___________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Doa pagi dan sore

Ya Allah......, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari bingung dan sedih. Aku berlindung kepada Engkau dari lemah dan malas. Aku berlindung kepada Engkau dari pengecut dan kikir. Dan aku berlindung kepada Engkau dari tekanan hutang, pajak, pembuat UU pajak dan kesewenang-wenangan manusia.

Ya Allah......ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim dan para penarik pajak serta pembuat UU pajak selain kebinasaan".

Amiiiiin
_______________________________________________________________________________________________________________________________________________

Friday, August 20, 2010

Masa Orde Lama - Jaman Revolusi Berkepanjangan

Pada bagian ini kita akan menyinggung topik yang kontroversial karena melibatkan sosok Bung Karno. Bung Karno banyak pemujanya. Dan sekiranya anda adalah salah satu pemujanya yang fanatik dan tidak punya toleransi sama sekali. Sebaiknya anda tidak usah membaca bagian ini. Mungkin anda akan tersinggung.

Pada jaman imperium Romawi dikenal istilah bread and circus, (panem et circenses), roti dan sirkus. Politikus pada dasarnya manusia yang menyukai kekuasaan dan harta serta menjadikan kariernya sebagai pengejar kekuasaan dan harta. Politikus untuk bisa meraih dan mempertahankan posisinya akan memberi massa pendukungnya makanan dan sirkus pertunjukkan di panggung politik. Dan sirkus adalah keahlian Sukarno. Kalau pada saat ini anda bisa mendengarkan pidato-pidato Sukarno melalui Youtube. Saya sarankan anda untuk mendengarkannya dan menilai kepiawaian Sukarno dalam memukau para pendengarnya. Ibarat seorang penjual, Sukarno mempunyai kepiawaian menjual kulkas kepada orang eskimo, atau menjual tahi ayam seharga coklat. Ini adalah pujian dari saya. Bukan suatu hinaan.

Tonggak sejarah Orde Lama dimulai dari Dekrit 5 Juli 1959. Pada masa ini secara defacto Sukarno menjadi penguasa tunggal. Campur-tangan pemerintah terhadap ekonomi semakin merajalela. Seperti yang telah dibahas pada bab sebelumnya, bahwa campur tangan pemerintah hanya akan memperparah ekonomi. Selama periode ini pertumbuhan ekonomi menjadi negatif. Inflasi tinggi dan akhirnya rejim Sukarno ditumbangkan.

Pernahkan anda bertanya kenapa di dalam buku-buku sejarah periode 1959 – 1966 disebut jaman Orde Lama? Seandainya Sukarno diberi kesempatan memberi nama periode sejarah antara tahun 1959 – 1966 ini, mungkin dia akan menamakannya jaman Kembali ke Semangat 45, atau jaman Revolusi Berdikari, atau nama lainnya yang megah. Tetapi di dalam buku sejarah resmi, nama Orde Lama melekat untuk pemerintahan periode 1959 – 1966 ini.

Kata Orde Lama terdengar berkonotasi sangat negatif. Sebabnya karena nama ini diberikan oleh rejim sesudahnya, rejim Suharto, yang patut diduga berusaha mengoleskan citra buruk kepada pendahulunya. Dan untuk periodenya sendiri, Suharto menyebut Orde Baru, suatu pemilihan kata yang berkonotasi positif dan kontras dengan Orde Lama yang digantikannya. Cara pencitraan seperti ini sama halnya dengan menyebut jaman penjajahan Belanda untuk jaman pemerintahan Hindia Belanda. Pada hakekatnya massa berpikir sederhana. Ketika mendengar nama yang berkonotasi negatif yang dikontraskan dengan yang positif, maka penyandang nama itu identik dengan jahat dan buruk. Jadi ketika orang mendengar kata Orde Lama atau penjajah Belanda, maka persepsinya mengenai rejim Orde Lama dan pemerintahan penjajah Belanda adalah jahat dan buruk. Padahal kalau dilihat dari data-data, belum tentu mereka ini seburuk namanya.

Awal jaman Orde Lama dimulai dengan kekisruhan politik dan ekonomi di penghujung dekade 1959an. Buku sejarah yang resmi akan mengatakan bahwa ada kegagalan Konstituante membentuk undang-undang dasar. Hal inilah yang memberi dalih kepada presiden Sukarno untuk memperkuat posisinya menjadi penguasa tunggal. Dikeluarkanlah Dekrit 5 Juli 1959 yang isinya pembubaran parlemen hasil pemilihan umum yang demokratis yang bernama Kostituante itu, dan akan diikuti dengan pembentukan lembaga legislatif sementara (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara - MPRS dan Dewan Perwakilan Rakyat Sementara – DPRS atau DPR Gotong Royong) tanpa proses yang demokratis.

