Dalam rangka menyambut masa pelaksanaan haji, EOWI akan menurunkan sebuah artikel mengenai haji. Ini merupakan hasil riset saya selama 15 tahun. Dan selama 5 tahun terakhir mengalami akselerasi karena adanya era digital. Quran, hadith dan literatur-literatur saat ini sudah banyak dalam bentuk digital sehingga memudahkan riset.
Ada rencana (sedang dijalankan) untuk mengirimkan essai ini ke lembaga-lembaga Islam untuk meminta pendapat mereka dan memberi input kepada mereka tentang haji. Saya juga mempunyai versi bahasa Inggrisnya. Saya tidak berharap akan ada perubahan yang cepat. Karena dalam agama opini yang ada (terlepas benar atau salah) sulit untuk diubah. Saya sendiri sudah mengatakan bahwa merokok itu haram sejak 30 tahun lalu. Baru akhir-akhir ini MUI, majelis ulama Saudi dan majelis ulama negara lainnya berani mengatakan bahwa merokok itu haram. Selama itu saya tidak jemu-jemunya mengatakan kepada kyai dan ulama bahwa merokok itu haram (bukan makruh seperti kata mereka). Kultur sulit berubah.
Di samping itu, dalam rangka Iedul Adha, di Indonesia akan ada dua hari Raya Iedul Adha tahun ini, versi pemerintah (yang mudur 1 hari dari hari Iedul Adha di Saudi Arabia), dan versi Muhammadiyah. EOWI telah melakukan perhitungan, hasilnya adalah: untuk sebagian besar Indonesia, Iedul Adha akan bertepatan dengan 16 Nov 2010, kecuali Biak dan wilayah utara serta timurnya, tanggal 17 Novenber 2010.
Saya akan agak ketat terhadap komentar yang tidak relevan untuk tulisan ini.
KATA PENGANTAR
Sudah merupakan cara hidup yang saya anut sejak lama, untuk mengikuti setiap "aturan baku” dan “tradisi keagamaan” yang masuk akal sampai ada argumen untuk mendiskualifikasi praktek itu dan diidentifikasi sebagai tidak sesuai dengan Quran dan hadith. Ketika saya masih kecil kecil, yaitu pada awal tahun 1960, katak dan kepiting-bakau dianggap atau dikategorikan sebagai makanan haram oleh masyarakat Muslim di mana saya tinggal dan dibesarkan. Tradisi haram terhadap katak dan kepiting adalah tradisi umum di kalangan Muslim di Indonesia dan Malaysia. Bahkan saat ini, bahwa tradisi ini masih berlaku di beberapa bagian Indonesia dan di Malaysia. Saya tidak yakin apakah larangan ini adalah tradisi lokal untuk Malaysia dan Indonesia atau itu adalah praktek umum yang dianut oleh umat Islam di beberapa bagian dunia lain. Saya juga tidak yakin bagaimana para cendekiawan Muslim pada waktu itu sampai pada kesimpulan bahwa katak dan kepiting adalah haram. Apakah larangan ini disebutkan dalam Quran atau di hadith? Sampai sekarang saya tidak dapat menemukan larangan itu dalam Quran. Saya tidak pernah suka makan katak, tetapi saya tidak akan mengatakan bahwa katak itu haram, karena akan membatasi diri kita untuk memperoleh sumber protein yang sehat. Allah mengajarkan kita bahwa kita tidak boleh mengharamkan makanan dan hal-hal yang dihalalkan Allah serta menghalalkan hal-hal yang diharamkan. Di Indonesia, pengharaman katak dan kepiting bakau telah memudar secara bertahap. Setidaknya saat ini sangat jarang ulama Muslim Indonesia yang mendukung larangan tersebut.
Beberapa tahun yang lalu, seorang teman baik saya menyodorkan kepada saya ayat-ayat al-Quran yang isinya terkait dengan haji. Dia menyebutkan bahwa menurut Quran, haji dapat dilakukan dalam masa beberapa bulan. Dia secara khusus menekankan pada bentuk jamak dari kata bulan. Dia merujuk kepada ayat ke 197 surah al-Baqarah. Apa yang dikatakan ini berbeda dengan tradisi berhaji saat ini, dimana haji dilakukan dalam masa yang singkat di bulan Dzulhijjah. Tentu saja pernyataannya mengejutkan saya. Harus saya mengakui bahwa saya tidak berbahasa Arab, dan jarang menggali Quran secara detail kecuali kalau menjumpai kejadian seperti ini.
