunkan Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (Arab: syahida) bulan itu (Arab: syahru, Inggris: month) , maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, ........
Dalil-1 mengatakan bahwa siapa-siapa yang menyaksikan (syahida) bulan
(Ramadhan) diwajibkan untuk puasa.
Adapun cara patokan untuk menentukan bulan penanggalan (month) adalah hilal
(Ingg: New Moon. Ind: bulan baru, bulan sabit), seperti yang tertulis di Quran.
Dalil-2
[Q 2:189] Mereka bertanya
kepadamu tentang bulan sabit (Arab: hilal). Katakanlah:
"Bulan sabit (Arab: hilal) itu
adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji......”
Banyak ulama menambahkan satu dalil pembantu lagi yaitu hadith nabi
mengenai cara penentuan puasa dengan melihat (Arab: rukyat) hilal. Saya katakan
hal ini sebagai dalil pembantu, karena sifatnya membantu bagi masyarakan
setempat pada suatu masa itu. Artinya dalil itu tidak berlaku universal dan
tidak bisa langgeng.
Hadith yang dijadikan dalil itu ada beberapa versi narasi dari Ibnu Umar,
Abu Huraira Ummu Salamah dan Anas, tetapi pada intinya sama. Salah satunya
adalah:
Dalil-3A (kondisional)
Sahih Bukhari Vol. 3, Buku 31, No. 130
Diriwayatkan oleh Abdullah
bin Umar
Rasulullah menyebut bulan
Ramadhan dan mengatakan: “ Jangan berpuasa kecuali kamu melihat hilal
(Ramadhan) dan jangan berhenti sampai kamu melihat hilal (Syawal). Tetapi jika
langit berawan, perkirakan jumlah (hari)nya.
Dalil-3B (kondisional)
Sahih Bukhari Vol. 3, Buku 31, No. 131
Diriwayatkan oleh Abdullah
bin Umar:
Rasulullah berkata: “Sebulan
bisa ada 29 malam dan jangan berpuasa sampai kamu melihat hilal dan kalau
langit berawan, lengkapi bulan Sya’ban menjadi 30 hari.
Saya katakan Dalil-3 ini kondisional karena hanya berlaku pada
kondisi-kondisi tertentu, dan saat ini sebenarnya tidak diperlukan. Dalil ini
bisa membuat rancu jika diterapkan secara universal karena membuat problemanya
menjadi over-constraints/over-specified (terlalu banyak persyaratan) sehingga
tidak bisa diselesaikan. Ibaratnya ada 5 persamaan dengan 3 variable yang tidak
diketahui. Hasilnya adalah tidak bisa diselesaikan, kecuali 2 persamaan adalah
turunan dari persamaan lainnya. Sifat over-specified inilah yang akan digunakan
untuk mematahkan penggunaan Dalil-3 secara universal.
Terlepas dari itu semua, hadith Sahih Bukhari Vol. 3, Buku 31, No. 130 (di beberapa
buku hadith di beri nomor 1767) diakhir dengan pernyataan Tetapi jika langit berawan, perkirakan jumlah (hari)nya. Lantas di
beberapa buku hadith diberi komentar “maksudnya
bulan Sya’ban digenapkan menjadi 30”. Ini bukan ucapan nabi S.A.W
Dengan kata lain, perkiraan
akhirnya tetap diandalkan. Tentu saja yang disebut perkiraan dimasa itu di masyarakat muslim Madinah/Mekkah hanyalah feeling saja. Apakah yang disebut perkiraan itu juga sekedar menggenapkan Sya’ban
ke 30 hari, sebagai cara berjaga-jaga agar jangan terlalu cepat berpuasa,
sifatnya adalah intepretasi/tafsir. Kita boleh saja menafsirkan yang lain. Hadith
ini nampaknya jarang dijadikan rujukan dibandingkan hadith-hadith yang bernada
sama (tentang awal/akhir Ramadhan).
SIKLUS BULAN
Penampakan wujud bulan dilihat dari bumi, berulang setiap 29.53 hari
(perhitungan kasar). Secara diagram dapat dilihat di gambar berikut ini.