Dekrit 5 Juli ini essensinya adalah pengambil alihan kekuasaan parlemen oleh Sukarno dan menggantikannya dengan parlemen yang diharapkan bisa dikontrolnya. Seandainya ada niat, Sukarno bisa membiarkan parlemen yang masih ada dan melakukan pemilihan umum untuk membentuk palemen baru. Tetapi niatnya memang bukan itu. Niat sesungguhnya hanya dia yang tahu. Akan tetapi yang bisa kita lihat adalah tindakan selanjutnya Arah dan sasaran tertuju kepada pemerintahan otoriter dengan penguasa tertingginya adalah presiden. Sistem negara berubah, tetapi namanya masih menggunakan kata demokrasi, yaitu demokrasi terpimpin. Kendatipun tidak ada yang dipilih langsung oleh rakyat, apakah itu presidennya ataupun perwakilan rakyatnya (MPRS dan DPRGR), sistem ini disebut demokrasi .........terpimpin. Semuanya harus terpimpin oleh Panglima Tertinggi ABRI, mandataris MPRS, presiden, pemimpin besar revolusi.

Dekrit 5 Juli 1959 ini diikuti dengan tindakan-tindakan drastis dibidang ekonomi oleh Sukarno. Kata demokrasi terpimpin menjadi populer. Ekonomipun harus berlandaskan demokrasi terpimpin. Ketika sistem BE dihapus pada bulan Agustus 1959, beberapa poin penting dijabarkan di dalam Penjelasan Peraturan Pemenerintah Pengganti Undang-Undang no. 4 1959, tentang warna ketidak-bijaksanaan ekonomi.

Secara prinsipil sistim tersebut, dimana nilai mata uang rupiah terhadap mata
uang asing ditetapkan oleh imbangan penawaran dan permintaan B.E., walaupun
misalnya perkembangannya tidak diganggu oleh berbagai macam spekulasi dan
gerak-geriknya perdagangan abnormal, sesungguhnya tidak sesuai dengan alam pikiran ekonomi terpimpin, dimana Pemerintah mengambil peranan yang lebih aktip dan lebih menentukan...............

......... Untuk beberapa jenis barang ekspor memang terdapat disparitet antara harga dalam negeri dan penerimaan dalam rupiah sebagai hasil ekspor, walaupun sebagian dari perbedaan ini disebabkan pula oleh faktor spekulasi, dan bukan oleh tingkat harga upah dan bahan keperluan untuk memprodusir barang ekspor itu.


Kata kunci yang perlu diingat adalah “Pemerintah mengambil peranan yang lebih aktif dan lebih menentukan” yang mana akan menjadi ciri dari periode Orde Lama ini. Dan kita tahu dari bab sebelumnya bahwa semakin banyak campur tangan pemerintah maka akan semakin sulit ekonomi bergerak untuk maju. Jadi bisa dipastikan bahwa sepanjang pemerintahan Sukarno ekonomi akan terhambat.

Selanjutnya setelah Dekrit 5 Juli, dengan cepat Sukarno bergerak ke bidang ekonomi. Pada tanggal 24 - 25 Agustus 1959 beberapa peraturan pemerintah penggati undang-undang dikeluarkan. Isinya tentang:

-Pembubaran Bukti Ekspor (Undang-Undang no. 4 Prp, tahun 1959).
-Sanering uang pecahan Rp 500 dan Rp 1000, masing-masing menjadi Rp 50 dan Rp 100 (Undang-Undang (UU) No. 2 Prp. tahun 1959)
-Pembekuan simpanan giro dan deposito sebesar 90% dari jumlah di atas Rp 25.000 dan digantikan dengan surat hutang (Undang-Undang (UU) No. 3 Prp. tahun 1959) --Rupiah didevaluasi dari Rp 11,40 menjadi Rp 45 per dollar Amerika (Peraturan Pemerintah Nomor 43, tahun 1959).

Orang waras yang naif pasti tidak habis pikir apa yang melandasi keputusan pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 3 Prp. tahun 1959. Tindakan pemerintah membekukan 90% semua rekening giro dan deposito di atas Rp 25.000 adalah absurd menurut pandangan setiap orang pada jaman sekarang. Nilai Rp 25.000 pada jaman itu kira-kira 492 gram emas, kalau mengikuti nilai tukar resmi Rp 45 per dollar dan $35 per oz emas. Nilai 492 gram emas tidaklah tinggi sebagai ambang batas tabungan yang terkena penyitaan ini. Saya tidak bisa membayangkan kalau hal ini dikenakan juga kepada perusahaan. Operasinya bisa mandeg, karena kurangan dana. Apa yang terjadi saat itu, sangat menarik untuk diteliti.

Hal kedua yang tidak sukar dicerna, kenapa rakyat tidak ada yang protes dan melakukan demostrasi ketika rekening giro dan depositonya dibekukan. Hal ini tidak pernah dijumpai dalam catatan sejarah. Apakah ini karena kelihaian Sukarno mempengaruhi massa? Atau tidak banyak orang punya rekening giro dan deposito sehingga suaranya tidak terdengar. Mempunyai rekening bank baru membudaya setelah tahun 1970an. Jadi ada kemungkinan hanya kalangan terbatas saja yang mempunyai rekening giro dan deposito. Dan mereka ini menjadi golongan yang teraniaya.

Terlepas dari kerelaan masyarakat pada waktu itu, ini adalah contoh bahwa pemerintah, pemimpin yang anda kagumi mampu berbuat yang sewenang-wenang, terutama kepada minoritas. Mohammad Hatta memulainya dengan menganjurkan kepada rakyat Indonesia untuk megunakan rupiah (tanggal 30 Oktober 1946) di RRI – Radio Republik Indonesia. Dan 13 tahun kemudian, Sukarno, partnernya, memenggal mereka yang punya tabungan rupiah. Uang yang dibekukan itu di tahun 1959 itu, 8 tahun kemudian menjadi tidak berarti karena dimakan oleh inflasi yang menggila (hiper-inflasi 1966 – 1967). Alangkah besarnya pahlawan-pahlawan ini. Ini suatu pelajaran yang harus kita ingat. Pemerintah kalau bisa mengambil hasil keringat anda dengan kerelaan anda. Kalau tidak bisa, maka jalan lain akan dicari. Sejarah akan terus berulang.