Untuk bisa sampai pada kesimpulan yang tertuang dalam tulisan ini, saya menghabiskan waktu yang cukup lama cukup menggali Quran, hadith dan biografi Nabi. Ada temuan yang lain yang cukup penting yaitu bahwa nabi Muhammad s.a.w. tidak pernah menganjurkan atau memberi contoh umroh kecuali umroh di bulan Ramadhan, Dzulqaidah dan Dzulhijjah. Dan beliau sendiri hanya pernah melakukannya di bulan Dzulqaidah dan Dzulhijjah.
Arti kata haji secara umum sering digunakan untuk merujuk pada ritual umroh dan haji. Arti khusus dari haji adalah kumpulan ritual yang terdiri dari menginap di Mina, berkumpul di Arafah, semalam di Mudalifah, ritual lontar jumroh dan tawaf. Agar supaya konsisten, kita akan menggunakan kata-kata umroh dan haji dengan makna khusus mereka. Dan untuk haji dalam arti yang lebih luas kita akan menggunakan kata Haji lengkap (atau Haji dengan huruf besar). Sedangkan kalau merujuk pada pengertian yang mendua (bisa Haji lengkap atau umroh) akan digunakan kata ziarah.
Pembaca akan menjumpai beberapa bagian dalam penulisan ini sangat pendek. Memang, argumen-logis untuk pembuktian seharusnya pendek. Akan tetapi ada juga yang panjang. Untuk penjelasan dan proses eliminasi bisa lebih panjang.
Esai singkat dan analisis ini mungkin tidak sesuai dengan persepsi dan praktek masa kini. Oleh sebab itu, saya juga menganjurkan anda untuk tidak menerima ide ini begitu saja, melainkan harus dipikirkan, dianalisa dan dicerna dengan akal cerdas anda. Mari kita memegang dasar yang sama yaitu: tidak ada yang ditaati selain Allah. Yang paling penting bagi kita adalah mengikuti apa yang Allah perintahkan tanpa memperdulikan suka atau tidak suka, sulit atau mudah bagi pelaksanaannya bahkan sekalipun akan menyebabkan kematian. Andaikata itu perintah Allah, kita akan lakukan. Misalnya kita harus tetap bepegang pada pilihan untuk melakukan ritual jumroh (atau ritual apapun) tepat sebelum tengah hari pada tanggal 10 Dzulhijjah yang sangat beresiko bagi keselamatan kita; sekiranya memang Allah memerintahkan kita untuk melakukannya. (Catatan: lontar jumroh di sekitar tengah hari tanggal 10 Dzulhijjah biasanya sangat berdesak-desakan dan sering mencelakakan dan di sepanjang sejarah korbannya cukup banyak). Namun, kita tidak boleh melarang kita untuk melakukannya di sore atau malam jika Allah tidak pernah melarang kita untuk melakukannya.
Banyak kecelakaan fatal terjadi sehubungan dengan ritual jumroh ini di masa lalu:
1990 Lembah Mina 1426 meninggal di Terowongan Al-Mu'aysam
1994 Jembatan Jumroh - 266 meninggal
1997 Jembatan Jumroh - 22 meninggal
1998 Jembatan Jumroh - 118 meninggal
2001 Jembatan Jumroh - 35 meninggal
2004 Jembatan Jumroh - 251 meninggal
2006 Jembatan Jumroh - 345 meninggal
Ada ayat-ayat yang menarik dalam Quran tentang penggunaan akal:
”Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaannya kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya." [Q 10:100]
(Ingatlah) hari ketika Kami memanggil setiap orang berserta dengan imam-imam mereka, barangsiapa yang diberikan buku di tangan kanannya (catatan kebaikan) akan membaca buku catatan perbuatan mereka, dan mereka tidak dianiaya sedikitpun. Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan yang kebenaran. [Q 17:71 - 72].
Intinya bahwa Quran mengarahkan pembaca untuk menggunakan kecerdasan yang diberikan Allah untuk mencari kebenaran dan tidak mengikuti pendapat siapapun bahkan dari seorang imam secara membabi-buta. Jika akal tidak digunakan maka Allah tidak akan membimbing mereka kepada kebenaran.
Wassalam, dan semoga Allah memberikan berkah dan bimbingan Nya kepada kita.
