Masa Orde Baru – Jaman Pelita, Tinggal Landas dan Nyungsep
Secara sederhana jaman Orba bisa
disebut jaman dimana ekonomi tinggal landas dan akhirnya nyungsep. Mulainya
Orde Baru (Orba) ditandai dengan beberapa hal penting dibidang keuangan dan
pembangunan. Di bidang moneter, uang Orla dihapuskan dan Rp 1000 (Orla) menjadi
Rp 1 (Orba) pada bulan Desember 1965. Sebabnya (mungkin) untuk mempertahankan
arti kata jutawan. Seorang jutawan seharusnya mempunyai status sosial/ekonomi
yang tinggi di masyarakat. Tetapi pada saat itu mengalami penggerusan makna.
Untuk menggambarkan situasinya, tahun 1964 uang Rp 1000 (Orla) bisa untuk hidup
sekeluarga 1 hari. Tetapi tahun 1967 uang itu hanya bisa untuk beli sebungkus
kwaci. Sulit bagi orang awam untuk menerima kenyataan yang sudah berubah dalam
waktu yang demikian singkat. Seorang jutawan tadinya berarti kaya raya berubah
maknanya menjadi pemilik 1000 bungkus kwaci. Hal ini hanya berlangsung dalam
kurun waktu 3 tahun dari tahun 1964 sampai 1967, cepat sekali.
Pemotongan nilai nominal dari Rp
1.000 (Orla) ke Rp 1 (Orba) bisa juga dikarenakan gambar Sukarno pada design
uang Orla itu sudah membosankan. Itu hanya rekaan saya saja yang diungkapkan
dalam suatu sarkasme. Yang tahu pastinya hanya para pejabat di Bank Indonesia
pada saat itu.
Awal dari Orba, politikus
mahasiswa melakukan tuntutan yang dikenal dengan Tritura (tiga tuntutan rakyat)
yaitu
§ Bubarkan PKI,
§ Bentuk kabinet baru dan
§ Turunkan harga
Untuk membubarkan PKI dan
membentuk kabinet sangat mudah. Tetapi untuk menurunkan harga? Tidak pernah
terjadi sampai Orba tumbang 3,5 dekade kemudian. Bahkan walaupun beberapa
menteri yang duduk di kabinet Orba selama beberapa masa bakti dulunya adalah
aktivis/politikus mahasiswa, seperti Akbar Tanjung (mantan ketua Umum HMI
Jakarta), Cosmas Batubara (mantan Ketua Presidium KAMI Pusat), Abdul Gafur
(Wakil Ketua Dewan Mahasiswa UI. 1963-1965, Ketua Presidium KAMI UI/Pembantu
Umum KAMI Pusat, 1966) yang meneriakkan Tritura, harga-harga tidak pernah
turun. Itu fakta. Kita tidak bisa tahu apakah mereka lupa atau tuntutan itu
tidak penting bagi mereka karena sudah menempati posisi yang enak di
pemerintahan menjadi menteri dan anggota DPR. Itulah politikus, apakah itu
berasal dari mahasiswa, seperti Sukarno dan Mohammad Hatta, pola jalurnya sama.
Pola sirkus dan rotinya sama.
Awal langkah politik pemerintahan
Suharto adalah purging (melenyapkan)
elemen-elemen yang pro Sukarno. Elemen-elemen ini disingkirkan dari
posisi-posisi penting di pemerintahan bahkan ada yang ditahan, diadili secara
militer oleh mahmilub (mahmilub = mahkamah militer luar biasa)
dan dihukum mati atau dipenjarakan untuk waktu yang lama sekali. Periode
pemerintahan Sukarno disebut secara resmi dalam sejarah sebagai Orde Lama (yang
berkonotasi negatif) dan dikontraskan dengan nama pemerintahan yang baru yaitu
Orde Baru. Kota Sukarnopura diganti menjadi Jayapura. Puncak Sukarno di Irian
Barat, diganti menjadi puncak Jayawijaya. Seperti yang disebutkan di atas, uang
yang bergambar Sukarno ditarik dari peredaran. Sukarno sendiri meninggal dalam
tahanan rumah dan dikebumikan di Blitar, bukan Taman Makam Pahlawan. Adapun
sebabnya ia tidak dikebumikan di Taman Makam Pahlawan, mungkin karena Sukarno
pada saat itu bukan pahlawan. Ia menjadi pahlawan 18 tahun kemudian, setelah
ada beberapa lembar kertas yang disebut keputusan presiden yang menyatakan
bahwa Sukarno adalah pahlawan. Tanpa kertas itu, Sukarno bukan pahlawan.