Kembali ke masalah sirkus. Sukarno sangat imajinatif dalam melahirkan ide-ide politik, ekonomi dan budaya. Dengan karismanya, ia mampu mempengaruhi massa, individual termasuk juga wanita. Sampai saat ini banyak orang mengagumi Sukarno karena ide-ide politiknya. Programnya dikenal dengan nama Trisakti yaitu: Berdaulat di bidang Politik, Berdikari di bidang Ekonomi, Berkepribadian di bidang Budaya. Beberapa lain yang sangat terkenal adalah Pancasila, Marhaenisme, Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis), Manipol- USDEK (Manipol = Manifesto Politik; USDEK = UUD 44, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia). Setiap peringatan kemerdekaan Sukarno (hampir) selalu mengeluarkan satu akronim baru. Jarek (Jalan Revolusi Kita), Tavip (Tahun Vivere Pericoloso = Tahun menyerempet-nyerempet bahaya), Jas Merah (Jangan Lupakan Sejarah), Resopim (Revolusi, Sosialisme dan Pimpinan), Gesuri (Genta Suara Revolusi Indonesia), Ganefo, Conefo, dan lain sebagainya. Semuanya bertema sama, yaitu condong pada sosialisme dan kontrol yang terpusat.

Diantara semua ide-idenya, yang bisa berlanjut adalah Pancasila, sebabnya karena dicantumkan di undang-undang dasar. Mengenai Pancasila, masih banyak orang tahu, karena ide ini dijadikan landasan ideologi negara Indonesia. Bahkan di jaman Orde Baru Suharto, Pancasila dijadikan satu-satunya ideologi di Indonesia. Dan semua pegawai negri serta pegawai perusahaan-perusahaan yang ada kaitannya dengan pemerintah diwajibkan mengikuti penataran P4 (Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila).

Pancasila yang terdiri dari lima baris kalimat tak lengkap, tidak mempunyai makna apa-apa kalau tidak ditafsirkan. Kalimat yang lengkap saja masih bisa ditafsirkan berbeda-beda, apalagi yang tidak lengkap. Ambillah contoh sila pertama, ketuhanan yang maha esa. Apakah kata maha esa berarti “besar” dan “tunggal” (maha = besar, esa = tunggal) atau “sangat tunggal”. Pengertian “sangat tunggal” tentunya tidak mungkin, karena kata tunggal atau satu, 1, tidak mempunyai sifat gradasi. Dengan kata lain 1,0028 bukanlah satu. Demikian juga 0,99986. Padahal pengertian inilah yang dimengerti banyak orang. Jangan heran kalau berbagai konsep ketuhanan yang saling berbeda (bertolak belakang) bisa mengaku sejalan dengan Pancasila.

Sukarno dan Marhaenisme adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Menurut cerita Sukarno tahun 1926 - 1927 pernah bertemu dengan petani di Cigareleng yang bernama pak Marhaen yang mewakili sosok petani rata-rata Indonesia. Mereka ini walaupun memiliki tanah sendiri, yang dikerjakan sendiri dengan memakai alat-alat produksi milik sendiri, namun tetap saja miskin. Menurut intepretasi sejarawan dan ahli politik bahwa Soekarno berpendapat kaum marhaen ini secara sistemik dan struktural telah dimelaratkan oleh sistem kapitalisme, imperialisme, kolonialisme dan feodalisme. Kemungkinan intepretasi sejarawan dan ahli politik seperti ini salah besar. Teladan yang diberikan oleh Sukarno adalah punya istri 4 dalam suatu masa dan salah satu diantaranya adalah wanita asing yang sangat cantik. Sukarno beberapa kali kawin-cerai, dan seringnya punya istri 4 orang. Salah satu istrinya yang bernama Indonesia Ratna Sari Dewi, wanita belia cantik berasal dari Jepang yang dikenalnya pertama kali di sebuah klub malam mewah Akasaka’s Copacabana. Ketika dinikahi tahun 1962, Dewi berumur kurang lebih umur 22 tahun. Kecantikan Ratna Sari Dewi sedemikian hebatnya terbukti pada umur 53 tahun, dia membuat buku yang laku keras, berjudul Madam Syuga (1993), yang isinya adalah foto-foto artistik semi bugil. Pada umur 53 tahun dia masih bisa menjadi model semi-bugil, kalau bukan karena kecantikannya, maka tidak akan pernah bisa terwujud.

Tidak hanya itu, Sukarno sebagai bapak marhaenisme juga mampu menaklukkan hati seorang gadis kelas II SMA yang masih berumur 17an tahun. Namanya Yurike Sanger yang kemudian menjadi istrinya tahun 1964 ketika Sukarno berumur 63 tahun.