Dimulai saja dengan bulan baru (new
moon). Wujud bulan seperti sabit yang sangat kecil. Ini yang disebut
sebagai hilal, setidaknya sebagai awal dari hilal. Kecilnya wujud bulan seiring
dengan sedikitnya bagian bulan yang terilluminasi matahari yang menghadap ke
bumi.
Fasa bulan.
Seiring dengan perjalanan bulan mengelilingi bumi, maka wujud bulan semakin
besar karena semakin banyak bagian bulan yang terilluminasi matahari yang bisa
nampak dari bumi.
Akhirnya 50% (separo) dari bulan nampak dari bumi, ini disebut dalam bahasa
Inggris First Quarter Moon. Jika ini
diteruskan akhirnya menjadi bulan purnama atau Full Moon. Dan seterusnya seperti yang terlihat digambar atas.
Akhirnya kembali ke New Moon.
Menurut Google Translate, yang disebut hilal adalah bulan sabit. Ini
mencakup New Moon sampai crescent. Tetapi
dalam konteks hadith dan ibadah agama Islam, hilal mengacu pada New Moon. Karena jika hilal dijadikan
sebagai patokan hari pertama pada bulan komariah, maka yang disebut hilal
adalah bulan sabit yang pertama, terkecil. Bukan yang sudah berumur 3-5 hari.
Menurut Google Translate, bulan secara umum dalam bahasa Arab disebut
qamar. Dan bulan purnama (Full Moon) disebut badar kamil.
Keterangan di atas nampak mudah dan sederhana. Apalagi kalau sudah
dimasukkan faktor visibility atau penampakan. Bulan, lebih-lebih bulan sabit
mempunyai persyaratan untuk bisa dilihat. Yang pasti tidak terhalang awan.
Kontras juga diperlukan, dalam arti posisi koordinat bulan tidak terlalu dekat
dengan posisi matahari. Langit harus cukup gelap agar bulan (hilal) bisa terlihat.
Dan yang lebih penting lagi, karena banyak dilupakan orang yang hidup di luar
lingkaran kutub adalah bahwa posisi bulan harus di atas horizon.
DUA KUBU DALAM PENENTUAN
HILAL
Awalnya dua (2) kubu dalam penentuan awal/akhir Ramadhan adalah kubu rukyat
dan kubu hisab. Kubu rukyat mendasari penentuan awal/akhir Ramadhan dengan
melihat bulan. Sedangkan kubu hisab mendasari penentuan awal/akhir Ramadhan
dengan perhitungan ilmu falak. Kubu rukyat sering (hampir selalu) mendapat
kesulitan dalam menentukan awal/akhir puasa, karena langit terutama di sekitar
equator lebih sering tertutup awan. Walaupun demikian, pengikut kubu rukyat
selalu lebih banyak. Mungkin karena di Indonesia, negara lebih memihak kubu
rukyat.
Dalam perjalanannya pokok perbedaannya berubah. Beberapa kubu hisab
bergabung dengan kubu rukyat, yang sebut saja sebagai kubu rukyat banci, karena methodenya adalah hisab, tetapi
mengadopsi kriteria rukyat. Dalam kriteria penentuan 1 Ramadhan/Syawal,
kriteria visibility versi kubu rukyat diperhitungkan dalam perhitungan siklus
bulan. Kriteria Imkan rukyat (visibilitas hilal) mulai diadopsi oleh beberapa
organisasi Islam seperti al-Irsyad dan Persis. Secara sederhana, penetapan
tanggal 1 Ramadhan/Syawal mempunyai kriteria bahwa secara perhitungan posisi
hilal misalnya harus di atas 6º pada saat matahari terbenam (magrib). Jika
secara perhitungan hilal masih di bawah 6º maka belum masuk tanggal 1.
Angka 6º dikaitkan dengan visibility
bulan. Hilal hanya bisa dilihat jika di atas 6º.
Angka 6º adalah angka yang saya pilih secara arbitrary, sebagai kriteria
visibility. Sebenarnya angka 6º tidak 100% arbitrary,
karena beberapa belas tahun lalu di media, kriteria tersebut digunakan. Tetapi
entah kenapa angka itu menjadi 2º. Mungkin jawabannya ada di Wikipedia (link: http://id.wikipedia.org/wiki/Hisab_dan_rukyat).