GDP nominal pada awal Orde Baru
(katakanlah tahun 1967) adalah $ 54,70 per kapita. Pada saat Orde Baru
digantikan Orde Reformasi (tahun 1997) GDP Indonesia menjadi $ 448,56 per
kapita. Jadi selama 30 tahun naik 8,2 kali lipat!!! Hebat?? (dengan tanda
tanya). Saya pertanyakan pujian untuk Orde Baru karena selama 30 tahun itu
keluarga saya, tetangga saya, handai taulan tidak bertambah kemakmurannya
sebanyak 8,2 kali lipat. Tiga kali lipat pun tidak. Bagaimana mungkin lebih
makmur kalau pada awal Orba tarif bus dalam kota di Jakarta adalah Rp 15 dan
pada akhir Orba Rp 1.000, naik 7500%!! Selama 30 tahun nominal GDP dalam US
dollar tumbuh rata-rata 13% per tahun. Sedangkan GDP-Purchasing Power Parity
tumbuh rata-rata 4,33% per tahun. Kalau dilihat antara kenaikan GDP dan
kenaikan tarif bus kota, kurang lebih sama. Secara keseluruhan, data-data ini
menimbulkan pertanyaannya, apakah kenaikan GDP ini hanya bohong-bohongan saja?
Pada awalnya pembangunan di jaman Orba direncanakan melalui tahapan 5
tahun yang dikenal dengan Pembangunan Lima Tahun atau Pelita. Rejim Suharto
memulai pemerintahannya dengan membuka
ekonomi bagi kapitalis-kapitalis yang dulunya dimusuhi Sukarno. Investasi dan
modal asing masuk. Pabrik-pabrik dan industri perakitan bermunculan.
Pertumbuhan ekonomi cukup bagus karena dibantu dengan boom di sektor bahan komoditi (awal 1970 sampai awal dekade 1980)
seperti bahan tambang, minyak, kayu dan lain-lainnya. Indonesia bisa menjadi
negara pengekspor minyak dan komoditi lainnya karena masuknya investor asing.
Pendapatan pemerintah dari minyak dan bahan komoditi lainnya seharusnya relatif
besar. Walaupun demikian, pemerintah masih tidak bisa membuat budgetnya berimbang.
Secara resmi memang budget pemerintah selalu berimbang. Tetapi kalau ditelusuri
lebih jauh, ada yang namanya pengeluaran pemerintah yang non-budgeter. Nama
lain dari defisit. Jadi jangan heran bahwa inflasi pada saat itu cukup tinggi.
Rupiah beberapa kali mengalami devaluasi terhadap dollar Amerika. Yaitu pada
bulan April 1970 dari Rp 378 ke Rp 415 per dollar, pada bulan November 1978
dari Rp 416 ke Rp 625 dan Maret 1983 dari Rp 615 ke Rp 970 per dollar. Padahal
pada periode yang sama US dollar mengalami kemerosotan nilai karena inflasi yang
tinggi. Masa itu (dekade 1970an) di US disebut masa stagflation, ekonominya mandeg dan inflasinya tinggi. Dengan kata
lain kemerosotan nilai riil rupiah sangatlah parah.
Pemerintahan Suharto
memperkenalkan konsep dwi-fungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia).