Kalau seandainya pak Marhaen mempunyai cita-cita untuk beristri 4 dan salah satunya adalah wanita asing yang cantik dan gadis remaja, maka dia akan terpicu untuk berusaha yang lebih keras lagi di dalam hidupnya. Seorang wanita asing cantik dari negara maju dan gadis remaja tidak akan mau dengan petani setengah baya yang hidupnya pas-pasan. Mungkin, itulah yang dimaksud oleh teladan yang diberikan oleh Sukarno. Jadilah orang kaya. Atau itu hanya sarkasme saya.

Dalam usaha menyediakan roti, sekaligus bermain sirkus, Sukarno menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda. Dan kemudian pembentukan Land-reform 1960 yang membatasi kepemilikan tanah pertanian 5 sampai 20 hektar saja. Yang 20 hektar adalah untuk tanah kering di daerah yang jarang penduduk dan yang 5 hektar adalah untuk tanah sawah di daerah padat penduduk seperti Jawa. Ini adalah cermin dari visi Sukarno yang katanya kerakyatan, sosialis dan kontrol terpusat. Disini Sukarno agak berkontradiksi dengan dirinya sendiri. Dengan sawah yang dibatasi hanya 5 hektar, mana bisa seorang petani Marhaen menjadi kaya, sehingga bisa menarik perhatian seorang wanita Jepang yang cantik seperti Ratna Sari Dewi? Dengan hasil panen dari 5 hektar ladang, akan sulit bagi pak Marhaen untuk mencicil traktor dan peralatan pertanian moderen kecuali kalau yang ditanamnya adalah tanaman eksotik dan mahal seperti ganja atau candu. Dengan kata lain, pak Marhaen tetap tidak bisa kaya kalau dia tidak mau menjadi kriminal, karena ruh sosialisme mencegah orang untuk makmur dan kaya.

Nasionalisasi adalah suatu langkah yang salah dan Berdikari membawa kesengsaraan. Massa mempunyai cara berpikir yang sederhana. Kapitalis dan imperialis dicitrakan jahat maka jahatlah inperialis dan pemerintah dicitrakan baik, maka baiklah ia. Kalau sektor-sektor penting dinasionalisasi, maka kemakmuran dan kesejahteraan rakyat akan meningkat. Teorinya seperti itu. Sayangnya realita tidak sesederhana itu. Menjalankan sebuah perusahaan mudah, tetapi untuk membuatnya hidup, memerlukan keterampilan. Banyak dari perusahaan-perusahaan yang dinasionalisasi akhirnya menciut terus dengan berjalannya waktu pamornya meredup. Ada yang cepat meredupnya dan ada yang lambat serta ada pula yang hidup terus. Perkebunan pala dan cengkeh, nampaknya pamornya sudah hilang. Sedang perkebunan teh, sawit dan karet, masih berkibar, walaupun lahannya sudah berubah fungsi menjadi perumahan seperti Pondok Indah, Cibubur dan Bumi Serpong Damai, di sekitar Jakarta.

Seperti kereta api, perusahaan dari sektor yang berkembang pesat dimasa jaman Normal, jaringannya mencapai Jawa Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Perusahaan kereta api yang dinasionalisaasi semakin lama semakin menciut jumlah lokomotifnya dari 1.314 (di tahun 1939) menjadi 530 (tahun 2000) dan jaringan relnya dari 6.811 km (tahun 1939) menjadi 4030 km (tahun 2000). Asetnya tercecer. Permasalahan ini terus berlanjut terus. Tahun 2008, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) melaporkan banyak asset-asset perusahaan kereta api yang dikuasai secara pribadi oleh petinggi-petinggi perusahaan. Entah bagaimana nasib asset-asset yang jaringannya dimatikan, termasuk stasiun-stasiun kecilnya, relnya, tanahnya.

Setelah sekian lama, menurut cerita, tahun 2007 perusahaan-perusahaan hasil nasionalisasi atau hasil bentukan kerja-sama Indonesia-Belanda yang kemudian dijadikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mau ditutup jika masih merugi tahun 2009. Dan berikut ini kutipan berita itu:

Kantor Kementerian Negara BUMN memperketat pengawasan atas implementasi lima strategi kebijakan untuk memperbaiki kinerja delapan badan usaha milik negara
(BUMN) sektor manufaktur yang masih rugi. Ditargetkan pada 2009 BUMN yang bermasalah tersebut mampu menghasilkan laba.

Berdasarkan data Kantor Kementerian Negara BUMN, delapan BUMN manufaktur yang masih rugi pada tahun buku 2006 adalah PT Kertas Leces, PT Krakatau Steel, PT PAL Indonesia, PT Iglas, PT Dok & Perkapalan Kodja Bahari, PT Industri Sandang Nusantara, PT Boma Bisma Indra dan PT Inka.

Menteri Negara BUMN Sugiharto menjelaskan strategi kebijakan yang akan ditempuh untuk meningkatkan kinerja BUMN sektor manufaktur adalah mempercepat penyelesaian program restrukturisasi korporat dan keuangan, meningkatkan produktivitas dan efisiensi di bidang produksi, melakukan sinergi antar-BUMN terkait, serta menerapkan sistem manajemen risiko dan memperketat pelaksanaan good corporate governance (GCG).