Astronom punya beberapa angka mendefinisikan visibity hilal. Ada visibility
dengan mata telanjang, ada visibility dengan teropong binacular, dan lain-lain.
Jadi jangan heran kalau dulu 6º dan sekarang ada yang mengajukan kriteria 2º, atau kriteria yang lebih kompleks lagi. Tidak
hanya kriteria yang sudah kompleks, kemudian masih ditambah dengan
jargon-jargon astronomi seperti limit
Danjon, semakin membuat orang awam terintimidasi. Pembaca EOWI dan juga
EOWI bukan astronom. Sehingga hal-hal semacam itu tidak dianggap penting.
Memang hal-hal yang detail seperti itu sering dipakai untuk mengintimidasi
lawan debat.
Kubu hisab lainnya seperti Muhammadiyah, menggunakan kriteria wujudul
hilal. Artinya, tanggal 1 (Ramadhan/Syawal) ditetapkan dengan kriteria bahwa hilal
telah terbentuk, tanpa memandang visibilitasnya. Mau sudutnya 1º atau 0.01º,
tidak ada masalah. Pokoknya sudah lebih besar dari nol derajad.
Kriteria Imkan rukyat (IR) ini menjadi konyol
jika hilal sudah tenggelam sebelum magrib.
Kalau sudah tidak ada di horizon apa yang mau dilihat? Dan ini yang akan
dijadikan argumen pamungkas untuk mematahkan kubu rukyat dan IR. Perhatikan
kata magrib. Ini secara implisit
dijadikan kriteria, kapan hilal harus dilihat. Bukan siang hari. Tetapi saat magrib tiba.
SURAT KEPUTUSAN AL-IRSYAD
Rekan saya mengirimkan email mengenai keputusan organisasi al-Irsyad yang
sekarang menggunakan kriteria imkan rukyat dan bergabung dengan kubu rukyat
yang didukung pemerintah. Berikut ini emailnya:
SK
AL Irsyad Alislamiyyah mengenai 1 Ramadhan dan 1 Syawal.
SURAT
KEPUTUSAN
96
– SK – 1433
Sehubungan
dengan menjelang datangnya bulan suci Ramadhan maka Pimpinan Pusat Al-Irsyad
Al-Islamiyyah menyampaikan hasil hisab untuk penentuan awal Ramadhan dan awal
Syawal 1433H sebagai pedoman bagi warga Al-Irsyad Al-Islamiyyah pada khususnya
dan umat Islam pada umumnya. Hisab diperhitungkan untuk Ibukota Jakarta dg
Long: 106:50:43.0 dan Lat: -06:12:41.0 dengan level: 10 dpl.
Adapun
hasil hisab sebagai berikut:
1.
Awal Ramadhan 1433 H
Ijtima’
pada hari Kamis, 19 Juli 2012 pukul 11.24 WIB, tinggi hilal pada saat matahari
ghurub hari Kamis 19 Juli 2012 yaitu; +01º51’59”. Lama hilal di atas ufuk 8
menit. Besarnya Hilal +00º00’04”. Deklinasi Matahari +20º43’20” dan deklinasi
Hilal +15º54’31”. Hilal miring ke Selatan. Azimuth Matahari +290º44’37” dan
Azimuth Hilal +286º13’31”. Elongasi +04º19’08”.
Berdasarkan
kriteria Imkanur Rukyah, maka
Hilal tidak bisa dilihat sehingga bulan Sya’ban 1433 H akan diistikmalkan.
Dengan demikian maka Tanggal 1 Ramadhan 1433 H jatuh pada hari Sabtu 21 Juli
2012 M
2.
Awal Syawal tahun 1433 H
Ijtima’
pada hari Jumat, 17 Agustus 2012 M pukul 22.54 WIB. Tinggi Hilal pada saat
matahari ghurub hari Sabtu18 Agustus 2012 ialah+07º32’01”.
Lama
Hilal di atas ufuk 31 menit. Besarnya Hilal +00º00’18”
Deklinasi
Matahari +12 º53’05” dan deklinasi Hilal +04º42’36”.