Jakarta 20 Oktober 2010
----------------------------------------ooo------------------------------------------
PENDAHULUAN
Haji saat ini, melibatkan jutaan orang pada saat yang sama dan di tempat yang sama, sehingga menimbulkan banyak tantangan, yaitu tantangan logistik, akomodasi, kesehatan, transportasi, dll. Dan tantangan seperti itu bukan hal baru. Bahkan pada saat Nabi Muhammad s.a.w., yang hanya melibatkan ribuan hanya orang, sudah cukup membuat tantangan yang berat juga.
Haji lengkap terdiri dua set ritual, yaitu ritual umroh dan ritual haji. Ritual umroh terdiri dari tawaf (mengelilingi Ka'bah 7x), sa'i (jogging atau jalan cepat dari bukit Safa ke bukit Marwah yang berjarak sekitar 150 m sebanyak 7x) dan tahalul (memotong rambut) dan menyembelih hewan qurban jika kita ingin istirahat antara ritual haji dan umroh. Umroh dilakukan dalam pakaian ihram (dua lembar kain putih tidak dijahit). Sedangkan ritual haji terdiri dari ritual: berada di Arafah sampai matahari terbenam, menginap semalam di Muzdalifa, tinggal di Mina sekurang-kurangnya selama 2 malam dan lontar jumroh, gunting rambut serta melakukan setelah tawaf ifada. Ritual haji diakhiri dengan tawaf perpisahan (tawaf wada) sebelum meninggalkan Mekkah.
Haji (umroh dengan haji) bisa sangat berat dan menuntut kemampuan fisik. Perjalanan dari negara asal ke Mekkah akan sangat melelahkan. Ritualnya sendiri juga menuntut ketahanan/kemampuan fisik. Perjalanan dari satu tempat ke tempat lain di dalam (bersama dengan) kerumunan orang banyak akan melelahkan. Haji juga bisa membebani secara keuangan bagi sebagian jemaah. Tabungan untuk keluarga yang ditinggalkan dan biaya selama berhaji, bukan jumlah yang kecil, sekalipun dimasa lalu. Oleh sebab itu semua, nampaknya Allah telah merancang Haji (lengkap) yang bisa lebih ringan. Hal ini ditunjukkan oleh Quran dan hadith. Seperti pembolehan bagi jemaah untuk berbisnis selama Haji (lengkap) untuk meringankan beban keuangan mereka, dijelaskan dalam ayat Quran.
Al-Baqarah 198: Tidak dosa bagimu untuk kamu mencari dari karunia Tuhanmu (dengan berniaga selama haji). Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafah, berdzikirlah kepada Allah di Masy'arilharam. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.
Allah juga memberikan keringanan untuk memungkinkan istirahat antara ritual umroh dan ritual haji bagi siapa saja yang mau. Sampai-sampai selama masa istirahat itu jemaah bisa hubungan intim dengan pasangan mereka. Hadith berikut ini menggambarkan hal itu dan di samping itu juga menjelaskan bahwa haji dapat dilakukan sebelumnya umroh.
Hadith Sahih Bukhari Volume 3, Buku 27, Nomor 13:
Diriwayatkan Jabir bin 'Abdullah: Nabi dan para sahabat berniat ihram untuk haji dan kecuali Nabi dan Thalhah tidak ada yang memiliki hadi (hewan qurban).
Ali datang dari Yaman dan ia membawa hadi. Dia (Ali) berkata, "Aku telah berniat ihram dengan niat seperti yang diniatkan Rasullulah." Nabi memerintahkan para sahabatnya untuk berniat ihram untuk umroh: untuk melaksanakan tawaf, (sa’i antara Safa dan Marwa), untuk menggunting rambut dan kemudian menanggalkan ihram. Ada pengecualian bagi mereka yang membawa hadi. Mereka bertanya, "Haruskah kita pergi ke Mina padahal organ-organ pribadi sebagian dari kami masih meneteskan mani (jika kami selesai ihram dan melakukan hubungan seksual dengan istri-istri kami)?" Nabi mendengar itu dan berkata, "Seandainya sebelumnya aku tahu apa yang keketahui sekarang, aku tidak akan membawa Hadi. Jika aku tidak memiliki hadi maka aku akan sudah mengakhiri ihramku."