Cerita tinggal cerita. Liability sering dianggap barang antik yang perlu dikenang nilai-nilai historisnya dan birokrat juga bukan pembisnis yang bisa mengambil keputusan bisnis. Sampai tahun 2010, belum ada BUMN sakit yang ditutup. Pabrik kertas Leces dan Padalarang yang namanya selalu tercantum di buku pelajaran sekolah dasar di jaman Orde Lama, beritanya tahun 2010 adalah salah satu yang terbelit hutang dan menjalani proses penyehatan. Padahal, menurut cerita Portal Nasional Republik Indonesia di atas, sudah akan ditutup tahun 2009. Inti cerita ini ialah, bahwa nasionalisasi perusahaan swasta adalah langkah yang salah karena akan membebani pembayar pajak. Tujuan awalnya tidak akan tercapai. Itu pelajaran dari sejarah.

Kembali pada masalah nasionalisasi tahun 1960an lagi. Yang mengalami nasionalisasi tidak hanya perusahaan Belanda, tetapi juga perusahaan milik pengusaha Cina, OTHC, Oei Tiong Ham Concern, perusahaan dagang milik keluarga Oei Tiong Ham, raja gula tahun 1920an dari Semarang. Perusahaan ini kemudian berubah nama menjadi PT Rajawali Nusantara Indonesia (2001). Yang menarik dari PT Rajawali ini, menurut websitenya, selama periode 1964 – 1985 mejalani fase konsolidasi. Jadi selama 21 tahun perusahaan ini berjalan ditempat. Ini adalah gambaran umum tentang proses nasionalisasi perusahaan di bumi Indonesia. Ceritanya tidak seindah konsep awalnya bahwa perusahaan-perusahaan ini akan membawa manfaat kalau dinasionalisasi. Benda mati bisa dinasionalisasi, sedangkan asset yang hidup, manusianya, tidak bisa dan malah didepak keluar karena bagian dari anasir asing. Keluarnya jajaran atas staf perusahaan-perusahaan yang dinasionalisasi membawa serta pengetahuan dan koneksi dengan dunia bisnis. Akibatnya asset mati yang dinasionalisasi menjadi liability karena salah urus.

Ketidak-bijakan berdikari juga membawa dampak pada swasta. Pabrik-pabrik yang memerlukan bahan baku, bahan pembantu dan suku cadang mesin dari luar negri mengalami hambatan pasokan. Mesin produksi tersendat. Dan ekonomi mengalami kontraksi berkepanjangan. Ini merupakan kontraksi ekonomi yang panjang dalam sejarah Indonesia yang bisa dicatat.

Sirkus tanpa lagu, akan terasa pincang. Pemilihan lagu yang tepat akan membantu mempopulerkan gagasan-gagasan Sukarno. Dan Sukarno memilih lagu-lagu mars yang bersemangat. Tema lagu tahun 1960 – 1966 di Indonesia didominasi dengan tema perjuangan, revolusi dan pemujaan pada pahlawan; pendek kata semuanya progressif revolusioner. “Acungkan tinju kita – Nasakom bersatu”, “Lagu untuk paduka yang mulia Sukarno”, “Bulat semangat tekad kita – Ini dadaku”, adalah sebagian dari tema lagu jaman Orde Lama. Padahal di dunia pada saat itu yang populer adalah lagu-lagu ceria, rock & roll dan lagu-lagu lembut the Beatles pada periode 1963 - 1966. Di puncak kekuasaan Sukarno lagu-lagu populer the Beatles yang dijuluki Sukarno sebagai musik ngak-ngik-ngok, jarang diperdengarkan. Dan group band Koes Bersaudara yang lagu-lagunya masuk kategori ngak-ngik-ngok, ditangkap dan dipenjara pada bulan Juli 1965, karena selera musiknya tidak sesuai dengan selera Sukarno. Mereka baru dilepaskan akhir Agustus 1965.

Sirkus dengan lagu mars pertama adalah Trikora (1961 – 1962). Yaitu konfrontasi dengan Belanda mengenai Papua bagian barat. Pasukan dikirimkan dan satu kapal terpedo KRI Macan Tutul tenggelam. Pada akhirnya kemenangan Indonesia diperoleh dari diplomasi dan perundingan, bukan dari pertempuran operasi Trikora. Dengan demikian korban yang ikut tenggelam bersama KRI Macan Tutul menjadi sia-sia. Papua bagian barat menjadi provinsi Indonesia dengan nama Irian (Ikut Republik Indonesia Anti Netherland).

Tidak cukup dengan Trikora, sirkus baru perlu dibuat. Apalagi kalau roti sudah semakin sulit diperoleh. “Kora” lain perlu dibuat, namanya Dwikora (1962 – 1966), ganyang Malaysia. Ini dilandasi politik bebas aktif yang dianut Indonesia, artinya politik yang bebas dan aktif mencampuri urusan negara tetangga. Semenajung Malaya, Serawak, Sabah dan Singapura berniat membentuk satu negara federasi Malaysia dan masuk ke dalam organisasi negara-negara persemakmuran. Menurut ceritanya, hal inilah yang tidak berkenan dihati Sukarno. Sukarno tidak suka Malaysia menjadi boneka imprialis Inggris. Apakah itu adalah alasan yang sebenarnya atau masalah ekonomi, entahlah. Kalau dipikir lebih jauh, apakah salah Malaysia jika mereka memutuskan untuk menjadi boneka Inggris, seperti halnya Ukrania menggabungkan diri dengan Russia untuk membentuk Uni Soviet (1922) atau Hawaii menjadi bagian Amerika Serikat tahun 1959 atau Irian menjadi bagian dari Indonesia.