Azimuth
Matahari +282º51’31” dan azimuth
Hilal
+275º36’27”. Elongasi +11º08’31”
Berdasarkan
kriteria Imkanur Rukyah, maka
Hilal bisa dilihat. Dengan demikian maka Tanggal 01 Syawwal 1433 H jatuh pada
hari Ahad tanggal 19 Agustus 2012 M.
Hasil
hisab tersebut di atas sebagai pedoman sementara, adapun kepastian penetapanya,
Pimpinan Pusat menghimbau untuk tetap menunggu hasil Sidang itsbat Pemerintah
RI yang pada waktunya akan diumumkan oleh Menteri Agama RI.
Semoga
Allah SWT menerima amal ibadah puasa dan amal ibadah-ibadah lainnya
Syahrul
mubarak
Wassalamualaikum
Wr Wb.
PIMPINAN
PUSAT AL-IRSYAD AL-ISLAMIYYAH
Ketua
Umum Sekretaris Jenderal
ttd
KH.
Abdullah Djaidi. Dr. Mohammad Noer
Email ini tidak mempunyai nilai ilmiah untuk memembuktikan bahwa Imkanur
Rukyah adalah methode yang sahih, valid untuk digunakan sebagai
methode penentuan 1 Ramadhan/Syawal. Rekan saya mengirimkan email al-Irsyad
ini, mungkin, secara implisit mengatakan kepada saya bahwa al-Irsyad sudah
bergabung dengan kubu rukyat, kenapa saya (Imam Semar) tidak ikut bergabung.
Argumen bahwa mayoritas adalah yang benar adalah suatu logical fallacy (sesat pikir) yang sering digunakan orang. Paham
mayoritas tidak membuktikan bahwa paham itu yang benar. Nabi Ibrahim hidup
diantara (mayoritas) penyembah berhala, bukan? Nabi Muhammad lahir diantara
penyembah berhala bukan? Yang saya tidak inginkan adalah ikut berjamaah di
dalam bid’ah (wah saya menggunakan istilah Muhammadiyah).
EMAIL Prof. T. DJAMALUDDIN
Teman saya tadi juga mengirimkan email Prof. T. Djamaluddin yang dikirim ke
milis [mus-lim]. Dia mengirimkan email ini karena saya memang bukan anggota
milis tersebut. Maksud teman saya ini supaya saya mempertimbangkan untuk
bersatu dengan group Islam yang lebih besar. Sebenarnya dia tahu, saya tidak
akan terpengaruh pada mayoritas. Artinya saya lebih cenderung untuk
mengikuti/mengutamakan yang benar, bukan mayoritas.
Inilah Email prof T. Djamaluddin
To:
mus-lim@milis.isnet.org
Subject:
RE: [mus-lim] awal ramadhan beda ??
Assalamu'alaikum
wr. wb.,
Masalah
perbedaan bukan pada "cara", tetapi kriteria. WH (IS: wujudul hilal) vs Imkan rukyat (visibilitas
hilal). WH tidak mungkin dijadikan pemersatu, karena pasti akan beda dengan
hasil rukyat ketika bulan rendah. IR direkomendasikan karena bisa jadi titik
temu hisab dan rukyat. Persis (Persatuan Islam) adalah ormas pengamal hisab
(sama seperti Muhammadiyah), keputusannya selalu sama dengan keputusan NU dan
pemerintah karena mereka menggunakan kriteria IR. Muhammadiyah pun bisa. Tahun
1998 ketika Muhammadiyah menolak kriteria IR 2 derajat dengan mengatakan itu
tidak ilmiah, saya katakan WH lebih tidak ilmiah. Salah satu alasannya saya
jelaskan di
http://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/12/13/membongkar-paradoks-wujudul-hilal-untuk-mendorong-semangat-tajdid-muhammadiyah/.
Semula saya berharap Muhammadiyah kemudian mengusulkan kriteria IR yang lebih
astronomis, dengan ketinggian lebih dari 2 derajat (alasannya http://tdjamaluddin.wordpress.com/2012/05/24/kriteria-imkan-rukyat-kesepakatan-2-3-8-perlu-diubah-disesuaikan-dengan-kriteria-astronomis).