Aisyah mendapat mens-nya dan melakukan semua upacara (Haji) kecuali tawaf. Jadi ketika ia sudah bersih dari mens, dan dia telah melakukan tawaf di Ka'bah, ia berkata, "O Rasullulah kalian kembali dengan haji dan umroh;! Sedang aku hanya dengan haji! " Lalu, nabi memerintahkan Abdur Rahman bin Abu Bakar untuk pergi dengan Aisyah ke At-Tan'im. Kemudian dia (Aisyah) melakukan umroh setelah ibadah haji di bulan Dzulhijjah.
Suraqa bin Malik bin Ju'sham bertemu nabi di Al-'Aqaba (Jamrat-ul 'Aqaba), ketika nabi sedang melaksanakan lontar jumroh. Ia berkata, "O Rasullulah! Apakah ini dibolehkan hanya untuk Anda?" Nabi menjawab, "Tidak, itu adalah untuk selamanya (yakni dibolehkan bagi semua umat Islam untuk melakukan umroh setelah haji."
Jiwa ritual yang fleksibel lain tercermin pada pembolehan untuk menggantikan ritual-ritual yang tidak dapat dilakukan (untuk alasan apapun) dengan hewan qurban atau dengan puasa. Dalil ini dinyatakan dalam Quran.
Al Baqarah 196: Dan sempurnakanlah ibadah haji dan (wa) umroh sebagai pengabdian kepada Allah. Tetapi jika kamu terhalang/tidak bisa (menyelesaikannya dengan sempurna) sembelihlah qurban yang mudah didapat dan jangan mencukur kepalamu sampai qurban mencapai ditempat penyembelihan.
Dan jika salah satu dari kamu ada yang sakit, atau memiliki penyakit di kepala, maka wajiblah atasnya berfid-yah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berqurban.
Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umroh sebelum haji, (wajiblah ia menyembelih) qurban kalau mampu. Tetapi jika ia tidak memperolehnya (atau tidak mampu) hewan qurban, maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari setelah pulang kembali. Sehingga semuanya sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah).
Semangat fleksibilitas ditunjukkan dalam kasus lain di mana jika pengorbanan hewan akan menjadi beban ekonomi calon jemaah haji, maka sebuah umroh di bulan Ramadhan dapat dilakukan pahalanya setara dengan haji. Hal ini disampaikan oleh nabi dalam sebuah hadith:
Hadith Sahih Bukhari Volume 3, Buku 27, Nomor 10:
Diriwayatkan Ata: Saya mendengar Ibnu Abbas berkata, "Rasul Allah ditanya oleh seorang wanita Ansor (Ibnu Abbas menanyakan nama wanita tersebut, tetapi Ata lupa namanya), “Apa yang membuat kamu tidak dapat berhaji bersama kami?" Dia (wanita itu) menjawab: "Kami memiliki unta yang menjadi tunggangan suamiku serta anakku sedangkan seekor onta lagi digunakan untuk irigasi”. Dia (nabi) lalu berkata (padanya): “Lakukan umroh ketika Ramadhan mendatang, untuk umroh di bulan Ramadhan sama dengan Haji (dalam pahala)”....atau kata-kata yang serupa.
Hadith yang paling jelas menggambarkan fleksibilitas dalam melaksanakan haji adalah hadith-hadith selama episode Haji rasullulah satu-satunya. Hadith ini diriwayatkan oleh banyak orang. Salah satunya adalah:
Hadith Sahih Bukhari Volume 1, Buku 3, Nomor 83:
Diriwayatkan oleh Abdullah bin Amru bin Al Aas: Rasul Allah berhenti (untuk sementara dekat Jimar) di Mina dimasa menjalankan haji wada untuk memenuhi kepentingan beberapa orang dan mereka ini bertanya kepadanya. Seorang pria datang dan berkata, "Aku lupa dan telah mencukur kepalaku sebelum menyembelih Hadi (hewan qurban)." Nabi berkata, "Tidak apa-apa, pergilah dan melakukan pemotongan sekarang." Kemudian orang lain datang dan berkata, "Aku lupa dan menyembelih (unta) sebelum Rami (melempar kerikil) Jumroh." Nabi berkata, "Lakukan Rami sekarang, ada salahnya."
Perawi hadith itu juga menambahkan: Pada hari itu, ketika Nabi ditanya tentang apa saja (dalam hal upacara Haji) yang dilakukan sebelum atau sesudah ini dan itu, jawabannya adalah: "Tidak apa-apa, boleh-boleh, dan tidak ada salahnya."