Kalau anda mendengarkan pidato-pidato Sukarno yang sekarang mudah diakses di Youtube, anda akan tahu kharisma dan kemampuan Sukarno untuk mempengaruhi massa, sekalipun idenya absurd. Saya anjurkan pembaca untuk mencari pidato Sukarno ketika mencanangkan program ganyang Malaysia. Potongan pidatonya seperti berikut ini:

.........Eh engkau Malaysia, apa konsepsi yang engkau berikan kepada umat manusia, apa konsepsi yang engkau berikan kepada rakyat di Kalimantan Utara, atau rakyat di Malaya atau rakyat di Singapur? Apa konsepsi yang engkau keluarkan?

Indonesia tegap mengeluarkan konsep Pancasila, Manipol Usdek, Berdikari, Trisakti, Nasakom. Dan ini semuanya di Kairo, huduuh..... dikagumi oleh rakyat disana.....

.... Demikian juga tatkala saya berkata beberapa tahun lalu: “Go to hell with your aid.” Pada waktu itu orang Afrika: “It rang through Africa.”

Saya tanya sekarang kepada Malaysia: “Apa? apa suaramu yang membuat rakyat-rakyat di lain negara merasa rang, merasa menggelegar?”

Tidak ada. Malaysia adalah suatu negara, kalau boleh dinamakan negara, tanpa konsepsi, suatu negara tanpa ideologi..........

Berbondong-bondong rakyat mendaftar menjadi sukarelawan perang untuk dikirim ke Kalimantan Utara (Serawak dan Sabah), yang kemudian dengan mudah tertangkap oleh pihak Malaysia.

Sukarno demikian bangganya dengan ide-idenya yang dianggapnya besar. Tetapi tidak sampai 10 tahun setelah kejatuhannya, orang sudah melupakan semua ide-idenya kecuali Pancasila. Itupun karena rejim Suharto menggunakannya sebagai subjek indokrinasi. Siapa yang masih ingat Trisakti, Manipol Usdek? Dan Malaysia yang dikatakannya sebagai negara tanpa konsep, ternyata bisa menjadi lebih makmur dari Indonesia, sehingga banyak orang Indonesia yang mencari makan disana. Dipihak lain, Indonesia dengan ide-ide brillian dari Sukarno, seperti Trisakti, Berdikari, Manipol Usdek dan Nasakom, mengalami kehancuran ekonomi.

Pada saat ekonomi mandeg, apalagi mengalami kontraksi, aktifitas dunia usaha melesu, kapital Belanda didepak keluar, maka yang bisa dipajaki semakin sedikit. Pemasukan pajak berkurang. Tetapi sirkus-sirkus seperti Asian Games di Jakarta, Ganefo, Conefo, Dwikora perlu biaya, seperti halnya pegawai negri. Lebih-lebih untuk kabinet yang mentrinya berjumlah 100 orang (banyak). Dan bagi negara Indonesia, cari hutangpun sulit, karena para pemilik uang, kaum kapitalis dimusuhi. Kata Sukarno: “Go to hell with your aids”. Bagaimana jalan keluarnya?

Perlu uang? Takut rakyat memberontak karena dibebani dengan pajak yang tinggi? Penyelesaiannya mudah saja. Selama terbuat dari kertas atau bahan yang murah dan monopoli pencetakannya dan peredarannya di tangan pemerintah, maka pemerintah tinggal mencetaknya saja. Mesin cetak uang berputar dengan kecepatan penuh. Nilai uang dengan cepat merosot. Uang Rp 2.000 menjelang tahun 1964 bisa dipakai untuk belanja makan keluarga selama 2 hari, nilainya merosot. Dan 4 tahun kemudian, tahun 1967, hanya bisa dipakai untuk membeli sebungkus kwaci. Tabungan hancur. Alangkah mahalnya harga Trisakti, Manipol Usdek, Berdikari, Nasakom dan Dwikora.

Hidup semakin sulit. Nasi harus dicampur jagung. Tiwul dan gaplek menjadi biasa bagi sebagian masyarakat. Beras sintetis TEKAD (pellet yang terbuat dari Tela, Katjang, Djagung) pernah diperkenalkan untuk mengatasi kekurangan ini. Tetapi menghilang begitu saja, mungkin karena tidak ada bahan-bahan untuk membuatnya. Kenapa susah-susah membuat pellet, kalau tela, gaplek bisa dimakan langsung.

Kesulitan hidup membuat mood masyarakat menjadi terkotak-kotak. Dan akhirnya, ketika ada yang tidak bisa menahan diri dan memulai sesuatu yang drastis, yang menjadi pemicu segalanya maka timbullah kekacauan. Kejadian yang drastis itu terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965 pagi, yaitu pembunuhan 6 orang jenderal dan seorang kapten angkatan darat, yang kemudian dikenal sebagai pahlawan revolusi (walaupun saat itu tidak ada revolusi). Mayatnya dibuanh di sebuah sumur di Lubang Buaya, Pondok Gede. Yang dituding sebagai pelakunya adalah Partai Komunis Indonesia (PKI).