Ini adalah jalan untuk menempatkan perwira-perwira ABRI di sektor-sektor
bisnis. Banyak (kalau tidak mau dikatakan hampir semua) direktur dan beberapa
posisi atas di BUMN ditempati oleh ABRI. Konsesi-konsesi hutan juga banyak
diberikan kepada anggota-anggota ABRI. Demikian juga posisi penting di
pemerintahan daerah, seperti gubernur, bupati dipegang oleh ABRI. Bahkan sampai
ke desa-desa, Babinsa (badan pembina desa, bintara pembina desa), biasanya
dimotori oleh militer berpangkat bintara. Profesi ABRI menjadi idaman bagi
banyak sarjana. Mereka tergiur untuk masuk ABRI dengan pangkat letnan dua
setelah lulus universitas. Karena karier swasta/BUMN dan pemerintahan lebih
mudah dititi dari jalur ABRI, bukan dari jalur bisnis riil.
Dalam hal sirkus, kalau Sukarno
caranya persuasif melalui kharismanya, Suharto tidak mempunyai kharisma yang
bisa memukau orang banyak, maka tangan besi menjadi andalannya. Kalau Sukarno
bak penjual yang mampu meyakinkan orang Eskimo membeli kulkas, Suharto bak raja
dijaman dulu, lebih banyak menggunakan kekuasaannya, penekanan-penekanan dan
pembatasan-pembatasan. Pada sampai pertengahan dekade 1980an, untuk mendaftar
sekolah, bekerja, membuat pasport, SIM (surat ijin mengemudi) memerlukan surat
berkelakuan baik dari polisi, surat bebas G30S dan untuk mengurusnya harus
melewati birokrasi yang panjang. Demikian juga kalau sekolah ke luar negri,
diharuskan untuk memperoleh surat keterangan dari Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, sekalipun biaya sekolah itu dari saku pribadi.
Rejim Suharto mempercayai teori ekonom keblinger dari Inggris Thomas Robert
Malthus. Robert Malthus mengatakan dalam karangannya An Essay on the Principle of Population yang diterbitkan tahun 1798-1826
bahwa populasi manusia bertambah bagai deret ukur dan makanan yang bisa
diproduksi oleh bumi hanya naik bagai deret hitung. Dalam bahasa awamnya:
kemampuan manusia beranak-pinak jauh melebihi dari pada kemampuan bumi ini
dalam menyediakan makanan. Dan suatu saat pandemi kelaparan Kiamat Malthus akan
terjadi, dimana manusia di dunia ini akan kekurangan pangan, pertumbuhan
populasi akan terhenti. Robert Malthus, walaupun dia seorang rohaniawan gereja
Anglikan, tetapi dia seakan percaya bahwa Tuhan adalah keledai. Dia pasti akan berkelit
licin sekali mengenai keimanannya, kalau dia dihadapkan pada ayat-ayat kitab
sucinya seperti:
Allah
memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranak-cuculah
dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas
ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang
merayap di bumi." Berfirmanlah Allah: "Lihatlah, Aku
memberikan kepadamu segala tumbuh-tumbuhan yang berbiji di seluruh bumi dan
segala pohon-pohonan yang buahnya berbiji; itulah akan menjadi makananmu. Tetapi
kepada segala binatang di bumi dan segala burung di udara dan segala yang
merayap di bumi, yang bernyawa, Kuberikan segala tumbuh-tumbuhan hijau menjadi
makanannya." Dan jadilah demikian. (Perjanjian Lama, Genesis 1: 38-30).
Dalam kepercayaan Robert Malthus tersirat bahwa Tuhan tidak becus dalam
menciptakan alam semesta dan manusia, sehingga suatu saat manusia akan
kekurangan pangan.
Para ekonom, perencana pembangunan, kyai dan rohaniawan dalam rejim
Suharto memuja dewa yang sudah lama mati yang bernama Robert Maltus ini. Para
kyainya juga. Mereka percaya bahwa Tuhan lupa menyiapkan sumber makanan bagi
manusia ketika menciptakan alam ini. Bahkan kalau ditanya tentang ayat ini:
Dan
janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan
memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka
adalah suatu dosa yang besar.