Nyatanya mereka merasa puas dengan WH. Beberapa kata penghalus saya gunakan
dalam diskusi terbatas bahwa WH sudah ditinggalkan kalangan astronomi (silakan
cari referensi astronomi yang menggunakan WH).
Kontraproduktif?
Kita boleh berbeda pendapat dalam strategi da'wah/amar ma'ruf nahi munkar
berdasarkan pengalaman lapangan yang berbeda. Dalam upaya dialog lebih dari 10
tahun, tidak ada sesuatu yang bisa meruntuhkan superioritas mereka yang selalu
mereka sampaikan pada semua jenjang. Seolah hisab mereka paling hebat. Simak
pernyataan Ketua PP Muhammadiyah, "Kami sudah bisa menetapkan awal puasa,
juga hari raya, sampai 100 tahun ke depan. Hal itu karena kami memiliki rumus
esakta, seperti astronomi dan falak, ..." Pola superiroritas seolah hanya
Muhammadiyah yang bisa hisab, sangat mengakar sehingga sering saya dengar dari
kader Muhammadiyah dari berbagai strata. Bahkan ketika saya diundang ke Padang
dalam Munas Tarjih 2003, ada kader Muhammadiyah yang berkomentar "...
Siapa yang lebih pintar, kami atau ...", seolah kemampuan hisab itu
indikasi kepintaran. Saya gunakan kata lugas "usang" (obsolete) yang
netral (bukan kasar) untuk mematahkan superioritas itu, karena sesungguhnya
kriterai WH tidak lagi digunakan oleh kalangan astronomi saat ini. Para
astronom berusaha merumuskan kriteria visibilitas hilal (imkan rukyat) agar
hasil hisab yang berwujud kalender kompatibel dengan hasil rukyat. Dengan
demikian dalam asplikasinya, pengamat hisab dan pengamat rukyat punya keputusan
yang sama.
Wassalamu'alaikum
wr. wb.,
T.
Djamal
Email yang diforward teman saya ini
juga tidak mempunyai nilai ilmiah untuk memembuktikan bahwa Imkanur
Rukyah adalah kriteria yang sahih, valid untuk digunakan sebagai
methode penentuan 1 Ramadhan/Syawal. Atau membuktikan kriteria wujudul hilal
sebagai kriteria yang tidak sahih, valid. Email ini secara implisit menghimbau
agar saya (Imam Semar) ikut bergabung.
Juga link yang rujuk pada email ini, tidak untuk membuktikan bahwa Imkanur
Rukyah methode yang sahih, melainkan usulan untuk membengkokkan
methode hisab, agar bisa berpuasa/berlebaran bersama-sama antara kubu rukyat
dan hisab. Dengan adanya kebersamaan maka mayoritas akan tercapai.
Sekali lagi saya katakan bahwa argumen bahwa mayoritas adalah yang benar
adalah suatu logical fallacy (sesat
pikir) yang sering digunakan orang. Paham mayoritas tidak membuktikan bahwa
paham itu yang benar. Nabi Ibrahim hidup diantara (mayoritas) penyembah
berhala, bukan? Yang saya tidak inginkan adalah ikut berjamaah di dalam bid’ah.
Saya akan tunjukkan bagaimana cara yang lebih ilmiah dan diakui masyarakat ilmiah
dalam menetapkan methode/kriteria yang sahih. Namanya “proof by
exhaustion”, methode penyingkiran
alternatif lain. Dan yang akan saya singkirkan adalah validitas (kesahihan)
kriteria Imkanur Rukyah dan methode rukyat. Dalam kasus, dengan
menunjukkan 1 (satu) kasus saja yang membuat Imkanur Rukyah tidak berlaku/gagal, maka kriteria Imkanur Rukyah menjadi tidak sahih. Dan
otomatis, kriteria wujudul hilal
dan/atau lainnya (selain rukyat dan Imkanur
Rukyah) tetap berlaku sampai dibuktikan gagal.
Methode pengamatan hilal (rukyat) atau turunannya, mempunyai kelemahan.
Penampakan bulan tidak mempunyai ritme yang tetap setiap tahunnya. Bulan tidak
selalu muncul setiap harinya pada saat yang sama relatif terhadap matahari. Dan
juga tidak selalu tenggelam pada waktu yang sama terhadap posisi matahari.