Selanjutnya pemburuan besar-besaran anggota-anggota PKI dan antek-anteknya berlansung. Ada yang memang layak mati karena dosanya. Banyak juga diantaranya adalah petani-petani biasa, buruh dan rakyat kecil yang tidak tahu apa-apa tentang PKI; yang keanggotaannya hanya ikut-ikutan. Bahkan hanya terdaftar saja. Mereka ditangkap, ada yang dibunuh dan banyak yang ditahan. Ada yang memperkirakan 500.000 orang yang dituduh PKI dan antek-anteknya dibunuh. Itu hanya perkiraan yang banyak disitir, tidak ada sensus dan pendataan tentang jumlah yang sebenarnya.

Ekonomi semakin parah dengan dihabisinya sebagian petani dan buruh tani yang dituduh PKI. Makanan semakin langka. Pemerintah terpaksa mendatangkan makan yang disebut bulgur, makanan hewan dari daerah Iran, Turki dan Asia Tengah. Kalau memasaknya pandai, enak juga rasanya. Yang pasti, bikin kenyang. Pada masa ini, keluarga saya terpaksa membagi 1 telur untuk 3 orang. Padahal 6 tahun sebelumnya, yaitu tahun 1961, anjing saya mengkonsumsi 0,25 kg daging per harinya.

Diperkirakan kurs dollar Pasar Baru mencapai Rp 2.000 di awal tahun 1964, kemudian melorot ke hampir Rp 5.000 di akhir 1964. Dan akhirnya menjadi sekitar Rp 35.000 di akhir 1965. Ini dikenal sebagai inflasi 620% di jaman Sukarno. Kemudian di akhir tahun 1965 ini, rupiah disunat 3 nolnya, supaya tidak terlalu banyak nolnya. Pecahan Rp 1000 menjadi Rp 1 uang baru. Di akhir masa kepresidenannya, tahun 1967, kurs dollar mencapai Rp150 (rupiah baru) per dollar. Sebungkus kecil kwaci adalah Rp 2 atau US$ 0,013. Prestasi yang mengagumkan bagi Sukarno. Dalam masa 8 tahun (1959 – 1967) 99,97% dari nilai riil rupiah terbabat habis dan hanya tersisa 0.03% saja. Kolonialisme dan imperialisme yang dimusuhinya, rata-rata tidak sekejam ini dalam hal menyengsarakan rakyat. Buktinya Malaysia yang dicap sebagai boneka imperial Inggris bisa melaju lebih makmur dari pada Indonesia.

Kejatuhan Sukarno, sangat mengenaskan. Dia tersingkirkan, dihinakan, paling tidak sampai 15 tahun setelah kematiannya. Juga keluarganya mengalami kesulitan. Walaupun demikian, pengikut setianya masih ada. Kata Abraham Lincoln:

You can fool some of the people all of the time, and all of the people some of
the time, but you can not fool all of the people all of the
time.

Kamu bisa menipu banyak orang sepanjang masa, dan semua orang
untuk masa tertentu, tetapi kamu tidak bisa menipu semua orang
selama-lamanya.

Sukarno yang bisa diibaratkan sebagai seorang salesman ulung yang mampu menjual kulkas kepada orang Eskimo atau menjual tahi ayam seharga coklat, pada akhirnya sebagian orang akan bertanya: Apakah kulkas dan tahi ayam yang telah dibelinya layak dan ada gunanya? Ada masanya orang menjadi tidak percaya kepada ide-ide brillian Sukarno karena tidak terbukti seperti yang diadvertensikan. Sebagian masih percaya, bahkan sampai sekarang. Itu pokok ucapan Lincoln. Dan pada saat mulai banyak orang menjadi tidak percaya, muncullah politikus baru untuk mempergunakan kesempatan. Dan lahirlah rejim baru, periode baru dan jaman baru. Tetapi inti proses dan isinya sama, hanya pelaku-pelakunya yang berbeda. Sejarah berulang kembali dengan pelaku-pelaku yang berbeda.

Disclaimer: Ekonomi (dan investasi) bukan sains dan tidak pernah dibuktikan secara eksperimen; tulisan ini dimaksudkan sebagai hiburan dan bukan sebagai anjuran berinvestasi oleh sebab itu penulis tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang diakibatkan karena mengikuti informasi dari tulisan ini. Akan tetapi jika anda beruntung karena penggunaan informasi di tulisan ini, EOWI dengan suka hati kalau anda mentraktir EOWI makan-makan.

22 comments:

-Casuarry- said...

wow,ulasan yang sangat menarik,.
,sungguh kejam ternyata pemerintahan pada jaman itu, dan sekarang saya tidak akan begitu saja percaya kepada politikus,maupun presiden,.

thank u pak Imam Semar, semoga anda tidak bosan memberi kami pencerahan

Anonymous said...

Paling jago dh om Semar mengejek orang. hihihi.. Gak pernah ada comment positif ttg org.

Anonymous said...

ternyata om semar punya bakat kayak sukarno juga jualan blog ..goblog..

Anonymous said...

Nice point of view...di bangku sekolah cuma diajari bung Hatta bapak ekonomi, bapak koperasi, mungkin perlu ditambah bapak inflasi

-Casuarry- said...