Sebuah pernyataan menarik dari perawi hadith itu adalah:
Pada hari itu, ketika Nabi ditanya tentang apa saja (dalam hal upacara Haji lengkap) yang dilakukan sebelum atau sesudah ini dan itu, jawabannya adalah: "Tidak apa-apa, boleh-boleh, dan tidak ada salahnya."
Pernyataan ini menunjukkan betapa fleksibelnya tata cara berhaji.
Ada juga beberapa hadith lain yang menunjukkan beberapa fleksibilitas dalam hal melakukan Haji (lengkap) yaitu antara pelaksanaan ritual hajinya yang berbeda tahun dengan pelaksanaan ritual umrohnya. HaI menunjukkan betapa fleksibel pelaksanaan Haji (lengkap) dalam hal pelaksanaan waktunya.
Hadith Sahih Bukhari Volume 3, Buku 28, Nomor 37:
Diriwayatkan Salim: (Abdullah) bin Umar biasa mengatakan, "Bukankah contoh Rasullulah sudah cukup bagi anda. Jika salah seorang dari kamu berhalangan ubtuk melakukan haji, maka ia harus melakukan tawaf di Ka'bah, dan sa’i antara As-Safa dan Al-Marwa dan kemudian menyelesaikan ihram (umroh). Dan setelah itu semuanya akan menjadi sah baginya untuk melakukan hal-hal yang dilarang baginya (selama keadaan ihram). Dan ia dapat melakukan haji di tahun berikutnya dan dia harus menyembelih seekor hadi (qurban) atau puasa kalau ia tidak mampu berqurban. "
Secara umum, semangat fleksibilitas untuk mengurangi beban fisik dan ekonomis dalam pelaksanaan Haji (lengkap) mencakup seluruh ritual haji. Setidaknya fleksibilitas ini ditunjukkan dalam banyak aspek ritualnya.
Saat ini yang paling umum urutan ritual yang diadopsi oleh jemaah haji adalah Haji (lengkap) tammatu. Dimulai dengan umroh saat jemaah haji tiba di Mekkah. Dengan ihram (2 helai kain putih tanpa jahitan) mereka melakukan tawaf, sa'i dan tahalul. Setelah itu jemaah beristirahat dan menunggu masa untuk pelaksanaan ritual haji yang dimulai pada tanggal 8 Dzulhijjah. Melakukan umroh tidak akan terlalu stres jika dilakukan sejak dini ketika tidak banyak jemaah yang datang. Tetapi semakin mendekati tanggal 8 Dzulhijjah, stres semakin meningkat.
Ritual haji saat ini punya jadwal tetap:
8 Dzulhijjah, pergi ke Mina dan bermalam di Mina
9 Dzulhijjah, pagi pergi ke Arafah dan tinggal sampai matahari terbenam. Kemudian bermalam di Muzdalifah.
10 Dzulhijjah, di pagi hari pergi ke Mina dan melakukan lontar jumroh (aqaba), dan menggunting rambut, diikuti dengan tawaf ifada di Mekkah. Kemudian kembali untuk bermalam di Mina.
11 Dzulhijjah, melakukan 2 lontar jumroh (Ula & Wustha). Setelah itu kembali ke Mekkah untuk melakukan tawaf wada.
Seiring dengan jumlah jamaah haji meningkat dari tahun ke tahun, tekanan yang dialami jemaah, panitia penyenggara dan sistem penunjangnya juga ikut meningkat. Banyak fasilitas fisik telah dibangun untuk mengurangi tekanan ini. Daerah tawaf di Masjid al Haram telah diperbesar menjadi bertingkat beberapa lantai untuk mengakomodasi jemaah yang terus bertambah banyak. Daerah untuk pelaksanaan jumroh telah diatur dengan jembatan bertingkat dan didesain untuk menghindari benturan/tabrakan massal dan kepanikan massa. Kemudian Mina juga diperlebar sampai ke Muzdalifa. Daerah ini disebut Mina Jadid (Mina Baru).
Catatan: Tentang Mina Jadid ini, mulai banyak jemaah haji yang menanyakan keabsahan mabit (bermalam) di Mina. Karena yang sesungguhnya, Mina Jadid adalah Muzdalifa, bukan Mina.