Demikian juga benda-benda langit lainnya. Apalagi di wilayah di dekat kutub
(utara dan selatan). Pada musim panas, siang hari menjadi lebih panjang. Dan
sebaliknya pada musim dingin.
Pada musim panas, ada masa-masa dimana hilal tidak muncul sama sekali
diwilayah ini. Hilal terbenam sebelum magrib. Bulan muncul (sesudah magrib)
setelah wujudnya sudah 25% atau 50% atau bahkan mendekati purnama, tergantung
bagaimana cara rukyatnya. Dalam kondisi seperti ini methode dengan kriteria
rukyat dan Imkanur Rukyah gagal.
Contohnya adalah kasus Ramadhan tahun 2011 M atau 1432 H lalu di Oslo,
ibukota negara nenek moyang Alice Norin.
- Hilal terbentuk pada tanggal 30-Jul-11 jam 20:40 waktu setempat (atau pukul 04:40 WIB tanggal 31 Juli di Indonesia). Tetapi hilal tidak pernah muncul di horizon, karena bulan terbenam 45 menit sebelum magrib.
Catatan: di Indonesia karena hilal terbentuk bertepatan
dengan tanggal 31 Juli 2011 hilal jam 04:40 dan ketika magrib pada tanggal
tersebut sudah di atas 6º (atau
berapapun) maka tanggal 1 Ramadhan 1432 H dimulai pada saat magrib 31 Juli 2011
dan puasa dimulai tanggal 1 Agustus 2011. Baik kubu hisab dan kubu rukyat punya
waktu puasa yang bersamaan.
Peta visibility hilal tgl 1 Agustus 2011. Di Oslo hilal belum nampak (lha hilal
sudah terbenam sebelum magrib kok). Padahal di Indonesia sudah Puasa (1
Ramadhan 1433H).
- Bulan masih tenggelam sebelum magrib sampai tanggal 2-Agustus-11. Jadi belum bisa memenuhi kriteria rukyat atau Imkanur Rukyah. Mau 2º atau apapun tidak bisa, lha sudah di bawah horizon ketika magrib, bagaimana bisa dilihat? Jadi secara rukyat atau Imkanur Rukyah, Oslo belum memasuki 1 Ramadhan, belum boleh puasa!
- Tanggal 5 Agustus 2011, lima (5) hari sesudah Indonsia berpuasa, pada hari ini posisi bulan tertinggi mencapai 3º dimana menurut kriteria Imkanur Rukyah baru bisa dilihat. Sayangnya bulan sudah hampir ½ penuh. Bukan hilal lagi namanya, tetapi qamar. Jadi menurut kubu rukyat dan Imkanur Rukyah bahwa tahun 2011 M atau tahun 1432 H, tidak ada bulan Ramadhan di Oslo dan umat Islam di Oslo serta di wilayah sekitarnya tidak perlu puasa! Alasannya tidak ada hilal, yang ada qamar. Horeeeeee!!!! Alfred Almendingen, Alice Norin, Hasan Tiro, dan kaum muslimin disana bersorak, karena tidak usah berpuasa.
- Kalau ada yang mau pakai kriteria 6º (entah rukyat macam apa), maka yang dilihat adalah bulan menjelang purnama alias badar kamil.
Bagaimana lebarannya di Oslo? Itu tidak usah dipikirkan. Lha, Ramadhannya tidak ada, bagaimana dengan
akhir Ramadhan? Kalau mau dipaksakan, dengan rukyat akan semakin membingungkan.
Tabel berikut ini bisa lebih menjelaskan lebih detail.
KUBU IMKANUR RUKYAH DI OSLO
TANPA RAMADHAN 1433H
Bagaimana dengan tahun 2012 M ini? Apakah Oslo juga tidak ada Ramadhan
versi kubu Imkanur Rukyah? Jawabnya ada di table berikut ini.
Poin-poin pentingnya:
- Hilal terbentuk pada tanggal 19 Juli 2012 jam 06:25 waktu setempat (Oslo). Magrib dimulai jam 22:16. Bulan terbenam 39 menit sebelum magrib. Jadi tidak akan nampak.