(Quran 17:31)
maka dikatakannya bahwa ayat itu sudah tidak relevan pada jaman ini. Sehingga
pada masalah seks dan perkawinan, pemerintahan Suharto punya pendapat mengenai
berapa jumlah anak yang ideal dalam keluarga. Keluarga menurut rejim Suharto
adalah pasangan monogami dengan anak maksimum dua. Mungkin tujuannya untuk menghambat pertumbuhan
penduduk sehingga persoalan kekurangan pangan bisa ditanggulangi.
Kampanye dan program “dua anak saja cukup” diluncurkan dengan nama
“keluarga berencana” (KB). Walaupun jiwa pelaksanaan keluarga berencana ini
adalah persuasif, aparat pemerintah di lapangan seperti lurah dan camat di
daerah yang terlalu bersemangat sering memaksakan penggunaan alat-alat
kontrasepsi kepada masyarakatnya, bahkan prosedur tubektomi. Demi suksesnya KB,
kebohonganpun dihalalkan. IUD yang sering disebut spiral, dikatakan sebagai
penghalang bertemunya sperma dengan telur. Padahal, menurut teori kedokteran
moderen, cara kerja IUD (spiral) adalah menghalangi nidasi (konsepsi dan implatasi) yaitu membuat kondisi rahim
yang tidak ramah terhadap sperma dan siap menolak blastula (embryo yang sudah tumbuh menjadi kurang lebih 128 sel).
Informasi ini dapat ditemukan di banyak buku-buku kedokteran. Seandainya anda
malas pergi ke perpustakaan, informasi ini bisa dicari di internet[1].
Jadi sebenarnya cara kerja spiral bisa disebut aborsi, kalau janin yang berumur
sampai 14 hari bisa disebut janin.
Kalau hal ini diterangkan kepada ulama dan pemuka agama yang lurus keimanannya,
kemungkinan mereka mengharamkan penggunaan spiral.
Robert Malthus punya waktu yang
cukup lama untuk membuktikan kebenaran teorinya yang secara implisit menganggap
Tuhan sebagai keledai yang tidak becus atas kreasinya. Sejak dari dicetuskannya
teori pertambahan penduduk dan pertambahan produksi pangannya sampai buku ini
ditulis, sudah 210 tahun (terbilang: dua ratus sepuluh tahun). Waktu yang cukup lama. Rupanya yang menang
adalah Tuhan. Dan ternyata yang berotak keledai bukan Tuhan, melainkan sang
dewa Robert Maltus dan pengikutnya. Dua abad berlalu, dari tahun 1800 ketika
Malthus mencetuskan idenya sampai 210 tahun kemudian, yaitu tahun 2010, teori
Robert Malthus dan Kiamat Malthus tidak pernah menjadi kenyataan. Populasi
dunia berlipat 7 kali dari 1 milyar jiwa menjadi 6,9 milyar jiwa. Kekurangan
pangan pandemi dunia tidak pernah terjadi, penyakit karena kekurangan pangan
tidak pernah menjadi pandemi. Bahkan yang terjadi 210 tahun kemudian adalah
sebaliknya. Banyak yang menderita kegemukan, kebanyakan makan, obesse!!
Robert Malthus tidak sendirian.
Beberapa industrialis dan professor keblinger bergabung dalam suatu perkumpulan
bak perkumpulan keagamaan yang disebut Klub Roma yang mempercayai akan
terjadinya Kiamat Malthus. Salah satu dari professor keblinger itu bernama Paul
Ehrlich dari Universitas Stanford, USA, meramalkan bahwa tahun 70an dan 80an ratusan
juta orang akan mati kelaparan sekalipun dilakukan usaha-usaha yang keras.
Bukunya berjudul The Population Bomb, best
seller tahun 1968.