Saat ini, selama puncak masa pelaksanaan haji, bertawaf di tingkat teratas atau cincin terluar jalur tawaf akan memakan waktu sekitar 3 sampai 4 jam. Sedangkan selama masa bukan-haji hanya memerlukan 10-15 menit untuk bertawaf karena bisa dilakukan di dekat Ka’bah. Dari semua kenyataan, pengalaman dan fakta sejarah, bagi orang-orang yang punya rasa ingin tahu tinggi akan bertanya: "Apakah ritual haji yang seperti ini benar-benar ritual yang diminta Allah? Apa yang akan terjadi ketika jumlah jemaah meningkat sebesar 10 kali lipat, yang mungkin terjadi dalam waktu dekat? Bisakah kita terus memperluas area tawaf, daerah Jumroh, Mina, Arafah, dll?
Melakukan haji dalam banyak aspek tidak lagi mudah, dan sangat menuntut kemampuan fisik. Semangat fleksibilitas yang dinyatakan di dalam al-Quran dan dicontohkan nabi tampaknya telah kehilangan tujuan awalnya yaitu untuk memudahkan para jemaah untuk melakukan ritual. Banyak kecelakaan dengan hilangnya nyawa manusia telah terjadi dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, yaitu:
1990 Lembah Mina 1426 meninggal di Terowongan Al-Mu'aysam,
1994 Jembatan Jumroh - 266 meninggal
1997 Jembatan Jumroh - 22 meninggal
1998 Jembatan Jumroh - 118 meninggal
2001 Jembatan Jumroh - 35 meninggal
2004 Jembatan Jumroh - 251 meninggal
2006 Jembatan Jumroh - 345 meninggal
Akal sehat akan curiga dan bertanya apakah ada sesuatu yang hilang dari pesan yang ada pada hadith-hadith tentang semangat untuk membuat haji yang aman dan mudah/ringan. Fakta bahwa nabi Muhammad (s.a.w.) melakukan ibadah Haji (lengkap) hanya sekali dalam masa hidupnya, akan mempertanyakan validitas dalil yang mengatakan bahwa haji hanya boleh dilakukan dari 8 sampai 11 Dzulhijjah saja. Kasus Haji tidak sama dengan ritual lain, dimana nabi Muhammad s.a.w. melakukannya berkali-kali. Seperti puasa tahunan (saum), nabi Muhammad s.a.w melakukannya setiap Ramadhan selama masa kenabiannya. Jadi keputusan atas pelaksanaan puasa itu mudah, yaitu setiap Ramadhan. Sedangkan untuk Haji (lengkap), kasus ini sama sekali berbeda.
1. DALIL YANG KUAT UNTUK BEBERAPA-BULAN HAJIAda satu ayat dalam Quran yang memberikan suatu argumen yang cukup (sufficient argument) untuk rentang waktu yang beberapa bulan bagi pelaksanaan haji, yaitu:
Al-Baqarah 197:
(Musim) haji adalah beberapa bulan (asyhurun) yang ditetapkan, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh mengeluarkan kata yang tidak senonoh, berbuat fasik dan berbantah bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.
Ayat ini sangat jelas dan tanpa ada keragu-raguan lagi bahwa periode untuk melaksanakan ibadah haji adalah beberapa bulan. Kata “
beberapa bulan” secara jelas disebutkan dalam bentuk jamak. Ayat ini memberikan suatu kondisi yang cukup untuk masa pelaksanaan haji yang beberapa-bulan dan bukan hanya untuk satu minggu. Kondisi cukup (sufficient argument) ini adalah dalil yang tingkatannya tertinggi dan tidak terbantahkan lagi.
Pertanyaan berikutnya adalah: "Apa itu bulan?"
Pertanyaan ini akan dijawab di bagian 4.
2. TANGGAL MEMULAI HAJI
Al-Baqarah 189: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan baru (hilal). Katakanlah: bulan sabit/baru adalah tanda tanda-tanda waktu bagi manusia (untuk penanggalan) dan waktu untuk berhaji. Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.
Quran menyatakan tanpa ada lagi keraguan bahwa untuk ritual haji, dimulai pada saat munculnya hilal (bulan sabit) yaitu tanggal 1 sistem kalender bulan (komariah atau lunar calendar) di Mekkah. Ini adalah kondisi yang cukup untuk menentukan tanggal 1 itu adalah awal untuk haji. Untuk masalah bulannya, kita akan dibahas dalam bagian berikutnya.