@pak Imam Semar Ingat pak kata pepatah Anjing menggonggong kafilah tetap berlalu, kalau ada yang tidak suka pada anda harap di maklumi ya pak IS nggak ada yang nyuruh orang tersebut untuk meyukai anda, atau mereview anda, selama anda tetap pada gaya anda yang sarkastis dan lugas saya yakin fans anda tak kan berkurang.terus berkarya Pak,. sampai nanti

Anonymous said...

@atas
fansnya orang idiot kayak apa ya? :D :D

Dodi Maryanto said...

ini sejarah versi siapa ?
ini mau ngomentarin denominasi apa marah2 ke BK ? mosok urusan dia
punya 4 istri, plus 1 istri dari jepang yg cuakep itu dibahas juga ?

Anonymous said...

@ Dodi,
Menurut saya, mengenai 4 istri plus istri Jepang yang cantik, cuma kembang cerita biar lebih menarik.

Memang cewe Jepang itu cantik sekali, saya pernah lihat majalah SUGA. Buktinya minggu kemarin Tempo memasang Foto Dewi, masih tetap cantik. Umurnya udah berapa tuh ???

Si Semar itu memang pinter nulis.Orang udah men-caci maki juga tetap membaca lagi tulisan Semar. Benci Tapi Rindu

Anyway saya suka baca tulisan semar.

Salam,

Anonymous said...

Ya, koar2 lagi karna dow udh jebol MA50 nya .. bentar lagi juga ditakut2in ma Semar .. hehehe

Anonymous said...

Kok ngak calon kan diri aja jadi Presiden Replubik Indonesia Loe Semar / Menkoa / GBI ? indonesia memang hancur, uang makin kecil, tp ngak selamanya Roda di bawah .. ingat itu bung ...

Anonymous said...

Hi hi hi hi....

Anonymous said...

EOWI ini sebenarnya situs humor sardonik. Banyak yang menikmatinya...., dan banyak yang sebel. Itu sifat humor sardonik.

Anonymous said...

jadi intinya bung IS lagi main sirkus ya,buat pembaca blogger yg udh mulai tidak percaya dengan konsep ngeshortnya?

sy cuma bisa bilang niat sukarno baik,cuma pada saat itu indonesia masih hijau dan wajar kalau belum bisa sehebat Amerika atau Singapura

Anonymous said...

Kelakuan Sukarno mengusir petinggi perusahaan dan membuat petani dibunuh adalah kayak Mugabe di Zimbabwe ya bung IS ? jadi kagak ada produksi barang dan jasa, akibatnya uang dicetak berapapun kagak ada nilainya, orang cuma mau makan nasi/roti, bukan makan kertas sampah.

Anonymous said...

hiat hiat wush hiat wush hiat wush. Awas pedang pembunuh naga 3 of 3 of 3 of 3!

Anonymous said...

Quote:
hiat hiat wush hiat wush hiat wush. Awas pedang pembunuh naga 3 of 3 of 3 of 3!
Unquote

Belum lah. Masih jurus 3 of 1 of 3 dan 2 - 5 bulan lagi ekor 2 of 3 masih bisa nyabet pendekar bear.

-Casuarry- said...

sikap kritis itu perlu,supaya tidak terlena dengan tipuan,ilusi statistik

Anonymous said...

3 of 3 Of 3 da datanggggggg ... arhhhhhhhh .... takutttttttttt

AikidoIndonesia said...

Membaca sejarah yg begitu mencerahkan saya jadi ingin ketemu dan belajar dengan pak Kiai nih...

Unknown said...

Saya rasa bentuk negara yang paling baik itu adalah sosialisme, dimana kekayaan setiap entitas rakyat adalah sama. Perhatikan negara-negara Skandinavia seperti Norwegia, Finalandia, dan lain-lain. Tetapi kalau kondisi morat-marit seperti ini, dimana setiap orang bisa mengeluarkan pendapat sehingga cenderung selalu mengeluarkan pendapat, yang didapat bukan kesimpulan, tetapi keributan! Hendaknya negara ini mencontoh RRC yang begitu tegas menghakimi koruptor. Atau pada akhrnya agar negara indonesia menjadi negara-negara bagian yang independen

Anonymous said...

Bungkarno jg manusia,kekurangan tentu pasti punya,terlebih,pd masa itu masih dibayang bayangi kekuatan imperialis kolonialis,pemberontakan pemberontakan produk import,karangan amerika bin illuminati,freemasonry,tapi Kalau bungkarno nggak digusur CIA dan kapitalis yahudi,bekerja sama dg Suharto,tiap th negara ini punya pendapatan,2,5persen dari 57.150 ton emas,sesuai kesepakatan THE GREEN HILTON AGREEMENT,dg presiden amerika JFK.sampai sekarang jadi berapa ya?

Jokowi katanya hebat said...

Set,banding bandingin indonesia sekarang dengan zaman pak karno,ya jelas beda lah
Malaysia itu kan anggota common wealth jadi gak berdiri sendiri
Indonesia pada zaman itu jauh lebih hebat dan mulai merosot atau bisa di bilang jalan di tempat ketika pak karno tidak sebagai pemimpin kan?

Buat writer,pemaparannya bagus saya salut,tapi terlalu mempointkan pak karno sebagai asal muasal carut marutnya negri ini (pada case ini,saya tidak setuju)