Empat puluh dua (42) tahun sejak
Paul Ehrlich mengeluarkan
ramalannya dan 210 tahun setelah Robert Malthus mengeluarkan ramalannya, dunia
tidak pernah mengalami pandemi kekurangan pangan. Paul Ehrlich melihat sendiri
bahwa Kiamat Mathus yang memakan korban ratusan juta orang mati kelaparan tidak
pernah terjadi. Tidak hanya itu, manusia malah
dihadapkan oleh persoalan kesehatan yang diakibatkan karena kelebihan pangan
seperti obesitas, jantung koroner, darah tinggi dan kolesterol. Tuhan mengajarkan
manusia untuk menciptakan Revolusi Hijau dan ilmu kedokteran yang lebih maju
sehingga membuat Robert Maltus, Paul Ehrlich berserta para pemujanya nampak seperti keledai. Ternyata bumi ini tidak
pernah kekurangan pangan seperti janji Quran dan Bible. Kelaparan secara endemi
(bukan pandemi) hanya untuk mereka yang suka perang, saling bertengkar dan
membunuh serta mengesampingkan usaha-usaha untuk menghasilkan pangan seperti
yang terjadi di Afrika dan muka bumi lainnya. Tidak sulit untuk mengatakan
siapa yang keledai. Robert Malthus dan Paul Ehrlich lah yang keledai. Juga para pengikutnya yang ada di
kementerian wanita dan yang berurusan dengan masalah keluarga berencana. Sekarang
keledai-keledai yang sama sejak tahun 2000an mulai mencemaskan
demografi-demografi yang menua akibat kurangnya produksi anak dimasa lampau dan
panjangnya umur manusia karena perbaikan gizi dan kemajuan dibidang kesehatan.
Dulu keledai-keledai ini takut terhadap bahaya kelaparan karena ledakan
penduduk, sekarang mereka takut kekurangan penduduk untuk menunjang generasi
tua. Tuhan bukan keledai dan Dia sudah menyiapkan rezki bagi orang-orang tua di
masyarakat yang berdemografi menua.
Pemerintahan Suharto tidak hanya
tertarik pada masalah kamar tidur rakyatnya dan berapa jumlah anak yang mereka
punyai, tetapi juga masalah teologi/agama yang dianut rakyatnya. Pancasila
menjadi asas tunggal negara. Posisi
Pancasila menjadi di atas agama. Penafsiran agama yang bertentangan dengan
Pancasila akan dilibas. Bagi muslim yang menjadi mayoritas rakyat Indonesia hal
ini terasa berat. Sebagian kalangan menganggap asas tunggal merupakan penghinaan bagi umat Islam. Hal ini menyulut
sentimen anti pemerintah. Beberapa peristiwa berdarah, seperti Tragedi Tanjung
Priok (September 1984), yang memakan korban beberapa
ratus orang meninggal, dilatar belakangi oleh protes terhadap asas tunggal yang
dipimpin oleh ustadz Amir Biki. Kontrol pemerintah terhadap khotbah dan ceramah
juga ketat. Imaduddin Abdurrahim, pengajar ITB (Institut Teknologi Bandung)
dilarang memberikan ceramah, diboikot dan akhirnya dibuang ke luar negri untuk memperoleh gelar sarjana lanjutan. AM
Fatwa, seorang da’i, juga pernah dipenjara dimasa pemerintahan Suharto. Bagi
seorang muslim, seharusnya sikap permusuhan dengan agama (paham) lain tidak ada
karena:
“Tidak ada paksaan dalam beragama; sesungguhnya kebenaran
itu sangat jelas (berbeda) dibandingkan dengan
sesatan........” (Quran 2:256)
Tetapi jangan salahkan sikap
memberontak dan melawan mereka (sebagian umat Islam) jika mereka diganggu dan
dipaksa untuk menganut ajaran lain. Siapa sih yang suka dipaksa? Ada yang
menunjukkan sikap memberontak secara terang-terangan. Banyak pula yang disimpan
di dalam hati yang dalam, menunggu kesempatan yang baik untuk melampiaskannya.