3. DALIL YANG KUAT UNTUK EMPAT BULAN HARAM
Bulan Suci atau bulan Haram yang disebutkan dalam Quran adalah 'asyhurul hurum. Kata Arab untuk suci (haram) adalah hurum, yang berkaitan dengan kata ihram (kain putih tak berjahit yang dipakai selama haji dan umroh) dan haram (dilarang). Pada bulan-bulan suci ini sudah menjadi tradisi bangsa Arab di masa jahiliah lalu, untuk menghentikan perang antar suku. Karena dalam bulan-bulan ini orang Arab pergi ke Mekkah untuk berhaji. Jadi masuk akal untuk mengartikan bahwa bulan-bulan yang ditentukan (ma'lumat ‘asyhuruu) disebutkan dalam Al-Baqarah 197 adalah identik dengan bulan-bulan suci/terlarang ('asyhurul hurum) yang dinyatakan dalam pada Taubah di bawah ini. Hal ini dapat dipahami bahwa selama bulan suci/haram/terlarang banyak orang yang memakai ihram. Kata ihram dan kata hurum mempunyai akar yang sama.
Dalam surah di Taubah disebutkan ada empat (4) bulan suci/haram/terlarang, dua di antaranya harus Dzulqaidah dan Dzulhijjah. Karena Dzulqaidah adalah bulan ketika nabi s.a.w. gagal untuk menunaikan ibadah haji dan berakhir dengan ditanda-tangani perjanjian Hudaibiyah antara kaum muslimin dan kaum kafir Quraisy. Dan Dzulhijjah adalah bulan dimana nabi melaksanakan haji satu-satunya yang pernah dilakukannya secara lengkap yaitu haji yang disebut haji wada. Selain Dzulqaidah dan Dzulhijjah, masih ada lagi bulan Haram itu, yakni: Rajab dan Muharram yang disebutkan dalam hadith.
Berikut adalah ayat-ayat al-Quran mengenai bulan suci (bulan Haram):
At Taubah 1: (Inilah pernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya kepada orang-orang musyrikin dimana kamu (kaum muslimin) telah mengadakan perjanjian (dengan mereka).
At Taubah 2: Maka pergilah kamu (kaum musyrikin) di muka bumi selama empat bulan dan ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat melemahkan Allah, dan sesungguhnya Allah menghinakan orang-orang kafir.
At Taubah 3: Dan (inilah) suatu pengumuman dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar bahwa sesungguhnya Allah dan RasulNya berlepas diri, tidak ada sangkut-pautnya lagi dari orang-orang musyrikin. Kemudian jika kamu (kaum musyrikin) bertobat, maka bertaubat itu lebih baik bagimu ; dan jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu tidak dapat melemahkan Allah. Dan beritakanlah kepada orang-orang kafir (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.
At Taubah 4: kecuali orang-orang musyrikin yang mana kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian itu) dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa.
At Taubah 5: Tetapi ketika bulan-bulan terlarang (bulan Haram, asyhuru alhurumu) telah lewat, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka berilah jalan dan kebebasan kepada mereka untuk berlalu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi maha Penyayang.
At Taubah 36: Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.
Menurut sahih Bukhari Volume 4, Buku 54, Nomor 419, Nabi Muhammad s.a.w. mengatakan bahwa empat bulan suci (Haram) adalah Dzulqaidah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab.
Hadith Sahih Bukhari Volume 4, Buku 54, Nomor 419:
Diriwayatkan Abu Bakar: Nabi mengatakan. "Masa telah berputar seperti bentuk aslinya dimasa ketika Allah menciptakan langit dan Bumi. Setahun ada dua belas bulan, empat diantaranya adalah bulan suci: Tiga bulan diantaranya saling berurutan yaitu Dzulqaidah, Dzulhijjah dan Muharram. Dan berikutnya (yang keempat) adalah Rajab dari (suku) Mudar yang yang diapit oleh bulan Jumadil Akhir dan bulan Sha’ban.
Ada banyak riwayat yang serupa dengan hadith ini dan kesemuanya memperkuat hadith ini. Dengan demikian hadith ini merupakan argumen yang cukup untuk mengatakan bahwa Dzulqaidah, Dzulhijjah Muharram, dan Rajab sebagai empat bulan Haram sebagaimana dimaksud dalam Quran surah at-Taubah 2 dan 36.
