Untuk minggu ini artikel EOWI adalah daur ulang dari artikel di Klubsaham.com tertanggal 15 Oktober 2005. Banyak hal sebenarnya mengacu pada masa itu. Tetapi banyak juga masih relevan.
Semoga anda bisa menikmatinya.
Persoalan yang mendasar dari sistem demokrasi adalah bahwa kualitas pemerintahan yang dihasilkannya tidak lebih tinggi dari kualitas rakyatnya. Seringnya lebih buruk atau sama. Acara terpopuler di TV mencerminkan tingkat intelektual dari suatu masyarakat. Dengan acara TV seperti sinetron, klenik, reality show bisa dijadikan ukuran tingkat intelek dari masyarakat Indonesia. Apa yang bisa anda harapkan dari pilihan mereka? Itu keburukan demokrasi. Jangan heran kalau pembagian kepada rakyat miskin uang pengganti subsidi bahan bakar minyak berjalan kacau. Ini penunjukkan sistem pemerintahan yang buruk. BPS (Badan Pusat Statistik) yang mendata rakyat miskin ternyata...., katakan saja datanya ngawur. Jangan heran kalau data-data lainnya seperti pertumbuhan GDP, tingkat inflasi, tingkat pengangguran juga ngawur. Juga DPR dan departemen keuangan yang tidak bisa menghitung subsidi atau memperkirakan harga minyak untuk asumsi APBN. Ketika pemerintah menaikkan harga bensin, ternyata 3 bulan kemudian harga minyak bumi turun. Dan ketika pemerintah menurunkan harga bensin, beberapa minggu kemudian harga minyak dunia naik.
Kemakmuran tidak tergantung pada pemerintah, tetapi merupakan tanggung jawab kolektif setiap penduduk yang tinggal di negara/daerah itu. Teman saya yang tinggal di Riau, bingung. Kabupaten Bengkalis merupakan kabupaten terkaya dengan APBD dulu tahun 2002 Rp 1 triliyun lebih naik dari sekitar Rp 30 milyar sebelum otonomi daerah. Sisa APBD mencapai Rp 800 milyar, katanya. Tetapi jalan-jalan tidak terpelihara. Kalau musim hujan kubangan dimana-mana. Dengan adanya desentralisasi daerah, teman saya itu berharap Riau bisa lebih maju dalam bidang pembangunan dan pemeliharaan infrastrukutur karena yang punya sumber keuangan yang lebih banyak dari minyak dibandingkan dengan masa lalu. Rupanya anggota-anggota DPRD nya sadar akan hal ini. Maka mereka membagi-bagikan duit supaya tidak ada sisa anggaran untuk membeli mobil jeep Nissan Terrano. Pandai sekali deh. Diri mereka dulu yang dipentingkan. Itulah kualitas aparat hasil demokrasi. Saya tidak tahu bagaimana pemerintah daerah Natuna menghabiskan dana dari minyaknya. Mungkin semua anggota DPRD nya dapat pembagian yacht. Natuna tidak ada jalan raya untuk dipelihara atau dibangun!!
Melihat daerah-daerah yang berbasis komoditi seperti Riau, Aceh, saya ingat negara republik yang terkecil di dunia Nauru. Letaknya di Pasifik. Penduduknya saat ini sekitar 13,000 jiwa saja saat ini dan 90% adalah pengangguran. Daratannya 90% telah menjadi waste-land. Sukar membayangkan negara yang 20 tahun lalu sangat indah dan kaya, terkaya di dunia. Dulu Nauru merupakan tumpukan barang mahal yang bau, Guano, tahi burung. Dulunya yang Nauru merupakan koloni besar burung laut. Mereka berak seenaknya di sana selama ratusan bahkan mungkin jutaan tahun. Karena jarang hujan maka tahi burung itu menumpuk saja disitu. Saya bilang mahal, karena banyak mengandung phosphat yang dipakai untuk pupuk.