Penekanan-penekanan oleh
pemerintahan Orde Baru pada kaum muslimin yang bertahan terhadap asas tunggal
Pancasila terus berlangsung selama dekade 1980an sampai menjelang dekade
1990an. Pemberian label Komando Jihad merupakan ciri yang umum terjadi, seperti
halnya pemberian label “PKI” pada awal-awal Orde Baru (dekade 1970an) untuk
mengirim orang ke rumah tahanan.
Program cuci otak dan
indoktrinasi pada jaman Orde Baru dikenal dengan nama Penataran P4 (Pedoman
Pengamalan Penghayatan Pancasila) bagi pegawai negri sipil, pegawai BUMN,
pegawai kontraktor pertambangan dan pegawai perusahaan yang ada kaitannya
dengan pemerintah. Bagi mahasiswa, diharuskan mengambil mata pelajaran Kewiraan
yang isinya tentang Pancasila. Saya sendiri diwajibkan mengambil mata pelajaran
yang berbau Pancasila dari mulai SMP sampai mahasiswa, lalu penataran P4 ketika
bekerja, semuanya lulus karena hapalan mutlak, dan sekarang sudah lupa. Tidak
seperti subjek matematik, deret Taylor, Runga Kutta, hukum Hess, bermacam-macam reaksi
kimia yang sampai sekarang saya masih ingat, pelajaran Pancasila sudah tidak
ada yang ingat lagi. Tidak ada logika yang mendasari doktrin-doktrin Pancasila,
sehingga sulit diingat.
Orde Baru juga mempunyai ambisi teritorial dengan menganeksasi Timor Timur
bulan Oktober 1974. Terlepas apakah alasannya karena undangan rakyat Timor
Timur, rakyat Timor-Timur ingin bersatu dengan Indonesia atau alasan lainnya,
langkah ini terbukti harus dibayar mahal oleh nyawa, penderitaan tentara dan
materi. Langkah menganeksasi Timor-Timur ini sulit dimengerti. Karena
Timor-Timur tidak punya nilai ekonomis dan hanya akan menjadi beban untuk
Indonesia (akhirnya terbukti). Untuk menarik simpati rakyat Timor-Timur,
pemerintah Orde Baru membangun Timor-Timur. Dengan lebih 90% anggaran belanja
daerah (APBD) dipasok dari pusat, Timor-Timur membangun. Untuk tahun 1993
misalnya, pendapatan asli daerah hanya Rp 3 milyar sedangkan anggaran belanja
daerah adalah Rp 46,70 milyar. Hal seperti ini berlangsung selama berpuluh
tahun, menjadi beban yang dipikul pembayar pajak. Dan uang itu untuk membangun
sekolah-sekolah, rumah sakit, puskesmas, jalan raya dan infrastruktur lainnya
yang tidak dinikmati pembayar pajak di wilayah Indonesia lainnya.
Imperium Orde Baru punya banyak
tugas untuk memadamkan api-api kecil di pinggiran imperiumnya. Di Aceh, bara
Gerakan Aceh Merdeka (GAM), di Irian OPM (Organisasi Papua Merdeka dan di Fretilin
di Timor Timur. Sedangkan di Jawa bara-bara sakit hati masih menyala dari
kalangan yang hidupnya, agamanya diusik, seperti yang juluki Komando Jihad
(yang mungkin bukan suatu organisasi yang mapan); Kelompok Petisi-50; mahasiswa
yang tidak suka ditekan-tekan dengan program Normalisasi Kampus dan
lainnya.
Untuk dekade 1990, awalnya
keadaan relatif baik, karena boom ekonomi dunia yang didukung oleh
ekspansi kredit. Alan Greenspan menduduki tahta ketua the Federal Reserves Bank
di Amerika Serikat tahun 1987, memberlakukan ketidak-bijaksanaan ekspansi
kredit. Yang latar belakangnya adalah market
crash Oktober 1987, dimana indeks bursa saham Amerika, Dow Industrial jatuh
31% dalam seminggu.