Menurut sahih Bukhari dan banyak lainnya, Nabi Muhammad s.a.w. hanya melakukan umroh di bulan Dzulqaidah dan Dzulhijjah dan tidak pernah di bulan Rajab atau Muharram.
Hadith Sahih Bukhari Volume 3, Buku 27, Nomor 6:
Diriwayatkan Qatada: Aku bertanya kepada Anas mengenai berapa kali kah Nabi telah melakukan umroh. Dia menjawab, "Empat kali 1. umroh semasa Hudaibiya di bulan Dzulqaidah ketika orang-orang kafir menghambat/menghalangi beliau; 2. umroh pada tahun berikutnya di bulan Dzulqaidah setelah perjanjian damai dengan mereka (orang kafir); 3. umroh dari Al-Jr'rana mana beliau membagikan harta rampasan perang." Saya pikir yang dia maksudkan adalah rampasan (perang) Hunain. Saya bertanya lagi, "Berapa kali dia melakukan haji?" Dia (Anas) menjawab, "Sekali."
Hadith Sahih Bukhari Volume 3, Buku 27, Nomor 8:
Diriwayatkan Hammam: Nabi dilakukan empat umroh di bulan Dzulqaidah kecuali satu umroh yang dilakukan pada semasa hajinya (pen: bulan Dzulhijjah). Yaitu umroh semasa Hudaibiya; dan satu tahun berikutnya, dan satu dari Al- Jr'rana mana beliau membagikan rampasan (perang) Hunain, serta satu lagi umroh semasa hajinya.
Hadith Sahih Bukhari Volume 5, Buku 59, Nomor 555:
Diriwayatkan Mujahid: Urwa dan saya masuk ke dalam mesjid dan menjumpai Abdullah bin Umar duduk di samping tempat tinggal Aisyah. Urwa tanya (kepada Ibnu Umar): "Berapa banyak Umroh yang dilakukan Nabi?" Ibnu Umar menjawab: "Empat, salah satunya adalah di bulan Rajab." Lalu kami mendengar suara Aisyah sedang menggosok giginya. Lalu Urwa berkata, "Wahai ummu muslimin, apakah kau tidak mendengar apa yang dikatakan Abu Abdur-Rahman? Dia mengatakan bahwa Nabi dilakukan umroh empat kali, salah satunya di bulan Rajab." Aisyah menjawab: "Nabi tidak pernah melakukan umroh selain yang pernah disaksikan nya (Ibnu Umar). Dan dia (Nabi) tidak pernah melakukan umroh di bulan Rajab."
Meskipun Nabi tidak pernah dilakukan umroh pada Muharram dan Rajab, yang merupakan bulan Haram dimana perang dilarang, kedua bulan ini harus merupakan bulan haji. Tidak ada alasan bagi kaum kafir Arab (dan juga Muslim) untuk dilarang berperang selama bulan-bulan ini kecuali karena semata-mata untuk melaksanakan haji.
Petunjuk lain adalah berkaitan dengan posisi Rajab yang terisolasi dari bulan-bulan Haram lainnya. Bulan Haram lainnya saling berurutan seperti Dzulqaidah, Dzulhijjah dan Muharram. Sedangkan Rajab dipisahkan dari Dzulqaidah, Dzulhijjah dan Muharram oleh bulan Sya'ban, Ramadhan dan Syawal. Urutan bulan-bulan ini adalah: Rajab, Sya’ban, Ramadhan, Syawal, Dzulqaidah, Dzulhijjah dan Muharram. Hadith ini tidak boleh ditafsirkan bahwa umroh (dan haji) tidak dapat dilakukan pada bulan Rajab, hanya karena Nabi tidak pernah melakukannya. Melainkan bahwa hadith ini harus dipahami sebagai Urwa sedang mencari konfirmasi apakah Nabi (s.a.w) melakukan haji di bulan Rajab karena Rajab adalah salah satu bulan Haram. Urwa tidak mungkin tidak mengajukan pertanyaan ini jika Rajab diketahuinya bukan sebagai bulan haji. Fakta bahwa dia bertanya, berarti dalam pemahamannya, bulan Rajab adalah bulan untuk berhaji dan ber-umroh. Kalau tidak, tentunya dia tidak akan mempertanyakan masalah ini.
(Bersambung.... Insya Allah)