- Bulan tenggelam sesudah magrib terjadi pada tanggal 22 Juli, tetapi ketinggian hanya 1.5º. Terlalu rendah untuk bisa dilihat.
- Dan tanggal 23 Juli ketika magrib, bulan pada ketinggian 3.2º. Bisa dilihat (dengan alat barangkali) menurut kriteria imkanur rukyah pak T. Djamaluddin. Hilalnya sudah gemuk, mendekati ¼ penuh. Umat Islam di Indonesia sudah puasa 2 – 3 hari, tergantung dari kubu yang dianut. Sayangnya bulan yang muncul bukan hilal, tetapi hilal gemuk. Jadi tahun 2012, warga imkanur rukyah Oslo dan sekitarnya tidak perlu puasa, karena tidak ada Ramadhan. Horeeee!!!!
- Pada tanggal 26 Juli 2012, ketinggian bulan mencapai 6º. Pasti bisa dilihat dengan mata telanjang karena sudah sebesar raksasa, maksudnya..... sudah lebih dari separo dari purnama.
Kubu Imkanur Rukyah Di Oslo
Tanpa Ramadhan 1433H
CATATAN AKHIR
Banyak orang menjadi pengikut mayoritas, mereka melakukan sesuatu karena
mayoritas melakukannya. Kebenaran ditentukan oleh mayoritas. Ini adalah sesat
pikir – logical fallacy.
Banyak orang terintimidasi dengan gelar akademis. Orang dengan gelar
akademis banyak dan tinggi, seperti professor, doktor, dan nama besar dianggap
sebagai narasumber yang selalu benar. Ini juga suatu locigal fallacy, sesat pikir.
Kami di EOWI tidak akan terintimidasi dengan nama besar dan gelar. Kami
juga tidak merasa kecil dan terintimidasi jika berada pada posisi minoritas
kecil. Kebenaran tidak ditentukan oleh jumlah penganut atau nama besar atau
gelar.
Telah dibuktikan validitas imkanur
rukyat dan otomatis methode rukyat serta derivatifnya gagal dalam
menentukan 1 Ramadhan (otomatis 1 Syawal), di Oslo dan wilayah sekitarnya untuk
tahun 2011 dan 2012. Dan ini berlaku umum selama musim panas di wilayah
tersebut. Oleh sebab itu, methode rukyat dan derivatnya adalah methode yang gagal.
Jika untuk wilayah ini diberlakukan pengecualian, maka menurut prinsip Oxam Razor,
methode ini lebih inferior dari methode wujudul hilal.
Kalau kubu rukyat dan derivatnya masih mau ngotot memaksakan methodenya, mungkin mereka harus merubah rukun
Islam di Norway, Swedia, Western Shetlad, Iceland, menjadi 4 saja. Yakni
syahadat, sholat, zakat dan haji. Puasa sekali-sekali kalau ketemu Ramadhan.
(Ha ha ha ha ha ha ha...). Ooo.... kalau tahun ini tidak mau puasa...., ngungsi aja ke rumah kakeknya Alice Norin.
Disana nggak ada Ramadhan (versi
rukyat) kok. Asyiik ‘kan?
Kalau kubu rukyat tidak sahih, jadi apakah Muhammadiyah yang benar?
Tidak juga. Ada satu dalil yang digunakan oleh Muhammadiyah yaitu prinsip
kesatuan wilayatul hukmi yang sifatnya bidah. Prinsip ini mengatakan bahwa jika
ada daerah dari suatu negara (wilayah hukum) sudah masuk tanggal 1
(Ramadhan/Syawal) secara wujudul hilal maka tanggal 1 (Ramadhan/Syawal; mulai
puasa/hari raya) berlaku untuk semua daerah di negara itu, walaupun ada
sebagian daerah dimana hilal belum wujud pada saat magrib. Hal ini pernah
dibahas EOWI di link ini: http://ekonomiorangwarasdaninvestasi.blogspot.com/2007/09/lebaran-ganda-ditinjau-dari-sudut.html).