Nauru letaknya di lautan Pasifik dengan luas hanya 21 km persegi. Australia memberi kemerdekaan kepada Nauru pada 31 Januari 1968. Nauru menarik dari segi sejarah ekonominya. Pada suatu masa yang belum lama, rakyat Nauru merupakan rakyat yang paling kaya di dunia. Pada tahun 1990, atau 18 tahun lalu GDP nya $ 10,000 per kapita. Sebelum itu lebih tinggi lagi. US pada saat itu belum mencapai tingkat itu. GDP yang tinggi ini berkat tambang phosphat yang awalnya dikelola oleh Australia, Inggris dan New Zealand. Saya curiga bahwa seperti juga pemerintah Riau, pemerintah Nauru hanya menjadi pak Ogah. Sejak tahun 1967 pertambangan-pertambangan phosphat sudah dikuasai oleh putra daerah. Penambangan phosphat di Nauru bagaikan bencana ekologi dan bencana moral untuk Nauru sendiri. Ekologi Nauru rusak berat, 90% dataran Nauru adalah waste-land. Moral pak Ogah, hidup seenaknya melanda mereka. Nauru menuntut Inggris, Australia dan New Zealand untuk membayar ganti rugi atas kerusakan ekologinya (seperti pak Ogah bukan? Minta easy money). Pada penyelesaian sengketa di luar pengadilan, akhirnya Australia tahun 1993 setuju untuk membayar Aus$ 2.5 juta pertahun selama 20 tahun, sedang Inggris dan New Zealand membayar sekali gus saja masing-masing $ 12 juta.
Nauru yang dulu sekali.
Desa di Nauru pada jaman dahulu kala.
Pohon yang ridang dan lagoon yang banyak ikannya.
Uang hasil dari phosphat diinvestasikan di trust fund selama pertambangan phosphat dikuasai pribumi. Maksud investasi ini sama dengan dana abadi versi yayasan Super Semar, Ditjen Haji atau sejenisnya. (Imam Semar nyeletuk dalam hati, mana ada dana yang abadi kecuali uangnya uang sejati). Dengan berkurangnya cadangan phosphat dan menurunnya harga phosphat maka GDP Nauru pun menyusut. Bersamaan dengan meletusnya bubble di bursa teknologi tahun 2000, trust-fundnya rusak. Trust-fund yang mengelola properti di Australia dimakan oleh GE Capital melalui perangkap predatory loannya. Hutang Nauru trust-fund sebesar $ 240 juta (kira-kira 2 sampai 2.5 kali GDP nya) kepada GE Capital membuat Nauru bangkrut pada saat jatuh tempo. Ditambah lagi pada tahun yang sama (2000), negara-negara G7 memaksa Nauru untuk membersihkan sistem perbankan dari praktek pencucian uang. Pendapatan Nauru semakin terpuruk. Lapangan terbangnya ditutup karena tidak mampu melakukan perawatan. Tahun 2000 GDP nya turun menjadi $ 59 juta atau $ 5,000 per kapita. Tahun 2001 untuk menaikkan perekonomiannya, Nauru menerima pengungsi manusia-manusia perahu (boat people) dengan imbalan $ 20 juta dan insentif-insentif keuangan lainnya dari PBB dan Australia. GDPnya bisa dipertahankan $ 5000 per kapita. Sebenarnya tanpa bisnis pengungsi GDPnya hanya sekitar $3,000 per kapita tahun 2001. Pada tahun 2003 hutang kepada GE Capital memaksa Nauru menjual aset-aset propertinya di Australia. Gedung pencakar langit Nauru House, Sydney's Mercure Hotel and Royal Randwick Shopping Center, hotel-hotel Downtowner and Savoy Park Plaza di Melbourne terpaksa pindah tangan. Sisa hutangnya masih $ 33 juta lebih. Perwakilan Nauru di Australia dengan 30 orang staffnya terpaksa diusir dari gedung yang disewanya karena menunggak sewa gedung. Kasihan, Nauru bangkrut. Entah apa jadinya pada 2 tahun mendatang. Tahun 2006, pertambangan phosphat Nauru akan tutup, habis. Tanahnya rusak karena penambangan. Rakyatnya terbiasa jadi tuan besar dan mental budayanya tidak mampu memberikan service. Misalnya untuk jasa penampungan pengungsi. Akomodasi di kamp pengungsi sangat buruk. Mungkin Nauru akan mengalami set back ke tahun 1800.