Alan Greenspan mungkin bersumpah
bahwa hal seperti ini tidak boleh terjadi lagi. Oleh sebab itu dia selalu siap
sedia untuk mengucurkan likwiditas, bila ada gejala yang dianggapnya tidak
baik. Kalau kredit melimpah, manusia makin sibuk dengan aktivitas jual dan
beli. Karena memperoleh untung, orang merasa kaya, kemudian konsumsi meningkat,
permintaan meningkat dan memicu investasi. Semua orang gembira.
Beberapa negara Asia, seperti
Asia Tenggara, Korea Selatan dan Taiwan, mengalami boom ekonomi dengan pertumbuhan 7%-12, dikenal sebagai keajaiban
ekonomi (economic miracle). Modal asingpun masuk ke negara-negara ini,
tertarik oleh potensi keuntungan yang menjanjikan.
Indonesia yang dikenal sebagai
salah satu calon Macan Asia mengembangkan sektor industri manufakturing dan
mencanangkan Era Lepas Landas. Mungkin maksudnya lepas dari ketergantungan
ekonomi ekstraksi sumber alam (pertambangan, kehutanan dan pertanian) yang
memang harganya sedang jatuh sejak dekade 1980an.
Dalam rangka Era Lepas Landas, pemerintah juga
ingin mengembangkan industri pesawat terbang, buatan putra-putri Indonesia.
Membuat pesawat terbang itu lebih mudah dari pada memasarkannya serta mencari
pembeli. Tahun 1995 IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara) berhasil membuat
pesawat turbo-prop, fly by wire N-250
dari hasil rancangannya sendiri. Sayangnya pesawat yang canggih ini tidak laku
dijual, jadi terpaksa barter dengan beras ketan. Jeleknya sampai tahun 2010 PT
Dirgantara Indonesia (nama baru IPTN) masih hidup tetapi dikategorikan sebagai
8 BUMN yang sakit.
Pada sektor pangan, di dekade 1990,
Orde Baru mencanangkan swasembada pangan melalui pembukaan sawah sejuta hektar.
Persoalannya ialah, booming yang
disebabkan oleh ekspansi kredit tidaklah stabil. Meningkatnya permintaan barang
dan jasa adalah semu. Peningkatan kapasitas produksi yang didasari oleh
permintaan konsumsi yang semu adalah spekulatif. Modalnya pun bersumber dari
luar negri. Rasio hutang luar negri dengan GDP di negara-negara Asean mencapai
100% – 160%. Hal ini menjadi beban dan mempunyai resiko terhadap gejolak kurs
mata uang asing. Karena umumnya mata uang di negara-negara Asean dipatok
terhadap US dollar, maka penguatan US dollar akan membuat produk-produk negara
ini kurang kompetitif di pasar global. Itulah yang terjadi. Alan Greenspan
melakukan pengetatan likwiditas US dollar yang berakibat penguatan US dollar.
Ini menyebabkan memburuknya defisit berjalan di negara-negara Asean. Kemudian
terjadi serangan spekulan terhadap mata uang bath Thailand yang mengakibatkan
mata uang bath jatuh. Kejatuhan mata uang bath Thailand menjadi titik awal dari
effek domino yang menghantam negara-negara Asean dan macan Asia lainnya.
Investor asing menjadi ketakutan dan uang panas keluar yang menyebabkan
anjloknya nilai mata uang negara-negara ini karena pemerintah tidak sanggup
mempertahankan patokan kursnya. Rupiah yang sebelum krisis mempunyai nilai
tukar Rp 2.500 per US dollar, anjlok sampai Rp 15.000. Diantara semua negara
yang terkena krisis Asia ini, Indonesia adalah yang terparah. GDPnya anjlok
13.5%.
Para ekonom birokrat Indonesia pada waktu itu menganut sistem
kroni-kapitalisme di saat booming dan
sosialisme hutang di saat krisis. Artinya, pada saat boom ekonomi, para pengusaha-kesayangan memperoleh segala
kelonggaran dan kemudahan. Salah satu praktek yang paling umum terjadi di Indonesia
adalah bank-bank besar yang mempunyai induk yang sama dengan industri. Terjadi
kolusi pada penyaluran kredit dari bank ke industri yang mempunyai induk sama.