Lebaran tahun 2007 versi EOWI ditetapkan bawha 1 Syawwal 1428 H, jatuh pada
tanggal 12 Oktober 2007 untuk wilayah Indonesia bagian Barat-Utara dan tanggal
13 Oktober 2007 untuk wilayah Indonesia bagian Timur-Selatan. (Catatan:
Muhammadiyah menetapkan 1 Syawal 1428 tanggal 12 Oktober untuk seluruh wilayah
Indonesia). Bayangkan untuk negara seperti Amerika Serikat yang mempunyai
wilayah di Pasifik (Hawaii), Alaska dan Mainland,
apakah mau disamakan 1 Ramadhannya atau Lebarannya? Begitu juga Inggris dengan
wilayahnya di pulau Falkland? Untuk jamnya saja mereka punya beberapa zone
waktu. Kenapa Lebaran harus sama?
Tadi di awal tulisan ini disebutkan bahwa Dalil-3 (hadith-hadith nabi yang
bertemakan penentuan awal/akhir Ramadhan) adalah sifatnya kondisional dan
relatif, maksudnya methode adalah satu-satunya methode yang dimiliki umat Islam
di sekitar Madinah-Mekkah di masa itu. Dan yang bisa baca-tulis saja katanya masih sedikit, apa lagi yang
menguasai ilmu falak.
EOWI yakin, di luar sana banyak orang yang menganut prinsip wa anna awwalu muslimin, saya tidak perlu
menunggu orang lain untuk berserah diri mengikuti yang benar ditengah-tengah
mayoritas dengan herd mentality
(bermental seperti ternak). Oleh sebab itu, jika anda menyebarkan tulisan ini
anda ikut andil membantu mereka menuju jalan yang benar.
Sebagai penganut prinsip wa anna
awwalu muslimin, EOWI terbuka terhadap kritik, sekiranya EOWI salah,.....
kami mangucapkan terimakasih atas membetulannya semoga Allah memberi balasan
yang banyak.
Saya saat ini berada di hutan di selatan Sorong Papua, kira-kira 2 jam
dengan helikopter. Puasa disini akan dimulai tanggal 20 Juli 2012 berdasarkan
perhitungan EOWI. Sedangkan jika tidak ada halangan, pada saat lebaran saya
akan ada di Jakarta. Diharapkan 1 Syawal 1433 H untuk Jakarta akan jatuh
tanggal 19 Agustus 2012.
Di saat ada beberapa kubu yang bersebrangan, EOWI menganjurkan agar anda
melakukan riset/perhitungan sendiri, karena tanggung jawab dihadapan Tuhan tetap
pada individu masing, dan tidak bisa dipindah tangankan ke pemerintah atau
al-Irsyad atau Persis, atau Muhammadiyah atau prof. T. Djamaluddin. Anda bisa
mendown load secara gratis
software-software perhitungan astronomi di internet.
Sebelum mengakhiri tulisan ini saya akan kutipkan sebuah ayat dari Quran
dan sebuah pernyataan dari teman saya ketika tulisan ini saya sodorkan
kepadanya:
[Q 17:71] (Ingatlah) suatu
hari Kami panggil tiap umat dengan imamnya; dan barangsiapa yang diberikan
kitab amalannya di tangan kanannya maka mereka ini akan membaca kitabnya itu,
dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.
[Q 17:72] Dan barangsiapa yang buta di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).
[Q 17:72] Dan barangsiapa yang buta di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).
Dalam usaha mengelak untuk berpikir, komentar teman yang saya sodori
tulisan ini: “Kalau para ahli saja masih
mungkin keliru.... siapa pula awak niih”
Untuk pertanyaan “Siapa pula awak
niih?”, jika dikaitkan dengan ayat Q 17:71-72, pasti pembaca sudah tahu
jawabannya, yaitu: “Orang yang tersesat.”
Tidak ada jawaban lainnya.
Selamat berpuasa, Ramadhan Mubarak!
Hutan Bintuni, 13 Juli 2012.
Disclaimer: Ekonomi (dan investasi) bukan sains dan tidak pernah dibuktikan secara eksperimen; tulisan ini dimaksudkan sebagai hiburan dan bukan sebagai anjuran berinvestasi oleh sebab itu penulis tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang diakibatkan karena mengikuti informasi dari tulisan ini. Akan tetapi jika anda beruntung karena penggunaan informasi di tulisan ini, EOWI dengan suka hati kalau anda mentraktir EOWI makan-makan.