Uang hasil dari phosphat diinvestasikan di trust fund selama pertambangan phosphat dikuasai pribumi. Maksud investasi ini sama dengan dana abadi versi yayasan Super Semar, Ditjen Haji atau sejenisnya. (Imam Semar nyeletuk dalam hati, mana ada dana yang abadi kecuali uangnya uang sejati). Dengan berkurangnya cadangan phosphat dan menurunnya harga phosphat maka GDP Nauru pun menyusut. Bersamaan dengan meletusnya bubble di bursa teknologi tahun 2000, trust-fundnya rusak. Trust-fund yang mengelola properti di Australia dimakan oleh GE Capital melalui perangkap predatory loannya. Hutang Nauru trust-fund sebesar $ 240 juta (kira-kira 2 sampai 2.5 kali GDP nya) kepada GE Capital membuat Nauru bangkrut pada saat jatuh tempo. Ditambah lagi pada tahun yang sama (2000), negara-negara G7 memaksa Nauru untuk membersihkan sistem perbankan dari praktek pencucian uang. Pendapatan Nauru semakin terpuruk. Lapangan terbangnya ditutup karena tidak mampu melakukan perawatan. Tahun 2000 GDP nya turun menjadi $ 59 juta atau $ 5,000 per kapita. Tahun 2001 untuk menaikkan perekonomiannya, Nauru menerima pengungsi manusia-manusia perahu (boat people) dengan imbalan $ 20 juta dan insentif-insentif keuangan lainnya dari PBB dan Australia. GDPnya bisa dipertahankan $ 5000 per kapita. Sebenarnya tanpa bisnis pengungsi GDPnya hanya sekitar $3,000 per kapita tahun 2001. Pada tahun 2003 hutang kepada GE Capital memaksa Nauru menjual aset-aset propertinya di Australia. Gedung pencakar langit Nauru House, Sydney's Mercure Hotel and Royal Randwick Shopping Center, hotel-hotel Downtowner and Savoy Park Plaza di Melbourne terpaksa pindah tangan. Sisa hutangnya masih $ 33 juta lebih. Perwakilan Nauru di Australia dengan 30 orang staffnya terpaksa diusir dari gedung yang disewanya karena menunggak sewa gedung. Kasihan, Nauru bangkrut. Entah apa jadinya pada 2 tahun mendatang. Tahun 2006, pertambangan phosphat Nauru akan tutup, habis. Tanahnya rusak karena penambangan. Rakyatnya terbiasa jadi tuan besar dan mental budayanya tidak mampu memberikan service. Misalnya untuk jasa penampungan pengungsi. Akomodasi di kamp pengungsi sangat buruk. Mungkin Nauru akan mengalami set back ke tahun 1800.
Bukan permukaan bulan tetapi Nauru.
Belum nampak semua kerusakannya.
Kemakmuran dari hasil tambang? Atau ecological nightmare?
Mungkin Nauru bukan yang pertama yang kita bisa disaksikan. Brunei misalnya, tahun 2011 gasnya habis. Rakyatnya terbiasa menjadi tuan besar yang dilayani para pendatang. Kalau investasi-investasi Brunei di luar negri hancur karena resesi, hyperinflasi atau deflasi atau lain-flasi, bisa jadi nasib Brunei menjadi Nauru.
Kesalahan utama Nauru ialah ialah mengkonversikan asset yang tahan banting seperti phosphat – tahi burung yang bau, ke asset yang rawan permainan spekulasi. Di samping itu juga trust fundnya terlalu aggressive melakukan leverage. Phosphat yang notabene adalah tahi burung adalah asset yang tahan banting. Andaikata 100 ton bom jatuh di atas tahi burung ini, harganya tidak akan berubah. Sedangkan hotel dan real estate rawan spekulasi dan hancur dengan depresiasi. Tanpa pengelolaan yang baik hotel, pusat perbelanjaan dan real estate berubah dari asset menjadi liability. Kalau saja orang-orang Nauru sadar bahwa mereka tidak becus mengurus asset seperti real-estate atau saham dan hanya menduduki saja tahi burungnya dan menjualnya sedikit-sedikit dan memandaikan dirinya, mungkin mereka lebih makmur sekarang.
Kuala Lumpur, 15 Oktober 2005.
Disclaimer: Ekonomi (dan investasi) bukan sains dan tidak pernah dibuktikan secara eksperimen; tulisan ini dimaksudkan sebagai hiburan dan bukan sebagai anjuran berinvestasi oleh sebab itu penulis tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang diakibatkan karena mengikuti informasi dari tulisan ini. Akan tetapi jika anda beruntung karena penggunaan informasi di tulisan ini, EOWI dengan suka hati kalau anda mentraktir EOWI makan-makan.
2 comments:
Points-nya:
1. Bagaimana caranya agar kualitas rakyatnya tinggi?
atau
2. Sistem apa yang bisa menggantikan demokrasi agar pemimpinnya berkualitas?
Pelajaran untuk Indonesia dari Nauru...
Post a Comment