Hal ini dibiarkan saja oleh otoritas moneter. Dan ketika terjadi krisis hutang
para kapitalis-kesayangan disosialisasikan ke masyarakat pembayar pajak dan
penabung alias dibebankan kepada masyarakat. Bantuan Likwiditas Bank Indonesia
(BLBI) dikucurkan yang tidak lain adalah perampokan tabungan rakyat untuk
diberikan kepada konglomerat yang terbelit hutang. Dengan cepat 70%-80% dari
nilai riil tabungan masyarakat menguap bersama banjir likwiditas. Itu namanya
sistem kroni-kapitalisme (yang tidak ada kaitannya dengan kapitalisme).
Rakyat marah, karena pemerintah Orde Baru terlalu kasar menyita tabungan
mereka. Inflasinya terlalu cepat. Dan akhirnya kemarahan ini meledak dalam
bentuk kerusuhan, yang dikenal sebagai kerusuhan Mei 1998, yang kemudian
menyeret Suharto untuk lengser keprabon.
Prestasi Orde Baru yang nampaknya cukup menyakin mengejar Era Lepas Landas,
ternyata kemudian nyungsep karena keberatan beban. GDP per kapita
Indonesia tahun 1967 ketika Sukarno benar-benar jatuh adalah $54,70. Dan 31
tahun kemudian, ketika Suharto lengser keprabon, menandai berakhirnya
era Orde Baru, GDP (nominal) Indonesia ini menjadi $ 473,49. Jadi naik 866%.
Wow, hebat sekali. Selama 31 tahun itu saya, keluarga saya, tetangga saya,
kenalan saya, tidak merasa menjadi 9 kali lebih kaya. Apa yang salah?
Bagaimana kalau diukur dengan uang sejati alias emas. Tahun 1967 GDP per
kapita Indonesia adalah 48.52 gram emas. Dan untuk tahun 1998 adalah 49.88 gram
emas. Tidak banyak beda. Artinya, tidak salah kalau jaman Orba disebut juga
jaman Tinggal Landas dan Nyungsep.
Karena akhirnya GDP Indonesia kembali ke titik awal ketika Orba mulai berkuasa.
Dari 48,52 gram emas ke 49,88 gram emas. Lalu bagaimana dengan pertumbuhan yang
katanya super selama 30 tahun itu? Itulah statistik, bentuk tipuan yang
canggih, seperti kata Mark Twain.
Lalu bagaimana dengan prestasi pemerintah Orde Baru dalam menghancurkan
rupiah? Harga emas di awal Orde Baru adalah Rp 187 per gram dan pada tahun
lengser keprabonnya Suharto, harganya menjadi Rp 90.100 per gram. Artinya
99.79% nilai rupiah telah menguap selama 31 tahun Suharto berkuasa. Jangan
heran kalau ongkos naik bus kota pun naik dari Rp 15 menjadi Rp 1000. Dalam hal
rupiah ini Suharto sedikit lebih baik dari Sukarno yang menguapkan 99.97% dari
nilai riil rupiah selama masa pemerintahan Order Lama. Tetapi keduanya sama
saja, nilai riil rupiah dibuat nyaris hampir nol, semasa pemerintahan keduanya.
[1] The Iud: Some Facts For An Informed
Choice, Global Catholic Network, http://www.ewtn.com/library/MARRIAGE/CCLIUD.TXT
Disclaimer:
Ekonomi (dan investasi) bukan sains dan tidak pernah dibuktikan secara eksperimen; tulisan ini dimaksudkan sebagai hiburan dan bukan sebagai anjuran berinvestasi oleh sebab itu penulis tidak
bertanggung jawab atas segala kerugian yang diakibatkan karena mengikuti informasi dari tulisan ini. Akan tetapi jika anda beruntung karena penggunaan informasi di tulisan ini, EOWI dengan suka hati kalau anda mentraktir EOWI makan-makan.